"Katakan padanya untuk berhenti melakukan kesalahan. Setidaknya ini peringatan pertama sekaligus yang terakhir dariku. Selepas ini, jika hal semacam ini terulang kembali, maka enyah secepatnya kau dari gedung ini."
Suara bariton itu menggema, memenuhi ruangan. Tanpa menatap, CEO muda itu melontarkan kata-kata pedasnya untuk seseorang gadis berpakaian cleaning service yang menundukan kepala di depannya.
Tak mampu berbuat banyak, gadis itu hanya mampu tertunduk sebagai bentuk penyesalan.
"Baik, Tuan." Seorang manager keuangan berusia matang menganggukan kepala, meneruti perintah Erich, yang menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan tempatnya bekerja sebelum keadaan bertambah runyam.
"Pergilah!" sarkas Eric seraya memalingkan wajah, engan menatap kearah gadis yang sudah mengotori berkas-berkas pentingnya dengan cairan kopi.
"Baik, tuan." Sang Manager itu pun lekas menarik pergelangan tangan sang gadis pembersih itu untuk membawanya keluar ruangan secepat mungkin.
Begitu pintu ruangan tertutup, manager itu melepaskan pergelangan tangan sang gadis, kemudian menghela nafas dalam.
"Kenapa kau bisa seceroboh ini? Kau sudah melakukan kesalahan fatal. Beruntung Tuan Eric bisa mengontrol emosinya kali ini. Jika tidak, kau pasti akan dipecat dari perusahaan hari ini juga." Meski diliputi kekesalan, namun pria matang itu tetap bertindak sebijak mungkin untuk tidak mencaci bahkan memaki gadis yang nyatanya baru bekerja dua hari ini.
Gadis itu masih butuh bimbingan. Begitulah sang manager berkesimpulan.
"Ingat, setidaknya pikirkan Bu Retno. Jika kau tak fikirkan pekerjaanmu, maka fikirkanlah pekerjaan bu Retno."
Gadis bernama Isabel itu kian tertunduk.
"Maaf, tuan."
"Jadi, berhati-hatilah dalam setiap melakukan pekerjaan. Terlebih, jika menyangkut dengan tuan muda Eric."
"Pergilah."
Tanpa menunggu Isabel pergi, manager tersebut kembali memasuki ruangan CEO. Sungguh, ia lelah jika berada dalam situasi seperti ini. Kemungkinan besar ialah yang akan menjadi tempat pelampiasan sang tuan atas kesalahan yang baru saja diperbuat oleh gadis cleaning service tersebut.
Sial
"Di mana bu Retno?" Cecar Eric begitu manager memasuki ruangan.
"Maaf, tuan. Bu Retno sedang sakit hingga sementara waktu pekerjaanya akan digantikan oleh Isabel."
Eric membuang nafas kasar. Tak senang dengan jawaban pria di depannya.
"Sakit apa, dan lagi pula kenapa harus digantikan dengan karyawan baru yang sama sekali tak berpengalaman?"
Manager itu menelan saliva berat. Tentu tak akan mungkin ia menjawab jika seluruh cleaning service memilih angkat tangan dan ketakutan jika menyangkut urusan tuannya. Terlebih untuk memasuki ruangan yang mereka lebih menyeramkan dari pada ruang eksekusi.
"Maaf, tuan. Seluruh staf pembersih menolak. Mereka beralasan jika Isabel sudah mendapatkan penjelasan langsung dari Bu Retno segala seluk beluk ruangan, penataan, juga letak berkas-berkas penting milik tuan begitu pun dengan makanan juga minuman yang kerap tuan konsumsi. Tentu Bu Retno menjelaskan semua dengan terperinci pada Isabel yang menggantikan perannya sebagai staf pembersih ruangan tuan untuk sementara waktu."
Eric menghela nafas dalam.
"Cukup, keluarlah dan katakan pada gadis itu untuk pergi dari gedung ini, sekarang. Hari ini, aku tak ingin melihatnya keluar masuk ruanganku."
"Baik tuan." Menundukan kepala, selepas memutar tumit manager itu pun berlalu dari hadapan sang tuan.
💗💗💗💗💗
"Isabel," panggil seorang gadis yang tak lain adalah Starla, sekertaris pribadi Eric. Isabel menggeser pandang, hingga dua pasang netra itu berpautan.
"Kemarilah," ucap Starla lagi.
Isabel mengangguk, lantas berjalan pelan ke arah Starla.
"Duduk dan minumlah." Starla menepuk kursi kosong di sisinya kemudian mengulurkan sebotol air mineral pada gadis berpakaian Office girl tersebut.
"Terimakasih banyak, kak." Isabel menurut. Duduk kemudian meneguk minuman tersebut perlahan.
"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Percayalah." Starla menyemangati, meski sejujurnya tak membantu meredakan kecemasan Isabel sama sekali.
Gadis itu hanya mengulas senyum tipis, hingga pintu ruangan CEO tiba-tiba terbuka. Isabel menghela nafas dan sigap berdiri saat sang manager-lah yang keluar dari balik pintu tersebut.
"Pulanglah," titah sang manager yang mana membuat Isabel meneguk saliva berat.
"Apa tuan benar-benar memecat saya? Lalu bagaimana dengan nasib bi Retno. Saya mohon tuan, maafkan kesalahan saya. Beri saya satu kesempatan lagi, saya janji akan bekerja lebih baik lagi." Isabel mengiba. Bukan hanya untuk dirinya, namun lebih kepada nasib hidup Retno yang kini berada di tanggannya.
Manager itu tersenyum tipis.
"Pulanglah sekarang dan kembalilah esok pagi. Kau tetap bekerja. Tuan muda tidak memecatmu, hanya saja saat ini beliau sedang tidak ingin melihatmu berkeliaran di ruangannya." Sang manager memberi penjelasan.
Isabel dan Starla menghela nafas lega. Saling pandang dan tersenyum bersamaan.
"Terimakasih tuan."
"Jangan berterimakasih padaku, berterimakasihlah pada tuan muda Eric yang sudah berbaik hati untuk tidak memecatmu. Meski sejujurnya yang beliau pertahankan bukanlah dirimu, melainkan Bu Retno."
Isabel menunduk. Sadar jika dirinya bukanlah siapa-siapa tanpa ada nama Retno yang membentenginya.
💗💗💗💗💗
"Bibi, maaf." Wajah Isabel menunduk di hadapan perempuan yang punggungnya bersandar di pembaringan.
Retno tersenyum tipis. Perempuan baya berwajat pucat itu menatap wajah Isabel lekat.
"Apakah nona melakukan kesalahan lagi?"
Gadis itu mengangguk.
"Aku menumpahkan kopi di atas berkas-berkas penting tuan. Tapi demi tuhan, aku benar-benar tak sengaja bi."
Retno tersenyum. Wajahnya yang memucat, kini mulai memerah, seakan teraliri darah. Rupannya kedatangan Isabel membawa dampak besar pada kesehatan tubuhnya yang mulai menurun.
"Apakah Nona masih tetap yakin untuk mengantikan posisi saya hingga bisa kembali bekerja? Maaf, apakah nona masih sanggup untuk menghadapi sikap tuan muda Eric."
Sejenak Isabel terdiam, hingga anggukan kepala pelan, menjadi jawaban pertanyaan Retno.
"Aku benar-benar butuh uang untuk bisa membawa Ayah pergi dari rumah. Sedangkan aku tak yakin untuk bisa mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat, selain menggantikan bibi." Isabel tertunduk lesu. Sungguh sejujurnya ia tak ingin berada dalam posisi hidup seperti ini.
"Bersabarlah nona. Saya yakin jika tuhan memiliki rencana indah untuk orang-orang penyabar seperti nona," hibur Retno.
"Semoga."
Enggan berlarut dalam kesedihan, Isabel bergerak membuka tas yang sedari tadi bertengger di punggungnya.
"Untuk bibi." Isabel menguluskan sekotak makan dari dalam tas.
Retno menatap sayu gadis di depannya. Sudut matanya memanas. Ia terharu.
"Nona tidak perlu melakukan ini. Pergunakanlah uang nona untuk memenuhi kebutuhan nona sendiri."
Setiap kali berkunjung Isabel tak pernah absen membawa buah tangan. Namun kini, kondisinya berbeda. Gadis muda itu bahkan rela menjadi cleaning service untuk menyambung hidup.
"Tapi aku senang melakukannya." Senyum tulus di bibir gadis itu terulas. "Baiklah, Abel tak bisa berlama. Ayah pasti sudah menunggu di rumah." Bangkit, Isabel berpamitan pada Retno selepas mencium punggung tangan paruh baya itu.
💗💗💗💗💗
Ada sejejak kegetiran kala gadis berusia sembilan belas tahun itu mulai menjejakkan kaki di pelataran rumah megah yang sudah sekian tahun ia tinggali.
'Rumahku Istanaku', Isabel tersenyum miris. Apakah masih pantas disebut istana jika tak ada lagi kehangatan di dalamnya. Justru bangunan megah itu lebih terlihat seperti neraka, begitu mencium aroma kebusukan dari para penghuni rumah.
Beberapa pengawal yang tanpa sengaja berpapasan tampak menunduk pada Isabel yang tengah berlalu. Namun tak jarang mereka abai, sebab sadar jika Gadis tersebut bukanlah majikan yang sebenarnya kini.
Isabel menghela nafas dalam saat sudah memasuki pintu depan rumah utama. Senyap, diruang tamu tampak lengang. Tak ada siapa pun. Namun samar terdengar gelak tawa dari arah meja makan.
"Abel, kau sudah pulang. Kemarilah, kita makan malam bersama." Suara perempuan menyambut saat tanpa sengaja Isabel melewati ruang makan di mana beberapa pasang mata tengah menikmati hidangan mewah serentak menatap kearahnya.
Langkah Isabel terhenti. Mau tak mau sepasang mata beningnya menatap kearah wajah pemilik suara yang beberapa detik lalu menyapanya.
Dua orang pria, dan dua orang perempuan duduk saling berhadapan di meja makan. Sial, Isabel merutuk diri. Seharusnya ia memilih masuk lewat pintu belakang untuk menghindaru bertemu pandang dengan mereka. Tapi, ah sudahlah...
Pemilik suara itu tersenyum tipis, yang justru membuat Isabel muak. Sungguh pemandangan yang membuatnya memanas. Arum, ibu tirinya tampak duduk berhadapan dengan Erwin, orang kepercayaan Ayahnya. Sementara di samping, Larasati, saudara tirinya tampak berhadapan dengan Steven, putra sulung Erwin. Sungguh memuakkan. Para penghiat rupanya tengah berpesta.
"Isabel kemarilah." Kini giliran suara lembut mendayu milik Larasati menyapa indra pendengaran. "Selain makan malam, kami juga sedang membahas perihal pertunanganku dengan Steven bulan depan. Apa kau tak ingin tau seantusias apa kami melakukan persiapan." Serigai kemenangan terukir jelas dibibir berpoles lipstik warna nude milik Larasati. Ya, gadis itu bangga, sebab mampu merebut seorang Steven dari rengkuhan saudara tirinya, Isabel.
"Terimakasih. Silahkan lanjutkan acara kalian. Maaf, Aku permisi," tolak Isabel. Gadis itu sempat menundukan kepala sejenak, sebelum berlalu meninggalkan ruang makan. Lamat-lamat Isabel mampu mendengar gelak tawa menggiring kepergiaannya yang Isabel yakini keluar dari bibir seorang Larasati.
💗💗💗💗💗
Isabel bukanlah gadis miskin. Hidupnya berkecukupan dan ditunjang fasilitas mewah. Namun itu dulu, sebelum Arum datang dan menyelinap masuk kedalam rumah tangga orang tuanya.
Pergi dari ruang makan, Isabel melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan yang berada diujung bangunan kediaman mewahnya.
Isabel membuka kenop pintu perlahan hingga tak menimbulkan suara. Hening dan temaram lampu tidur menyapanya.
Sang penghuni ruangan mungkin sudah tertidur.
Gadis itu meraba saklar lampu hingga seluruh ruangan berubah terang benderang. Isabel menghela nafas, menatap nanar tubuh renta yang tergolek lemah di atas ranjang. Tubuh kurus dengan rambut separuh memutih menjadikan seseorang yang tengah terlelap itu lebih tua dari usia sebenarnya.
"Ayah," sapa Isabel sesaat sesudah menjatuhkan bobot tubuhnya di pinggir ranjang.
Pria yang disebut ayah itu mengerjap. Sepasang netra sayu berbinar, dam tersenyum haru saat mendapati sang putri duduk di sampingnya.
Isabel menatap sepiring makanan di atas nakas yang sepertinya belum tersentuh.
"Ayah sudah makan?"
Pria itu menggeleng lemah.
"Ayo, Isabel suapi." Isabel mengangkat tubuh sang ayah untuk bersandar di pembaringan. Menyuapinya dengan telaten dan penuh kehati-hatian.
Sudut mata pria paruh baya itu memanas. Bola matanya mulai berkaca-kaca. Hidup dalam kelumpuhan membuatnya tak mampu berbuat apa-apa, walau untuk menebus kesalahannya di masa lalu.
"Ma-maaf, maafkan ayah nak," ucap pria paruh baya itu dengan bibir bergetar.
Sang putri bungkam, hanya anggukan samar pertanda jawaban.
Tbc.
Seperti goresan pedang yang menyentuh kulit. Sakit, bercampur perih. Isabel tak mengalaminya tetapi bisa merasakan sakitnya saat ucapan Maaf justru terucap berulang kali dari bibir pucat sang Ayah.
"Maaf," lirih sang Ayah hingga pria itu memejamkan mata.
Selepas memastikan sang Ayah terlelap dalam, Isabel lekas memungut piring bekas makan dan membawanya keluar.
"Nona, apakah tuan sudah mau makan?" Seorang pelayan melempar tanya sesaat pintu kamar terbuka dengan wajah khawatir.
"Ya," jawab Isabel seraya mengangguk.
Pelayan bernama Ratih itu seketika menarik nafas lega. Setiap hari, tanpa lelah Ratih terus membujuk tuannya untuk makan tepat waktu. Namun sang tuan dengan tegas menolak, dan hanya bersedia makan jika Isabel-lah yang menyuruh lantas menyuapinya.
"Bibi belum tidur?"
Paruh baya itu menggeleng.
"Bagaimana dengan pekerjaan nona?" lirih, pelayan itu bertanya pada sang nona.
"Tidak ada masalah, semua berjalan lancar seperti pada umumnya."
Akan tetapi jawaban Isabel tak sesuai dengan kenyataan.
"Tuan sempat bertanya pada Bibi."
"Tentang?"
"Tentang jarang terlihatnya nona beberapa hari ini di rumah."
"Lalu apa jawaban bibi?" Isabel menautkan alis, curiga juga cemas jika Ratih akan menceritakan semuanya pada sang ayah.
"Saya menjawab yang sejujurnya, jika Nona bekerja sementara waktu untuk mengantikan Retno sebagai cleaning service disebuah perusahaan."
Glek.
Isabel menelan ludah. Dadanya pun terasa sesak seakan terhimpit bongkahan batu besar.
"Sudah kuduga." Saat sang ayah mengucap kata maaf berulang, diiringi bulir bening yang mengalir di sudut mata saat ia memberinya makan, Isabel berfirasat jika sang Ayah sedang tak baik-baik saja. Besarnya penyesalan membuat pria paruh baya itu kerap menunjukan ekspresi demikian. Hingga sang putri yakin, jika sang Ayah cukup terguncang saat mengetahui putrinya bekerja sebagai tenaga pembersih, sedangkan harta yang ia punya tak akan habis dimakan tujuh turunan.
💗💗💗💗💗
Rasa lelah selepas seharian bekerja, ditambah peperangan batin begitu memasuki kediamannya, begitu sangat menyita tenaga seorang Isabel praja diwangka.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu tak langsung berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri, namun lebih memilih berbaring di atas ranjang seraya menatap plafon langit-langit kamar.
Bayangan masalalu itu kembali menyapa, saat raga terasa lelah dan mengikis semangat untuk bisa melanjutkan hidup. Hidup Isabel diambang keterputusasaan.
Bergelimang harta dan terlahir dari pasangan muda nan harmonis, menjadi kebahagiaan tak terkira bagi seorang Isabel Praja Diwangka.
Sang Ayah Praja diwangka merupakan putra dari Pram diwangka yang mempunyai banyak usaha pertambangan batu bara di daerah kalimantan dan kini diwariskan pada putranya, Praja Diwangka.
Sementara sang ibu, Laura Wiharjo Diningrat, juga bukan berasal dari keluarga biasa. Perempuan itu terlahir dari pasangan yang masih keturunan keluarga keraton. Hingga Praja dan Laura sering disebut pasangan ideal yang berasal dari keluarga berada meski menikah atas dasar perjodohan.
Saat memasuki usia pernikahan yang ke dua, Isabel lahir kedunia hingga kian memperkuat ikatan cinta yang terjalin antara Praja dan laura.
Semua berjalan seperti biasa. Harta kian berlimpah begitu pun bisnis yang kian berkembang pesat dan menjamur keberbagai kota. Tak ada yang berbeda. Begitu pun hubungan rumah tangga Praja dan laura. Sementara Isabel tumbuh menjadi gadis cantik yang begitu cerdas dan periang. Gadis kecil itu dilimpahi banyak cinta dari orang-orang terdekatnya.
Isabel diperlakukan layaknya putri mahkota. Tak memiliki adik, membuatnya menjadi satu-satunya tempat mendapatkan perhatiaan dari banyak orang. Akan tetapi, Isabel bukanlah gadis sombong dan Arogan yang akan memanfaatkan keadaan. Dia tetap santun dan rendah diri pada semua orang di sekelilingnya.
Akan tetapi kebahagian yang terjalin mulai terkikis saat perempuan bernama Arum meringsek ke dalam hubungan rumah tangga Praja dan laura.
Arum bukanlah siapa-siapa. Bukan sanak saudara juga bukan teman dekat keduanya. Janda beranak satu itu hanyalah orang lain yang tanpa sengaja ditolong oleh laura, kemudian ditampung di kediaman mewahnya.
Arum yang semula terlihat bersahaja, rupanya menjadi gelap mata dan licik saat rasa iri menutupi mata hati. Segala tipu daya dan hasutan ia gencarkan hingga memicu perdebatan dan salah paham diantara Praja dan Laura setiap harinya.
Pada awalnya Laura sama sekali tak menaruh curiga, namun saat memergoki Praja dan Arum tengah bercumbu mesra, perempuan itu murka dan menghajar Arum dengan kekuatan yang ia punya.
Ditengah ketergunjangan yang baru saja dialami, Laura kian dibuat frustrasi saat Praja memilih membela Arum dan berniat untuk menikahinya.
Terang saja Laura tak terima, namun ia pun tak ingin jika pernikahannya kandas yang kemungkinan besar akan berdampak pada mental Isabel juga kerajaan bisnis yang keduanya bangun dengan susah payah.
Sekali lagi, Praja tetaplah seorang Praja. Lelaki yang sudah dikuasai hatinya oleh Arum itu tetap nekat menikah lagi meski tanpa persetujuan sang istri.
Dunia seakan runtuh. Laura luruh dan menangis dalam pelukan Isabel yang kala itu sudah berusia empatbelas tahun. Tentu gadis itu mulai faham akan kemelut rumah tangga yang dialami orang tuanya, meski tak secara keseluruhan.
Keberadaan Arum yang rupanya menjadi ibu kedua baginya, juga status Larasati yang kini menjadi kakak tirinya, membuat Isabel faham jika hidupnya tak lagi sama. Semua untuk dirinya dan sang ibu terbagi. Bukan hanya kasih sayang Praja, namun juga segala fasilitas hidup yang ada.
Laura depresi. Pengkhianatan suami dan teman yang ia pungut di jalan menjadi goncangan terhebat hingga perlahan mengerus mental. Laura lebih banyak diam dan menyendiri tanpa perduli pada sekeliling.
Isabel yang masih dalam proses tumbuh kembang, mulai terabai. Tak lagi mendapat kasih sayang utuh kala sang Ayah justru sibuk dengan keluarga baru dan sang ibu terus larut dalam duka yang berkepanjangan.
Perlakuan tak menyenangkan kerap Isabel dapat dari Ibu dan saudara tirinya. Bahkan kamar utama yang sedari kecil ia tempati diambil paksa. Begitu pun segala fasilitas yang Isabel dapatkan selama ini, berpindah tempat dan dinikmati Larasati. Isabel hanya diam, mengigat sang ayah pun tak keberatan dan membiarkan ketidak adilan itu terus berjalan berbulan lamanya.
"Isabel sudah menikmatinya sedari kecil, maka sekarang, sedikit mengalah-lah untuk saudara tirimu. Dia berhak atas semua yang kau punya, sebab posisi kalian sekarang sama, sama-sama anak Ayah."
Kalimat yang terucap dari bibi Praja membuat Isabel menangis dalam diam. Gadis itu sadar, jika Rasa sayang cinta ayahnya dulu, kini tak lagi sama. Bahkan hampir tiada, seiring Larasati yang mulai mengantikan posisinya sebagai putri Praja diwangka.
Akan tetapi dibalik ketegaran seorang Isabel, Laura, sang ibu tak bisa terima begitu saja. Ia berontak. Bahkan sempat mencekik Praja dengan kedua tangannya. Praja yang mulai terhimpit, berusaha melawan dengan mendorong laura cukup kuat hingga tubuh perempuan membentur tembok hingga bagian kepala mengeluarkan banyak darah. Praja syok, terlebih saat laura memejamkan mata. Perempuan itu pingsan hingga secepat kilat dilarikan ke rumasakit.
Isabel membeku, seorang dokter menyatakan jika sang ibu koma akibat benturan yang cukup keras di area kepala. Dunianya seakan runtuh. Pelita hidupnya kini memejamkan mata dan entah kapan kembali terbuka.
Semenjak itu, kehidupan Isabel mulai berbeda. Gadis itu bangkit dan berusaha bangkit dengan kedua kakinya sendiri tanpa berharap belas kasih orang lain. Terlebih Laura meninggal, selepas beberapa bulan menjalani perawatan.
Isabel menjalani kehidupan tanpa meminta fasilitas dari ayah kandungnya. Ia memilih bekerja apa saja untuk membiayai hidupnya. Hingga beberapa tahun berlalu, Arum mulai menunjukan jati diri yang sebenarnya.
Karma mungkin saja datang. Praja dinyatakan lumpuh akibat kecelakaan lalu lintas yang nyaris merenggut nyawanya. Dalam kondisi sakit, semua tabir yang dulu tertutup rapat kini mulai terkuak.
Arum, istri yang begitu dipuja Praja sebagai istri sempurna, nyatanya pun berselingkuh dengan Erwin, tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Praja. Mungkin kini dunia seolah menertawakan kebodohan Praja.
Sesal memang datang terlambat. Kini Praja hanya bisa melewati hari di pembaringan, sembari menatap perih para pengkhianat yang bebas menikmati hidup dengan uang miliknya.
Bola mata Isabel mengerjap. Begitu sesak kala mengingat perjalanan hidupnya beberapa tahun lalu. Berharap bisa melewati masa muda dengan penuh bahagia, nyatanya hanya kepahitanlah yang didapat. Akan tetapi Isabel pun bersyukur. Di balik semua fase hidup yang dilewati, nyatanya cukup memberikannya sebuah pembelajaran hidup yang berarti.
Kini hanya ada satu hal yang ingin gadis itu wujudkan secepatnya. Bekerja, menghasilkan banyak uang hingga bisa membawa sang ayah pergi sejauh mungkin dari rumah. Sebab hanya dengan pergi, akan membebaskan Isabel dan sang ayah dari jerat para pengkhianat yang sudah menguasai sebagian besar harta Praja Diwangka.
Di depan pintu ruangan CEO yang masih tertutup rapat, seorang gadis tampak berdiri dengan memegang nampan berisikan secangkir kopi di tangan. Gadis itu menarik nafas dalam. Berulang. Guna meredam rasa takut juga cemas yang menjalar disekujur tubuh.
Satu
Dua
Tiga
Isabel kembali memejamkan mata. Maju mundur ketika hendak mengetuk pintu atau justru berbalik arah dan pergi tanpa memerikan secangkir kopi pesanan sang tuan.
Akan tetapi, bagaimana dengan nasib secangkir kopi yang ia bawa.
Ah sial.
Isabel merutuki diri. Kenapa Erich memesan kopi dalam situasi yang tidak pas. Saat tak ada satu office boy pun di area dapur yang bisa diminta bantuan untuk membuatkan kopi sesuai selera sang tuan. Hingga mau tak mau ia lah yang harus meracik minuman berwarna hitam pekat itu, meski tak yakin jika Erinc akan sudi meminumnya.
Satu tangan gadis itu mulai terangkat ke udara. Ragu, namun tak ada pilihan lain sebelum kopi panas itu menjadi dingin.
Keempat ruas jemarinya membentur pintu bercat putih tersebut hingga menimbulkan suara.
"Masuk." Terdengar sahutan dari dalam.
Gadis itu menarik nafas dalam. Berdehem. Sebelum tangannya bergerak untuk menekan gagang pintu.
Isabel tertunduk saat pintu berhasil terbuka. Sepasang kakinya melangkah menuju meja kerja sang tuan. Demi apa pun, Isabel benar-benar dibuat gemetar sekarang.
"Saya membawa kopi yang tuan pesan."
"Hem."
Secangkir kopi pun mendarat sempurna tanpa cela ke atas meja. Isabel bisa menarik nafas lega sebab kali ini ia melakukan tugas lebih baik dari hari sebelumnya. Meski Ia bukan gadis lemah, akan tetapi saat berhadapan dengan Eric, membuat keberaniannya menghilang seketika.
Menunggu sejenak. Belum adanya perintah membuat Isabel hanya berdiri di tempat semula.
"Pergilah," titah sang tuan.
"Ba-baik."
Gadis dengan rambut diikat rapi itu lekas berbalik. Segera menghilang sebelum sang tuan berubah fikiran.
Selangkah, dua langkah dan tiga langkah.
"Tunggu."
Isabel menegang. Sontak matanya memejam. Pasti ia melakukan kesalahan hingga Erich menghentikan langkahnya.
"I-ia, tuan," jawab Isabel selepas berbalik badan. Menghadap ke arah sang tuan.
"Siapa yang membuat kopi? OB atau..?"
Isabel menelan salivanya berat. Demi apa pun Erich kini sedang membahas siapa pembuat kopi yang baru saja disesapnya. Dan sayangnya, secangkir kopi itu adalah hasil racikannya.
"Sa-saya, tuan." Tertunduk dalam. Isabel yankin jika sebentar lagi cangkir berisikan cairan kopi itu akan melayang ke wajahnya.
"Kenapa kau yang membuatnya?"
"Karna sama sekali tak ada OB di dapur hingga saya berinisiatif untuk membuat kopinya sendiri untuk tuan."
"Dan kau percaya diri dan yakin jika aku akan menyukai kopi buatanmu?"
Isabel menyesal.
"Ma-maaf, tuan. Saya terlalu lancang."
"Hem, pergilah."
Gadis itu mengangguk. Melangkah gontai menuju pintu dan menghilang secepat mungkin dari hadapan sang tuan.
💗💗💗💗💗
Isabel membawa tubuhnya menuju ruang istirahat khusus pelayan. Di sebuah kursi yang terletak di sudut ruangan, gadis manis itu merutuki kesalahannya yang sudah lancang membuatkan kopi untuk seseorang dengan jabatan tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
"Bodoh, seharusnya aku menunggu OB datang hingga tak mendapat masalah seperti ini."
Meski dilanda sesal, namun Isabel pun mendapat kesenangan saat bisa menyentuh kembali mesin kopi setelah beberapa bulan lamanya.
Sejujurnya Isabel juga tak sembarang meracik kopi untuk sang tuan. Gadis berlesung pipi itu rupanya punya keahlian khusus dalam bidang meracik kopi. Baik mengunakan mesin kopi canggih atau pun manual.
Hingga gadis itu pun menyakini jika secangkir kopi yang ia buat tadi untuk Erich, memiliki rasa yang nikmat. Terutama bagi mereka yang merupakan kaum pencinta kopi. Hanya saja, Isabel belum tau pasti, kopi sejenis apakah yang kerap dinikmati sang tuan.
Ah sudahlah. Demi sebuah keinginan, walau seberat apa pun rintangan, Isabel tak akan menyerah. Keinginannya tetap kuat demi lembaran cuan, yang akan membawanya juga sang ayah menuju kebebasan.
Sementara itu di ruangan lain.
Kenapa jadi senikmat ini.
Erich kembali menyesap kopi dalam cangkir itu perlahan. Seolah begitu menikmati setiap teguk cairan hitam yang mengalir lembut di tenggorokannya.
Kenapa bisa pas seperti ini.
Bertahun Retno membuatkan kopi untuknya, tetapi Erich yakin jika rasanya tak kalan nikmat dari kopi yang dimunumnya saat ini, dan itu adalah buatan Isabel yang notabene baru bekerja di perusahaannya beberapa hari ini.
Ini gila.
Erich tergolong pria yang pemilih dengan segala macam asupan makanan juga minuman yang masuk ke dalam tubuhnya. Juga tidak sembarang orang mengerti seleranya, terkecuali orang-orang sudah sekian lama melayaninya. Seperti Retno dan Zara, ibundannya. Namun kini, kenapa kopi racikan isabel serasa begitu pas di indra pengecapnya?.
Erich tak ambil pusing. Ia pun kembali meneguk kopi, hingga tetes terakhir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!