"Ressa!" Teriakan Rina, sang ibu menggema di kamar wanita berusia tiga puluh tiga tahun itu.
"Kamu ini anak perawan suka bangun kesiangan. Pamali, makanya jadi perawan tua!" Sarkas Rina, membangunkan putrinya dengan cara yang ekstrim.
Ressa sudah tidak heran mendengar suara teriakan ibunda tersayangnya ini.
"Inikan hari libur Bu, aku masih ngantuk." Ressa mengucek-ngucek mata, lalu tarik selimut lagi. Mengacuhkan suara merdu sang ibu, dia seperti sedang dinyanyikan.
"Eeee.. malah tiduran lagi." Rina keluar kamar mengambil tutup panci dan sendok. Ia dendangkan tepat di samping telinga Ressa.
"Ibuuuu!" Pekik Ressa, ia terpaksa mengangkat pantat dari kasur. Melengos ke kamar mandi.
"Mau sampai kapan kamu jadi pemalas begini Sa, ingat umur sudah tiga puluh tiga tahun. Adikmu sudah pada menikah dan punya anak," omel Rina.
"Kalau aku pemalas, mana mungkin perusahaan mau menerimaku sebagai karyawan Bu." Sahut Ressa dari depan pintu kamar mandi, dia menghela napas lelah. Isi tausiyah setiap pagi yang tidak pernah berubah.
Tidak bisa mengertikah ibunya itu dengan aktivitasnya selama di kantor yang menguras tenaga dan emosi. Ia hanya butuh waktu untuk istirahat dengan damai di rumah saat hari minggu. Kalau begini lebih baik tinggal di apartemen saja, huh!
Ritual mandi ia selesaikan secara kilat, baru jam tujuh pagi ibunya sudah seperti orang kebakaran jenggot membangunkan.
Usai mandi Ressa mencari sarapan ke dapur. Di rumah mereka hanya tinggal bertiga, sejak adik bungsunya menikah. Orang tuanya memilih ikut tinggal dengannya di Jakarta.
"Pakaian kamu itu gak ada yang lebih sopan sedikit?" Tegur Rina melihat putri sulungnya melangkah ke dapur hanya menggunakan hot pants dan kaos lengan pendek sangat kentat. Menurut Rina pakaian anaknya itu kurang pantas.
"Ini sudah sopan, Bu. Kurang sopannya di mana? Belahan dadaku kan gak kelihatan." Tukas Ressa kesal, semua yang ada di dirinya selalu jadi bahan protesan. Ujung-ujungnya jadi bahan perbandingan, seperti matematika saja.
"Itu paha mau digoreng?" Tanya Rina garang.
"Enak Bu kalau kalau digoreng." Jawab Ressa dengan kekehan. Malas menanggapi ucapan ibunya dengan serius yang bisa berakhir makan hati.
"Itu lihat, anak Ayah yang terlalu dimanjain. Suka menjawab kalau dibilangin, jadi perawan tua kan akhirnya!" Rina melampiaskan kekesalannya pada sang suami.
"Sudahlah Bu, biarin aja dia. Jodohnya belum sampai mau gimana lagi." Amrin menanggapi istrinya yang kesal dengan santai sambil menyeduh kopi.
"Itulah Ayah selalu belain dia. Bikin malu aja punya anak perawan gak nikah-nikah. Semua anak gadis tetangga kita di kampung sudah pada nikah. Tinggal dia yang betah jadi perawan tua," tukas Rina.
"Malu-maluinnya di mana Bu? Aku gak ngemis-ngemis buat minta makan. Makan juga dari uang hasil keringat sendiri, bukan dari tetangga. Aku gak pernah ngurusin tentangga ibu di kampung tuh. Ngapain harus malu." Jawab Ressa dari meja makan, masih mendengar keresahan ibunya yang malu memiliki anak perawan tua.
Amrin geleng-geleng kepala, anak dan putri sulungnya ini tidak pernah akur. Ada saja hal yang dipermasalahkan setiap hari.
Ressa makan dengan cepat lalu kembali ke kamar. Di depan cermin ia menatap penampilan dirinya. Apa yang kurang? Kalau dibanding dua adiknya dia tidak kalah cantik. Ocehan ibu yang setiap hari membuatnya lelah juga.
Apa aib punya anak belum menikah. Kalau jodoh bisa tentukan, gak perlu dia jadi jomblo ngenes. Setiap punya pasangan selalu berakhir gagal ke pelaminan.
Jatuh cinta saja tidak bisa memilih maunya sama siapa. Apalagi jodoh. Huh. Ressa membuang napas kasar berkali-kali untuk melegakan saluran pernapasannya.
Tuhan aku request satu lelaki yang tampan, mapan, rupawan, dermawan dan hanya untuk aku seorang. Sisain satu please, jerit Ressa pelan sambil tertawa sendiri.
Di atas tempat peraduan seorang pria menyingkap selimut. Kelapnya malam menemaninya dari satu wanita ke wanita lain. Tak ada pernikahan dalam kamus hidupnya.
Pernah satu kali ia mengajak wanita menikah, namun dewi keberuntungan tidak berpihak padanya.
Tubuhnya atletis dan rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu menambah kesan gagah penampilannya. Wanita mana yang bisa menolak pesonanya, terkecuali hanya satu orang. Sudah beberapa tahun ini ia tak pernah bertemu lagi. Ada rasa rindu yang tak bisa tersampaikan.
Netranya menatap wanita yang menemani malam panjangnya. Ia bangkit ke kamar mandi. Selesai ritual bersih-bersih langsung pergi meninggalkan wanita yang masih meringkuk di bawah selimut itu.
Malas pulang ke apartemen, ia mendatangi rumah sahabat sekaligus partner bisnisnya. Hari libur sering ia habiskan di sana dari pada menemani para wanita berbelanja, sungguh sangat membosankan.
"Uncle...!" teriak gadis kecil yang hari ini tepat berumur tiga tahun. Kaki mungil itu mendekati sofa tempat di mana Ardiya Tiandra duduk. Lelaki yang bisa menjerat wanita hanya dengan satu kedipan mata.
"Yes honey, come on." Lelaki yang lebih sering disapa Tian itu merentangkan tangan. Membawa Erra Tanisha putri sang sahabat, Erfan dan Hira dalam pangkuannya.
Di belakang gadis kecil itu ada babysitter yang tak berkedip menatap Tian.
"Uncle bawakan Erra hadiah apa?" Tanya Erra, saat berbicara bibir mungil itu sangat menggemaskan.
"Acaranya kan nanti siang, jadi Uncle belum bawakan hadiah." Tangan Tian terulur mengusap rambut bergelombang Erra.
Kepala kecil itu menggeleng dengan bibir cemberut, ditambah mata yang berkaca-kaca. Siapa yang tidak gemas melihatnya.
Erfan sang ayah geleng-geleng kepala melihat tingkah putri kecilnya itu. Aktingnya sungguh menghayati sekali.
"Emang daddy sudah ngasih Erra kado?" Tanya Tian licik, tersenyum miring pada sahabatnya.
"Belum, kata daddy kejutannya nanti pas tiup lilin." Jawab Erra yang baru lancar bicara itu.
"Sama dong. Uncle ngasih kejutan bareng daddy nanti," ujar Tian dengan senyuman menggoda. Anak kecil saja jadi sasarannya.
"Beneran? Uncle pasti nanti bilang lupa. Terus gak jadi ngasih Erra kado," katanya cerewet.
"Siapa sih yang ngajarin, jadi pintar banget." Gemas, Tian menciumi kedua pipi gadis itu.
"Mommy," jawab gadis kecil itu dengan lantang.
Erfan terkekeh kecil, untung mommy-nya lagi sibuk. "Erra temani mommy ya, daddy mau ngobrol sama uncle dulu."
"Yes, Daddy." Erra sambil mengangguk-angguk lucu. Erfan memanggil babysitter untuk menemani putrinya. Ia mengajak Tian ke ruang kerja.
"Gue mau ketemu Ressa, lo sembunyiin dia di mana." Ini bukan yang pertama kalinya Tian meminta Erfan untuk memberitahu keberadaan wanita yang sangat ingin ia nikahi itu.
"Dia ada di sekitar sini, emang gak jodoh aja lo jadi gak pernah ketemu dia." Erfan tersenyum mengejek.
"Lo tega banget bikin gue tersiksa!"
"Tersiksa dari mana? Lo suka pilih mau perempuan mana buat nemenin tidur!" Tukas Erfan geram, tidak sekali dua kali ia memberikan sahabatnya ini wejangan. Tapi selalu saja masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
"Gue mau nikah, tapi cuma sama Ressa." Ungkap Tian, tidak tau apa yang membuat hatinya bersikeras ingin menikah dengan Ressa. Padahal tidak pernah ada hubungan yang terjalin antara mereka, selain bos dan karyawan.
"Kalau beneran mau nikah sikap lo gak gini. Lo berhenti nidurin perempuan. Gue bakal bantu lo dapetin Ressa kalau berhenti jadi pemain wanita."
"Sekarang gue gak bisa, Erfan. Gue butuh mereka untuk menghangatkan ranjang gue."
"Ya sudah, berarti lo gak usah berharap sama Ressa. Dia berhak mendapatkan laki-laki yang baik. Jangan serakah, mau semua wanita." Tegas Erfan, Tian bergeming di tempat, menghela napas dengan gusar. Behenti dalam sekejap itu mustahil untuk dilakukannya.
Ressa merias sedikit wajahnya agar lebih fresh untuk menutupi guratan hitam di sekitar mata. Ia memadukan kemeja putih dengan straight jeans dan sepatu high heels.
"Ayah, Ibu. Aku berangkat!" Teriak Ressa dari depan pintu dengan ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Ia manusia biasa pastilah sakit hati. Tapi lebih memilih menutup mata, telinga dan membekukan hati.
Sebelum keluar dari mobil, Ressa merapikan rambut kecoklatannya yang tergerai indah. Mobilnya sudah terparkir di depan rumah mewah sang sahabat. Ia membawa kado yang sudah disiapkan untuk ulang tahun Erra nanti siang.
"Assalamualaikum," teriak Ressa riang dari depan pintu. Yang keluar malah gadis kecil dan babysitternya.
"Tanteee...!" pekik Erra girang. Mengangkat tangan minta digendong. Ressa memberikan kado yang dipegangnya pada babysitter lalu membawa putri Erfan dan Hira itu dalam gendongan.
"Mommy mana, Sayang?"
"Lagi di taman nyiapin ulang tahunku," jawab gadis kecil itu dengan semangat. Meminta pada babysitter untuk memanggilkan sang mommy.
Dua orang perempuan beda usia itu menunggu di ruang keluarga. Bertepatan Erfan yang kembali ke ruangan itu bersama Tian.
"Unclee... kenalin tante cantikku!" Pekik Erra, anak itu selalu ceria. Siapa menyangka bayi yang beberapa bulan tinggal dalam rumah kaca itu tumbuh dengan baik. Ia terlahir premature, tapi sekarang tumbuh dengan baik dan sehat.
Ressa mematung sambil memangku Erra. Sedang Erfan tersenyum penuh arti, ia memang sudah merencanakan agar Tian dan Ressa bisa bertemu. Tapi ternyata takdir mempertemukan mereka secepat ini.
"Yes, honey. Tante kamu memang sangat cantik." Ujar Tian sambil mengedipkan mata pada perempuan yang sangat ingin ditemuinya. Ia berjalan cepat pura-pura mendekati Erra, padahal sudah jelas tujuannya pada Ressa.
Seolah ingin mengambil Erra dari pangkuan Ressa, Tian mengecup samping kepala perempuan itu. Menghirup aroma tubuh Ressa yang sangat ia rindukan.
Ressa membulatkan mata saat menyadari apa yang dilakukan Tian. Jantungnya berdetak cepat, ada glenyar-glenyar aneh yang memenuhi dirinya. Tangannya menggenggam Erra untuk mengalihkan kegugupan. Ia tak memberikan gadis kecil itu pada Tian, menahannya dengan memeluk erat.
"Mau bikinin dedek buat Erra nggak," bisik Tian sensual. Setelahnya menggeser posisi duduk untuk menormalkan ritme jantungnya yang memberontak.
"Ambil kesempatan terus!" Hira berdecak, Erfan tersenyum mengulurkan tangan pada istrinya yang berjalan mendekat.
"Kesempatan tidak akan datang dua kali," jawab Tian bijak. Matanya masih terus menatap Ressa yang terlihat lebih cantik. Tiga tahun tidak bertemu, tidak membuat penampilan fisik perempuan itu berubah.
Punya kebaikan apa dia sampai Tuhan mempertemukannya kembali dengan perempuan yang selalu menghantui pikirannya ini. Tian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang datang.
"Lo lama nggak ke sini ternyata sekarang jadi pendiam ya!" Sindir Hira.
"Gue bingung mau ngomong apa. Ada dua mantan bos di sini, jadi segan." Jawab Ressa dengan kekehan, niatnya mau menjauhi masalah di rumah. Malah bertemu masalah baru di sini, karena ada orang yang membuat jantungnya gladak-gluduk bagai di sambar petir.
"Segan sama mantan bos, apa segan sama yang duduk di samping kanan."
Sontak Ressa menoleh ke samping kanan. Matanya bertemu dengan bola mata indah milik lelaki yang sudah menggetarkan hatinya. Duh, kenapa dia jadi termakan ucapan Erfan. Harusnya kan tidak menoleh, runtuk Ressa pada dirinya sendiri.
Sepasang suami istri itu puas mentertawakan Ressa. Sedang sang penggetar hati malah mengunci tatapan Ressa dengan lembut.
Tian mengulum senyum, siapa yang bisa menolak pesonanya. Termasuk perempuan yang pernah menolak menikah dengannya ini. Dewi cinta sedang berpihak padanya hari ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!