NovelToon NovelToon

MISTERI CINTA THE CARTWRIGHT’S

BAB I

‘Suti…bangun, cepat sudah siang. Apakah kamu tidak sholat subuh? Ayo segera bangun!’

Aku tersentak dan duduk linglung, menoleh kiri kanan dalam kegelapan kamar yang tak

berujung. Sebelum akhirnya sudut netraku menangkap pergerakan orang lain dalam

selimut lurik di atas tempat tidurku.

‘Ouch! Brengsek’ aku mengumpat dalam hati.

Ternyata hari masih terlalu larut untuk menjalankan rutinitas pagiku.

Aku yang melihat banjir besar dengan air kotor bergulung-gulung

disekitarku serta tanpa sengaja netraku menatap begitu banyak

ikan yang timbul tenggelam di dalamnya. Dan aku yang semula berada di pinggir

tahu-tahu ikut terseret, timbul tenggelam dalam arus deras sungai kotor dan berombak besar itu.

‘Bagaimana bisa?’ batinku bertanya-tanya.

Ketika aku sudah tak mampu bernafas dengan baik dalam kubangan itu, ada dua

ikan hitam besar menyelusup dari bawah permukaan air dan menyodorkan siripnya

untuk kujadikan pegangan serta membimbingku ke pinggiran dengan selamat.

Tanpa sengaja ku melihat ikan-ikan tadi yang

terseret arus, berlompatan menyelamatkan dirinya keluar dari air. Ada yang

hidup pun banyak yang mati diterjang arus air deras itu.

‘Hei!’ aku menjerit. Ketika kesadaranku

mencapai sempurna. Bukankah sinar mata mereka mirip seseorang. Ya….seseorang

yang mencuri hati dan perasaanku beberapa hari ini.

Dan ‘heeemfh’ bukankah yang membangunkanku

dari mimpi tak bertepi tadi mas Mukharom, teman satu kelasku. ‘Bagaimana bisa?’

Jeritku dalam hati. ‘Itu sangat-sangat tidak mungkin?’

Di kampus.

‘Pagi, Suti!’ sapaan dari Padmi nyaring terdengar.

‘Pagi’ Jawabku

‘Bagaimana, sudah ada judul yang akan kamu ajukan ke pak Fadli?’

Aku hanya mengerjap kebingungan dengan pertanyaan itu. Situasi yang sama dengan minggu kemarin.

‘What the hell situation?’ bagaimana bisa aku menjawabnya

sedangkan aku tak punya gambaran apapun di otak kecilku ini.

Betul-betul buntu. Kulihat sebelah Padmi ada kak Ester yang telah siap dengan

berkas-berkas proposal dan siap untuk diajukan. Betapa nelangsanya perasaan ini.

Tergesa kudekati mereka yang menunggu giliran

untuk konsultasi di depan pintu kantor. Gumaman tidak jelas kulontarkan seiring

dengan hembusan napas besar, sekedar pelepas rasa gusar atas ketidak mampuanku

dalam menentukan judul yang sederhana pun.

‘Ouh dunia yang kejam’, batinku bersuara lagi.

Berkali-kali kugelengkan kepala seolah mengusir penat dan lelah yang

berhari-hari ini kurasakan, semenjak aku mengalami mimpi yang aneh kemarin.

Hari ini sama dengan berlalunya alur cerita

yang tak usai, ku lalui dengan berbagai macam perjalanan yang berbeda, tapi aku

masih tetap disini berdiri di sisi ketidak berdayaanku atas kesulitan seperti

hari-hari kemarin. Ketika kudengar celetukan dari kak Ester yang seolah

mengerti dengan kebingunganku.

‘Meskipun bingung, aku tetap mengajukan judul

penelitian ini. Dan aku berusaha untuk merealisasikannya dalam sebuah tesis’.

Aku tersentak, sebelum akhirnya menjawab, ’punya

rekomendasi judul buatku, tidak?’ tanyaku penuh antusias.

‘Ada, tapi keluarkan idemu dulu, kamu mau meneliti apa?’

‘Eehhmmmm, apa ya’, sekilas pikiranku melayang

ke berbagai macam permasalahan yang selama ini kuhadapi ketika mengajar di

kelas.

Dan ‘bingo!’ ide itu melintas begitu saja di otak ku.

‘Bagaimana dengan The Difference achievement between the student with the English background and those who don’t have any background?’ jawabku.

‘Oke, tampaknya bagus. Tapi jangan hanya

mengajukan satu, kuatirnya nanti ditolak. Coba buat judul yang lain juga’.

‘Hadeeww, keluhku. ‘Aku nyerah deh kak, mana

mungkin otak minimalisku ini punya alternative judul yang lain. Bagaimana kalau

kak Ester saja yang buatkan?’

‘Kamu itu, Suti…..Suti. Tetap saja dari dulu’,

ditoyornya kepalaku pelan.

Sedangkan aku hanya cengengesan. Meskipun

dengan berat hati kak Ester tetap membuatkanku dua judul yang bagus sambil menjelaskannya

panjang lebar. Aku hanya manggut-manggut seolah mengerti padahal tidak sama

sekali. Karena semenjak mimpi itu kepalaku selalu terasa berat seolah ribuan

karung goni bersarang di atasnya. Sungguh muak aku dengan rasa ini.

BAB II

Dengan langkah mantab ku menuju ruang sidang,

ada tiga dosen yang siap mencaci maki thesis ku. Gemetar rasa tubuh ini,

ketakutan? Tentu saja. Aku merasa seperti anak kucing yang tersiram air,

ringkih dan mengenaskan. Namun semuanya berjalan dengan lancar,

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dosen penguji, kubabat habis dengan

argument-argumen yang mengena. Hingga ******* napas lega keluar dari bibir

mungilku. Saat dosen kilerku berkata,

‘Baiklah kamu boleh meninggalkan tempat ini,

tunggu hasilnya di depan ruangan!’

‘Terima kasih pak,’ angguk ku sopan.

Tepat jam lima sore pengumuman itu kuterima

dengan suka cita pun teman-teman yang kebetulan satu sesi denganku. Gurat-gurat

kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Tuntas sudah tugas kami, usai sudah

beban berat yang kami rasakan selama ini. Tertebus dengan satu kata ‘lulus’

Saat ku melompat-lompat kegirangan di sudut

lantai dua dekat ruang sidang. Dia lewat, pria yang selama ini mengisi

hari-hari serta mimpiku. Aku terhenyak ketika secara tidak sengaja netraku

bersirobok dengannya. Pun saat dia melengos kesamping dan menghembuskan

napasnya keras, serta rahangnya mengetat sempurna.

‘Apakah dia masih marah?’ batinku. Aku pun

menunduk ketika dia lewat di depanku bagai angin lalu. Seolah tak menganggap

aku tak ada. ‘Mengapa apa salahku?'

(satu bulan yang lalu)

‘Suti….ada tamu tuh’, anak ibu kos ku

memanggil dari balik kelambu kamar.

‘Siapa, mbak?’

‘Gak tahu, katanya sih teman satu kelas mu’.

‘Sudah mbak tanya, namanya siapa?’ jawabku

dengan mengerjap-ngerjapkan mata jenaka.

‘Mana tahu lah, kayaknya sih bukan teman satu

kelasmu deeh. Kalau iya kan aku tahu dan kenal semua’.

‘Laki-laki apa perempuan’, tanyaku lagi dengan

rasa malas.

‘Laki-laki, cepat temui sana. Kayaknya dia

sudah tidak sabar. Tuh lihat saja ekspresinya. Kebingungan dan gelisah’.

‘Hah! Jawabku. ‘Perasaan aku tidak janjian

dengan seseorang. Apalagi teman satu kampus. Jangan-jangan seperti kemarin?’

perasaanku kebat-kebit tak karuan membayangkan kejadian kemarin. Ketika ada

sesorang yang mengaku kenal denganku bahkan meng-klaim dirinya kekasihku. Serta

edannya lagi dia berkata ‘kekasih dari masa laluku’.

‘Gawat!’ di saat hubunganku dengan mas Hendri

tidak berjalan dengan mulus. Karena hadirnya ‘Widya’ gadis ganjen dari kelas

pagi. Yang terus merangsek dan memporak-porandakan hubungan kami. Apalagi saat

netraku secara tidak sengaja melihat gadis itu bermanja-manja di lengan Hendri

seusai jam kuliah berlangsung. Sangat mesra.

Sementara dia yang mengaku sebagai kekasihku

membalasnya dengan tersenyum manis, seolah memberi si ganjen itu sejuta

harapan.

‘Dasar pelakor tak tahu malu!’ hardik ku dalam

hati.

Mataku memerah, tanganku mengepal. Ingin saat

itu juga ku cakar-cakar wajah cantiknya itu. Ku tendang dengan jurus silat ku.

Sehingga dia tersungkur dan berdarah-darah. Tapi apalah dayaku. Ini lingkungan

kampus dan aku tidak boleh bertindak sembrono. Atau nama baik Hendri tercoreng

dari mahasiswa terbaik dan instansi tempat dia bekerja.

‘Yaah…’dia ambil kuliah sore karena paginya

harus bekerja sebagai seorang teknisi mesin di perusahaan penerbangan. Pernah

sedikit dia mengungkap jati dirinya, jika kuliah yang saat ini dijalaninya

hanya sebagai prasayarat untuk menuju ke jenjang jabatan yang lebih tinggi. Aku

maklum.

Sebulan kemudian.

Hinggar binggar malam pentas seni wisuda,

masuk ke telinga. Ika, sahabatku, sudah manggut-manggut goyang kiri kanan

mengikuti irama lagu kegemarannya, seandainya saja tak ku ikat pinggang ia

dengan selendang tari yang kubawa dari tempat kos siang tadi, mungkin dia sudah

jingkrak-jingkrak seperti orang kesetanan.

Netraku melirik setiap pergerakan bestie ku

ini.

‘Wow’ sungguh tak punya lara sedikitpun dalam

hidupnya. Bahagia terus sampai tua! Padahal baru sebulan yang lalu dia putus

dengan kekasih hatinya yang arema itu. Tapi anehnya tak sedikit pun rasa sedih

tercetak di wajah semi Arabnya nan cantik menawan.

Kutoleh kan pandangan ke penjuru aula serta

kesetiap sudut ruangan nan remang-remang, tapi tak kutangkap siluet ‘Hendri’,

dimana dia?’ batinku. Ketika rasa lelah merasuk ke dalam raga dan jiwaku, aku

hanya mampu menunduk dan menyimpan tangis dalam hati.

‘Betapa bodohnya aku, yang setiap hari

disetiap ******* napasku, masih berharap dan bergantung padanya’.

‘Woii, kamu mulai gila ya’, teriak Ika dekat

telingaku.

‘Hadeew, bisa ngak pakai teriak begitu. Aku

tidak tuli tau!’

‘He…..he….syukur deh, kirain udah gila. Habis

ngedumel sendirian sedari tadi. Ngapain loh, mbayangin si Hendri lagi. Sudah

gak usah dipikir, nikmati saja hiburan malam ini. Dugem, girl! Kapan lagi kita

bisa menikmati malam pentas nan menyenangkan ini. Bentar lagi kita akan disibukan

dengan pekerjaan dan karir’.

‘Oh ayolah, Suti, jangan cengeng, please! Move

on! Masih banyak tuh cowok-cowok yang nganggur di luar sana untuk kita gebet,

okay’, rayunya lagi menghibur.

‘Malas, ah! Paling sama kayak dia, nyakitin

hati’.

‘Kalau malas ya tidur aja sono! Bikin tai mata

sebanyak mungkin!’

‘Tidur di atas panggung, gila lu ya. Bisa

dilempar tomat gue, sama penonton. Apalagi anak FPOK tu, pada beringas kalau

dengar lagu kesukaan mereka. Lu lihat ngak, sebelah sana! Si Yono sama Hari,

haduuh, goyangannya sampai segitunya. Senggol kanan kiri, untung mereka satu

kelas kalau tidak, sudah dilempar ke ruang sebelah tu anak’, aku bergidik ngeri

membayangkannya.

‘Udah, ngak usah dipikir. Nikmatin aja girl,

malam terakhir kita di kampus nih’, kata Ika lagi sembari geleng-geleng

mengikuti musik yang di panggung.

‘Eh, Suti, lihat tuh, siapa yang lagi tampil.

Idolamu neeek! Wuuuuuh!’

‘Oh, dasar makhluk tak ber akhlak’, umpatku

dalam hati. Ketika sosok itu muncul di panggung. Cinta pertamaku di kampus. Tapi

aneh, tak ada yang berkesan dalam hubungan kami yang terjalin selama setahun.

Tahun pertama yang penuh canda dan tawa dengan

gaya berpacaran yang kuno serta konvensional. Yakni jalan bersama, makan-makan

dan tak pernah ada kemesraan selayaknya sepasang kekasih.

Aku sedikit tersenyum mengingat momen

tersebut. Seolah mengerti dengan sinyal yang aku lontarkan. Jodi menatap

sebentar ke arahku sebelum ia memulai pertunjukannya.

Teriakan histeris dari ciwi-ciwi jurusan

Bahasa dan keuangan memenuhi ruangan mengiringi penampilannya. ‘Sungguh-sungguh

idola sejati’.

BAB III

Rinai hujan rintik-rintik yang seperti

dicurahkan dari langit tertangkap dalam netraku. Aku menunduk semakin dalam

memandangi aliran air di jalan raya. Kuhela nafas keras-keras untuk mengusir

penat dan lelah tubuh ini. Tapi hal itu tak mampu mengusir rasa jengkelku

setelah seharian ini, aku disibukan dengan urusan kantor.

Pikiranku menerawang ke kejadian tadi pagi,

ketika menemani sang bos menemui klien di restoran hotel ‘Daun’.

‘Suti, sudah kau bawa semua file yang akan

kita presentasikan hari ini?’

‘Sudah, pak. Semuanya lengkap,’ jawabku masih

menjinjing laptop di tangan kiriku.

‘Ehm, baguslah’, sahutnya.

Kulihat dia sedikit gugup saat mengambil sapu

tangan dari saku celananya serta mengusap peluh yang mulai bercucuran di

sekitar dahi dan dagu.

‘Aku harap kau nanti tidak mengecewakannya. Orangnya sangat sulit ditebak dan

pemarah. Aku dengar dari rekan-rekan sesama pebisnis bahwa ia tidak menoleransi

sekecil apapun kesalahan yang dibuat oleh orang disekitarnya’.

‘Kamu tahu, Suti? Beberapa hari yang lalu, Arman kena damprat beliau dan proposal

kerjasama yang dia ajukan langsung dilempar di tong sampah. Gara-gara hanya

berbicara sedikit belibet pada saat presentasi. Padahal dia membawa Selly,

sekretarisnya yang sexy dan bahenol itu. Pun pada saat selesai presentasi ia

mencoba mendekatkan diri dengan cara yang kamu tahu lah si Arman itu, dia akan

menggunakan segala cara agar proyeknya goal’, jelasnya lagi panjang lebar

sambil sesekali mengusap peluh di dahinya yang tampak semakin deras mengalir

dari dahinya yang semakin lebar.

Aku bergidik ngeri membayangkan kata segala

cara yang digunakan oleh bos ku ini.

‘Tapi pak Yono, tidak akan menjual saya kepada

orang ini kan?’

‘Hus, ngomong apa kamu! Aku masih waras untuk

tidak melakukan hal seperti Arman. Aku juga seorang ayah dan kakek dari satu

cucu. Anak perempuanku dapat suami orang baik-baik meskipun mereka hidup

sederhana. Suaminya yang lulusan pondok itu pekerjaanya diperoleh dengan cara

halal. Bahkan aku yang setua ini belajar banyak ilmu agama dari dia. Kamu tahu,

Suti? Katanya kembali. Anak semata wayangku tak mau menerima sepeserpun bantuan

yang kuberikan, walau hanya uang saku buat cucuku’.

‘Dia malah berkata,’simpan saja uang itu buat

ayah. Siapa tahu nanti ayah butuh buat berobat. Kami tidak membutuhkannya,

nafkah dari mas Pepeng sudah lebih dari cukup’, selalu itu yang dia ucapkan.

Aku sangat bersyukur sekali punya mereka. Dan aku harap kerjasama ini berhasil

sehingga aku punya bonus yang banyak dari perusahaan untuk tunjangan pensiunku

nanti’.

‘Amiin ya rabbal alamiin’, sahutku dengan

penuh semangat. Bergegas kami menuju ruang meeting dari hotel “daun” yang

terletak di lantai dua.

‘Ting’ pintu lift pun terbuka tepat di lantai

yang kami tuju.

Di sudut ruangan, tampak dua orang berbadan

besar serta berseragam hitam berdiri tepat depan pintu ruang yang akan menjadi

tempat meeting. Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, aku yakin mereka

adalah bodyguard pribadi dari ‘Mr. J’.

‘Eits….tunggu. Nama itu mengingatkan pada

panggilan yang sering kugunakan dulu pada saat menjalin kasih dengan seseorang.

‘Ah tidak, mungkin inisialnya saja yang sama.

Mana mungkin dia mau berkecimpung di dunia bisnis yang kejam ini. Dia tidak

pernah serius, kan?’ monologku lagi.

Aku terkesiap ketika memasuki ruangan. Kutata

lagi degup jantungku yang tak karuan.

‘Kok bisa dia sih? Jadi Mr. J yang terkenal

sadis itu dia’, monologku dalam batin.

Pembukaan rapat yang dilakukan oleh Andrew,

asisten pribadinya terasa panjang dan lebar. Fix, dia orangnya detil dalam

memaparkan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban peserta tender kali ini.

Wajah-wajah antusias dari perwakilan berbagai perusahaan yang bergerak di

bidang jasa hotel dan travelling memenuhi setiap sudut ruang meeting nan luas.

Sebentar netraku melirik kearah Mr. J, dia

tampak dingin dan acuh. Wajah tampan dan rambut klimisnya, terasa aneh bagiku.

Tatapan tajam dan membunuh, milik ia, membuatku bergidik ngeri. ‘Apa yang

membuatmu berubah, Jay?’ pikirku berkata.

Kuhela napas agar mampu mengurangi kegugupan

saat aku kan maju presentasi proposal perusahaan kami. Kulihat dijajaran kursi

depan, pak Yono, mengacungkan ibu jarinya, seolah memberiku amunisi tambahan

untuk mentalku yang mulai rapuh, ketika melihat Jay di depan sana.

‘Semangat, Suti. Kamu harus bisa memenangkan

tender ini, demi kelangsungan perusahaan dan para karyawan. Ingat mereka

tergantung denganmu!’ gumamku pelan.

Kubagi print out proposal kepada Andrew,

sesaat dia berjalan kearah bosnya dan sedikit berbisik, kulihat Jay mengangguk

tanpa ekspresi. Kurasakan kadar kegugupanku meningkat. ‘Semoga presentasiku

lancar, bantu aku ya Allah’, doaku pelan.

Aku mengangguk sopan, sesaat setelah

presentasi panjang kulakukan. Sementara disana kulihat ‘Jay’ mengepalkan tangan

kirinya. Sedangkan tangan yang digunakan untuk memegang proposal sedikit

terangkat ke udara. Dag dig dug perasaan ini, hatiku semakin menciut melihat

hal tersebut. ‘Please, Jay. Beri kesempatan pada perusahaan kami’, netraku

terpejam serta sedikit meremas kedua tanganku. ‘Semoga ada keajaiban’.

‘Andrew!’ bentaknya memenuhi ruang.

‘Ya bos’.

‘Buang sampah ini ke tempatnya!’ Bubarkan

mereka, hanya buang-buang waktuku saja!’

‘Siap bos’.

Aku hampir menangis melihat hal tersebut. Pun

pak Yono, mulai mengelap peluh yang bercucuran di dahinya. Senyum itu terlihat

sedikit kecut. Aku salah tingkah memandang beliau. Netra kami beradu pandang

seolah mengerti. Dia hanya angkat bahu seolah pasrah dengan takdir kami. Dengan

secepat kilat kubereskan laptop dari meja. Sedikit berlari kuhampiri Andrew.

‘Mr. Andrew, please! Tolong pertimbangkan lagi

proposal perusahaan kami’.

‘Hemmm, tergantung si bos, nona. Aku hanya

seorang pekerja disini’.

‘Jay!.......eh maaf, Mr.Jay. Tak bisa kah anda

meluangkan waktu barang sebentar untuk melihat proposal kami?’. Dia menoleh,

serentak semua orang dalam ruangan itu menghentikan aktifitasnya. Dengan penuh

kekuatiran mereka menantikan responnya.

Ia melihat wajahku sekilas kemudian

memandangiku dari ujung rambut sampai sepatuku. Sejurus kemudian menatap dadaku

sedikit lama. ‘ehem, itu tergantung dengan performamu, nona’, bisiknya di

telingaku.

‘Dasar mesum, bajingan’, kutendang dengan

jurus kungfuku baru tau rasa kau. Otak miring!’ tentu saja kata-kata itu hanya

ada dalam pikiranku. Sedangkan aku sedikit tersenyum dengan tingkah lakunya.

‘Brengsek!’, umpatku pelan sebagai balasan atas tingkah lakunya.

Jay tampak santai serta melangkahkan kakinya

menuju keluar ruangan bersama Andrew di belakangnya. Di lorong aula, Andrew

mengacungkan jempolnya ke arahku. ‘Apa maksudnya?’

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!