‘Suti…bangun, cepat sudah siang. Apakah kamu tidak sholat subuh? Ayo segera bangun!’
Aku tersentak dan duduk linglung, menoleh kiri kanan dalam kegelapan kamar yang tak
berujung. Sebelum akhirnya sudut netraku menangkap pergerakan orang lain dalam
selimut lurik di atas tempat tidurku.
‘Ouch! Brengsek’ aku mengumpat dalam hati.
Ternyata hari masih terlalu larut untuk menjalankan rutinitas pagiku.
Aku yang melihat banjir besar dengan air kotor bergulung-gulung
disekitarku serta tanpa sengaja netraku menatap begitu banyak
ikan yang timbul tenggelam di dalamnya. Dan aku yang semula berada di pinggir
tahu-tahu ikut terseret, timbul tenggelam dalam arus deras sungai kotor dan berombak besar itu.
‘Bagaimana bisa?’ batinku bertanya-tanya.
Ketika aku sudah tak mampu bernafas dengan baik dalam kubangan itu, ada dua
ikan hitam besar menyelusup dari bawah permukaan air dan menyodorkan siripnya
untuk kujadikan pegangan serta membimbingku ke pinggiran dengan selamat.
Tanpa sengaja ku melihat ikan-ikan tadi yang
terseret arus, berlompatan menyelamatkan dirinya keluar dari air. Ada yang
hidup pun banyak yang mati diterjang arus air deras itu.
‘Hei!’ aku menjerit. Ketika kesadaranku
mencapai sempurna. Bukankah sinar mata mereka mirip seseorang. Ya….seseorang
yang mencuri hati dan perasaanku beberapa hari ini.
Dan ‘heeemfh’ bukankah yang membangunkanku
dari mimpi tak bertepi tadi mas Mukharom, teman satu kelasku. ‘Bagaimana bisa?’
Jeritku dalam hati. ‘Itu sangat-sangat tidak mungkin?’
Di kampus.
‘Pagi, Suti!’ sapaan dari Padmi nyaring terdengar.
‘Pagi’ Jawabku
‘Bagaimana, sudah ada judul yang akan kamu ajukan ke pak Fadli?’
Aku hanya mengerjap kebingungan dengan pertanyaan itu. Situasi yang sama dengan minggu kemarin.
‘What the hell situation?’ bagaimana bisa aku menjawabnya
sedangkan aku tak punya gambaran apapun di otak kecilku ini.
Betul-betul buntu. Kulihat sebelah Padmi ada kak Ester yang telah siap dengan
berkas-berkas proposal dan siap untuk diajukan. Betapa nelangsanya perasaan ini.
Tergesa kudekati mereka yang menunggu giliran
untuk konsultasi di depan pintu kantor. Gumaman tidak jelas kulontarkan seiring
dengan hembusan napas besar, sekedar pelepas rasa gusar atas ketidak mampuanku
dalam menentukan judul yang sederhana pun.
‘Ouh dunia yang kejam’, batinku bersuara lagi.
Berkali-kali kugelengkan kepala seolah mengusir penat dan lelah yang
berhari-hari ini kurasakan, semenjak aku mengalami mimpi yang aneh kemarin.
Hari ini sama dengan berlalunya alur cerita
yang tak usai, ku lalui dengan berbagai macam perjalanan yang berbeda, tapi aku
masih tetap disini berdiri di sisi ketidak berdayaanku atas kesulitan seperti
hari-hari kemarin. Ketika kudengar celetukan dari kak Ester yang seolah
mengerti dengan kebingunganku.
‘Meskipun bingung, aku tetap mengajukan judul
penelitian ini. Dan aku berusaha untuk merealisasikannya dalam sebuah tesis’.
Aku tersentak, sebelum akhirnya menjawab, ’punya
rekomendasi judul buatku, tidak?’ tanyaku penuh antusias.
‘Ada, tapi keluarkan idemu dulu, kamu mau meneliti apa?’
‘Eehhmmmm, apa ya’, sekilas pikiranku melayang
ke berbagai macam permasalahan yang selama ini kuhadapi ketika mengajar di
kelas.
Dan ‘bingo!’ ide itu melintas begitu saja di otak ku.
‘Bagaimana dengan The Difference achievement between the student with the English background and those who don’t have any background?’ jawabku.
‘Oke, tampaknya bagus. Tapi jangan hanya
mengajukan satu, kuatirnya nanti ditolak. Coba buat judul yang lain juga’.
‘Hadeeww, keluhku. ‘Aku nyerah deh kak, mana
mungkin otak minimalisku ini punya alternative judul yang lain. Bagaimana kalau
kak Ester saja yang buatkan?’
‘Kamu itu, Suti…..Suti. Tetap saja dari dulu’,
ditoyornya kepalaku pelan.
Sedangkan aku hanya cengengesan. Meskipun
dengan berat hati kak Ester tetap membuatkanku dua judul yang bagus sambil menjelaskannya
panjang lebar. Aku hanya manggut-manggut seolah mengerti padahal tidak sama
sekali. Karena semenjak mimpi itu kepalaku selalu terasa berat seolah ribuan
karung goni bersarang di atasnya. Sungguh muak aku dengan rasa ini.
Dengan langkah mantab ku menuju ruang sidang,
ada tiga dosen yang siap mencaci maki thesis ku. Gemetar rasa tubuh ini,
ketakutan? Tentu saja. Aku merasa seperti anak kucing yang tersiram air,
ringkih dan mengenaskan. Namun semuanya berjalan dengan lancar,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dosen penguji, kubabat habis dengan
argument-argumen yang mengena. Hingga ******* napas lega keluar dari bibir
mungilku. Saat dosen kilerku berkata,
‘Baiklah kamu boleh meninggalkan tempat ini,
tunggu hasilnya di depan ruangan!’
‘Terima kasih pak,’ angguk ku sopan.
Tepat jam lima sore pengumuman itu kuterima
dengan suka cita pun teman-teman yang kebetulan satu sesi denganku. Gurat-gurat
kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Tuntas sudah tugas kami, usai sudah
beban berat yang kami rasakan selama ini. Tertebus dengan satu kata ‘lulus’
Saat ku melompat-lompat kegirangan di sudut
lantai dua dekat ruang sidang. Dia lewat, pria yang selama ini mengisi
hari-hari serta mimpiku. Aku terhenyak ketika secara tidak sengaja netraku
bersirobok dengannya. Pun saat dia melengos kesamping dan menghembuskan
napasnya keras, serta rahangnya mengetat sempurna.
‘Apakah dia masih marah?’ batinku. Aku pun
menunduk ketika dia lewat di depanku bagai angin lalu. Seolah tak menganggap
aku tak ada. ‘Mengapa apa salahku?'
(satu bulan yang lalu)
‘Suti….ada tamu tuh’, anak ibu kos ku
memanggil dari balik kelambu kamar.
‘Siapa, mbak?’
‘Gak tahu, katanya sih teman satu kelas mu’.
‘Sudah mbak tanya, namanya siapa?’ jawabku
dengan mengerjap-ngerjapkan mata jenaka.
‘Mana tahu lah, kayaknya sih bukan teman satu
kelasmu deeh. Kalau iya kan aku tahu dan kenal semua’.
‘Laki-laki apa perempuan’, tanyaku lagi dengan
rasa malas.
‘Laki-laki, cepat temui sana. Kayaknya dia
sudah tidak sabar. Tuh lihat saja ekspresinya. Kebingungan dan gelisah’.
‘Hah! Jawabku. ‘Perasaan aku tidak janjian
dengan seseorang. Apalagi teman satu kampus. Jangan-jangan seperti kemarin?’
perasaanku kebat-kebit tak karuan membayangkan kejadian kemarin. Ketika ada
sesorang yang mengaku kenal denganku bahkan meng-klaim dirinya kekasihku. Serta
edannya lagi dia berkata ‘kekasih dari masa laluku’.
‘Gawat!’ di saat hubunganku dengan mas Hendri
tidak berjalan dengan mulus. Karena hadirnya ‘Widya’ gadis ganjen dari kelas
pagi. Yang terus merangsek dan memporak-porandakan hubungan kami. Apalagi saat
netraku secara tidak sengaja melihat gadis itu bermanja-manja di lengan Hendri
seusai jam kuliah berlangsung. Sangat mesra.
Sementara dia yang mengaku sebagai kekasihku
membalasnya dengan tersenyum manis, seolah memberi si ganjen itu sejuta
harapan.
‘Dasar pelakor tak tahu malu!’ hardik ku dalam
hati.
Mataku memerah, tanganku mengepal. Ingin saat
itu juga ku cakar-cakar wajah cantiknya itu. Ku tendang dengan jurus silat ku.
Sehingga dia tersungkur dan berdarah-darah. Tapi apalah dayaku. Ini lingkungan
kampus dan aku tidak boleh bertindak sembrono. Atau nama baik Hendri tercoreng
dari mahasiswa terbaik dan instansi tempat dia bekerja.
‘Yaah…’dia ambil kuliah sore karena paginya
harus bekerja sebagai seorang teknisi mesin di perusahaan penerbangan. Pernah
sedikit dia mengungkap jati dirinya, jika kuliah yang saat ini dijalaninya
hanya sebagai prasayarat untuk menuju ke jenjang jabatan yang lebih tinggi. Aku
maklum.
Sebulan kemudian.
Hinggar binggar malam pentas seni wisuda,
masuk ke telinga. Ika, sahabatku, sudah manggut-manggut goyang kiri kanan
mengikuti irama lagu kegemarannya, seandainya saja tak ku ikat pinggang ia
dengan selendang tari yang kubawa dari tempat kos siang tadi, mungkin dia sudah
jingkrak-jingkrak seperti orang kesetanan.
Netraku melirik setiap pergerakan bestie ku
ini.
‘Wow’ sungguh tak punya lara sedikitpun dalam
hidupnya. Bahagia terus sampai tua! Padahal baru sebulan yang lalu dia putus
dengan kekasih hatinya yang arema itu. Tapi anehnya tak sedikit pun rasa sedih
tercetak di wajah semi Arabnya nan cantik menawan.
Kutoleh kan pandangan ke penjuru aula serta
kesetiap sudut ruangan nan remang-remang, tapi tak kutangkap siluet ‘Hendri’,
dimana dia?’ batinku. Ketika rasa lelah merasuk ke dalam raga dan jiwaku, aku
hanya mampu menunduk dan menyimpan tangis dalam hati.
‘Betapa bodohnya aku, yang setiap hari
disetiap ******* napasku, masih berharap dan bergantung padanya’.
‘Woii, kamu mulai gila ya’, teriak Ika dekat
telingaku.
‘Hadeew, bisa ngak pakai teriak begitu. Aku
tidak tuli tau!’
‘He…..he….syukur deh, kirain udah gila. Habis
ngedumel sendirian sedari tadi. Ngapain loh, mbayangin si Hendri lagi. Sudah
gak usah dipikir, nikmati saja hiburan malam ini. Dugem, girl! Kapan lagi kita
bisa menikmati malam pentas nan menyenangkan ini. Bentar lagi kita akan disibukan
dengan pekerjaan dan karir’.
‘Oh ayolah, Suti, jangan cengeng, please! Move
on! Masih banyak tuh cowok-cowok yang nganggur di luar sana untuk kita gebet,
okay’, rayunya lagi menghibur.
‘Malas, ah! Paling sama kayak dia, nyakitin
hati’.
‘Kalau malas ya tidur aja sono! Bikin tai mata
sebanyak mungkin!’
‘Tidur di atas panggung, gila lu ya. Bisa
dilempar tomat gue, sama penonton. Apalagi anak FPOK tu, pada beringas kalau
dengar lagu kesukaan mereka. Lu lihat ngak, sebelah sana! Si Yono sama Hari,
haduuh, goyangannya sampai segitunya. Senggol kanan kiri, untung mereka satu
kelas kalau tidak, sudah dilempar ke ruang sebelah tu anak’, aku bergidik ngeri
membayangkannya.
‘Udah, ngak usah dipikir. Nikmatin aja girl,
malam terakhir kita di kampus nih’, kata Ika lagi sembari geleng-geleng
mengikuti musik yang di panggung.
‘Eh, Suti, lihat tuh, siapa yang lagi tampil.
Idolamu neeek! Wuuuuuh!’
‘Oh, dasar makhluk tak ber akhlak’, umpatku
dalam hati. Ketika sosok itu muncul di panggung. Cinta pertamaku di kampus. Tapi
aneh, tak ada yang berkesan dalam hubungan kami yang terjalin selama setahun.
Tahun pertama yang penuh canda dan tawa dengan
gaya berpacaran yang kuno serta konvensional. Yakni jalan bersama, makan-makan
dan tak pernah ada kemesraan selayaknya sepasang kekasih.
Aku sedikit tersenyum mengingat momen
tersebut. Seolah mengerti dengan sinyal yang aku lontarkan. Jodi menatap
sebentar ke arahku sebelum ia memulai pertunjukannya.
Teriakan histeris dari ciwi-ciwi jurusan
Bahasa dan keuangan memenuhi ruangan mengiringi penampilannya. ‘Sungguh-sungguh
idola sejati’.
Rinai hujan rintik-rintik yang seperti
dicurahkan dari langit tertangkap dalam netraku. Aku menunduk semakin dalam
memandangi aliran air di jalan raya. Kuhela nafas keras-keras untuk mengusir
penat dan lelah tubuh ini. Tapi hal itu tak mampu mengusir rasa jengkelku
setelah seharian ini, aku disibukan dengan urusan kantor.
Pikiranku menerawang ke kejadian tadi pagi,
ketika menemani sang bos menemui klien di restoran hotel ‘Daun’.
‘Suti, sudah kau bawa semua file yang akan
kita presentasikan hari ini?’
‘Sudah, pak. Semuanya lengkap,’ jawabku masih
menjinjing laptop di tangan kiriku.
‘Ehm, baguslah’, sahutnya.
Kulihat dia sedikit gugup saat mengambil sapu
tangan dari saku celananya serta mengusap peluh yang mulai bercucuran di
sekitar dahi dan dagu.
‘Aku harap kau nanti tidak mengecewakannya. Orangnya sangat sulit ditebak dan
pemarah. Aku dengar dari rekan-rekan sesama pebisnis bahwa ia tidak menoleransi
sekecil apapun kesalahan yang dibuat oleh orang disekitarnya’.
‘Kamu tahu, Suti? Beberapa hari yang lalu, Arman kena damprat beliau dan proposal
kerjasama yang dia ajukan langsung dilempar di tong sampah. Gara-gara hanya
berbicara sedikit belibet pada saat presentasi. Padahal dia membawa Selly,
sekretarisnya yang sexy dan bahenol itu. Pun pada saat selesai presentasi ia
mencoba mendekatkan diri dengan cara yang kamu tahu lah si Arman itu, dia akan
menggunakan segala cara agar proyeknya goal’, jelasnya lagi panjang lebar
sambil sesekali mengusap peluh di dahinya yang tampak semakin deras mengalir
dari dahinya yang semakin lebar.
Aku bergidik ngeri membayangkan kata segala
cara yang digunakan oleh bos ku ini.
‘Tapi pak Yono, tidak akan menjual saya kepada
orang ini kan?’
‘Hus, ngomong apa kamu! Aku masih waras untuk
tidak melakukan hal seperti Arman. Aku juga seorang ayah dan kakek dari satu
cucu. Anak perempuanku dapat suami orang baik-baik meskipun mereka hidup
sederhana. Suaminya yang lulusan pondok itu pekerjaanya diperoleh dengan cara
halal. Bahkan aku yang setua ini belajar banyak ilmu agama dari dia. Kamu tahu,
Suti? Katanya kembali. Anak semata wayangku tak mau menerima sepeserpun bantuan
yang kuberikan, walau hanya uang saku buat cucuku’.
‘Dia malah berkata,’simpan saja uang itu buat
ayah. Siapa tahu nanti ayah butuh buat berobat. Kami tidak membutuhkannya,
nafkah dari mas Pepeng sudah lebih dari cukup’, selalu itu yang dia ucapkan.
Aku sangat bersyukur sekali punya mereka. Dan aku harap kerjasama ini berhasil
sehingga aku punya bonus yang banyak dari perusahaan untuk tunjangan pensiunku
nanti’.
‘Amiin ya rabbal alamiin’, sahutku dengan
penuh semangat. Bergegas kami menuju ruang meeting dari hotel “daun” yang
terletak di lantai dua.
‘Ting’ pintu lift pun terbuka tepat di lantai
yang kami tuju.
Di sudut ruangan, tampak dua orang berbadan
besar serta berseragam hitam berdiri tepat depan pintu ruang yang akan menjadi
tempat meeting. Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, aku yakin mereka
adalah bodyguard pribadi dari ‘Mr. J’.
‘Eits….tunggu. Nama itu mengingatkan pada
panggilan yang sering kugunakan dulu pada saat menjalin kasih dengan seseorang.
‘Ah tidak, mungkin inisialnya saja yang sama.
Mana mungkin dia mau berkecimpung di dunia bisnis yang kejam ini. Dia tidak
pernah serius, kan?’ monologku lagi.
Aku terkesiap ketika memasuki ruangan. Kutata
lagi degup jantungku yang tak karuan.
‘Kok bisa dia sih? Jadi Mr. J yang terkenal
sadis itu dia’, monologku dalam batin.
Pembukaan rapat yang dilakukan oleh Andrew,
asisten pribadinya terasa panjang dan lebar. Fix, dia orangnya detil dalam
memaparkan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban peserta tender kali ini.
Wajah-wajah antusias dari perwakilan berbagai perusahaan yang bergerak di
bidang jasa hotel dan travelling memenuhi setiap sudut ruang meeting nan luas.
Sebentar netraku melirik kearah Mr. J, dia
tampak dingin dan acuh. Wajah tampan dan rambut klimisnya, terasa aneh bagiku.
Tatapan tajam dan membunuh, milik ia, membuatku bergidik ngeri. ‘Apa yang
membuatmu berubah, Jay?’ pikirku berkata.
Kuhela napas agar mampu mengurangi kegugupan
saat aku kan maju presentasi proposal perusahaan kami. Kulihat dijajaran kursi
depan, pak Yono, mengacungkan ibu jarinya, seolah memberiku amunisi tambahan
untuk mentalku yang mulai rapuh, ketika melihat Jay di depan sana.
‘Semangat, Suti. Kamu harus bisa memenangkan
tender ini, demi kelangsungan perusahaan dan para karyawan. Ingat mereka
tergantung denganmu!’ gumamku pelan.
Kubagi print out proposal kepada Andrew,
sesaat dia berjalan kearah bosnya dan sedikit berbisik, kulihat Jay mengangguk
tanpa ekspresi. Kurasakan kadar kegugupanku meningkat. ‘Semoga presentasiku
lancar, bantu aku ya Allah’, doaku pelan.
Aku mengangguk sopan, sesaat setelah
presentasi panjang kulakukan. Sementara disana kulihat ‘Jay’ mengepalkan tangan
kirinya. Sedangkan tangan yang digunakan untuk memegang proposal sedikit
terangkat ke udara. Dag dig dug perasaan ini, hatiku semakin menciut melihat
hal tersebut. ‘Please, Jay. Beri kesempatan pada perusahaan kami’, netraku
terpejam serta sedikit meremas kedua tanganku. ‘Semoga ada keajaiban’.
‘Andrew!’ bentaknya memenuhi ruang.
‘Ya bos’.
‘Buang sampah ini ke tempatnya!’ Bubarkan
mereka, hanya buang-buang waktuku saja!’
‘Siap bos’.
Aku hampir menangis melihat hal tersebut. Pun
pak Yono, mulai mengelap peluh yang bercucuran di dahinya. Senyum itu terlihat
sedikit kecut. Aku salah tingkah memandang beliau. Netra kami beradu pandang
seolah mengerti. Dia hanya angkat bahu seolah pasrah dengan takdir kami. Dengan
secepat kilat kubereskan laptop dari meja. Sedikit berlari kuhampiri Andrew.
‘Mr. Andrew, please! Tolong pertimbangkan lagi
proposal perusahaan kami’.
‘Hemmm, tergantung si bos, nona. Aku hanya
seorang pekerja disini’.
‘Jay!.......eh maaf, Mr.Jay. Tak bisa kah anda
meluangkan waktu barang sebentar untuk melihat proposal kami?’. Dia menoleh,
serentak semua orang dalam ruangan itu menghentikan aktifitasnya. Dengan penuh
kekuatiran mereka menantikan responnya.
Ia melihat wajahku sekilas kemudian
memandangiku dari ujung rambut sampai sepatuku. Sejurus kemudian menatap dadaku
sedikit lama. ‘ehem, itu tergantung dengan performamu, nona’, bisiknya di
telingaku.
‘Dasar mesum, bajingan’, kutendang dengan
jurus kungfuku baru tau rasa kau. Otak miring!’ tentu saja kata-kata itu hanya
ada dalam pikiranku. Sedangkan aku sedikit tersenyum dengan tingkah lakunya.
‘Brengsek!’, umpatku pelan sebagai balasan atas tingkah lakunya.
Jay tampak santai serta melangkahkan kakinya
menuju keluar ruangan bersama Andrew di belakangnya. Di lorong aula, Andrew
mengacungkan jempolnya ke arahku. ‘Apa maksudnya?’
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!