Novel sedang dalam proses revisi. Mohon pengertiannya ya kak
Jawab pertanyaan aku yang tadi!!" Livi sinis.
Jujur saja aku ragu. Apa mungkin aku harus bercerita jujur padanya?
"Ris! Ih kamu malah ngelamun." Livi duduk di atas kasur sembari memasang ekspresi wajah yang kesal.
Aku duduk di samping Livi, mataku berkaca-kaca. Rasanya ingin sekali menangis dan menceritakan semua padanya. Tapi aku malu, aku ragu.
"Kok malah kaya mau nangis gitu? Kamu kenapa sih sebenernya?" Livi khawatir.
Baiklah, aku ceritakan saja semuanya.
"Jangan ceritain ini ke siapapun!"
"Emangnya selama ini aku pernah ember?"
"Enggak sih. Tapi janji aja dulu."
"Iya iya, aku janji. Sekarang ceritain ada apa?!"
"Jadi semalem itu aku diculik terus diperkosa, Liv.”
"HAH??!! KAMU SERIUS?" Livi sangat terkejut.
"Demi tuhan Liv! Ngapain aku bohong?"
"Ko bisa? Please ceritain detail-nya!"
Aku pun menceritakan semuanya pada Livi. Tangisan ku pecah di pelukannya.
"Gila! Ko bisa jadi kaya gini sih? Terus gimana, mau lapor polisi gak?"
"Gak usah, Liv."
"KENAPA?! MASA KAMU DIEM AJA?"
"Kayaknya percuma deh. Mereka itu orang kaya, beda sama aku. Berurusan sama orang kaya itu susah Liv. Lagian aku gak punya bukti apapun. Plat mobilnya aku gak tau, muka orangnya aku gak tau, apalagi nama mereka. Yang ada hal ini malah bakalan kesebar luas. Pelakunya belum tentu diadili, tapi aku sendiri pasti nanggung malu."
"Iya juga sih. Kalo lawannya orang kaya bakalan susah. Ada barang bukti aja susah, apalagi kalo gak ada barang bukti sama sekali."
"Aku capek Liv. Rasanya pengen mati aja."
Livi menyentil mulutku keras. "HEH, gak usah ngomong kayak gitu! Hidup perempuan itu gak tergantung sama keperawanan. Please deh!"
Aku diam kehabisan kata-kata.
"Kamu masih punya aku Ris. Jangan nyerah buat terus hidup! Berusaha aja buat lupain semuanya dan jalanin hidup kamu kaya biasanya. Banyakin belajar biar bisa dapet beasiswa kuliah."
"Eh, ada yang lupa aku ceritain."
"Apa?"
"Bibi larang aku kuliah. Katanya abis acara graduate, aku bakal langsung dinikahin sama om-om kaya."
"WHAT?! KAMU MAU-MAU AJA GITU?"
"Ya jelas enggak lah. Gila aja!"
"Jahat banget sih itu otaknya. Udah Ris, sehabis kelulusan langsung kabur aja dari rumah. Gak usah ba, bi, bu."
"Rencananya sih gitu. Tapi aku mau ambil dulu dokumen penting yang Bibi sembunyiin, aku kabur kan pasti perlu uang."
"Udah tau penyimpanannya di mana?"
"Belom sih. Makanya nanti mau aku cari tau."
"Terus duit lima puluh juta yang itu mau kamu simpen di mana? Bahaya kalo nyimpen cash di rumah."
Yang di ucapkan Livi ada benarnya. Bahaya jika aku menyimpan uang sebanyak ini di rumah.
"Aku simpen di mana dong?"
"Bikin
"
"Terus duit lima puluh juta yang itu mau kamu simpen di mana? Bahaya kalo nyimpen cash di rumah."
Yang di ucapkan Livi ada benarnya. Bahaya jika aku menyimpan uang sebanyak ini di rumah.
"Aku simpen di mana dong?"
"Bikin
"Ke Bandung aja gimana? Kan aku mau kuliah sama kost di sana. Jaraknya dari kota ini juga jauh, bakalan susah dicari atau disusul."
"Kost-an kan kecil. Mending kita ngontrak rumah bareng aja, gimana?"
"Ide bagus tuh.”
"Eh,
"Makanan apa emang?"
"
Novel sedang dalam proses revisi. Mohon pengertiannya ya kak
Satu minggu berlalu, aku dan Livi belum juga menemukan tempat aborsi yang bisa kami datangi. Semua rumah sakit yang membuka pelayanan aborsi, pasti mewajibkan pasiennya untuk membawa wali seperti orang tua
"NGOMONG APA LU BARUSAN?!!"
"LU PENGANGGURAN, PEMALES, BISANYA NIKMATIN DUIT ORANG TUA GUE DOANG, ENGGAK TAU DIRI, DAN TUKANG NGURUSIN HIDUP ORANG LAIN! PUAS?!"
Diana menjadi sangat marah karena ucapanku itu, "SETAN LU, SETAN, SETAN, SETAN. ANAK ANJING! LIATIN AJA APA YANG BAKAL GUE LAKUIN. AWAS AJA LU SETAN!"
Teriakannya terdengar seperti orang gila. Telingaku rasanya mau pecah. Menyebalkan!
Dua jam kemudian. Aku masih mengurung diri di dalam kamar.
BRAAK--
Bibi menggebrak pintu kamarku dengan sekuat tenaga. Untung saja pintu itu tidak rusak.
"KELUAR KAMU ANAK SETAN! BERANI-BERANINYA KAMU BENTAK DIANA. RISSA, KELUAR!!"
Usianya sudah ?!" bentak bibi.
"HEH, SIAPA JUGA YANG NGIZININ BIBI BUAT NGATUR AKU? SIAPA?! "
PLAAAK!
Bibi menamparku sekali lagi di tempat yang sama. Rasa sakitnya bertambah jadi dua kali lipat.
"JAGA NADA BICARAMU YA!!"
Tanganku rasanya ingin sekali membalas tamparan ini. Tapi bagaimanapun aku masih menghormati dia sebagai bibiku.
"Liat kan Mam? Sekarang dia berani banget. Gimana kalo besok atau lusa? Mending beneran dinikahin aja sih." Diana sengaja membuat bibi agar menjadi lebih marah lagi.
"Denger ya
Bunga dandelion itu tidak manja.
Bunganya sekaligus ayah untukmu.
Jadilah anak yang baik. Biarkan aku memakan apapun, biarkan aku bergerak bebas. Jangan membuatku sakit setiap hari, aku mohon. Kita
Ku ambil ponsel dari saku celana jeans yang ku pakai, aku harus segera menelepon Livi dan memberitahu nya kalau aku tidak jadi mengaborsi bayi ini.
Tidak berapa lama, Livi pun mengangkat teleponnya.
"Ada apa, Ris?"
"Aku gak jadi aborsi."
"Loh, kenapa? Tiba-tiba banget."
"Gak kenapa-kenapa sih. Cuma rasanya aku pengen liat dia lahir ke dunia, pengen ngurus dia. Penasaran produksi dari rahimku nanti hasilnya kayak gimana, hahaha."
"Kamu yakin?"
"Yakin, yakin banget."
"Terus kuliah kamu gimana?"
"Aku gak lanjut ikut program beasiswa. Mau langsung ikut kamu aja ke Bandung."
"Yakin nih?"
"Yakin Liv, yakin. Aku mau fokus nyari duit aja dulu. Nanti pas anak ini udah lahir, dari nol sampe tiga tahun kan gak bisa aku tinggal."
"Oke, yang terbaik aja buat kamu pokoknya. Aku juga pasti bakal bantuin kamu buat urus anak itu."
"Iyaaa, makasih banget ya. Baik banget emang gak ada duanya."
"Hilih, berlebihan."
"Ishhh! mana ada berlebihan, dah lah."
"Udah ya ku mau mandi sore dulu, mau malmingan sama Ayang."
"Ayang ayang apa? Alay banget najis."
"Iri boss?"
"Ngapain iri? Aku punya juga kok?"
"Kamu punya pacar?"
"Lebih dari pacar. Ini buah cintanya udah ada di perut, hhahaha."
"Astagaaa, kamu kenapa sih? Kok kayak aneh gitu? Tiba-tiba jadi nerima nasib gini."
"Iya ya aku kenapa? Kayaknya aku udah gila sih. Au ah, udah. Aku juga mau jalan ke apotik nih beli vitamin biar si baby sehat."
"Iya iya, byee."
"Bye."
Huft! Untung saja aku menyimpan kartu ATM di dalam case HP.
Heh bayi! Panggil aku bunda, oke? Sekarang kita beli makanan dulu ya, habis itu ke apotik. Jam tujuh kita pulang ke rumah. Ingat baik-baik, mulai detik ini jangan buat bunda sakit-sakitan lagi, janji?
Novel ini sedang dalam proses revisi. Mohon pengertiannya
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Akhir-akhir ini rasanya waktu begitu cepat berlalu. era menggendong tubuh mungil itu.
"Terharu banget aku liatnya. Tebakan aku bener kan? Dia laki-laki. "
Netra ku tak henti-henti memandangi monitor itu. "Kamu aja terharu, apalagi aku."
"Gak
Pukul empat sore, akhirnya aku dan Livi sampai di rumah. Kami berdua pulang dengan banyak sekali barang bawaan.
Menghempaskan diri ke sofa. "Gila sih, capek banget." Livi meregangkan jari kaki dan tangannya.
"
"Sampe dia lahir ke dunia, paling banyak itu duit sisa dua puluh juta. Untung aja uang makan kamu ada dari
"Coba kamu tawarin rumah kamu ke Ibu Tuti. Dia kan tuan tanah."
"Gimana kalo Bibi susah di usirnya?"
"Ya itu sih urusan yang beli tanahnya. Pokoknya kamu jual, dan terima duitnya. Abis itu udah deh gak usah mau tau apa-apa lagi."
Aku membuka ponsel lalu mengecek harga pasaran tanah di internet. "Wih, daerah sana per-meternya tiga juta."
"Rumah kamu berapa meter?"
"Tiga ratus lima puluh."
"Satu miliyar lebih dong tanahnya doang?!"
"Iya."
Livi tercengang, "Rumahnya kan lumayan gede tuh, kalo ditotal semuanya bisa satu koma lima miliyar. Kamu bisa bikin usaha, atau investasi-in uangnya."
"Kalo aku beli rumah ini gimana? Palingan cuma dua ratus lima puluh."
"Yakin mau selamanya tinggal di sini?"
"Aku nyaman sih di sini. Perumahannya nyaman, bersih, tetangganya juga baik."
"Heeeem, terserah kamu aja sih."
"Satu miliyar mau aku deposito-in buat tiga puluh enam bulan. Dua ratus lima puluh juta beli rumah ini, lima puluh juta buat dekorasi ulang."
"Dua ratus juta lagi buat apa?" tanya Livi penasaran.
"Itu aku simpen di tabungan aja buat keperluan. Siapa tau aku dapet ide usaha kan?"
"Hmmm, gak mau investasi?"
"Enggak deh, aku gak paham investasi. Ngeri kan kalo ketipu? Mending aku tabungin aja di bank."
Livia mengangguk. "Sip deh, gimana bagusnya aja terserah."
"Aku mau tiduran di kamar dulu ya, barang-barang ini aku beresin nanti."
"Oke."
Aku berjalan ke dalam kamar lalu duduk di atas tempat tidur. Tiba-tiba segala pikiran buruk melintas di kepalaku. Aku sadar, tidak semua orang bisa menerima anak tanpa ayah. Dari sekian banyak tetangga di blok ini, pasti ada salah satunya yang tidak menyukai keberadaanku. Nanti anak juga pasti akan bertanya di mana ayahnya? Melihat teman-temannya memiliki orang tua yang lengkap, pasti anak ini akan merasa sedih. Aku tidak bisa membayangkan perasaanya jika ada salah satu temannya yang bertanya, 'Mana ayahmu?'
Apa lebih baik kalau aku mencari ayah untuknya?
Tapi pria mana yang mau menerima wanita sepertiku? Lagi pula aku takut pria itu malah bersikap buruk pada anakku.
Aku meremas sprei dengan sekuat tenaga. Memikirkan semua ini membuat kepalaku serasa mau pecah. Dokter memintaku untuk tidak stress, tapi bagaimana caranya? Banyak hal yang aku pikirkan setiap harinya.
Aku tidak khawatir dengan keuangan, aku yakin pasti bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anak ini. Tapi apa aku bisa mengurusnya dengan baik? Apa aku bisa menjadi ayah sekaligus ibu untuknya?
Apa lebih baik kalau aku mencari ayah untuknya?
Tapi pria mana yang mau menerima wanita sepertiku? Lagi pula aku takut pria itu malah bersikap buruk pada anakku.
Aku meremas sprei dengan sekuat tenaga. Memikirkan semua ini membuat kepalaku serasa mau pecah. Dokter memintaku untuk tidak stress, tapi bagaimana caranya? Banyak hal yang aku pikirkan setiap harinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!