Lily berlari di sepanjang koridor kantornya. Tubuhnya mulai terasa panas. Keringat mulai jatuh bercucuran.
Sesekali Lily mengangkat tangan kanannya untuk melihat waktu saat ini. "What? ... 5 menit lagi!" pekik Lily pelan.
Pintu ruangan rapat itu mulai tampak. Lily memperlambat ritme kakinya. Dia merapikan pakaiannya sambil berjalan ke arah pintu itu. Dia yakin betul saat ini pakaiannya sudah berpindah posisi dari yang seharusnya. Merasa sudah yakin dengan penampilannya. Ia pun berjalan kembali menuju ruang rapat.
Tiba di depan pintu, Lily berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Dia melirik ke jendela disebelah kanannya. Walaupun tidak sejelas cermin, namun ia dapat melihat pantulan bayangan dirinya yang sedang berdiri. Lily ingin memastikan kembali penampilannya sebelum masuk ke ruang rapat yang mungkin sudah di hadiri oleh beberapa orang.
Lily memperhatikan pakaiannya yang sudah rapi. Ketika pandangan matanya beralih ke atas, ia langsung membelalakkan kedua matanya. Rambut yang sudah susah payah di tata nya, bahkan dia rela bangun satu jam lebih awal untuk menata rambutnya. Kini super-duper berantakan. Beberapa helai rambutnya keluar dari jalur yang seharusnya. Bukannya rapi, dia terlihat seperti orang yang baru bangun tidur. Baru saja ia hendak merapikan rambutnya. Tiba-tiba pintu di depannya terbuka.
"Miss Lily, silahkan masuk." Rafa berkata sambil membukakan pintu untuknya. Dia membulatkan kedua matanya ke Rafa. "Dasar kue semprong!" ia merutuki Rafa sambil melewatinya. Ia masih bisa melihat dengan jelas Rafa menahan tawanya.
Rafa menutup pintu dan berjalan menghampiri Lily. "Silakan duduk Miss Lily." Rafa mempersilahkannya untuk duduk dan menyodorkan kursi untuknya. Dia menatap Rafa dengan jengah. Ia sangat heran dengan perlakuan Rafa hari ini. "ish, tumben sopan sekali lu, kue semprong."
Lily duduk dan mulai memperhatikan ruangan. "What? ... Kemana orang-orang?" teriak Lily. Dia sangat terkejut mendapati hanya dirinya dan Rafa yang ada di ruangan itu.
Rafa terkekeh mendengar teriakan Lily. Lily melirik Rafa dan memicingkan kedua matanya. "ish, ternyata gue dikerjai. Tunggu aja lu, kue semprong." ucap Lily dalam hatinya.
Lily mengalihkan pandangannya ke bawah. Dia tersenyum melihat sepasang sepatu yang sangat mengkilap seolah-olah sepatu itu sedang menyapanya. Belum sempat Rafa memindahkan kedua kakinya. Brukkk ... Kaki kiri Lily mendarat dengan sempurna.
"Kau...argh!" Rafa berteriak frustasi melihat sepatunya yang kini terlihat bernoda.
Rafa mondar-mandir didepannya sambil melompat kecil. Melihat tingkah Rafa yang seperti anak kecil, Lily tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Bahkan membuat air matanya keluar.
Dia mengambil tisu diatas meja dan mengelap sepatunya. "Lu tuh ya, sama sekali ngga bisa diajak bercanda." Rafa masih berusaha membersihkan sepatu baru yang benar-benar baru dibelinya, hanya untuk pertemuan hari ini.
"Salah elu, kenapa nelpon gue pagi-pagi, hanya untuk mengerjai gue. Seenaknya saja lu memajukan jadwal rapat hari ini ke pukul sembilan." kesal Lily. Mendengar perkataannya, Rafa berhenti sebentar dan menatapnya. Rafa kemudian menatap jam tangannya dan beralih menatapnya lagi.
"Wah ... elu mecahin rekor baru, Ly. Sejak kapan elu sadar gue ngerjain lu?" Rafa bertanya sambil menaikkan kedua alisnya.
Lily berdiri dari kursinya dan berkata sambil mengangkat kedua bahunya "Entahlah, mungkin disaat elu masuk melewati pintu itu. Udah ah, gue mau ke pantry. Gara-gara elu, gue tadi ngga sempat sarapan." Lily hendak berlalu pergi, namun langkah kakinya kalah cepat dengan gerakan tangan Rafa yang menarik blazernya.
"Eee...eeeee... enak aja maen pergi nie bocah," ucap Rafa.
Lily merasakan badannya tertarik ke belakang dan kemudian terduduk kembali di kursinya. "Apa-apaan sih, Fa? elu itu ...." Belum sempat dia meneruskan kalimatnya, Rafa memberikan kode kepadanya untuk diam dan mendengarkannya.
Rafa menarik kursi dan duduk di sebelahnya dan terdiam cukup lama. Dia tahu betul jika sahabat sekaligus atasannya itu jika ingin menyampaikan sesuatu dan diam begitu lama, itu pasti sesuatu yang sangat penting dan sensitif.
Lily yang tadinya ingin protes kini diam seribu bahasa. Dia tahu apa yang akan diucapkan oleh Rafa pasti bukanlah sesuatu yang bisa langsung diucapkan. Lima menit sudah berlalu dengan diamnya mereka.
"Jangan bilang kalo elu mau ngelamar gue." ucap Lily dengan polosnya.
Pletak ...
Rafa menjitak kening Lily sangat kuat. Lily mengelus keningnya dan meringis kesakitan.
"Eeee... bocah. Nie yaaa... elu dengerin gue. Biarpun di Jakarta stok cewek udah menipis. Ngga bakalan gue jadiin lu bini gue." Rafa tak habis pikir dengan otak sahabatnya yang satu ini. Hingga membuatnya memijat kepalanya yang mulai berdenyut.
"Oh ... No... Is it true (tidak... apakah itu benar), Rafa?" Lily membulatkan kedua matanya dan mulutnya membentuk huruf O yang sempurna.
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari Lily, membuat Rafa bingung. "Apanya yang bener, Lily?".
Ehemmm ...Lily berdehem dan membenarkan posisi duduknya. Dia menggenggam tangan Rafa dan berkata dengan lembut "Rafa, biar bagaimanapun keadaan elu, gue akan tetap disamping lu dan selalu mendukung keputusan lu."
Rafa semakin bingung dengan penjelasan Lily.
"Maksud lu?"
"Lu ... pecinta sesama jenis kan*?"
Rafa sangat terkejut dan langsung berdiri. Wajah tampan Rafa yang putih kini berubah menjadi merah. Lily mendongak dan menatap Rafa. Dia tahu jika wajah Rafa sudah memerah, itu artinya Rafa dalam mode mengamuk.
Belum sempat Rafa berteriak, Lily sudah berlari kearah pintu dan segera menutupnya.
"LILY! argh!", Rafa teriak frustasi mendengar ocehan sahabatnya yang aneh itu.
Lily menutup kedua telinganya. Padahal percuma saja dia melakukannya. Suara teriakan Rafa pasti tidak akan terdengar karena ruangan itu kedap suara. Sadar akan kelakuan konyolnya, dia pun menurunkan kedua tangannya dan terkekeh "Emang salah gue di mana?, tau ah gelap. Mending ke pantry."
Lily melangkahkan kakinya dengan cepat dan tanpa melihat ke depan.
Brruukkk...
Lily menabrak sesuatu didepannya dan bokongnya mendarat sempurna mencium lantai. Dia berusaha berdiri sambil mengelus bokongnya yang sakit. Namun terhenti saat mendongak ke atas.
Dia sangat terkejut melihat seorang pria yang berdiri didepannya. Seorang pria dengan mata biru langit, wajah khas Eropa dan senyuman manisnya. Walaupun kini senyuman itu tak menghiasi wajahnya. Ia terdiam sesaat. Ingin rasanya dia langsung berdiri dan memeluk erat pria di hadapannya ini.
Tapi reaksi pria itu hanya biasa saja. Bahkan hampir tidak bereaksi sedikitpun. Lily dilanda kebingungan yang teramat sangat. Dia terdiam dan berpikir sangat keras. Apa yang terjadi dengan prianya?. Apa perpisahan yang lama ini membuatnya tak lagi mengenal dirinya. Monolognya dalam hati. Saat ini ia sangat sulit untuk mengungkapkan perasaannya.
Rasa cinta, sayang, dan rindu yang teramat kuat bercampur menjadi satu. Rindu menahun yang di tanggung hatinya begitu berat menyebabkan dirinya hampir tidak bisa menguasai indra nya. Hanya indra matanya yang mungkin saat ini bekerja dengan sempurna. Butiran bening mulai merangkak keluar namun masih ditahan olehnya.
Lily sempat tersenyum sekilas dan mengingat kejadian yang baru saja dialaminya sesaat seperti dejavu. Tepat seperti kejadian tujuh tahun yang lalu.
~Hai my lovely readers. Aku ada novel yang recommended banget loh! Yukss mampir ~
Detik berikutnya, pandangan mata Lily mulai berembun. Dadanya terasa sesak. Kenangan akan tujuh tahun yang lalu mulai berlarian di kepalanya.
Flash Back On
Tujuh tahun yang lalu ...
Dari kejauhan, suara bel sekolah sudah berbunyi dua kali. Itu artinya Lily hanya punya kesempatan satu menit untuk sampai di gerbang sekolah. Sebelum pak Amat, satpam sekolah menutup gerbang sekolah dengan sempurna.
Lily mengencangkan ransel di pundaknya dengan kedua tangannya. Tanpa aba-aba, gadis berusia tujuh belas tahun itu berlari sekencang mungkin untuk tepat sampai di gerbang sekolahnya.
"Jangan sampai aku terlambat lagi. Bisa-bisa namaku di coret dari daftar sekolah." gumam nya sambil terus berlari. Padahal mana ada nama dicoret dari daftar sekolah. Hi..hi..hi..
Dari dalam gerbang sekolah, dia bisa melihat dan mendengar teriakan sahabat karibnya yang menyemangatinya untuk segera sampai di gerbang sekolah.
Bel kedua telah usai menjalankan tugasnya. Sekarang bel ketiga mulai berbunyi. Ia semakin kalang kabut mendengarnya. "Awas pak...minggir dek..." teriak Lily sambil berlari.
"Lily! Buruan, dikit lagi!" teriak Rafa sambil menangkupkan kedua tangan ke mulutnya agar Lily dapat mendengar suaranya.
"Lily! Kalo elu telat lagi, hari ini gue ngga jadi traktir lu di kantinnya Bu Kokom, loh." Naya tak mau ketinggalan meneriaki Lily.
Mendengar teriakan Naya, membuat Lily semakin bersemangat. Tepat sebelum bel ketiga berakhir, selangkah lagi dirinya bisa melewati gerbang sekolah. Namun,
Bruk...
Trreeetttt... ceklek...
Bokong Lily sukses mencium aspal bersamaan dengan berakhirnya bunyi bel ketiga, ditutupnya gerbang sekolah, dan dikunci gerbang sekolah oleh pak Amat.
Dia hanya dapat melihat pak Amat menutup gerbang dengan lemahnya. Sedangkan pak Amat memberikan senyuman terbaiknya sambil melambaikan tangan ke arahnya.
"Besok jangan lupa telat lagi ya, Non. Permisi, bapak masuk dulu kedalam." ucap pak Amat, kemudian meninggalkan Lily yang terduduk di depan gerbang.
"Alhamdulillah...selamat uang gue!" teriak Naya. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. "Yuk... Fa, ke kelas!" ajak Naya. Dia menarik lengan Rafa dengan sedikit paksaan.
Rafa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak habis pikir dengan Lily. Bisa-bisanya dia begitu rajin terlambat ke sekolah.
Mendengar teriakan Naya membuat Lily ingin menampol lengan temannya itu. Tapi apa daya tangan tak sampai, dia masih berada di luar gerbang sekolah. "Dasarrrr... temen ngga ada akhlak!" teriak Lily.
Dia berusaha bangkit dari jatuhnya. Ia baru tersadar kenapa dia bisa jatuh di detik-detik terakhir mencapai pintu gerbang. Dia menabrak sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa yang ditabraknya.
Hatinya mulai memanas. Perasaan kesal mulai merasukinya. Ketika dia akan bangkit, sebuah tangan terulur dihadapannya.
Lily mendongak keatas dan menatap seorang pria tampan. Matanya sangat biru seperti langit. Seketika dia merasakan kedamaian disaat menatap mata pria tampan itu.
Pria itu melambaikan tangannya. Lily tersadar dari lamunannya yang sesaat. "Maaf, Nona." pria itu berkata dengan lembut.
Suara pria itu begitu maskulin sehingga membuatnya terbuai mendengar suara pria itu. Namun segera ditepisnya, dia tidak ingin terlihat terpesona oleh pria itu untuk yang kedua kalinya.
Lily meraih tangan itu dan berdiri dengan perlahan. "Maaf sih maaf. Tapi aku telat lagi gara-gara kamu! Mana harus nunggu di depan gerbang selama dua jam." ucap Lily dengan ketusnya.
Padahal didalam hatinya "Oh my God ... mimpi apa gue semalem. Ganteng banget nie cowok. Bule pula, *ish ... kalo tiap hari di tabrak kek gini sih, ikhlas gue*. Telat tiap hari juga rela."
Pria itu melirik Lily dan tersenyum. "Namaku Zack. Zack Alexander." pria itu kembali menyodorkan tangan kanannya untuk berkenalan dengan Lily.
Lily menerima uluran tangannya dengan muka yang dibuat sejutek mungkin. "Lily" jawab Lily sekenanya. Lily pun melerai tangannya. Zack mengangkat sebelah alisnya. " Just Lily, sir. L-I-L-Y" ucap Lily dengan ketus yang dibuat-buat.
Zack tersenyum.
Senyuman yang selalu Lily ingat dan terekam jelas di ingatannya.
Flash Back Off
Namun kejadian kali ini sedikit berbeda. Tidak ada uluran tangan yang melayang dihadapannya.
Lily menatap pria itu dengan bingung. Ada perasaan sayang, rindu, dan marah. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Ia sampai menangkupkan tangan kanan ke dadanya. Dia merasakan detak jantungnya yang sangat tidak normal.
Dia adalah Zack. Kekasih hatinya yang dua tahun terakhir ini menghilang. Kini berdiri tepat dihadapannya dengan sorot mata yang biasa saja. Tidak ada cinta di mata itu. dia dapat melihatnya dengan jelas. Bahkan Zack terlihat tidak mengenalinya sama sekali.
Butiran kristal perlahan turun di pipi mulusnya. Butiran kristal itu meluncur dengan mulusnya tanpa bebas hambatan.
"Maaf, Nona. Apa anda bisa berdiri?" tanya seorang pria yang berdiri di samping Zack. Pria itu adalah asisten Zack yang bernama Leon.
Bukannya Leon tidak ingin membantu Lily. Di saat wanita itu menabrak tuannya. Leon ingin segera membantunya. Tapi tuannya melarangnya. Leon bingung dengan perilaku tuannya itu. Selama ini Zack sangat hangat dengan siapapun. Tapi hari ini berbeda.
Lily tersadar dengan pertanyaan pria di samping Zack. Pikiran rasionalnya mulai kembali, Untuk apa aku menangisinya. Dia saja terlihat tidak peduli bahkan tidak mengenaliku. Ia menepis semua air matanya dan berdiri perlahan.
Lily berusaha mengatur napasnya agar stabil kembali. Dia tidak bisa berkata-kata. Dia hanya mengangguk dan setengah berlari meninggalkan Zack dan pria disampingnya.
Leon melihat kepergian Lily dengan penuh tanda tanya. "Bukankah hanya tertubruk saja. Mengapa dia sampai menangis seperti itu?." Leon bergumam pelan sambil melihat tubuh tuannya dari atas ke bawah.
Zack menaikkan sebelah alisnya. "Aku hanya heran tuan, apa tubuhmu hari ini terbuat dari batu sampai dia menangis?" ucap Leon dengan santainya.
Pletak
Zack menjitak kening Leon dengan keras. "Auw...tuan...kenapa malah menjitak keningku?". Leon mengusap keningnya dengan perlahan. Bukannya menjawab, Zack malah melangkahkan kakinya menuju ruangan yang akan ditujunya. Melihat tuannya pergi. Leon hanya bisa menyusul sambil mengelus keningnya.
...✳️✳️✳️...
Pantry
Setibanya di pantry, Lily kembali menangis sejadi-jadinya. Untung saja saat ini pantry sedang kosong sehingga ia tidak khawatir terlihat dengan yang lainnya.
Lily bingung. Perasaannya seperti menguap. Pria yang dicintainya melupakan dirinya. Bertahun-tahun dia menanggung beban rindu di hatinya. Jangankan sambutan hangat, tatapan hangat pun nihil dia dapatkan dari pria itu.
Tok ... tok ... tok ...
Suara pintu pantry yang diketuk membuat Lily tersadar. Dia berusaha mengatur napasnya dan mengelap sisa air matanya. Merasa sudah bisa menstabilkan kembali dirinya, ia berjalan ke arah pintu pantry dan membukanya.
Rafa berdiri tepat dihadapan Lily. Rafa bisa melihat dengan jelas muka sembab Lily. "Gue masuk ya?" tanya Rafa dengan pelan.
Lily tersenyum dan memberikan jalan kepada Rafa untuk masuk kedalam pantry "Kalau gue bilang engga juga, lu tetep bakalan masuk." ucap Lily. Suaranya terdengar sangat serak setelah menangis.
Rafa berdiri di sisi meja. Rafa merasa kasihan dengan keadaan sahabatnya. Rafa pun merentangkan kedua tangannya.
"Uch, tayang...tayang...sini-sini, acian," ucap Rafa yang sengaja di cadelkan seperti anak kecil.
Bukannya mendapat pelukan kembali dari Lily, yang ada Lily malah melemparnya dengan bantal kursi. "ish, ngga rela gue dipeluk sama elu." jawab Lily dengan ketusnya.
"Nah ... gitu donk. Udah bisa marah. Kan abang Rafa jadi tenang." ucap Rafa sambil tersenyum.
"What? Abang? Ngga salah ya telinga gue dengernya?" pekik Lily sambil memukul-mukul lengan Rafa.
Rafa menangkis serangan Lily dengan tangannya. Sadar akan kekonyolan yang mereka lakukan, mereka pun tertawa.
"Gimana? udah enakan?" tanya Rafa. Dia menepuk pelan pundak Lily.
Lily melirik Rafa sesaat "Apanya yang enak, Fa?" Lily balik bertanya pada Rafa.
Menghadapi sahabatnya yang satu ini memang harus ekstra sabar. Rafa sampai menghela napasnya dengan kasar. "Itu hati. Udah baikan belom?" jawab Rafa.
"Ooh...!" Lily menjawab sekenanya.
Mendengar jawaban Lily yang hanya ber-oho saja membuat Rafa menepuk jidatnya sendiri. "Lu ... kenapa, Fa? ada nyamuk emang di jidat lu?" Lily malah balik bertanya pada Rafa.
Rafa menghembuskan kembali napasnya dengan panjang. "Tau deh, Ly !... gue kadang bingung sama elu," ucap Rafa. Dia berjalan ke arah dispenser untuk mengambil air putih. Kemudian kembali berdiri di samping Lily.
Dengan santainya Rafa meminum air putih yang tadi diambilnya. Lily terkejut dengan kelakuan temannya yang absurd ini. Lily pun membelalakkan kedua matanya ke Rafa. "Bener-bener dahhh...!" gerutu Lily. Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi saat melihat Rafa meminum air putihnya hingga habis, dan diakhiri dengan suara 'aaahhh'.
Rafa meletakkan gelas kosongnya di atas meja di samping kursi. "Apa nya yang bener?" Rafa balik bertanya ke Lily.
"ish ... elu tu paling pandai kalo udah balikin kalimat orang," jawab Lily kesal. Di saat dirinya sedang meratapi kesedihannya, Rafa justru membuatnya semakin kesal.
"Lahhh...kan gurunya elu? amnesia ya, Non?" goda Rafa. Rafa sengaja menggoda Lily agar sahabatnya itu tidak terlalu larut dalam kesedihan.
Mereka berdua saling berpandangan dan tertawa bersama lagi.
"Udah ah, Fa...Makin ngga jelas deh kelakuan kita berdua. Yang lagi patah hati tuh gue. Elu jangan ikut-ikutan aneh." ucap Lily sambil menghela napasnya. Dia kembali terdiam sambil menatap ke lantai.
Melihat sahabatnya yang kembali terdiam, membuat seorang Rafa tak tinggal diam.
"Eh...Ly...gue ada tebak-tebakan. Kalo elu bisa jawab entar gue traktir selama satu Minggu," pancing Rafa.
Lily menoyor kening Rafa dengan jari telunjuknya. "Emang lu ya... temen lagi susah hati, malah diajak maen tebak-tebakan," ucap Lily. Dia semakin geram dengan tingkah Rafa.
"Mau ngga ni? Jangan sampe gue cabut ni traktiran satu Minggu," tanya Rafa sambil merebahkan dirinya di kursi.
Lily terdiam sesaat dan tak lama kemudian mengangguk tanda setuju. "Tapi ... beneran kan Fa? Awas kalo lu boong. Gue bikin perusahaan Lu kek kapal pecah." ancam Lily ditambah dengan membelalakkan kedua matanya.
"Kapan gue ingkar sama elu ? yang ada elu kali," ucap Rafa tak mau kalah.
"Ya udah, buruan sebutin tebak-tebakannya!" protes Lily.
"Lu kan pintar ni diantara kita bertiga. Nah...gue tanya lu. Apa bahasa Inggrisnya 'pintu'?" tanya Rafa memulai tebak-tebakannya.
Mendengar pertanyaan Rafa, Lily langsung menepuk jidatnya. "Itu sih anak TK juga tau. ya 'door' la," jawab Lily dengan cepat agar permainan tebak-tebakan Rafa segera berakhir.
"Pinter. Kalo bahasa Inggrisnya 'buka pintu' ?" tanya Rafa yang semakin bersemangat.
"Open the door," jawab Lily cepat.
"Kalo 'tutup pintu' apa bahasa Inggrisnya?" tanya Rafa yang semakin antusias.
"Ya amplop...ini belom selesai lagi Fa?" tanya Lily yang semakin tidak sabar dengan ke absurd-an Rafa.
"Udah jawab aja," balas Rafa dengan ketus.
"ish, iya ...iya . Close the door. Puas bapak Rafa Ahmad?" hati Lily malah semakin panas karena tingkah Rafa. "Oh God ... Untung hati ini kuat," ucapnya dalam hati sambil mengelus dadanya.
Rafa semakin tersenyum melihat tingkah Lily. Rafa sangat yakin jika sahabatnya itu sudah mulai membaik. Terlihat dari Lily yang menanggapi kekonyolannya. "Nah...ini yang terakhir ni," ujar Rafa.
"Bener ya Fa. Terakhir. Udah lelah hayati gue, Fa," Lily berkata lembut dengan nada yang di buat-buat.
Rafa tertawa pelan dan mulai mengajukan pertanyaannya yang terkahir. "Apa bahasa Inggrisnya 'pintu yang ngga di buka-buka'?"
Rafa tersenyum dengan puasnya. Rafa sangat yakin kalo Lily pasti tidak akan tahu jawabnnya. "Gue yakin nie, Lu pasti ngga bisa jawab," ucap Rafa dengan percaya diri.
Mendengar ucapan sahabat absurdnya itu membuat Lily semakin ingin cepat menjawabnya "GEDOOR ... GEDOOR," ucap Lily dengan lantangnya.
Rafa yang tadinya menertawai Lily, malah dibuat kaget oleh jawaban Lily. "What?...kok elu tau jawabannya, Ly?" tanya Rafa sambil berdiri dari duduknya.
Lily menarik kedua alis matanya dan sambil berkata "Lu sendiri yang bilang kalo gue itu pintar," jawabnya sambil tersenyum menahan ketawa.
"Iya, lu emang pinter. Tapi kan itu ngga ada di pelajaran jaman SMA dulu," ucap Rafa penasaran.
Lily tersenyum lebar "Makanya kalo mau buat tebak-tebakan itu yang gue ngga tau," seloroh Lily sambil menepuk pundak Rafa.
Rafa menatap Lily dengan tajam. "Jangan bilang waktu gue nonton acara lawak di TV, Lu juga nonton." tanya Rafa.
Lily tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya karena mendengar ucapan Rafa. Rafa terlihat kesal dan memanyunkan bibirnya. Tapi, Rafa merasa lega melihat Lily tertawa lepas. Ngga apa deh, yang penting elu udah ketawa lagi Ly, ucap Rafa dalam hati.
Lily akhirnya kelelahan karena menertawai kekonyolan sahabatnya. "Makasih ya, Fa. Gue tau kok elu berusaha menghibur gue." ucapnya dengan tulus. "Tapi traktiran seminggu gue tetap jalan lohh ya!" Lily berkata dengan penuh penekanan.
Rafa berusaha menelan salivanya. "Mampus gue!," ucapnya dalam hati. Rafa hanya bisa pasrah menjalani satu Minggu ke depan. Rafa sudah paham dengan sifat Lily. Jika sudah di traktir pasti selalu melebihi apa yang sudah dijanjikan.
Rafa jadi teringat dengan kejadian dua bulan yang lalu saat Rafa kalah taruhan dengan Lily. Rafa harus mentraktir Lily selama tiga hari berturut-turut. Perjanjian awal hanya 'makan siang'. Alhasil, Lily malah merampoknya dengan 'makan pagi, makan sore , dan makan malam'. Rafa ingin protes tapi tetap saja kalah telak dengan Lily. Bagaimana tidak, yang Lily perdebatkan hanya kata 'makan', itu berarti mencakup semua makan. Terus sekarang malah satu Minggu. "Bener-bener jebol dah dompet gue," pekiknya dalam hati.
"Kenapa, Fa? Lu nyesel ya?" tanya Lily dengan wajah yang sengaja diimutkan. Rafa malah bergidik geli melihat kelakuan Lily.
"Ya enggak lah. Buat sahabat gue apa sih yang engga," ucap Rafa. Padahal di lubuk hatinya yang terdalam, Rafa ingin menangis dan berteriak.
"Ehhh...elu kok disini? Bukannya tadi lu ada meeting ya?" tanya Lily. Dia baru teringat jika Rafa ada meeting hari ini.
"Ngga jadi. Gue pending," jawab Rafa dengan malas.
"Loh ..kok di pending ,Fa?" tanya Lily dengan bingung sekaligus penasaran.
Rafa mengangkat dagunya sedikit ke arah map yang masih berada di tas Lily. "Tuh...berkas proyeknya sama elu. Gimana mau lanjut meetingnya," terang Rafa sambil menunjuk ke arah tas Lily.
Lily melihat tas nya. Map biru itu masih menggantung rapi di tasnya. Kemudian tiba-tiba dia teringat apa yang ingin disampaikan Rafa tadi pagi kepadanya.
"Jadi, tadi pagi itu lu mau bilang kalo hari ini kita meeting sama Zack?". Lily sangat terkejut dengan kenyataan itu.
Rafa menjawab dengan anggukan dan kembali menanyakan keadaan Lily. "Jadi, lu gimana? Is it okay (apakah baik)?"
"Kenapa lu ngga bilang dari kemaren, Fa?" sesal Lily.
"Gue aja baru tau pagi ini. Makanya gue telpon Lu pagi-pagi agar gue ada kesempatan buat ngabarin lu." terang Rafa.
Lily hanya terdiam mendengar penjelasan Rafa. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar. "Jujur, jiwa raga gue lelah, Fa." tutur Lily.
Rafa berdiri dan menepuk pundak Lily perlahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!