"WHAAATTT? PUTUS?"
Suara seorang perempuan tengah melengking di tengah keramaian kantin kampus Nusantara pagi itu. Alhasil, semua orang menoleh ke arah sumber suara.
"Sssssttttt," Malik menempelkan jari telunjuknya di bibirnya. Pria itu mengisyaratkan agar Zarra, si pemilik suara keras tadi agar memelankan suaranya. Zarra menggeleng dengan cepat. Air mata mulai menggenang di kedua sudut matanya.
"Tenang, Zarra," ucap Malik lembut. Hati Zarra bergemuruh mendengar ucapan Malik. Ia tak habis pikir, bagaimana Malik bisa mengatakan putus setelah menjalin hubungan pacaran selama tiga tahun.
"Ra, ini bukan seperti yang kamu bayangkan. Kita masih ketemu seperti biasa. Hanya saja status kita nggak pacaran. Kita juga nggak jalanin aktivitas jalan bareng berdua lagi. Kita tetep bisa temenan," jelas Malik pelan-pelan. Ia tak ingin menyakiti hati perempuan yang sudah menemaninya lebih dari 3 tahun.
"Wanita mana?," tanya Zarra begitu sudah dapat menguasai emosinya. Malik terkekeh mendengar pertanyaan gadis manis di hadapannya itu. Rasa cemburu Zarra memang tergolong besar, khas seorang wanita. Zarra menatap tajam Malik. Matanya memicing, menyelidik penuh arti.
"Ra, kamu ini apa-apaan sih? Nggak ada wanita lain. Nggak ada siapa-siapa kecuali...," Malik menggantung ucapannya. Zarra menyelidik melalui matanya. Ia menunggu Malik melanjutkan ucapannya.
"Kecuali siapa?," cecar Zarra tak sabar.
"Kecuali Allah, Ra," lanjut Malik dengan senyuman tulus yang membuat Zarra terdiam. Ia menatap mata Malik dalam-dalam, mencoba mencari kebenaran kata-katanya. Ia bisa melihat kalau Malik sedang tak berbohong. Mata coklat khas timur tengah itu memperlihatkan ketulusan. Zarra ingin percaya, tetapi entah kenapa rasanya terlalu janggal buatnya.
"Aku ingin lebih dekat dengan Allah, Ra. Aku pengen hijrah. Dan dalam agama kita, agama Islam, pacaran itu dilarang karena mendekatkan diri pada zina. Yang dibolehkan itu cuma pernikahan," jelas Malik. Senyuman tulus masih terpasang manis di bibir meronanya. Malik memang memiliki wajah khas timur tengah karena memang ada garis keturunan dari Iran. Kakek Malik berasal dari Iran. Zarra juga baru menyadari kalau Malik kini memiliki jenggot dan memanjangkannya meskipun hanya sekitar tiga senti saja.
"Kalo gitu, nikahi aku! Aku sudah siap!," seru Zarra. Malik kembali terkekeh. Ia sungguh gemas dengan tingkah gadis kesayangannya ini. Kalau saja tak ingat Zarra bukan mahram nya, sudah pasti ia mencubit gemas pipi chubby Zarra itu.
"Zarra, nggak semudah itu menikah. Kita harus paham hakikat menikah. Aku saja masih belajar fiqih nafkah, kamu sudah ngajak nikah," jawab Malik setengah bercanda. Zarra mendengus kesal. Di saat seperti ini, Malik malah mencoba mencandainya.
"Bilang aja kamu sudah nggak cinta!," seru Zarra kesal. Ia membereskan barang-barangnya dan meninggalkan Malik yang masih termangu dengan kepergiannya.
❤️❤️❤️
- Kamar Zarra -
Zarra membuka matanya. Ia merasakan kalau selimut benar-benar masih membungkus seluruh tubuhnya. Matanya panas. Kepalanya juga terasa berat mungkin karena sejak pulang dari kampus tadi, ia menangis tak henti di kamarnya. Dilihatnya ponselnya yang sedari tadi sengaja di silent. Tak ada notifikasi chat dari Malik. Jahat banget, gerutu Zarra dalam hati.
Perlahan diturunkannya selimut yang menutup badannya. Ia mengejapkan matanya beberapa kali. Sedikit sakit karena matanya lelah menangis. Ia masih tidak habis pikir, mungkin lebih tepatnya tidak terima dengan keputusan Malik yang dianggapnya hanya sepihak. Terlalu tiba-tiba. Semudah itukah mengucapkan kata 'putus' setelah tiga tahun bersama. Padahal semalam dia masih hang out bersama Malik.
Zarra bangun dari tempat tidurnya. Ia berdiri di sebelah jendela kamarnya. Menatap jauh ke arah luar. Perumahan itu terlihat sepi. Sejenak ia menatap layar ponselnya. Jam di ponselnya menunjukkan pukul tiga sore Ia kembali menatap keluar kamarnya. Pikirannya kembali kepada Malik. Ia mencoba mengingat kembali apa yang aneh dari sikap Malik akhir-akhir ini. Tapi memang tidak ada yang aneh. Malik adalah Malik yang ia kenal. Memang dua bulan terakhir, sejak Malik pulang dari Mekkah ada perubahan dalam sikapnya. Mereka mulai jarang hang out seperti nonton atau jalan-jalan berdua seperti sebelum-sebelumnya. Kalaupun akhirnya Malik mau jalan-jalan dengannya, itu pun mereka tidak berdua. Malik akan mengajak teman-teman mereka. Malik juga tak pernah lagi merangkul, memeluk, mencium pipi atau keningnya, bahkan Malik tak pernah menggandeng tangannya. Ia tak pernah curiga karena memang mereka jarang sekali bertemu berdua setelah Malik datang dari Mekkah. Apa ini ujung dari perubahan sikap Malik yang sempat tak digubris oleh Zarra?
Zarra menghela napas panjang. Mencoba menenangkan hatinya. Tiga tahun delapan bulan perjalanan cinta mereka harus kandas hari ini. Ia masih ingat pertama kali Malik menyatakan perasaannya. Saat itu mereka masih SMA tahun terakhir. Pada awal hubungan mereka, ia tak pernah berharap lebih apalagi mencintai Malik sepenuhnya. Ia terlalu takut patah hati. Malik itu ganteng dan tidak sedikit gadis-gadis yang naksir padanya. Butuh waktu setahun meyakinkan hatinya untuk benar-benar menerima Malik. Seiring waktu berjalan, kenyamanan dan kesetiaan yang ditunjukkan Malik membuatnya semakin jatuh cinta dan takut kehilangan Malik. Sebelum berangkat ke Mekkah, Malik sempat mengatakan keinginannya untuk bisa menikah dengan Zarra nanti setelah mereka lulus kuliah.
Lalu, sekarang apa yang Zarra dapatkan? Keputusan putus sepihak dari Malik yang bahkan ia tak mengerti alasannya. Hijrah? Hijrah kemana? Memperdalam ilmu agama, itu alasannya. Zarra benar-benar tak habis pikir. Kenapa Malik harus berubah. Kenapa Malik tak mengikuti kehidupan seperti teman-temannya yang lain. Mereka sebagian besar Islam, tetapi mereka juga pacaran. Zarra benar-benar tak memahami Malik menjadikan alasan 'hijrah' untuk putus darinya. Ia menyesal karena tadi terbawa emosi sehingga tak mendengar penjelasan Malik lebih lanjut.
TRIINNGG
Sebuah notifikasi chat whatsapp masuk membuatnya terhenyak. Kinar. Ah, benar. Zarra sedang butuh Kinar untuk menemaninya saat ini. Tapi lagi-lagi Zarra harus kecewa karena sahabatnya itu hanya memberitahu bahwa ia sedang ada acara.
- Kinar -
Sorry, Ra. Gue lagi ada acara sama Mama. Besok di kampus aja cerita ya.. sorry banget ebebku 😢
Zarra menghela napas kecewa. Di saat seperti ini, ia butuh sosok Kinar, sahabatnya itu. Hatinya terasa sedih sekali. Harusnya tadi ia tidak meninggalkan Malik begitu saja. Harusnya ia meminta penjelasan yang lebih detail. Besok dia harus menemui Malik lagi. Ya! Besok! Besok Zarra akan meminta penjelasan dari Malik. Sejelas-jelasnya dan sedetail-detailnya. Zarra tak ingin ada satupun yang terlewat. Zarra ingin tahu apakah Malik masih mencintainya atau tidak. Ya! Zarra bertekad untuk meminta penjelasan kepada Malik besok. Harus. Sore ini pun ia lewati dengan kesepiannya sendiri.
❤️❤️❤️
Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Zarra duduk di kantin kampus. Kantin masih terlihat sepi. Hanya beberapa mahasiswa dari jurusan sebelah yang mungkin sedang tidak ada kuliah. Mereka menikmati makanan pesanan mereka. Mata Zarra berkeliling siapa tahu ia bisa menemukan Malik. Sebenarnya ia tidak sedang menunggu Malik, tetapi sahabatnya, Kinar. Ia sudah berjanji untuk bertemu di kantin.
Beberapa kali Zarra melihat jam tangan dan ponsel nya. Belum ada whatsapp dari Kinar. Bahkan pagi ini pun tidak ada pesan dari Malik. Semudah itukah Malik melupakannya? Semakin memikirkan Malik, semakin hatinya tidak karuan dan semakin penasaran. Ia juga semakin tidak sabar menunggu Kinar. Sudah hampir sejam ia di kantin. Tapi sosok centil Kinar tak muncul juga.
TRIINGG
Bunyi ponsel Zarra tanda pesan masuk. Dengan malas Zarra melihat pemberitahuan. Ternyata pesan dari Malik. Huuh, baru sekarang dia chat aku, batinnya kesal. Dibukanya pesan dari Malik.
- Malik -
Ra, lagi dimana?
Zarra tersenyum membaca pesan itu. Kangen kan lo!, batin Zarra lagi. Ia sedikit berdehem guna mengurangi kebahagiaannya yang overload. Bisa saja, Malik hanya basa basi karena sudah menyakiti hatinya kemarin. Sengaja ia tak langsung membalasnya supaya Malik tahu kalau bercandanya kemarin benar-benar tidak lucu.
- Zarra -
Kenapa? Penting?
Sengaja Zarra membalasnya dengan agak ketus. Ia masih sangat kesal dan marah perihal kemarin. Meskipun pesan dari Malik hari ini mampu mengurangi sedikit kekesalannya, tetapi tak dapat dipungkiri ia masih penasaran dengan keputusan tiba-tiba Malik kemarin.
- Malik -
Masih marah? 😊
Zarra memutar bola matanya malas setelah membaca pesan terakhir Malik. Jelaslah dia marah. Ga peka banget sih, gerutu Zarra dalam hati. Itu keputusan sepihak baginya. Zarra mendengus kesal. Belum sempat ia menulis chatnya, chat Malik sudah masuk lagi.
- Malik -
Tolong ngertiin aku Ra! Ini soal aqidah, soal keyakinan! Aku nggak mau menambah dosa, Ra.
Zarra mendengus kasar membaca pesan Malik kali ini. Kenapa mesti bawa-bawa agama, batinnya. Baginya tak akan selesai kalau dibahas di chat. Ia ingin penjelasan langsung dari Malik. Ia pun mengetik pesan ke Malik.
- Zarra -
ketemu di cafe biasa
jangan bahas di chat! kebiasaan buruk kamu!
Sent.
Zarra menghela napas panjang. Ia mengaduk jus jeruknya dan menyedotnya dengan malas, sambil melihat-lihat beranda instagramnya. Ia terpaku pada akun @key_nar. Itu akun Kinar, sahabatnya. Postingan itu berupa foto Kinar dengan hijabnya. Kinar tersenyum cantik dengan hijab warna baby bluenya.
"Zarraaaaa...," panggil Kinar dengan suara yang lumayan keras. Zarra sampai terlonjak karena Kinar memanggil tepat di belakangnya. Ia pun mendengus kasar karena kesal dikagetkan oleh sahabatnya itu. Kinar tertawa melihatnya. Masih tertawa ia mengambil kursi di samping Zarra.
Mata Zarra membulat melihat penampilan Kinar hari ini. Kinar nampak manis dengan outer warna hijau tua dengan dalaman kaos panjang hitamnya. Tak lupa hijab warna hijau botol yang rapi menutup rambutnya. Yupz! Ini penampilan perdana Kinar berhijab. Tapi Zarra saat ini tak punya banyak waktu untuk interview sahabatnya itu. Ia ingin segera ketemu Malik.
"Duh, gue kepo soal elo sebenernya sekarang. Tapi gue ga ada waktu, nanti abis ketemu Malik ya?," ucap Zarra sembari menarik tangan Kinar beranjak dari sana.
"Zarra, kenapa sih lo? Kita mau kemana sih ini?," tanya Kinar. Ia agak kewalahan mengikuti langkah Zarra yang setengah berlari kecil sambil menarik tangan Kinar.
"Sudah ikut aja! Ketemu Malik," jawab Zarra pendek. Ia bahkan tak menoleh melihat Kinar yang kewalahan mengikuti langkah Zarra.
❤️❤️❤️
- Cafe Romano -
Zarra melihat sekeliling. Cafe ini adalah cafe favoritnya dan Malik. Dulu sepulang kuliah, ia dan Malik akan mampir ke cafe ini. Itu karena ia adalah pecinta kopi dan menurutnya kopi di cafe ini enak. Sekarang pun di depannya sudah terhidang cappucino hangat favoritnya. Di depannya, Kinar sedang menyeruput coffee latte pesanannya.
"Jadi Malik mutusin lo tiba-tiba dengan alasan mau hijrah gitu?," tanya Kinar. Sudah lima belas menit mereka disana dan Zarra sudah menceritakan soal insiden kemarin.
"Gue enggak ngerti aja, Ki! Orang lain santai aja tuh pacaran! Kalo alasannya memang hijrah, hijrah gimana? Emang bisa jamin ya kalo kita hijrah bisa masuk surga?!," dengus Zarra dengan nada kesal. Kinar sempat tersentak mendengar penuturan Zarra barusan. Kalau saja ia tidak ingat bahwa memang Zarra sangat minim ilmu agama, mungkin Kinar sudah marah-marah. Ia kadang tak percaya Zarra bisa minim ilmu agama, padahal ayah Zarra adalah orang yang sangat taat beragama. Sayangnya, orang tua Zarra memang tak bisa menemani dan mengawasi Zarra sepenuhnya. Ayah Zarra adalah pegawai salah satu bank BUMN. Sebagai penjabat officer nomor dua se regional, ia harus siap mutasi per dua tahun. Kini, Ayah Zarra sedang bertugas di Banjarmasin.
"Ra, mending kalo saran gue, lo cari guru buat belajar agama deh! Ustadzah gitu," kata Kinar. Mata Zarra membulat. Ustadzah? Dimana ia mencari ustadzah belajar agama? Datang ke pengajian di komplek saja dia jarang. Itupun kalau topik atau da'i nya ia tahu.
"Assalamu'alaikum. Zarra? Kamu sudah lama? Maaf tadi ak...," suara Malik membuyarkan lamunan Zarra dan Kinar. Mereka kompak mendongak melihat Malik. Malik justru terkejut melihat Kinar dengan penampilannya yang sekarang.
"Kinar?," mata Malik berbinar melihat penampilan Kinar. "Ini kamu?," tanyanya antusias. Kinar hanya tersenyum seraya mengangkat bahunya.
"Yes, it's me," jawab Kinar dengan senyum bangganya. "Eh, wa'alaikumsalam. Sampai lupa kan gue balas salam lo," ujar Kinar kemudian. Malik tertawa. Zarra berdehem membuat mereka berdua terhenyak. Zarra memang sengaja berdehem, untuk mengingatkan mereka akan kehadirannya. Kinar pun tertawa kecil dan ijin berpindah ke meja sebelah.
Sepeninggal Kinar, Malik duduk di depan Zarra. Zarra menatapnya tajam. Ia menunggu penjelasan dari Malik.
"Ra, aku mohon kamu ngerti ya? Keputusan ini nggak gampang juga buat aku," kata Malik memulai penjelasannya. Ia mencoba mengatakannya dengan lembut.
"Tapi kayaknya kemarin kamu gampang banget bilang putusnya," sahut Zarra kesal.
"Siapa bilang, Ra?".
"Aku barusan!".
"Ra, aku...," belum tuntas Malik berbicara, Zarra sudah kembali menyahut. "Apa? Kamu bilang nggak mudah, tapi setelah bilang putus, kamu diemin aku. Say sorry kek! Tanya kek, 'masih hidup nggak kamu?' Sadar nggak sih kamu? Kamu sudah nyakitin hati aku?," cecar Zarra. Ia meluapkan emosi yang sedari semalam terpendam. Terdengar suara lirih Malik beristighfar. Ia menunduk. Untung saja cafe sedang sepi, sehingga tak ada yang mendengar suara Zarra selain Kinar.
Malik menghela napas panjang. Ia memilih diam agar Zarra melepaskan semua emosinya. Ia terdiam melihat Zarra menangis di depannya. Menurutnya jauh lebih baik ia membiarkan Zarra menangis sekarang, daripada harus melewati banyak dosa dengan terus bersamanya.
"Ra, maafin aku ya? Aku mohon banget pengertian dari kamu. We are still be a friend. Best friend, " kata Malik. Zarra menatapnya. Gadis itu mengusap air matanya dengan tisu.
"Kamu sudah enggak sayang aku ya?," tanya Zarra. Ia tersenyum kecut dengan mata sembabnya. Malik terdiam. Ini bukan persoalan sayang dan tidak. Belum sempat Malik menjawab, Zarra sudah berkata lagi, "semua sudah jelas ya? Jadi benar kamu sudah nggak sayang aku lagi. Makasih, Malik untuk tiga tahun yang sia-sia". Ia kembali terisak setelah mengucapkan itu.
"Bukan begitu, Ra. Kamu ngertiin aku, dong!," ucap Malik setengah memohon.
"Aku ngerti kok, Malik! Harusnya kalau kamu sayang, kamu ajak aku nikah dan hijrah bareng! Bukan hijrah sendiri!," sergah Zarra. Emosinya benar-benar memuncak. Kali ini Malik terdiam. Ia tak bisa menjawab Zarra. Dalam hatinya ia membenarkan apa yang disampaikan Zarra barusan. Oleh karena itu, ia tidak bisa menjawab ataupun mengelak. Sedangkan Zarra melihat Malik terdiam menunduk, seolah sibuk dengan pikirannya sendiri, semakin marah.
"Okay, Malik. I've done! Kamu mau putus? Fine! Kita putus! Jangan pernah hubungi aku lagi!," seru Zarra. Segera setelah mengatakan itu, Zarra menarik tasnya dan pergi meninggalkan Malik yang terdiam. Kinar pun berlari menyusul Zarra. Malik menghela napas panjang dan termenung memandang keluar jendela.
❤️❤️❤️
POV ZARRA
Bagiku semuanya sudah jelas. Ya, jelas sekali malah! Jelas bahwa Malik tak lagi mencintaiku. Jika ia mencintaiku kenapa harus meninggalkan aku? Kalau memang pacaran dilarang, kenapa nggak nikah aja? Nikah dan hijrah bersama. Apa susahnya?
Aku kesal, sangat kesal. Aku kecewa akan sikap Malik. Kutinggalkan ia tadi di cafe. Aku sudah menyerah. I have done of this. Meskipun aku sayang, aku bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendakku dengan seenaknya. Aku nggak suka dan nggak mau dia melakukannya dengan terpaksa. Dan finally, aku yang sakit sendiri. Aku menangis di pelukan Kinar.
"Sudah dong, Ra!," kata Kinar sambil terus mengelus punggungku.
"Malik jahat banget sih, Ki?," kataku di sela-sela tangisku. Kinar melepas pelukannya. Ia memegang kedua pipiku, membuat kami saling bertatapan.
"Malik enggak jahat! Malik itu mau nyelametin lo dari dosa! Dosa zina!," kata Kinar.
"Tapi kan selama kita pacaran, kita nggak pernah macam-macam, Ki," jawabku mengelak. Kinar menggeleng.
"Siapa yang bisa jamin nanti? Setan itu akan terus mencari celah menggoda manusia. Zina itu nggak terbatas tidur bareng, Ra! Zina mata, zina hati, zina pikiran, itu semua dosa! Padahal di dalam Islam, wanita itu hanya boleh bersentuhan dengan mahramnya," jelas Kinar. Aku terdiam.
"Gue tahu lo enggak pernah ngerti soal ini. Pengetahuan agama lo minim, tapi bukan berarti lo nutup mata, nutup telinga. Cari info! Belajar, Ra! Bekal elo ke akhirat nanti. Siapa yang jamin besok lo masih bisa lihat dunia?," kata Kinar lagi. Kali ini dia sukses membuatku terbungkam. Aku tertunduk lesu.
"Daripada lo fokus mikirin Malik, mendingan lo fokus sama diri elo, Ra! Fokus memperbaiki diri lo! Lo coba deh ikutin saran gue, cari ustadzah yang bisa ngajarin elo tentang Islam dengan bener," kata Kinar melembut. Aku menatapnya. Kinar tersenyum. Aku mengangguk senyum
"Kenapa enggak lo aja sih?," tanyaku kemudian. Kinar beranjak dari tempat tidurku. Ia mengambil tasnya.
"Gue juga masih belajar," jawabnya. Aku terdiam. "Berhubung lo udah tenang, gue balik dulu ya? Gue ada pengajian," sambungnya.
"Lo sama aja kayak Malik. Hijrah sendiri. Kalian itu kalo memang sayang sama gue, ajak kek gue ke pengajian bareng kalian," seruku kesal. Kinar menoleh ke arahku. Sorot matanya menandakan ada rasa tersinggung. Ia kemudian menghela napas pendek.
"Gue pamit, Ra! Assalamu'alaikum," ujarnya melangkah pergi. Aku terdiam. Belum sempat kujawab salamnya, Kinar sudah pergi. Dia tersinggung dengan kata-kataku barusan. Tapi rasanya aku tak peduli. Toh itu benar! Kalau mereka sayang padaku, harusnya mereka juga mengajakku hijrah, menemaniku hijrah, bukan hanya menyarankan saja. Aku adalah orang yang benci dengan teori tanpa action. Aku menghela napas panjang. Aku ingin sendiri dulu. Membiarkan hatiku pelan-pelan tenang. Dan akhirnya aku tertidur.
❤️❤️❤️
Hari masih pagi, tetapi awan-awan hitam sudah menggulung di langit kota Surabaya. Gelegar suara petir terdengar sesekali mengikuti angin yang berhembus dingin. Rintik-rintik hujan kini berubah menjadi buliran besar dan semakin deras. Air hujan itu membasahi jalanan kota Surabaya.
Suasana dingin membuat perut Zarra yang sedang mengikuti mata kuliah itu keroncongan. Tadi pagi ia tak sarapan karena terburu-buru berangkat ke kampus. Hari ini ia bangun terlambat padahal kuliahnya dimulai jam 8. Ia bangun jam 7 dengan kepala sedikit pening serta mata panas. Ia baru sadar kalau sudah tertidur hampir 15 jam kemarin. Begitulah kebiasaannya yang entah bisa disebut kebiasaan buruk atau baik. Ketika ia merasa sedih, galau atau sehabis mengeluarkan emosinya, ia akan tidur panjang. Dengan begitu, ia merasa lebih baik.
"Sekian kuliah hari ini, jangan lupa bulan depan kalian ujian semester ya?," kata Pak Adi, dosen psikologi Zarra menutup perkuliahan hari ini. Zarra membereskan buku-bukunya. Ia ingin segera ke kantin dan makan mie kuah buatan ibu kantin yang sedap. Ia berjalan melewati lorong kampus. Hujan masih turun dengan derasnya, menimbulkan hawa dingin.
Zarra begitu lega melihat kantin agak sepi. Dengan begitu, pesanannya akan datang lebih cepat. Ia mengambil tempat duduk sedikit agak ke tengah agar tak terkena air hujan. Setelah memesan mie dan jeruk hangat, matanya berkeliling. Ia tak menemukan sosok Kinar. Di kelas pun tidak. Ia menghembuskan napas pelan. Kecewa. Karena tidak ada yang bisa ia ajak bercerita saat ini. Sambil menunggu pesanannya, ia melihat galleri instagramnya. Terpaku pada satu postingan di akun @key_nar. Itu akun Kinar. Ia mengunggah sebuah foto tangan yang bergandengan. Bukan fotonya, Zarra terfokus pada caption dari foto tersebut.
"Mbak, ini pesanannya," kata pelayan kantin menyodorkan semangkuk mie kuah dan segelas jeruk hangat. Zarra mengucapkan terima kasih. Kemudian ia kembali membaca postingan Kinar tersebut.
"Sahabat sampai jannah ❤️ carilah sahabat yang mendekatkanmu pada Allah dan hal positif, bukan yang mengingatkanmu akan urusan duniawi".
Zarra terbatuk karena tersedak kuah mie yang pedas. Apalagi membaca caption Kinar yang seolah sedang menyinggung dirinya. Ia melihat sekeliling, mencoba melihat apakah ada yang sedang memperhatikan saat ia tersedak. Beberapa mahasiswi di pojok kantin hanya menoleh sebentar dan kembali fokus pada kegiatan mereka. Zarra sejenak memperhatikan kumpulan mahasiswi itu. Mereka ada 5 orang dan berhijab semua. Salah satunya memakai cadar. Seolah memiliki dunianya sendiri, mereka tampak asyik membicarakan sesuatu.
Zarra menghela napas. Ia kembali melihat postingan Kinar. Kemudian menekan tanda 'like'. Ia merasa begitu kesepian. Kinar tak menghubunginya sama sekali. Sesibuk itukah ia atau dia masih marah karena kata-kataku kemarin?, batin Zarra. Whatsappnya benar-benar sepi. Ia bukan tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain. Ia tidak biasa untuk memulai pertemanan, karena ia takut ia tidak diterima. Karena ketika ia merasa tidak cocok atau tidak bisa masuk dalam pergaulan teman-temannya, ia akan jadi orang yang sangat pendiam. Di kampus, satu-satunya orang yang bersahabat dengannya adalah Kinar dan sekarang entah kenapa Kinar pun perlahan menjauh. Zarra menghela napas dan hanya terpaku pada hujan yang mulai mereda.
❤️❤️❤️
Zarra masuk ke rumahnya dengan malas. Ia berjalan gontai memasuki ruang makan. Ia melihat Bi Asih sedang membersihkan dapur. Ia melihat meja makan penuh dengan makanan favoritnya. Tumben, batinnya. Biasanya Bi Asih akan masak sedikit untuknya.
"Bi, kok masaknya banyak?," tanya Zarra.
"Iya, Neng! Kan nanti Bibi pulang malam. Ada pengajian. Langsung sholat isya disana," jawab Bi Asih masih dengan kegiatannya. Zarra menghela napas panjang. Ia menarik kursi dan duduk disana. Mengambil ayam krispi dan menggigitnya. Enak, gumamnya.
"Pengajian ya?," kata Zarra setengah menggumam, seolah untuk dirinya sendiri. Bi Asih mendekat.
"Iya, Neng! Bentar lagi kan ramadhan," kata Bi Asih. Zarra hanya mengangguk tanpa mengerti apa maksud perkataan pembantunya itu.
"Ustadznya siapa?," tanya Zarra lagi.
"Itu ustadz yang sering ada di tivi. Ustadz Adi," jawab Bi Asih. Zarra hanya ber-oh menanggapinya. Tapi sikap Bi Asih membuatnya penasaran. Wanita setengah baya itu tampak antusias sekali. "Ada artisnya juga, Neng! Nanti mau dibahas tentang hijrah gitu, deh," sambung Bi Asih. Zarra termenung.
"Asyik gak ustadznya, Bi?," tanya Zarra lagi.
"Asyik? Aduh, Neng yang namanya ustadz mah ngejelasin soal agama, mana bisa asyik-asyikan?! Ustadz Adi mah jelasinnya itu enak dan jelas banget," jawab Bi Asih polos. Zarra tertawa kecil. Ia bangkit dari kursinya.
"Nah, itu dia yang Eneng maksud, Bibi," ujar Zarra tersenyum sembari berjalan melenggang. Bi Asih hanya bengong. "Bi, nanti bangunin Zarra ya sebelum berangkat. Aku mau ikut," kata Zarra lagi sambil terus berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Bi Asih tersenyum bahagia dan mengacungkan jempolnya. Hatinya bahagia karena majikan kesayangannya itu ikut ke pengajian. Ini adalah peristiwa langka. Pokoknya ia harus mengingatkan Zarra agar jangan lupa ikut nanti sore.
❤️❤️❤️
- Masjid -
Zarra membenarkan kerudungnya untuk yang kesekian kalinya. Ia duduk di barisan agak belakang. Matanya berkeliling melihat situasi pengajian. Ustadz Adi di depan sedang menjelaskan apa itu hijrah. Jujur, kali ini ia merasa malu, seperti salah kostum. Jama'ah yang datang menggunakan kerudung tertutup, sedangkan ia hanya kerudung panjang yang digunakan sekedar menutup kepalanya. Poni depan masih kelihatan, ujung kerudungnya hanya dikalungkan begitu saja di lehernya. Ia juga datang dengan menggunakan celana jeans dan kemeja pink. Ia mencoba untuk tidak peduli dan berfokus pada ceramah yang sedang berlangsung.
"Hijrah itu pada hakikatnya berpindah. Berpindah seperti apa? Berpindah ke tempat yang lebih baik, atau bisa kita artikan berpindah dari yang tidak baik ke yang lebih baik. Berpindah dari gaya hidup yang buruk ke yang diridho'i Allah. Gimana caranya? Kita mulai dari diri kita terlebih dahulu. Apakah harus nunggu hidayah? Tidak! Hidayah itu dijemput ya? Bukan ditunggu! Jama'ah semua berkenan menghadiri pengajian ini saja sudah termasuk hidayah," jelas Ustadz Adi.
Zarra terus mengikuti ceramah dengan fokus. Ia merasa ini adalah kajian yang mengasyikkan. Ustadz Adi menjelaskan dengan baik tentang hijrah, keistimewaan hidayah dan tidak jarang diselingi humor. Dalam kajian ini, mereka juga mengundang salah satu artis yang sudah hijrah, Teuku Wisnu. Pengalaman hijrah dari Teuku Wisnu juga sangat memotivasi. Biasanya ketika mengikuti kajian, ia akan terkantuk-kantuk, tetapi disini justru menyenangkan. Zarra fokus sampai akhir pengajian. Bahkan ia sedikit merasa tak rela kajian ini berakhir.
Seusai kajian dan sholat isya, Zarra dan Bi Asih pun pulang. Dalam perjalanan pulang Zarra banyak merenung. Terutama soal hijrah. Ia terngiang dengan ucapan Ustadz Adi. Beralih pada gaya hidup yang sesuai dengan syari'at Islam. Sebaik itukah? Semenarik itukah? Sampai mereka memutuskan untuk hijrah, batin Zarra. Hatinya terus bertanya dan menimbang.
"Neng, gimana tadi pengajiannya?," tanya Bi Asih membuyarkan lamunan Zarra. Zarra hanya tersenyum dan mengangguk. Tak terasa mereka sudah sampai di depan rumah. Mereka masuk ke dalam rumah. Zarra melipat kerudungnya sambil berjalan. Begitu sampai di ruang makan, ia menarik kursi dan duduk disana. Bi Asih menyodorkan segelas air putih kepada Zarra. Ia meneguknya perlahan.
Bi Asih menatap majikannya itu. Tampak seperti orang yang kelelahan. Padahal ia tak melakukan apapun seharian selain kuliah. Bi Asih tersenyum karena itu pertanda mood Zarra yang sedang tidak baik.
"Mau dibuatin coklat hangat, Neng?," Bi Asih mencoba menawarkan minuman favorit Zarra. Zarra menggeleng. Ia malah menatap Bi Asih dalam-dalam.
"Bi, coba duduk sini," panggil Zarra menunjuk kursi di depannya. Bi Asih mendekat dan duduk di depan Zarra.
"Bi, emmmm...soal pengajian tadi. Kalau ada pengajian lagi, Zarra boleh ikut?," tanya Zarra ragu-ragu. Bi Asih tersenyum.
"Boleh atuh, Neng," jawab Bi Asih dengan logat Sundanya. Zarra tersenyum. Pikirannya kembali kepada isi ceramah tadi. Apakah ia juga harus hijrah? Apa jaminannya jika ia hijrah akan mendapat kehidupan yang lebih baik? atau surga mungkin? Lalu ia harus mulai darimana? Semua pikiran-pikiran itu tiba-tiba menggelayuti kepalanya. Tiba-tiba ia teringat akan sekumpulan mahasiswi yang ia lihat di kantin tadi. Zarra mengenal salah satunya. Yang bercadar, namanya Asyifa. Ia terkenal sebagai satu-satunya mahasiswi bercadar di kampusnya. Apakah perlu ia bertanya pada Asyifa? Bagaimana memulainya? gumamnya dalam hati.
"Bi, jadi deh! Buatin coklat hangat, bawain ke kamar ya?," pinta Zarra sembari melenggang menuju kamarnya. Bi Asih tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah lakh majikannya itu.
❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!