"Kenapa Van? tumben Lo ngajak Gue ketemuan." tanya Kinara santai sambil meneguk minumannya.
"Ada yang mau Gue omongin ke Lo, Kin," jawab Elvan menatap Kinara penuh puja.
Mereka sedang berada di kantin kampus.
Elvan sengaja meminta bantuan Adira untuk membantu mengutarakan isi hatinya untuk Kinara.
Elvan tidak tahu saja, bahwa Adira sangat sakit hati dibuatnya.
Saat ini, Adira sedang menguping pembicaraan keduanya. Dia duduk agak jauhan dari Kinara dan Elvan agar tidak kelihatan.
Elvan berdehem sebelum memulai pembicaraan.
"Kinara ... Gue mau jujur sesuatu tentang perasaan Gue," ucap Elvan berhenti sejenak untuk menarik nafas.
"Gue sebenarnya ... suka sama Lo sejak dulu. Sejak pertama kali Lo dikenalin Adira ke Gue," ucap Elvan menunggu reaksi Kinara.
Kinara sudah tidak kaget lagi. Dia memang sudah tau gelagat Elvan berbeda saat bicara dengannya.
Melihat Kinara yang masih bergeming, Elvan akhirnya berucap lagi.
"Lo mau nggak jadi pacar Gue, Kin?" tanya Elvan to the point'.
Kinara hanya menaikkan satu alisnya. salut akan keberanian Elvan mengutarakan isi hatinya.
Namun sayang, Kinara sama sekali tidak ada perasaan cinta untuknya.
Dia sudah punya nama di hatinya.
"Sorry Van. Gue nggak bisa. Gue udah punya pacar," jawab Kinara tegas.
"Gue bisa nunggu Lo, Kin ..." lirih Elvan frustasi.
"Gue tetep nggak bisa sama Lo, Van. coba Lo perhatikan orang-orang di dekat Lo dan nggak selalu terfokus ke Gue. Lo bakal tau siapa yang bener-bener tulus cinta sama Lo," ucap Kinara mencoba menyadarkan Elvan.
Elvan bingung kemana arah pembicaraan Kinara.
"Gue nggak ngerti sama omongan Lo." ucap Elvan sedikit kesal.
Seakan tidak perduli dengan kebingungan Elvan, Kinara melanjutkan kalimatnya lagi.
"Semoga Lo lekas sadar bahwa di dekat Lo, ada orang yang cinta banget sama Lo. dan saat Lo menyadari itu, semoga Lo nggak terlambat," ucap Kinara misterius.
"Gue pergi dulu. Pikirin kata-kata gue, Van."
Kemudian Kinara segera beranjak dan pergi dari kantin.
Elvan bingung. siapa yang dimaksud oleh Kinara? mengapa dia tidak langsung memberi tahunya saja?
Setelah Elvan dan Kinara pergi dari kampus, Adira keluar dari persembunyiannya.
"Apa Kinara tau tentang perasaan Gue ke Elvan ya? perasaan Gue nggak pernah cerita deh ...." monolog Adira pada dirinya sendiri.
Karena sudah tidak ada kelas lagi, Adira memilih pulang ke rumah.
Ada rasa bahagia di hatinya saat mengetahui Kinara tidak menerima cinta Elvan.
Itu berarti, Adira masih punya kesempatan memiliki Elvan.
"Kenapa Gue PD banget ya. belum tentu juga Elvan kan suka ke Gue." monolog Adira merasa bodoh dengan cinta yang dialaminya.
Tiga puluh menit, Adira sampai di rumahnya.
Dia menyalami mamanya yang sedang menonton TV sebelum dia pergi menuju kamarnya.
Saat sudah sampai kamar, Adira segera mengganti bajunya.
Belum sempat dia berganti pakaian, ponselnya berbunyi menandakan ada telepon yang masuk.
"Halo ..." sapa Adira setelah telepon tersambung.
"Ra, bisa temuin Gue di kafe biasa nggak? Gue tunggu ya." ucap seseorang diseberang sana seperti memerintah.
"Gu—"
Tut. Tut. Tut.
Belum sempat Adira menyelesaikan kalimatnya, telepon sudah di putus sepihak.
Siapa lagi orangnya, Dia adalah Elvan.
Dia selalu memaksakan kehendak diri sendiri tanpa memikirkan orang lain.
Adira menghela nafasnya lelah.
Baru saja dia sampai rumah, dan sekarang dia harus keluar lagi untuk menemui Elvan.
Sebenarnya, Adira merasa sangat lelah hari ini.
Tapi karena Elvan meminta untuk bertemu, Adira tidak bisa menolak itu.
Dia memilih mandi terlebih dahulu sebelum menemui Elvan nanti.
Sudah bisa Adira tebak, Elvan akan mengadu soal kejadian tadi siang.
Adira akhirnya berjalan ke kamar mandi dengan langkah ogah-ogahan.
Ada rasa bahagia karena akan bertemu pujaan hati, namun ada rasa sakit hati juga karena sang pujaan hati akan menceritakan kisah cintanya.
Yang pasti tidak ada Adira di dalamnya.
Adira bukan pemeran utamanya di kisah hidup Elvan.
Sebelumnya, perkenalkan dulu, dia adalah Adira Belvina.
Gadis dengan tinggi badan 165 cm ini merupakan gadis cantik dengan mata indah coklat, alis sedang, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis.
Sangat pas.
Adira sudah tidak butuh pensil alis lagi untuk menggambar alisnya.
Bulu matanya sangat lentik dan hitam.
wajahnya yang imut, bibir ranum, berkulit putih dan tubuh proposional.
Adira terlihat sempurna dari segi penampilan.
Tapi dari segi percintaan, dia adalah sad girl.
balik lagi ke cerita.
Adira telah sampai di kafe biasa dia bertemu Elvan.
Dia terlihat celingukan mencari keberadaan Elvan. Dia pun melihat Elvan sudah duduk dipojokan.
Dia segera berjalan menghampiri Elvan.
“Udah lama, Lo nunggu?" tanya Adira setelah ia sampai di meja dan duduk.
“Nggak ... baru aja sih." jawab Elvan dengan wajah murung.
Adira sudah tau jawabannya.
Apalagi jika bukan karena cintanya yang di tolak.
Elvan dan Adira memang sering bertemu berdua saja. Mungkin karena ke akraban keduanya yang sudah terjalin cukup lama.
“Kenapa muka Lo di tekuk begitu sih?" tanya Adira memecah keheningan beberapa saat lalu.
Elvan menghela nafas panjang.
"Gue di tolak sama Kinara." Pernyataan Elvan sudah Adira duga.
Melihat Adira yang terlihat biasa saja, Elvan mengerutkan alis,
"Kenapa ekspresi Lo biasa aja sih. Sedih kek. Temen lagi susah gini.” ketus Elvan kesal.
Mau bagaimana lagi memang?
"Gue udah tau semuanya kok, Van." ucap Adira santai.
Adira tahu dirinya terlihat jahat dan seperti tokoh antagonis di kisah hidup Elvan.
Tapi, begitulah adanya. lagi pula, Kinara sama sekali tidak punya perasaan pada Elvan.
Jadi, sah-sah saja bila Adira merasa dia punya kesempatan untuk masuk ke hidup Elvan.
“Gue boleh seneng nggak sih kalau Lo di tolak?" ucap Adira serius yang langsung dapat tatapan tajam dari Elvan.
Dia lelah memendam perasaannya sendiri sejak lama.
Dia juga ingin hatinya merasa lega.
“Lo ngomong apa sih?!" jawab Elvan geram dengan sahabatnya ini. Nadanya mulai meninggi.
Melihat reaksi Elvan yang sepertinya mulai marah, Adira hanya tersenyum getir.
“Gue suka sama Lo, Elvan!" Jelas Adira penuh penekanan.
Dia ingin Elvan tahu, bahwa dia mencintai Elvan tulus. Dia ingin sekali saja Elvan melihat keberadaannya.
“Lo ngomong apa? Suka? Sama Gue!" tanya Elvan penuh emosi dan menunjuk dirinya sendiri.
“Kita tuh selama ini cuma sahabat. Gue cerita sama Lo semuanya tentang Gue tuh, karena Gue udah percaya banget sama Lo. Lo sahabat yang ngertiin Gue. Tapi kenapa Lo malah berharapnya lebih!” ucap Elvan emosi.
Apa Elvan bilang?
Berharap lebih?
Bukankah memang tidak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita?
Dan sepertinya, Adira sedang berada dalam fase tersebut.
Mencintai sahabatnya sendiri. Bukankah juga ada pepatah yang mengatakan,
Witing tresno jalaran soko kulino
"Apa Gue salah kalau selama ini suka sama, Lo. Gue juga nggak bisa menghindar karena cinta itu datang dengan sendirinya." ucap Adira dengan nada terluka.
"Lo ngomong apa sih ... nggak jelas banget." ucap Elvan menahan kesal.
Adira tersenyum getir mendengar ucapan Elvan yang berusaha menolak perasaan Adira.
"Gue juga nggak bisa ngatur hati Gue mau jatuh cinta sama siapa. Semua berjalan dengan sendirinya tanpa Gue minta." ucap Adira lagi dan mulai berkaca-kaca.
Air mata Adira luruh seketika. Dia begitu kecewa.
Sangat kecewa.
Adira baru menyadari, bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan.
Sejak dulu, Adira memang tidak pernah mau tahu tentang perasaan Elvan padanya. Yang terpenting, Adira merasa bahagia saat melihat Elvan bahagia.
Tapi semakin kesini, dia semakin lelah dan butuh kepastian karena sikap Elvan selama ini seperti enggan memiliki tapi juga enggan melepaskan.
Elvan hanya menginginkannya disaat Elvan perlu.
Melihat Elvan yang seperti menahan kesal padanya, Adira melanjutkan kalimatnya lagi.
“Gue tau, Gue salah. Gue hanya mengungkap isi hati Gue selama dua tahun terakhir ini. Perasaan yang sama sekali nggak berkurang. Walaupun Gue tau, Lo nggak bakal balik suka ke Gue. Gue emang bodoh." ucap Adira lemah sambil menatap Elvan penuh luka.
karena tidak mau terlihat menyedihkan di tempat umum, Adira segera pergi dan berlalu pergi dari hadapan Elvan.
Apa lagi yang bisa Adira harapkan dari hubungan seperti ini?
Lebih baik Adira menutup kisah yang dia damba bersama Elvan dan mulai membuka lembaran baru.
Selama ini Adira terlalu buta akan cinta. Sehingga tidak memperhatikan sikap Elvan kepadanya.
Yang dia tau hanya, dia bahagia saat Elvan berada di dekatnya.
Walau Elvan mendekatinya karena ada maunya.
Sudahlah, Adira sudah cukup lelah dan akan memilih berhenti.
Berhenti untuk mencintai orang yang salah.
Di sepanjang jalan, Adira hanya diam dan menatap ke luar jendela mobil.
Dia berusaha untuk tidak menangis karena merasa tidak enak pada pak Rama, sang sopir.
Adira juga tidak mau pak Rama sampai mengadu pada orangtuanya dan membuat mereka khawatir.
Pak Rama sedikit curiga dengan mata sembab anak dari boss nya itu.
Namun dia memilih untuk diam dan tidak mau ikut campur terlalu jauh.
Sesampainya di rumah, Adira langsung menuju ke kamarnya.
Papanya belum pulang dari bekerja, sedangkan mamanya, dia sedang pergi arisan.
Adira bisa bernafas dengan lega. Setidaknya, kedua orangtuanya tidak melihat anaknya dalam keadaan menyedihkan.
Mata sembab dan hidung merahnya.
Bila sampai mama melihatnya, pasti akan ada drama berkepanjangan.
Adira sudah sangat lelah dan tidak mau menambah kadar lelahnya lagi.
Dia merasa, lelah hati lelah jiwa.
Mungkin dengan tidur, dia bisa melupakan sebentar perasaannya.
Dia sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya.
Pikirannya melanglang buana tentang Elvan yang tak pernah membalas cintanya sejak lama hingga sekarang.
Elvan yang tidak pernah perduli dan hanya minta di perdulikan.
Banyak waktu Adira yang terbuang sia-sia untuk menunggu Elvan.
...........
Adira membuka matanya disaat ada sinar silau masuk ke kamarnya.
Sepertinya Adira tertidur hingga pagi.
Tubuhnya sudah merasa lebih segar.
Adira segera masuk ke kamar mandi guna membersihkan diri.
Selang beberapa menit Adira keluar hanya menggunakan bathrobenya. Setelah itu Adira segera menuju lemari dan memakai baju.
Hanya kaos rumahan dan celana training ketat.
Setelah selesai berpakaian, Adira segera turun untuk bergabung dengan orangtuanya.
“Papa kemana, Ma? kok nggak ada?" tanya Adira pada bu Dewi yang sedang berkutat di dapur.
Padahal hari ini hari Minggu dan waktunya pun masih cukup pagi, jam setengah enam.
“Papa lagi lari pagi, Sayang. Ada temen lamanya yang ngajak lari bareng." jawab bu Dewi hanya menoleh sebentar dan kembali fokus pada masakannya.
Sedangkan Adira hanya magut-magut dan menghampiri mamanya untuk membantu.
“Kamu nggak mau nyusul papa emang? Tumben ... biasanya ikut mulu tuh kalau papa lagi lari." tanya bu Dewi heran.
“Adira lagi males aja, Ma. Minggu depan mungkin." jawab Adira tanpa semangat.
Ya, dia masih patah hati bagaimanapun juga.
Tapi dia bertekad kuat tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Mencintai orang yang salah dan tidak menghargai perasaannya.
Dia akan belajar melupakan dan mengikhlaskan.
Walau tidak semudah yang dibayangkan. Tapi Adira akan berusaha.
“Ooh ... ya udah mending bantuin Mama masak. Karena bentar lagi papa pasti pulang. Dan temen papa yang dari luar negeri katanya mau mampir gitu." jelas bu Dewi tanpa curiga.
Tentu Adira akan membantu mamanya dengan senang hati.
“Pantes ... Mama masak banyak banget hari ini."
Adira mengatakan itu setelah melihat banyak sekali makanan di meja.
Sedangkan mamanya hanya tersenyum manis menanggapi ucapan Adira.
1 jam kemudian, akhirnya semua makanan sudah terhidang di atas meja makan. Dan tak lama suara papa Adira menginterupsi dari arah pintu.
“Assalamualaikum." ucap papa Adira setelah masuk ke rumah.
“Waalaikumsalam." jawab Adira dan mamanya bersamaan.
Benar saja, papanya datang bersama dua orang pria.
Yang satu setengah baya dan yang satu lagi masih muda.
Walau perbedaan usia, keduanya sama-sama gagah dan tampan. Begitulah tafsir Adira.
Adira menganggukkan kepala dan tersenyum untuk menyapa kedua pria tersebut.
Ketiga pria tersebut langsung duduk di meja makan yang disusul oleh mama dan Adira.
Hanya obrolan bisnis di sela sarapan itu.
Adira hanya diam. Sesekali mengangguk dan tersenyum bila melibatkan dirinya.
Setelah selesai sarapan, papa Adira baru memperkenalkan teman lamanya kepada mama dan Adira.
“Ini lho Ma, yang mau Papa kenalin ke Mama. Dia Hendra. Kita udah lama banget nggak ketemu." ucap pak Irawan seraya menunjuk pak Hendra.
Bu Dewi menganggukkan kepala dan tersenyum untuk menyapa.
“Kalau yang ini anaknya Hendra. Namanya Tristan." sambung pak Irawan lagi.
Terlihat Tristan mengangguk dan tersenyum ke arah mama Adira.
“Dia lulusan terbaik di Harvard dengan predikat Cumlaude lho, Ma." ujar pak Irawan penuh senyum sumringah.
"Wow! Hebat juga tuh cowok." batin Adira memuji akan kecerdasan seorang Tristan.
Karena sangat jarang sekali laki-laki yang mau giat belajar.
Kebanyakan adalah membolos dan tawuran.
begitulah setahu Adira.
“Wah ... Tante bangga banget. Berapa si IQ nya?" tanya bu Dewi kepada Tristan penuh rasa bangga.
Semua hanya terkekeh menanggapi.
Soal IQ, Tristan belum pernah mencoba untuk mengetes nya.
Mungkin nanti dia akan coba menguji untuk berjaga-jaga bila ada lagi yang bertanya seberapa tinggi IQ,nya.
Sombong amat!
“Oh iya, ini kenalin anak saya. Namanya Adira, Hen." ucap Pak irawan kemudian.
“Hallo Om ...." sapa Adira akrab.
Dia juga memasang senyum semanis mungkin dan melambaikan tangan karena jarak meja tidak memungkinkan untuk menjabat tangannya.
“Adira kuliah semester berapa sekarang?" tanya Om hendra antusias.
“Saya kuliah semester enam, Om." jawab Adira tersenyum.
"Nggak lama lagi dong nunggu wisuda." ucap pak Hendra mengira-ngira.
"Masih dua semester lagi, Om." jawab Adira menjelaskan.
Karena merasa di abaikan, Tristan berdehem untuk menandai keberadaanya di ruangan itu.
Hendra pun menyadari hal itu dan terkekeh pelan.
“Eh iya, ini kenalin anak Om. Pasti kamu sudah tau namanya lah." ucap Pak Hendra sambil mengerling nakal pada Tristan.
Adira tersenyum dan mengangguk untuk menyapa.
Tristan balas tersenyum dan menatap Adira penuh rasa kagum.
Hanya sebentar Adira memandang Tristan. Kemudian dia mengalihkan pandangan menatap om Hendra yang sedang mengajaknya bicara.
Adira belum menyadari jika dia sedang di tatap oleh Tristan.
Tristan mengamati setiap pergerakan yang Adira lakukan.
Saat sedang mengobrol dengan papanya pun Tristan masih setia memandang Adira dengan senyum bodohnya.
Adira yang sudah menyadari sedang ditatap tak wajar pun balas menatap.
Ketika pandangan mereka bertemu, pandangan Adira seolah terkunci dengan ketampanan wajah yang Tristan miliki.
Ada daya tarik tersendiri saat mengamati wajah Tristan. Sehingga Adira betah sekali menatap pemandangan yang berada di depannya.
Tidak berbeda jauh dengan Adira, Tristan juga memandang Adira dengan penuh kekaguman.
Kagum akan kecantikan dan manisnya wajah Adira. Apalagi bibir merah alaminya. Bibir bawahnya yang terbelah semakin terlihat menggemaskan dimata Tristan.
Keduanya pun tak luput dari pandangan para orangtua.
“Udah dong Tris liatin Adira nya. Papa jadi nggak enak sama Irawan karena anak gadisnya di tatap seperti itu sama kamu." ledek Pak Hendra.
Para orangtua tergelak bersamaan.
Tristan dan Adira jadi salah tingkah dan memilih membuang pandangannya.
Tristan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal untuk menghilangkan sedikit rasa gugupnya.
Acara sarapan pun selesai setelah pak Hendra dan Tristan berpamitan pulang.
Adira langsung menuju kamarnya lagi. Sedangkan orangtuanya pergi berkencan.
Walaupun sudah punya anak dan umur sudah hampir kepala empat, itu tidak menyurutkan keromantisan dan kemesraan kedua orangtuanya.
Pasti di setiap hari Minggu, papa mama nya selalu pergi.
kadang Adira juga diajak. Namun Adira menolak halus untuk memberikan quality time kepada orangtuanya.
Adira paham, keduanya pasti lelah menjalani hari penuh rutinitas yang membosankan. Dan mereka membutuhkan quality time itu.
Adira tidak akan menganggu atau merusaknya.
Adira menghembuskan nafasnya lelah.
Kemudian memilih berbaring di kasur lagi. Pikirannya sangat terganggu.
Meski Adira berusaha keras membuang perasannya, tetap saja sulit. Kecewa, marah, kesal, sedih beradu jadi satu.
Sungguh tragis kisah cintanya. Adira akan buang jauh-jauh perasaannya.
Dan hanya akan memberikan perasaan cintanya hanya kepada orang yang benar-benar mencintainya.
Ting.
Ponselnya berdenting menampilkan chat grup.
Lidya:
Sepi amat kaya kuburan.
Kinara:
Hadir
Adira:
Hadir2
Lidya:
Jalan yok ah. Bosen
Kinara:
Yok. Seru tuh. Gabut gue.
Adira gimana nih.
Lidya:
Iya. Diem diem bae.
Adira:
Gue ikut aja
Lidya:
Oke. Kita ke mall.
Kinara:
Ketemuan di sana.
Obrolan grup berakhir. Adira akan bersiap untuk pergi menemui sahabatnya. Dia ingin melepas sejenak perasaannya. Semoga ini berhasil.
.........
Tiga gadis sudah berkumpul di lobi mall. Mereka lalu berjalan kedalam bersamaan.
“Mau makan apa nih? Udah waktunya lunch kan?" tanya Kinara sambil melihat arloji yang melingkar di tangannya.
“Gue kaya pengen makan bakso hot jeletot deh." jawab Adira sambil membayangkan pedas dan gurihnya bakso hot jeletot.
“Kalau gitu kita makan ke foodcurt aja." putus Lidya yang langsung di setujui oleh keduanya.
Setelah sampai di foodcurt Adira duluan memesan bakso incarannya.
Sedangkan kedua sahabatnya masih bingung ingin makan apa. Sehingga mereka memilih untuk mencari tempat duduk dahulu baru memikirkan apa yang akan mereka makan.
Setelah Adira selesai memesan dia langsung membawa semangkuk bakso dan segelas es jeruk ke meja yang sahabatnya duduki.
Setelah Adira datang, baru kedua sahabatnya pergi untuk memesan makanan.
Di tengah makan mereka bercerita banyak hal. Hingga Adira lupa akan patah hatinya untuk sementara. Ya, walau hanya sementara tapi setidaknya Adira bisa lupa.
Setelah kemarin Adira berhasil melewati hari patah hatinya, Akhirnya hari Senin tiba.
dia akhirnya kembali masuk lagi ke kampus.
Adira mengambil kuliah regular yang hari kerjanya dari Senin sampai Jumat.
Saat ini Adira berada dikelasnya. Karena sebentar lagi kelas akan dimulai.
Tidak lama, dosen pembimbing masuk kelas.
Dia bu Nilasari.
Dosen ramah dan bersahabat dengan mahasiswa-mahasiswinya. Bu Nilasari sudah seperti ibu kedua di kampus. Karena memang pembawaannya yang ke ibuan dan gampang akrab.
“Selamat pagi, semua ...." sapa bu Nilasari dengan senyum ramahnya.
“Selamat pagi, Bu." jawab semua mahasiswa dan mahasiswi serempak.
Kemudian terlihat bu Nilasari memandang ke arah pintu.
Semua mahasiswa sontak ikut menoleh kemana arah bu Nilasari memandang.
Dari arah pintu berjalan gadis berambut panjang, kulit putih, hidung mancung.
Terlihat sangat cantik. Saat sudah sampai di hadapan bu Nilasari, akhirnya sang dosen buka suara.
“Ayo silahkan perkenalkan diri kamu." suruh bu Nilasari pada gadis di sebelahnya.
“Perkenalkan, nama saya Amanda Wijaya. Senang bertemu kalian semua." sapa gadis yang bernama Amanda itu.
“Baik, karena kalian sudah tau Amanda anak baru, kalian bisa berkenalan nanti ya. Ayo silahkan duduk Amanda." perintah bu Nilasari.
Amanda berjalan menuju kursi kosong yang tidak jauh dari tempat duduk Adira. Tepat di sebelah meja Adira.
Adira dan Lidya pun mengajak Amanda berkenalan. Karena memang meja mereka dekat.
“Hai ... salam kenal ya. Nama Gue, Adira." sapa Adira ramah kepada Amanda sambil mengulurkan tangannya.
“Hai Adira ... Salam kenal juga. Senang bisa mengenalmu." jawab Amanda tak kalah ramah dengan menerima uluran tangan Adira .
“Kenalin juga ... aku Lidya. Semoga kita bisa jadi teman."Ucap Lidya sambil mengulurkan tangannya.
“Oh iya senang juga bisa berkenalan dengan kalian. Ya, kita harus berteman." jawab Amanda mantap disertai senyuman manisnya.
Acara perkenalanpun terpotong oleh interupsi bu Nilasari, bahwa kelas akan dimulai.
Ketiganya langsung memfokuskan diri mendengarkan materi yang disampaikan oleh sang dosen.
Dua jam sudah berlalu. Kelas pun selesai. Semua mahasiswa dan mahasiswi keluar bergantian setelah sang dosen lebih dulu meninggalkan kelas.
Saat ini Adira sudah sampai di depan parkiran. Sedangkan Lidya sudah lebih dulu pulang karena membawa motor sendiri.
Soal Kinara, dia masih ada kelas lagi. Jadi tiga bersahabat itu tidak bertemu lagi.
Sambil menunggu pak Rama sampai, Adira memainkan ponselnya. Tanpa Adira sadari disebelahnya sudah berdiri Elvan sejak tadi.
“Adira ... ?" panggil Elvan lirih.
Adira sangat mengenali suara itu. Suara yang selalu dia hindari akhir-akhir ini. Tapi mengapa dia muncul lagi setelah perasaannya sedikit membaik?
Adira pun menoleh sekilas ke sumber suara. Dia mencoba berbesar hati tersenyum walaupun, hanya senyuman samar.
“Hai ... Lo belum balik?” tanya Adira basa-basi untuk mengusir rasa canggung pada dirinya.
“Gue masih ada kelas lagi."
Adira hanya mengangguk memberi jawaban.
“Gue ... Mau minta maaf sama Lo, Ra." ucap Elvan penuh penyesalan. Kepalanya tertunduk menatap ujung sepatunya.
Adira jelas sudah memaafkan. Tapi Adira berjanji tidak akan jatuh cinta lagi pada Elvan. Sudah cukup harapan palsunya sampai disini.
Walaupun sekarang hatinya belum sepenuhnya melupakan.
“Gue udah maafin Lo, kok. Emang Gue yang salah." jawab Adira dengan senyum tipis di bibirnya. Dia berusaha mengusir rasa sakit di hatinya.
Elvan jelas merasa tersentil dengan ucapan Adira barusan.
Setelah itu hening kemudian. Tidak ada suara lagi yang terucap. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga suara seorang gadis membuyarkan pikiran keduanya.
“Adira!" teriak suara gadis itu.
Memang jaraknya dengan Adira sedikit jauh, sehingga dia sedikit berteriak.
Adira pun melambaikan tangannya sebagai balasan.
“Gue duluan ya, Van." ucap Adira berlalu pergi.
Tanpa menunggu jawaban Elvan dia sudah melenggang pergi begitu saja.
Entah apa yang Elvan rasakan saat ini. Mengapa dia merasa sangat kehilangan?
Mungkin karena persahabatan mereka yang sudah sangat dekat. Sehingga Elvan merasa kehilangan sosok sahabatnya itu.
Ya, mungkin hanya karena itu. Elvan pun hanya bisa menatap kepergian Adira yang berlalu begitu saja.
Sementara Adira berjalan menghampiri Amanda. Dia sangat bersyukur akhirnya ada Amanda yang menyelamatkannya.
Jadi, dia tidak perlu berlama-lama berbicara dengan Elvan.
“Lo udah mau pulang?" tanya Amanda setelah Adira sampai di depannya.
“Udah ini. Lagi nungguin sopir jemput. Macet kali makanya sedikit lama nih." jawab Adira sambil melirik arloji di pergelangan tangannya.
“Bareng Gue aja gimana? Kan searah juga?" tawar Amanda.
Memang benar, rumah mereka tidak terlalu jauh jaraknya karena berada di satu kompleks.
Hanya menempuh waktu sepuluh menit sudah sampai.
Mereka memang langsung akrab dan bertanya alamat rumah masing-masing.
Setelah tau, ternyata rumah Adira dan Amanda lumayan dekat. Hingga akhirnya Amanda menawarkan pulang bersama.
“Nggak usah ... Paling bentar lagi juga nyampe kok." tolak Adira halus.
“Udah belum Amanda?” tanya seseorang dari dalam mobil yang di duga milik Amanda.
Seseorang tersebut menyembulkan kepalanya di jendela kaca mobilnya.
“Eh! kamu?" ucap seseorang tersebut terkejut setelah melihat ke arah luar.
“Kak Tristan?" ucap Adira sama terkejutnya.
“Kalian udah saling kenal?” tanya Amanda bingung . Telunjuknya menunjuk ke arah Adira dan Tristan bergantian.
Ya, seseorang tersebut adalah Tristan. Anak teman dari papanya.
“Eh bentar ... Kak Tristan siapanya Lo?” tanya Adira pada Adira penasaran.
“Ck. Ini Abang gue yang paling nyebelin, Ra." jawab Amanda bernada mengejek.
“Ooooh ... Abang ... ku kira siapa hehe." gumam Adira yang masih bisa di dengar oleh kakak beradik itu.
"Lo kira, bang Tristan pacar gue pasti kan?" Amanda berusaha menebak pikiran Adira.
Adira mengangguk dan tersenyum meringis.
“Bareng aja yuk, Ra! Dari pada nungguin lama." ajak Tristan pada Adira.
“Nggak usah Kak. Nggak papa ... Eh! itu pak Rama udah dateng." jawab Adira dan benar saja pak Rama, sopirnya sudah datang.
“Oke deh kalau gitu. Next time Lo main ke rumah ya." pinta Amanda dan masuk ke mobilnya.
“Oke deh ... Bye Man, bye Kak." Adira melambaikan tangannya saat mobil yang di tumpangi Amanda mulai meninggalkan parkiran kampus.
Akhirnya, Adira pun pulang bersama pak Rama.
Setelah sampai dirumah, Adira langsung menyalami mamanya yang sedang duduk di depan televisi.
Setelah itu, Adira langsung menuju kamar dan berganti pakaian rumahnya. Kemudian dia menghampiri mamanya untuk ikut menonton FTV kesukaan mamanya.
Sesampainya di ruang keluarga, Adira menjatuhkan dirinya di atas Double sofa yang berhadapan langsung dengan sofa yang di duduki oleh mamanya.
Dia merebahkan tubuhnya di sana dan mulai memejamkan mata.
Tidak butuh waktu lama, Adira akhirnya tertidur.
Bu Dewi yang melihat itu hanya bisa geleng-geleng kepala.
............
Amanda terlihat memperhatikan abangnya yang sedang senyum-senyum sendiri.
Daripada mati penasaran, Amanda memilih bertanya. “Abang kenapa dari tadi senyam senyum sendiri?" tanya Amanda penuh keheranan.
Belum ada sahutan dari abangnya yang sedang sibuk ngehalu sambil menyetir.
“Abang jangan halu deh. Yang fokus nyetirnya." ucap Amanda lagi sedikit kesal karena pertanyaannya tidak dihiraukan.
“Abang!!!!” pekik Amanda yang membuahkan hasil.
Abangnya langsung terkejut dan melotot ke arah Amanda.
“Eh! nggak usah teriak kali. Kenapa sih?" sahut Tristan sambil memegang dadanya.
“Abang tuh yang kenapa? Kaya orang stress senyam-senyum ...." balas Amanda dengan senyum mengejeknya seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Tristan.
Tristan langsung gelagapan.
Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tristan sudah seperti maling yang tertangkap basah, yaitu pasrah akan tebakan Amanda nanti.
Belum sempat Tristan menjawab, Amanda sudah menyela lagi.
“Jangan bilang Abang suka sama Adira dan lagi mikirin dia." tebak Amanda penuh selidik.
Matanya terlihat menyipit dan senyum mengembang di bibirnya.
Nah kan benar perkiraan Tristan?
Tristan langsung menggaruk hidungnya yang tidak gatal.
Amanda seperti cenayang yang tau akan isi pikiran dan hatinya.
Setelah itu hanya tawa menggelegar Amanda yang memenuhi mobil. Abangnya terlihat begitu lucu karena tertangkap basah.
“Emang kenapa kalau Abang suka sama Adira?" celetuk Tritan kemudian.
“Ya nggak papa sih. Aku dukung deh, Bang!” jawab Amanda menyemangati.
..................
Seorang laki-laki sedang duduk di balkon sembari menikmati kopinya. Menyesali setiap perkataan yang keluar dari mulutnya tempo hari.
Ya, dia adalah Elvan. Dia sangat menyesal atas apa yang telah dia lakukan. Elvan merasa sangat kehilangan Adira sekarang ini. Entah kehilangan dalam artian apa.
Adira adalah sahabat yang sangat mengerti dirinya. Yang selalu membuat nyaman dirinya. Mungkin hanya sekedar itu. Sekedar rasa kehilangan sahabat. Pikir Elvan.
Tapi terasa ada yang mengganjal di hatinya. Elvan bingung sendiri dengan perasaannya.
"Apa Gue sebenarnya suka ya, sama Adira?" monolog Elvan pada diri sendiri.
Ingin sekedar menghubungi Adira lewat ponsel pun Elvan merasa tak pantas. Dia sudah sangat keterlaluan.
Tapi, pikiran itu segera Elvan enyahkan. Dia harus menghubungi Adira terlebih dahulu. Demi persahabatan. Ya, mungkin hanya sebatas Demi PERSAHABATAN.
Elvan:
Adira....
Setelah beberapa menit, belum ada jawaban. Elvan masih menatap layar ponselnya. Berharap akan segera ada balasan.
Sedangkan disisi lain, Adira sedang membaringkan tubuhnya di kasur.
Di telinganya sudah terpasang earphone yang sedang memutar lagu Berhenti Berharap yang di populerkan oleh Sheila on Seven.
Itu hanya lagu random di ponselnya yang kebetulan menggambarkan isi hatinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Ting .
Elvan:
Adira....
Setelah membuka pesan tersebut, Adira tampak berpikir ingin membalas atau tidak. Setelah menimbang-nimbang,
Adira lebih memilih mengabaikan pesan itu dan lanjut mendengarkan lagu.
Tidak lama kemudian, ponselnya berbunyi lagi.
Ting.
Elvan:
Gue mau bicara sama Lo, bisa?
Gue tau Lo pasti marah.
Tapi gue bisa jelasin semua.
Adira hanya membacanya saja. Tidak berminat membalasnya.
Adira kembali menatap langit-langit kamarnya.
Perlahan, mata Adira mulai terasa sangat berat. Hingga beberapa menit kemudian akhirnya Adira tertidur.
Sedangkan di tempat lain, Elvan tampak sangat kecewa. Pesannya hanya di baca tanpa dibalas.
Dulu Adira tidak pernah seperti ini. Jika mengingat masa itu, entah mengapa Elvan sangat merasa kehilangan Adira.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!