NovelToon NovelToon

Cinta Tulus Sang Ceo

Kenapa memilih Papa ku?

Sebuah bucket bunga mawar merah besar, telah berada di tangan Ilham. Ia dengan semangat yang membara, berjalan dari kantor menuju sebuah reztauran untuk menemui wanita yang telah Ia sukai selama Dua tahun ini.

Sebuah cincin pun telah Ia siapkan, begitu indah dengan ukiran nama Dona di dalamnya.

"Jika kamu yang mengajak bertemu, pasti memang ada yang ingin kamu katakan." ucap Ilham, dengan senyum manis penuh harap..

Doa dan semangat pun selalu di kirimkan sang adik padanya Alulia. Ia yang tengah menjalani pendidikan di bangku kuliah itu, sangat mendukung  sang kakak dengan Dona. Karena memang, Ilham selalu curhat padanya.

"Semangat Kak,  Iam. Doa Aul dari sini untuk Kakak ipar." ucapnya, melalui whatsapp.

"Terimakasih, sayangku." balas I'am, dengan emoticon love nya.

Rasa semangat makin terpacu, hingga Ia sampai di tempat yang di janjikan.

"Hallo, Dona? Kamu dimana?" telepon I'am padanya.

"Di kursi Vip, ruang biasa." jawab Dona.

I'am pun menghela nafas panjang, sembari merapikan rambut dan jas hitamnya. Lalu kembali melangkah ke ruangan tersebut

"Siapa?"

"I'am, Mas. Dia, sudah sampai." jawab Dona.

"Oke, tak apa. Aku yang akan bicara padanya nanti." ucap Papa Wira, yang menggenggam tangan Dona, erat.

Mereka tampak saling menguatkan, dengan tatapan penuh cinta antara satu sama lain. Meski, Dona tampak takut akan respon yang akan I'am berikan padanya.

Setibanya I'am disana, Papa Wira melepas tangan Dona. I'am menghampiri dengan senyum, dan memberikan bucket bunga itu padanya.

"Terimakasih." ucap Dona. I'am pun duduk, di kursi yang tersedia.

"Kok, Papa ada disini? Ada apa?" tanya I'am, sedikit heran.

"I'am...."

"I'am, begini." potong Papa Wira pada Dona yang akan memulai cerita.

"Apa, ada apa?" tanya I'am, yang semakin penasaran.

Papa Wira, menggandeng tangan Dona. Ia membentang jari manis mereka berdua, dengan sebuah cincin yang sama. Satu tindakan, yang sanggup menjawab semua pertanyaan.

"Gila! Kalian Gila? Kalian mengkhianati aku seperti ini. Kenapa?" bentak I'am, yang tampak begitu emosi.

"Maaf, I'am. Aku, cinta sama Papamu." jawab Dona, lirih.

"Aku tahu, aku tahu kamu dari dulu memang ngga pernah merespon aku, Don. Tapi, jangan seperti ini. Dengan orang lain, aku bisa terima. Tapi ini, kamu dengan Papaku. Kenapa harus dia?" amarah I'am kian memuncah.

"I'am, tenang dulu. Papa bisa jelaskan."

"Apa? Apa yang mau Papa jelaskan? Papa udah lupa janji pada Mama? Papa lupa, tak akan membagi hati? Pengkhianat!"

"Ngga ada yang tahu, kapan perasaan itu timbul. Ngga ada yang tahu, kapan kita jatuh cinta lagi, dan dengan siapa itu. Ketika dengan Dona, Papa merasa nyaman. Papa merasa, Dia begitu mengerti apa yang Papa inginkan. Tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Mama kamu, Papa bersumpah."

"Kalian, sudah sejauh mana?" tanya I'am, dengan wajah datar.

"Apa maksud kamu?" tanya Dona.

"Apa, kalian sudah sering bertemu diam-diam, dan tidur bersama? Apa, kalian sudah sejauh itu? Jujur saja kalau...."

Plaaaaakkk! Sebuah tamparan keras, di layangkan Dona ke rahang I'am. Membuat pria itu meringis kesakitan. Bahkan, telapak tangan Dona memerah karenanya..

" Kamu fikir, aku wanita apa? Wanita murahan? Kamu fikir, karena aku menginginkan yang lebih tua, aku bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya? Kamu picik, I'am!" tukas Dona.

"Dan apalagi, yang di inginkan dari seorang Duda beranak Dua? Padahal kamu seorang wanita yang masih sangat muda? Hartanya?"

"Ilham!! Ngga pantes kamu ngomong begitu. Setuju atau tidak, kami akan tetap menikah." sergah sang Papa padanya.

Sekali pembohong, tetaplah pembohong

"Jika kalian tetap menikah, aku tak akan datang." ancam I'am pada Sang Papa.

"Terserah... Papa tak perduli, kami tetap akan menikah, Dua hari lagi." jawab Papa Dirga.

I'am, dengan segala emosinya langsung pergi. Meninggalkan mereka berdua, tanpa sedikitpun menoleh kebelakang.

Ia berjalan kembali ke kantornya, mengambil mobil yang masih terparkir disana. Jarak memang tak terlalu jauh, hingga hanya dengan berlari saja Iam telah sampai pada tujuannya.

***

"Dia, tak merestui kita." ucap Dona, tertunduk lemah.

"Dia hanya syok. Nanti, pasti akan berubah fikiran." ucap Papa Dirga, yang mengecup dahi Dona dengan begitu lembut.

Mereka memang sudah dekat sejak lama. Hanya saja, Dona selalu menyembunyikan hubungan mereka. Ia merasa tak enak hati, jika harus membuat kedua ayah dan anak itu harus bersitegang. Meski kini, semuanya harus terjadi juga.

Mereka berdua pulang kembali, setelah Dona membayar semua pesanan. Berjalan bergandengan dengan mesra, meski usia yang terpaut cukup jauh, yakni 25tahun. Semua orang tak akan menyangka, jika mereka adalah pasangan kekasih.

***

Ia telah tiba di rumahnya. Tepatnya, di rumah keluarganya. Ia masuk ke dalam kamar, dan langsung membereskan semua pakaiannya masuk kedalam koper. Aulia, sang adik pun menyusulnya ke dalam kamar ketika mendengar kabar yang mengejutkan itu.

"Kak, Kakak mau kemana?" tanya Aulia, lirih.

"Mau pergi, setidaknya tak harus menyaksikan pernikahan kedua pengkhianat itu." jawab I'am, berada emosi.

"Kak, Kakak jangan gitu. Maha mau tinggalin Aul sendirian?" tangisnya.

Iam meluruskan tubuhnya, mengusap wajahnya dengan kasar dan menahan kembali amarahnya. Ia membaik badan, lalu memeluk adiknya.

"Kamu ngga tahu apapun, jadi tenanglah. Biarkan Kakak meratap semua rasa sakit ini sendirian. Biarkan Kakak tenang untuk beberapa saat." bisiknya, ditelinga sang adik kesayangan.

Aulia menangis terisak. Ia bingung, harus memihak pada siapa saat ini. Antara Papa yang memang butuh kebahagiaan baru, dan Kakaknya yang begitu sakit.

" Aul harus tetap disini. Aul, harus menjaga hak Mama disini. Kakak, hanya pergi sebentar."

I'am melepaskan pelukannya, lalu melangkahkan kakinya keluar dari rumah besar itu.

Bukan tak ingin melepaskan harta sang Papa, tapi Ia mempertahankan hak yang telah Mamanya berikan. Ia takut, jika Ia melepaskan, akan ada orang lain yang memanfaatkan itu nanti.

I'am mengendarai mobilnya dengan cepat. Ia menuju sebuah hotel mewah, milik salah seorang sahabatnya. Ia membooking sebuah kamar dengan fasilitas yang lumayan mewah, dan menghabiskan bermalam-malam disana.

Ia diam, merenung, meluapkan segala rasa sakitnya. Tak jarang, Ia ke club yang ada di ruangan bawah, dan bermain dengan para wanita bayaran. Meski mereka tak sampai bermalam, karena I'am bukan lah pria penyuka **** bebas.

Dua hari mengisolasi diri. Iam mendapatkan kabar jika Papanya telah menggelar pesta pernikahan mewah, Didi sebuah hotel besar.

"Kalian serius rupanya." geram I'am, dengan softdrink nya.

Dalam berita pun mempertanyakan kehadirannya sebagai anak tertua.

"Ilham, Tengah menjalankan mandat saya di luar negri, sehingga tak dapat datang hari ini. Tapi, Ia tekah memberi selamat dan mengirim rangkaian bunga yang besar itu." tunjuk nya, pada sebuah rangkaian bunga diengah ruangan.

"Hhh, pembohong! sekali pembohong, tetaplah pembohong." gerutunya.

Wajahnya tampak begitu berantakan, dengan kumis dan brewok yang mulai panjang dan rambut yang acak-acakan. Matanya pun sayu, karena begitu sulit tidur malam dan siang. Ia tampak benar-benar hancur, dan seolah sulit sembuh dari rasa sakitnya.

Insiden Satu malam

"Aryo, tolong kirim ini ke ruangan 109, dan yang ini ke 108." perintah sang kepala pelayan.

"Baiklah, akan segera saya antar."

Jawab Aryo.

"Hati-hati, jangan salah. Yang satu bir, yang satu soft drink tanpa alkohol."

"Iya, kelihatan bedanya." jawab Aryo, lemah.

Aryo pun membawa Baki, menuju tempat yang telah di perintahkan sang bos padanya. Berjalan santai, dengan bersenandung ria.

"Malam, Mas Aryo." sapa Kalila pada rekanya.

"Malam, Lila cantik. Mau beberes?"

"Iya, kamar 109 minta ganti sprei lagi. Ngga tahu, seminggu udah ganti Sepuluh kali." ucap Lila.

"Wah, kebetulan. Bisa tolong bawakan ini sekalian?"

"Ke 109?" tanya Lila.

"Iya... Tolong, ya?"

"Baiklah." jawab Lila. Ia pun mengambil sebuah kantung berisi minuman, tanpa melihat dulu isinya.

Mereka berdua berpisah, lalu menuju tempat tujuan masing-masing.

Tok... Tok... Tok....! Lila mengetuk pintu kamar Iam.

"Masuk." jawab Iam dari dalam.

Lila pun menurut, dan masuk kedalam ruangan itu.

Ruangan begitu gelap, cahaya begitu ramang. I'am duduk di sofa nya, dengan botol dan bekas bungkus makanan berserakan.

"Ini, Pak, minumannya." ucap Lila.

I'am hanya berdehem, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Lila menyingkirkan dirinya, lalu memulai pekerjaannya untuk mengganti seprai. Ia pun membereskan sampah yang ada di ruangan itu, meski harus merangkak agar dapat menggapai bagian yang sulit.

"Tolong, ambilkan gelas. Kenapa begini botolnya?" pinta Iam.

"Saya, hanya menyampaikan pesan, Pak. Ngga tahu, isinya apa." jawab Lila.

Ia pun kembali berdiri, dan mengambilkan gelas untuk Iam. Setelah itu, Ia permisi keluar dari kamar tersebut.

Lila berjalan santai, membawa seprai kotornya menuju laundry. Beberapa menit Ia sadar, jika Hpnya tertinggal di ruangan itu.

" Ya... Masa harus balik lagi?" sesalnya. Tapi, itu Hp miliknya satu-satunya. Ia beli dari hasil kerja kerasnya selama ini.

"Mau kemana, La?"

"Ambi Hp. Ketinggalan tadi." jawab Lila, sembari berlari.

"Permisi..." ucap Lila, yang kembali masuk ke kamar Iam.

Karena tak ada jawaban, Ia pun masuk sendiri. Ruangan masih saja gelap, bahkan tercium bau alkohol yang sangat menyengat. Lila adalahntipe Orang yang tak bisa mencium bau alkohol meski sedikit. Kepalanya langsung pusing, dan bahkan mual.

Ia berusaha untuk segera mencari Hpnya, dan ingin segera pergi dari tempat itu.

"Mana?" lirih nya.

"Kau cari ini?" tanya I'am, yang terdengar mabuk berat.

"I-iya, Pak. Maaf, merepotkan." ucap Lila.

Lila berusaha mengambil Hp itu, tapi langkahnya tergelincir botol yang berserk di lantai.

Buuuughhhh!!! Tubuhnya terjatuh, dan tanpa sengaja memeluk I'am. Jatuh, tepat diatas ranjang yang empuk itu.

Kepala Lila langsung sempoyongan, mencium bau alkohol yang begitu menyengat dari bibir Iam. Dan I'am pun, tampak sudah tak dapat mengendalikan dirinya saat ini.

"Pak, tolong lepaskan saya." lirih Lila.

I'am bergeming, hanya tersenyum dan membela rambut Lila yang mulai berantakan. Ia membaik posisi, menindih tubuh Lila dan menatapnya tajam.

"Aaah, pusing sekali." lirih Lila, dengan memegangi kepalanya.

"Kau pusing? Aku juga. Mari kita bermain sebentar, menghilangkan rasa sakit yang kita rasakan." bisik Iam.

Pria yang tengah mabuk itu pun mulai menyerang Lila. Gadis itu berusaha menolak, tapi kalah tenaga. Kepalanya semakin sakit, apalagi cengkraman Iam yang begitu kuat.

" Jangan, ku mohon." tangisnya.

" Sakitnya hanya sebentar, tenang saja." ucap Iam, yang semakin liar.

Tak dapat di cegah lagi, ketika kesucian Lila terenggut oleh pria yang tak Ia kenal. Bahkan, wajahnya pun tak pernah dapat Ia lihat dengan jelas. Satu-satunya petunjuk, adalah rambutnya yang panjang dan tubuhnya yang berotot. Karena itulah, Ia tak dapat melawan sama sekali.

"Ini salah siapa? Apa salahku? Kenapa terjadi?" tangisnya dalam semua kejadian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!