Langkah kaki di belakangnya terus mengejar. Lisle berlari dalam remang cahaya di antara hiruk-pikuk klub. Langkahnya salah arah. Dia bermaksud mencari pintu keluar. Tapi malah tersesat jauh ke dalam pada bagian klub yang tak dikenalnya. Ini pertama kalinya dia pergi ke tempat ini. Bukan karena penasaran. Tapi karena beberapa gadis yang baru dikenalnya mengajaknya keluar.
"Bersenang-senanglah sesekali!"
"Jangan jadi kutu yang terus menempel pada buku!"
Begitu mereka menghasut kejenuhannya.
Keseharian Lisle memang hanya berputar pada kuliah dan kerja. Tidak pernah terpikir olehnya untuk pergi bersenang-senang karena kafe tempatnya bekerja tak pernah libur. Malam ini akhirnya dia meminta ijin pada Daisy, teman sekaligus pemilik kafe. Sally merayakan hari jadiannya dengan seorang model tampan. Lelaki itu telah dikejarnya berbulan-bulan. Kemaren akhirnya mereka berpacaran.
Lisle tak mengenal sang model itu. Sally juga bukan seorang teman akrab. Mereka hanya bertemu beberapa kali di perpustakaan.
Celine, sahabatnya, bahkan tak tahu dia pergi ke klib malam ini.
Tadi setelah kembali dari kamar mandi, dia hampir membuka ruangan tempat mereka mengadakan perayaan. Tangannya sudah nyaris membuka pintu ketika Lisle mendengar percakapan di dalam sana.
“Saya jamin, Tuan Adolf, gadis ini benar -benar masih polos. Dia bahkan belum pernah berpacaran. Satu-satunya yang dia tahu hanyalah buku-buku kuliah. Tuan pasti akan puas dengan pilihan saya.” Itu suara Sally yang disambut tertawa beberapa orang.
Jantung Lisle berdegup kencang. Hatinya mendadak tidak nyaman. Dia kah yang mereka maksud sebagai gadis polos itu?
“Kalau yang nona katakan itu benar dan saya sudah mencicipinya sendiri. Saya akan memberi tambahan dari harga yang sudah kita sepakati.”Terdengar sebuah suara berat yang tak dikenal.
“Yakinlah, Tuan, pacarku tak salah melihat orang. Aku juga melihat sendiri tadi. Gadis itu bahkan memakai gaun yang hanya pantas untuk dipakai di acara kelulusan.” Itu suara Noah, satu-satunya lelaki yang datang bersama mereka tadi.
Mereka pergi berlima. Sally dan pacarnya. Dua orang gadis teman Sally. Dan Lisle sendiri. Tapi setibanya di klub, ada dua lelaki muda yang ikut masuk bergabung menemani dua teman Sally. Lisle merasa canggung sendirian, merasa terasing. Sally sempat menyinggung tentang seorang teman lagi yang datang terlambat. Apakah yang dimaksudkannya tuan Adolf tadi?
Waktu pelayan mengantarkan beberapa camilan dan minuman beralkohol, Lisle tiba-tiba merasa mual. Apalagi ketika para lelaki mulai menyalakan rokok, menciptakan kabut tipis di dalam ruangan, Lisle hampir muntah. Dia pun bergegas ke kamar mandi. Ada penyesalan yang datang tiba-tiba.
Saat ini penyesalan itu makin menjadi-jadi.
“Nona, permisi....” Seorang pelayan tiba-tiba sudah berada di sisinya dengan beberapa botol minuman dan gelas. Sepertinya hendak mengantarkan ke dalam sana.
Lisle mengeluarkan pekik tertahan karena kaget. Dia refleks mundur memberi jalan. Sally di dalam sana tampak terkejut menyadari Lisle yang sudah berada di depan pintu.
“Lisle, kau kembali? Kemarilah!” Sally berseru . Suaranya sedikit memerintah.
Lisle tersentak demi mendengar panggilan itu. Dia merasakan sebuah ancaman bahaya. Sembari menggeleng tanpa sadar dia mundur dengan gugup. Sally melangkah mendatanginya.
“Lisle, temanku sudah datang. Aku akan mengenalkanmu padanya....”
Dengan sekali gerakan Lisle memutar badan, berbalik dan melangkah tergesa meninggalkan ruangan itu. Waktu didengarnya seruan-seruan marah, dan perintah untuk mengejar dari suara seorang laki-laki, Lisle berlari semakin cepat melintasi ruangan demi ruangan.
Saat ini dia malah terpojok di depan sebuah kamar mandi. Dengan panik Lisle mendorong sebuah pintu tanpa melihat tulisan di depannya. Kamar mandi khusus untuk pria. Suara pintu yang ditutupkan dengan keras justru memancing para pengejarnya ke sana.
Gadis itu gemetar. Begitu berbalik dari pintu dia menabrak seseorang.
Lisle hanya sedagu lelaki itu. Dia mesti mendongak dengan gugup waktu meminta maaf dengan suara nyaris menyerupai cicitan. Tenggorokannya kering.
Saat itu ada langkah-langkah tergesa di luar dan suara beberapa orang lelaki.
“Kau periksa kamar mandi wanita. Aku akan melihat di sebelah sini,” ujar seseorang.
Wajah gadis itu memucat. Tiba-tiba dia berkata pada lelaki yang baru ditabraknya.
“Tuan, tolong saya. Mereka ingin mencelakai saya.” Suaranya nyaris pecah oleh tangis. Airmatanya bahkan perlahan menetes.
Mereka hendak menjual saya! Lisle ingin mengatakan itu tapi tak ada suara lagi yang keluar.
Itu cuma sebuah usaha terakhir yang dia bisa coba. Mereka tak saling kenal, mungkin saja lelaki itu tak ingin ikut campur urusan orang. Di tempat terkutuk ini, isinya pun mungkin hanya orang-orang terkutuk.
Kamar mandi ini bahkan memiliki penerangan yang buruk. Meski mungkin disengaja untuk menimbulkan kesan yang mirip suasana di luar sana yang temaram. Lelaki itu mengamatinya sejenak. Dia memakai kemeja warna gelap dengan mantel panjang. Garis wajahnya tegas dengan mata hitam pekat. Ada kilau tajam yang menakutkan ketika Lisle melihatnya lebih dekat. Lelaki itu tiba-tiba mendorongnya ke dinding dan menunduk pada wajah kecil itu
“Aah....” Lisle mengeluarkan seruan tertahan karena kaget dengan sikap lelaki itu.
“Diam!” Lelaki itu berbisik memerintah di telinganya. Napasnya hangat menggelitik sisi wajah Lisle. Seluruh tubuh lelaki itu melingkupi Lisle, menekannya ke tembok yang dingin. Sebelah lengan panjang itu melingkari pinggang ramping Lisle dan sebelahnya lagi bertumpu pada tembok. Wajah Lisle yang tadi pucat kini memerah.
Pintu dibuka dengan suara berisik. Seseorang berjalan melewati mereka. Lisle merasa tegang tapi lelaki yang menutupi tubuhnya tiba-tiba menciumnya. Jeritan Lisle terbungkam menjadi gumaman tak jelas.
Lelaki yang memeriksa satu demi satu pintu toilet melirik dua orang yang tengah berciuman itu, mendengus sebal ke arah mereka. Tak menyadari bahwa buruannya saat ini begitu dekat dengannya. Dia hanya tak mengira. Kemudian dengan kecewa lelaki itu melangkah pergi.
Lisle hampir kehabisan napas begitu ciuman itu berakhir. Dia merasa shock. Bibirnya terasa nyeri. Itu ciuman pertamanya. Meski pun begitu, dia merasa ciuman itu begitu kasar dan bergairah. Tubuhnya terasa merinding.
Lelaki itu mengamatinya sejenak dengan sudut bibir sedikit terangkat. Senyumnya terlihat menakutkan. Lutut Lisle lemas. Perlahan ibu jari lelaki itu mengusap bibir Lisle yang basah dan sedikit bengkak. Lisle meringis karena merasa nyeri di bagian yang disentuh. Dengan tergesa ditolakkannya tubuh kekar itu.
Tapi dorongannya seperti bertemu tembok kokoh. Tubuh itu nyaris tak bergerak.
“Menjauh. Tolong menjauhlah!” Lisle panik dibawah tatapan mengerikan lelaki itu. Dia hanya meminta tolong tapi malah mendapatkan perlakuan kurang ajar. Kini dia bergerak kacau dalam kungkungan tubuh besar itu.
Sang lelaki tertawa pelan. Merasa lucu. Selama ini tak ada yang bersikap seperti gadis ini padanya. Memberontak dalam pelukannya, menolak perlakuan manisnya. Selama dia, Kennard Kent menginginkan, gadis-gadis akan rela mengantri dari ujung ranjangnya hingga ujung Black Mountain. Kennard tinggal menjentikkan jarinya.
“Manis sekali....” ujarnya sambil menunduk, menautkan dahinya pada dahi gadis itu. “Mau jadi pacarku?”
--------------
Hallo semuaaa.... Terima kasih sudah membaca novelku ini. semoga setia mengikuti kelanjutannya hingga akhir. Mohon dukungannya dengan klik like, komen, vote. Hadiah juga boleh 🤭🤭🤭
Tangannya terjepit di antara tubuh mereka. Tak bisa bergerak. Rambutnya yang tadi terjalin di sisi wajah tergerai acak. Wajah laki-laki itu begitu dekat. Dahinya keras menekan dahi Lisle hingga yang bisa dilakukan gadis itu hanyalah menurunkan pandangannya.
Bagaimana ini? Lisle ketakutan. Gerakannya terkunci.
“Mau jadi pacarku?” Lelaki itu menjumput sehelai rambut Lisle yang menutupi pipi.
“Tu... tuan, jangan bercanda. Tolong lepaskan saya.” Suara Lisle di telinga Kennard malah menyerupai rengekan indah.
“Siapa namamu?” Suaranya berat dan dalam. Tak dihiraukannya permohonan gadis itu. Meski bisa dirasakannya juga gemetar tubuh lembut di pelukannya.
“Lepaskan.... Tuan, kumohon. Ini...” Lisle mengiba kacau. Beberapa kali berusaha melepaskan diri. Bahkan kakinya juga terkunci.
Kennard menyusut sisa airmata ketakutan di pipi gadis itu. Baginya semua kombinasi dari wajah, suara dan aroma gadis ini begitu menakjubkan. Dia jarang merasa setertarik ini. Bahkan gaun putih berenda yang dipakai Lisle menambah kepolosannya. Dia tampak bagai peri yang tersesat di neraka. Tempat ini benar-benar tak layak didatangi gadis ini. Bagi para bedebah, Paradise seperti namanya adalah surga dengan kenikmatan candu. Bagi gadis di depannya mungkin adalah neraka busuk dengan api yang menyala-nyala.
Kau akan terbakar di sini jika terlalu lama. Diam-diam Kennard mengeluh.
“Aku harus pergi. Tuan, mereka akan mencariku....” Lisle tak tau lagi harus mengatakan apa. Tapi dia teringat juga dengan Sally yang hendak menjualnya dan orang-orang yang mengejarnya. Jika mereka kembali mencari, tidak mustahil dia akan ditemukan. Mereka akan menangkapnya dan memberikannya pada seseorang yang dipanggil tuan Adolf itu.
“Kalau kau jadi wanitaku, tak akan ada yang berani mengganggumu. Aku berjanji....” Kennard masih tak mau melepaskan Lisle. “Siapa namamu, Nona Peri?”
“Aku... aku Lisle. Eh... Emmph....”
Sebuah ciuman membungkamnya lagi. Kali ini cuma sebentar. Tapi jantungnya serasa berhenti karenanya.
“Nama yang indah.” Kennard berujar senang. “Aku Kennard. Kennard Kent. Kau takkan rugi jadi pacarku. Percayalah....”
Wajah tampan itu. Suara tenang penuh percaya diri itu. Lisle terperangah sekejap. Padahal dia tidak mengiyakan. Tapi kenapa Lisle merasa lelaki itu seperti sudah mendapatkan jawaban.
Ketika dirasanya tekanan itu mengendur, Lisle sontak memberontak. Dia mendorong tubuh tinggi itu. Berhasil. Tapi saat bergegas ke pintu, pintu itu terbuka. Dua lelaki berpakaian serba hitam menghadangnya.
“Ternyata kau di sini.” Kedua lelaki tampak kegirangan. Mereka sudah menyusuri setiap sudut. Bahkan sempat dilempari botol alkohol saat memeriksa setiap pintu karena dianggap mengganggu. Gadis itu ternyata ada di sini.
“Nona, kau sudah menyusahkan kami dan membuat kesal tuan Adolf.”
“Menyerahlah baik-baik dan biarkan kami mengantarmu pada Tuan.”
Lisle melangkah mundur ketika dua orang itu mendekatinya. Punggungnya menyentuh seseorang di belakangnya. Tiba-tiba tubuhnya diraih sebuah lengan yang kuat dan ditarik. Orang itu lelaki bernama Kennard tadi.
“Sayang, apa mereka mengganggumu?” Kennard merangkul Lisle ke sisinya. Tatapannya penuh kelembutan. Lisle menelan ludah. Lelaki ini memanggilnya ‘sayang’ dengan suara mesra membuat kulit wajahnya kembali memerah.
Kenapa tempat terkutuk ini juga berisi lelaki tampan perayu seperti ini? Sesaat Lisle menjadi linglung.
“Hei, apa yang kau lakukan? Gadis itu milik tuan Adolf!” Salah satu dari mereka berteriak gusar.
“Apa kau mengenal orang yang bernama Adolf itu?” Kennard masih belum mengalihkan matanya dari Lisle.
Lisle menggeleng pelan. Dia memang tidak mengenalnya. Dia bahkan tidak sempat melihat orang yang dipanggil tuan Adolf itu.
Kennard menatap kedua orang di depannya dengan dingin. Sosok dengan tinggi yang melampaui kedua lelaki itu terlihat menakutkan di bawah lampu penerang. Bayangannya jatuh sebagai kegelapan yang panjang di lantai yang dingin.
“Gadisku bilang dia tak mengenal orang bernama Adolf. Jadi pergilah dari sini sebelum aku memaksa kalian pergi....” Suaranya tenang nyaris tanpa tekanan.
“Sialan! Kau mau menentang tuan kami?” Salah satu dari mereka maju dan bersiap menyerang ketika beberapa orang mendatangi tempat itu.
“Tuan Kent, tuan David sudah menunggu anda di ruangan.” Lelaki berpembawaan sopan yang baru tiba itu berbicara. Dia diiringi empat orang berjas serba hitam. Gerak-gerik mereka tampak waspada.
Lelaki pertama itu adalah Steve, assisten pribadi Kennard. Dia tadi segera menyusul tuannya karena terlalu lama keluar. Pertemuan malam ini adalah pertemuan beberapa teman dekat Kennard. Saat semuanya berkumpul, tuannya malah tak kunjung muncul.
“Baiklah. Di sini agak kacau. Aku ingin kau membereskannya. Hampir saja aku harus mengotori tanganku sendiri.” Kennard berpaling pada Lisle.” Ayo....”
Lisle bergerak menghindari raihan tangan Kennard.
“Aku harus pulang... sekarang....” Dan tanpa menunggu lagi Lisle menerobos orang-orang di depannya dan berlari melewati pintu.
Para pengawal itu hendak bereaksi menghadang tapi Kennard memberi isyarat membiarkan.
“Steve, kau suruh orang mengikuti gadis itu. Aku tak ingin ada yang mengganggunya lagi. Pastikan dia pulang dengan selamat.”
Steve mengangguk. “Baik, Tuan.” Lalu menelpon seseorang dan berbicara sebentar di sana.
Sementara kedua orang suruhan Adolf tampak gentar. Selain karena mereka kalah jumlah, mereka mendengar nama tuan Kent disebut. Nama itu begitu menakutkan bagi siapa saja yang mendengarnya. Meski tak pernah melihat orangnya karena jarang menampakkan diri, tapi tak mungkin ada orang lain dengan aura kuat seperti ini kan?
“Tu... tuan Kent?” Keduanya hampir berbarengan membisikkan kata itu. Saling pandang sejenak. Kennard hanya melirik sekilas kemudian berlalu dari tempat itu.
Baru beberapa langkah dia berhenti seperti teringat sesuatu.
“Katakan pada tuanmu, dia sudah membuat gadisku ketakutan...” Lalu dia benar-benar pergi. Meninggalkan kedua orang itu yang mulai memohon ampun dan berlutut di depan para pengawal.
Senyum dingin menghiasi sudut bibir lelaki itu begitu samar masih didengarnya jeritan kesakitan di antara suara pukulan. Sebentar lagi Adolf akan menemukan orang suruhannya yang berlumuran darah.
“Adolf....” Dia melafalkan nama itu dengan kesal. Bayangan lelaki berumur empat puluhan itu membuat dia mengepalkan tangan. Dia cukup mengenal sosok cabul itu.
***
Lisle tiba di apartemen dengan perasaan kacau. Celine belum pulang dari kerjanya. Begitu mengunci pintu Lisle bersandar di baliknya dengan perasaan tidak menentu. Napasnya masih tak beraturan. Jantungnya pun berdetak dengan sangat kencang. Malam ini dia menemui banyak kejadian yang menakutkan.
Dia memejamkan mata mencoba menenangkan diri. Tapi justru bayangan lelaki itu yang terlihat. Sangat mengganggu sekaligus menakutkan. Lisle teringat ciuman itu. Perutnya serasa bergolak. Bergegas dia ke kamar mandi, mencuci muka di wastafel, mengosok bibirnya berulang kali, berharap sensasi yang ditinggalkan lelaki itu menghilang.
Dipandanginya wajahnya di cermin. Tampak seraut wajah yang memerah dan kedua mata yang mulai mencipta embun. Dia terisak sendiri.
“Lisle, kau kenapa?” Celine tiba-tiba sudah ada di belakangnya. Tampak keheranan dengan penampilan Lisle yang berantakan.
Lisle berbalik. Tangis Lisle meledak dalam pelukan Celine.
“Gadis-gadis brengsek. Aku sudah merasa ada yang tidak beres dengan mereka. Setiap kali ada saja anak baru yang terlihat akrab dengan mereka beberapa lama. Setelahnya anak baru tersebut diabaikan. Rupanya mereka memiliki pekerjaan busuk. Lisle, harusnya sebelumnya kau cerita padaku. Black Mountain tak seramah yang kau kira. Jangan bandingkan dengan kota kecil Glassville. Selalu ada saja orang-orang yang ingin mengambil keuntungan terutama pada gadis-gadis cantik. Kau beruntung bisa selamat malam ini. Kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padamu!”
Celine terlihat sangat marah. Dia menyayangi Lisle seperti adik sendiri karenanya merasa kesal dengan kepolosan gadis ini. Bagaimana bisa Lisle mempercayai Sally dan teman-temannya dan menyimpan pertemanan mereka dari Celine.
“Aku minta maaf. Aku pikir kau akan melarangku pergi jika aku memberitahukannya padamu....”
“Tentu saja aku akan melarangmu. Kau ini.....” Belum selesai Lisle bicara dia sudah memotong dengan marah. “Kau tidak bisa mempercayai semua orang. Apalagi kau berada di tempat asing. Kau harus meminta pendapatku.”
Lisle mengangkat wajahnya yang masih basah. Merasa maklum jika Celine memarahinya. Bagaimana bisa dia merahasiakan kepergiannya ke kelab malam ini seperti seorang anak nakal yang takut dimarahi ibunya. Tapi....
Teringat olehnya lagi lelaki bernama Kennard. Rasanya sampai mati pun dia tak akan menceritakan tentang pertemuan mereka meski pada ibunya sendiri. Hal itu adalah sesuatu yang sangat memalukan. Dia tak ingin mengingatnya. Dia ingin ketika terbangun esok hari, dia sudah melupakan lelaki itu.
Tanpa sadar dia menggigit bibirnya sendiri. Tadi dia melewatkan bagian itu. Dia hanya menceritakan pada Celine bagian lainnya tapi tak menjelaskan secara rinci bagaimana dia bisa lolos.
Lagipula aku tak berharap akan bertemu lelaki itu lagi ‘kan? Ini akan menjadi rahasianya seumur hidup.
***
Di kelab, sepeninggal Lisle beberapa jam sebelumnya.
Kennard menerima sebuah panggilan dari ponselnya. Mendengarkan sejenak tanpa berkata sepatah pun lalu menutupnya tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Hanya matanya menjadi lebih hangat.
David yang sedang memainkan sebuah permainan kartu dengan beberapa gadis melirik sedikit. Meski raut wajah Kennard terlihat datar, tapi sebagai teman sepermainan sejak kecil, dia bisa membaca suasana hati lelaki yang sedang duduk terasing itu.
Setelah meletakkan sebuah kartu di meja yang disambut keluhan beberapa lawan mainnya, David menyesap minumannya. Matanya lagi-lagi melirik Kennard sekilas.
“Tampaknya langit malam ini sangat cerah,” ujarnya sambil menggoyangkan gelas di tangan.
Nathan yang duduk di seberang meja mengangkat wajah dari kartu di tangannya. Dia melihat David memberi isyarat dengan gerakan dagu menunjuk pada Kennard. Nathan mengikuti pandangan David.
Kennard duduk sendirian di sofa besar. Tak ada gadis yang berani mendekatinya tanpa ijin. Lelaki dengan postur tinggi tegap itu duduk dengan menumpangkan kaki. Sebelah tangan menopang sisi wajahnya yang sempurna dengan siku tertumpu pada lengan sofa. Jari telunjuknya sesekali mengusap bibir sendiri. Dia teringat ciuman itu.
Bibir lembut gadis itu masih menyisakan manis. Kennard bisa menebak bahwa itu adalah yang pertama melihat dari reaksi gadis itu yang tampak shock dengan perlakuannya. Peri kecil itu, bagaimana bisa para lelaki di sekitarnya bisa melewatkannya? Jika saja mereka bertemu sejak lama, gadis itu mungkin sudah lama pula menjadi miliknya.
Tadi Kennard membiarkannya pergi karena tak ingin membuat gadis itu menjadi lebih takut lagi. Biasanya ketika dia sudah tertarik pada seorang gadis, dia tak akan berhenti sebelum mendapatkannya. Tapi peri kecil ini, dengan hanya sebuah ciuman saja dia sudah nyaris pingsan, bagaimana Ken bisa dengan tergesa menyentuhnya.
Dia akan mendapatkan gadis itu lain kali. Dia tidak kuatir akan kehilangan.
“Yeah, semuanya tampak sangat baik hari ini. Kau setuju Ben?” Nathan menyikut Benyamin di sampingnya yang sibuk berbisik dengan seorang gadis seksi di sebelahnya.
Benyamin yang merasa namanya disebut tiba-tiba menoleh. Sejenak dia bingung dengan arah pembicaraan tapi otaknya yang bekerja dengan cepat segera mengerti. Kedua sahabatnya tengah diam-diam memperhatikan Kennard. Sebagaimana yang lain, dia juga tahu bahwa tidak ada yang lebih baik lagi dari suasana hati Kennard malam ini.
“Ah, aku bosan!” Nathan tiba-tiba melemparkan kartunya di meja hingga berserakan. Dengan cepat meraih segelas penuh anggur dan menenggaknya nyaris tanpa sisa.
Terdengar suara-suara kecewa dari beberapa gadis. Nathan lawan main yang menyenangkan. Bila dia sudah meletakkan kartunya dan memutuskan berhenti, tak ada lagi alasan bagi yang lain untuk meneruskan permainan.
Mereka sudah lama tak berkumpul seperti ini. Terakhir adalah sebulan yang lalu. Itu adalah sebelum Kennard pergi ke luar negeri untuk suatu urusan bisnis. Sekalinya bertemu hari ini, Kennard tak menunjukkan ketertarikan apa pun pada pertemuan ini. Meski memang sudah menjadi kebiasaan Kennard untuk membentang jarak dan terlihat dingin, tapi malam ini tiba-tiba Nathan merasa kesal.
“Apa benar-benar tak ada yang ingin kau ceritakan?” Nathan menarik tubuhnya ke sandaran. Gadis di sampingnya menyandarkan kepala di bahu lelaki tampan itu seperti seekor anak kucing yang penurut. Pertanyaan itu ditujukannya pada Kennard.
Kennard mengangkat matanya dan menatap sekelilingnya dengan acuh.
“Tak ada yang perlu diceritakan. Bukankah segalanya tampak sangat baik malam ini?” sindir Kennard.
Apa mereka pikir aku tak mendengar pembicaraan tentang ‘langit malam ini' tadi? Apanya yang sangat cerah? Bukankah di luar sana sedang hujan....
Ketika mereka datang tadi langit sudah mulai menumpahkan airmatanya. Dan tadi dari suara latar di telepon, dia bisa mendengar hujan yang menderas.
***
Meski merasa lelah, meski cuaca di luar sana sangat buruk dan suhu udara makin turun, Lisle kesulitan memejamkan mata. Dia merasakan kantuk yang luar biasa hingga kepalanya terasa panas tapi pikirannya yang terus berputar membuatnya tetap terjaga. Jika pun dipaksa memejamkan mata, selalu saja adegan yang sama melintas berulang. Lalu perutnya kembali mual.
Mau jadi pacarku?
Kau tak akan rugi jadi pacarku....
Aku Kennard Ken....
Lisle menutup telinganya dengan bantal karena suara-suara itu tak juga hilang. Seperti suara hantu yang mengganggu.
Menjelang dini hari dia baru bisa terlelap. Bibirnya menyuarakan igauan. “Jangan. Tolong, jangan ganggu aku....”
Alisnya berkerut seakan tidak senang dengan sesuatu. Dibalikkannya badan dengan gelisah.
Dalam mimpinya lelaki itu berjalan mendekat. Ada sepasang sayap iblis yang terbentang di punggungnya. Matanya adalah nyala api hitam. Dia menyeringai ke arah Lisle. Suatu saat lelaki itu menerkamnya dan melingkupinya dengan kedua sayapnya.
Sekarang kau adalah milikku...
Bahkan di dalam mimpi, laki-laki itu tak membiarkannya tidur dengan tenang.
Keesokan harinya Lisle terjaga oleh suara panggilan ponsel. Sebuah nomor tak dikenal.
Kepalanya terasa berat. Lisle merasa agak demam. Dengan mata masih terpejam dia mendengar sebuah suara berat nan menawan. Matanya terbelalak dalam kengerian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!