NovelToon NovelToon

Seranjang Dengan Mantan

Malam Pertama Kedua

Aku terbangun dengan tubuh yang masih terbungkus selimut. Di balik selimut putih bersih ini, tak sehelai benangpun menutupi tubuhku. Aku ingat dengan sangat jelas, tadi malam aku menghabiskan malam pertama keduaku dengan Mas Anggara. Malam pertama keduaku ini tak semenggairahkan malam-malam pertama orang lain.

Dua kali malam pertama aku alami dengan orang yang sama. Iya, kemarin pagi aku baru saja melangsungkan akad nikah yang kedua kalinya dengan mantan suamiku, Anggara Adi Irawan.

Tak ada hasrat sedikitpun dalam diriku ketika melayaninya. Setiap sentuhan yang ia layangkan di tubuhku tak sedikitpun membuat darahku berdesir. Aku sudah muak dan jijik dengan laki-laki ini. Membayangkan ia yang pernah melakukan hal yang sama pada perempuan lain membuatku mual. Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri.

"Pagi." Ucap Mas Anggara yang sedang sibuk menata makanan di atas meja untuk sarapan kami berdua. Untuk pertama kalinya dalam hidupku melihat Mas Angga memasak. Dulu, sebatas mencuci satu piring kotor miliknya saja ia selalu mengeluh. Aku tak menjawab sapaannya. Aku langsung duduk dan menyantap sepiring nasi goreng yang ia buat untukku. Aku sudah bukan lagi Nirmala yang dulu. Nirmala yang selalu tersenyum setiap kali memandang wajahnya. Mas Anggara mungkin paham bahwa sesuatu yang hangatpun akan dingin jika terus ia diamkan.

Ia tahu betul bahwa aku belum sepenuhnya memaafkan pengkhianatan yang ia lakukan padaku dua tahun lalu.

Sania, perempuan yang dulu selalu Mas Anggara eluelukan mungkin masih saja memiliki tahta di hatinya. Aku sudah tidak peduli apakah mereka berdua masih menjalin hubungan terlarang tersebut atau tidak. Aku sudah puas menyaksikan Sania menangis malu ketika siang itu tubuh kotor telanjangnya disaksikan langsung oleh ibu kandungnya. Ibu mana yang bangga memiliki anak seorang pelakor.

Aku heran, dengan paras cantik dan kepintarannya sebagai mahasiswa Sastra Inggris tingkat akhir di salah satu universitas negeri terbaik di Jakarta, seharusnya dia bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik daripada Mas Anggara, dosennya. Padahal dia tahu dengan sangat jelas bahwa dosen pembimbingnya tersebut sudah beristri dan memiliki seorang putra.

Alasan satu-satunya untukku mau menerima Mas Anggara kembali adalah Dirga, anak semata wayang kami yang selalu murung berharap memiliki keluarga utuh seperti anak-anak lain. Dirga yang periang berubah menjadi pendiam sejak aku dan ayahnya memutuskan untuk hidup masing-masing. Aku yakin batinnya pasti terguncang menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya yang seakan tiada akhir.

Sudahlah, aku sudah mati rasa. Terserah Mas Anggara mau berhubungan dengan siapapun aku tak peduli. Itu sudah bukan lagi urusanku. Biarkan dia menanggung dosa besarnya sendiri.

Ponselku yang tergeletak di atas ranjang berdering. Aku beranjak dari meja makan dan mengangkatnya.

"Halo, Bunda." Dirga dari seberang telpon sedang melambaikan tangan kanannya.

"Halo anak gantengnya bunda. Selamat pagi. Sudah makan, Nak?" Dirga tampak duduk bersebelahan dengan omanya di ruang tamu rumah kami, di Jakarta.

"Sudah Bunda. Gimana Bunda liburannya, seneng?" Tanya anak yang belum genap berusia 8 tahun tersebut.

"Senenglah kan Bunda sama Ayah." Mas Anggara tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku tak sempat menghindar. Lagi pula aku harus bersikap manis pada Mas Anggara di depan Dirga. Berat sekali rasanya menggerakkan bibirku untuk tersenyum ikhlas saat ini.

Kemaren siang setelah acara akad selesai, dengan sangat terpaksa aku mengikuti kemauan Mas Anggara untuk terbang ke Pulau Bali. Mau bagaimana lagi tiket pesawat sudah dipesan.

Kami berdua sedang berada di vila milik keluarga Mas Anggara yang hanya kami kunjungi beberapa kali saja dalam setahun.

"Dirga berangkat sekolah dulu ya, Bunda. Daaa Bunda." Ucap Dirga dengan penuh semangat seraya mendekatkan bibir mungilnya ke layar ponsel. Dia terlihat sangat bahagia. Sudah lama aku tidak melihat wajah sumringahnya ini. Selama dua tahun terakhir hanya ada kesedihan yang tergambar di wajahnya.

Aku sangat malu akan kehidupan pernikahanku. Aku tak bisa menutup mata ketika semua keluarga dan orang terdekatku menghalangi keinginanku untuk rujuk dengan Mas Anggara, terlebih ibuk. Orang tua mana yang rela anaknya disakiti dua kali oleh laki-laki yang sangat ia percayai.

Ibuk mungkin sangat terpukul dengan perselingkuhan yang Mas Anggara lakukan di belakangku. Dulu setiap kali aku mengadukan perlakuan Mas Anggara, ibuk selalu menyuruhku untuk bersabar dan membelanya. Seakan-akan ibuk tidak percaya padaku. Di mata ibuk Mas Anggara adalah sosok laki-laki yang sangat alim dan bertanggung jawab. Tidak mungkin terbesit sedikitpun dalam pikiran ibuk kalau Mas Anggara bisa memiliki wanita simpanan.

Satu hal yang membanggakan dalam hidupku hanyalah melahirkan Dirga. Ia adalah satu-satunya alasan untukku bertahan hidup. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku sudah terlanjur meneguk sianida yang kucampur ke dalam segelas susu dua tahun lalu. Aku kacau, hidupku hancur. Dirgalah yang menguatkanku.

Dan tadi malam orang yang menjadi alasan terbesarku untuk mengakhiri hidup malah tidur seranjang denganku.

"Hari ini kamu pengen pergi kemana, Nir?" Ucap Mas Anggara membuka percakapan dalam situasi kami yang canggung ini. Sedari tadi ia terus mencoba untuk mencairkan suasana, namun tidak pernah berhasil.

"Gak pengen kemana-mana, Mas. Kita di vila aja." Aku menjawab pertanyaannya tanpa sedikitpun berpaling dari ponselku.

"Kamu masih mau menuntaskan hasrat kerinduan kita?" Ia tersenyum simpul sambil meletakkan kedua tangannya di pundakku. Aku bangkit dari tempat dudukku dan melepaskan tangannya. Jijik rasanya mendengar sederat kata-katanya tadi. Mungkin dahulu, kalimat tersebut bisa mendebarkan hatiku. Namun sekarang aku sudah muak.

"Aku banyak kerjaan, Mas. Tadi Pak Dimas udah telpon nyuruh aku buat kelarin pekerjaan ini hari ini juga."

"Kamu gak bilang kalau kita lagi honeymoon? Emang sih bos kamu itukan masih lajang, jadi belum tau gimana rasanya jadi pengantin baru." Mas Anggara mencecarku dengan pertanyaan dan pernyataannya.

"Urusan pribadi gak ada hubungannya sama urusan kantor, Mas. Lagian mana ada sih bos yang peduli sama hubungan asmara bawahannya?" Aku sedang tidak ingin berdebat namun aku tersulut dengan ucapan Mas Anggara tersebut. Lagian aku tidak sebahagia itu menjadi pengantin baru.

"Ya bos kamu itu. Diakan dari dulu ngejar-ngejar kamu. Padahal dia tahu betul kalau kamu itu istri orang." Mas Anggara dengan nada sedikit keras menimpali omonganku. Dia benar-benar tidak sadar diri. Dirinya saja sudah meniduri wanita lain yang usianya terpaut 16 tahun di bawah kami. Beraninya dia menaruh rasa cemburu pada bosku.

Tidak ingin berlama-lama membicarakan hal yang tidak penting, aku berlalu ke kamar dengan meninggalkan piring dan gelas kotorku yang masih berserakan di atas meja. Biarkan dia menikmati masa-masa pengantin barunya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Toh dia sendiri yang mau.

Seharian aku berusaha menyibukkan diri dan menghindar dari Mas Anggara dengan terus memandangi layar laptopku di atas ranjang. Padahal benda elektronik ini sedang menampakkan Drama Korea yang berjudul "The World of the Married." Namun aku berdalih bahwa sedang mengerjakan tugas kantorku. Aku paham betul bagaimana perasaan Ji Sun Woo, peran utama protagonis dalam drama ini, karena aku pernah ada di posisi tersebut dua tahun lalu.

Rasanya aku ingin hari ini cepat berlalu dan kami segera kembali ke Jakarta.

Jeratan Mas Anggara

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Seingatku aku sedang berbalas pesan dengan Kartika, sahabatku tadi. Rasanya ada yang sedikit aneh dengan tubuhku ini.

Tanpa kusadari ada jari jemari yang sedang menggerayangiku dengan lembut. Aku menggeliat. Aku seorang wanita dewasa yang sudah pernah melahirkan seorang putra. Tentu saja sentuhan-sentuhan kecil semacam ini akan membuat sekujur tubuhku memanas. Aku yang masih berada di ambang mimpi mulai menikmati adegan ini.

Kini seseorang tersebut mulai menempelkan bibir bawahnya pada telingaku yang semakin membuat darahku berdesir. Jantungku berdetak tak karuan. Nafasku terengah. Ia kembali menggigit kecil lobule telingaku yang membuatku semakin menggelinjang.

Aku mengerang. Entah kapan terakhir kali aku merasakan perasaan ini. Aku sudah lupa, karena sangking lamanya.

"Aku pengen menuntaskan kerinduanku denganmu malam ini, Nir." Suara berat dengan nafas yang sudah tak beraturan terdengar jelas di telingaku.

Aku terperanjat dan tersadar bahwa laki-laki yang sedang berada di atasku kini adalah suamiku sendiri, Mas Anggara. Aku hafal dengan aroma tubuhnya yang khas. Mauboussin Pour Lui. Aku ingat betul, aku memberikan hadiah parfum dengan merk ternama tersebut di hari jadi pernikahan kami yang pertama. Dan dia selalu membelinya kembali ketika parfum tersebut hampir habis.

Aku langsung terbangun dan melepaskan diriku dari tindihannya, kemudian dengan tegas membelakanginya ke arah tembok.

"Aku capek banget Mas. Pengen istirahat." Tolakku mentah-mentah.

Sudah cukup aku melayaninya tadi malam, aku tidak mau terlarut lebih jauh dalam permainannya. Aku sudah tidak peduli dengan nafsu birahinya maupun birahiku sendiri. Terserah bagaimana ia akan menuntaskannya malam ini. Itu bukan urusanku.

Mas Anggara yang sudah di atas awan terus melancarkan aksinya.

Penolakanku tidak membuatnya menyerah begitu saja. Dengan tubuh gempalnya itu, Mas Anggara memelukku dari belakang dengan sangat erat. Ia kemudian melayangkan ciuman di tengkukku berulang kali. Aku sekuat tenaga menahan hasrat dalam diriku. Karena jauh dalam lubuk hatiku, aku merindukan belaian semacam ini.

"Kamu gak kangen sama malam-malam kita berdua dulu, Nir." Ucap Mas Anggara yang membuatku semakin muak.

Cuih, ingin sekali ku meludah di hadapannya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal menjijikkan tersebut sedangkan dulu dia selalu membayangkan wajah wanita lain ketika memadu kasih denganku.

"Aku pengen ke toilet, Mas." Kalimatku menyudahi aktifitas yang sedang dilakukan Mas Anggara. Sekali lagi aku melepaskan diriku dari cengkeramannya. Dadanya mungkin terasa sesak saat ini karena birahinya tak tersalurkan.

Aku meraih ponselku di atas nakas kemudian berlalu keluar. Aku tidak berniat untuk kembali ke kamar. Aku tidak akan menyerahkan diriku begitu saja ke dalam pelukan Mas Anggara. Aku sudah bukan lagi Nirmala yang dulu selalu mengemis perhatian suaminya dengan terus bersolek dan mengenakan baju seksi.

Dulu melirikku saja dia seakan tidak sudi karena lekukan tubuh wanita simpannya yang masih belia itu jauh lebih sempurna dari istri sahnya ini.

Mungkin Mas Anggara sedang berfantasi dengan pikiran kotornya itu. Biarkan saja ia menungguku sampai lelah. Selama apapun dia menunggu, aku akan tetap berada di sofa ruang tamu ini sampai besok pagi. Sekali lagi aku bukan Nirmala dahulu yang mudah sekali terhasut akan bualannya.

***

Rasanya hangat membuatku ingin bermalas-malasan di pagi hari ini. Aku tidak ingin melakukan apapun di hari terakhirku di Bali. Semalam aku membaringkan tubuhku di atas sofa, merenungkan segala hal yang terjadi dalam hidupku. Entah pukul berapa aku tertidur, aku tidak ingat.

Aku menarik keatas selimut yang hanya menutupi tubuhku sebatas perut. Namun hal ini membuatku tersadar. Semalam aku tidak mengenakan selimut. Mungkin Mas Anggara yang melakukannya. Aku berdecak. Perhatian kecil semacam ini tak akan membuatku tersentuh sedikitpun. Sepertinya Mas Anggara sedang berusaha menarik simpatiku. Sudahlah sekeras apapun dia berusaha tidak akan mempan.

Aku merapikan sofa yang sedikit berantakan, melipat selimut, kemudian meletakkannya kembali di atas ranjang kamar. Tak kudapati Mas Anggara dimanapun. Mungkin dia sudah kembali ke wujud aslinya, menjadi Anggara yang arogan dan selalu tak acuh akan keberadaan istrinya. Dia tidak mungkin bisa berlama-lama bersikap manis padaku.

Aku menuju dapur, ingin sekali ku meneguk segelas air putih untuk menghilangkan dahagaku ini. Ketika ingin membuka kulkas, kudapati note tertempel dengan tulisan tangan yang sangat aku kenal.

"Makanannya udah aku siapin di meja. I love you." Dia masak lagi hari ini. Aku hanya membacanya sekilas lalu berlalu mencari makanan yang ia bicarakan. Bubur kacang hijau dengan uap yang masih sedikit mengepul, segera ku santap. Baru sesuap, aku sudah dibuat kagum akan rasanya. Aku baru tahu jika Mas Anggara pandai memasak. Mungkin selama ini, dia hanya memasak untuk selingkuhan jalangnya saja.

Ruangan ini terlihat sangat bersih. Mas Anggaralah pasti yang sudah menyapu dan mengepelnya. Kami tidak memiliki asisten rumah tangga di vila ini. Yang ada hanya Mas Imam, penjaga vila yang hanya datang ke vila ini sebulan sekali untuk bersih-bersih.

Bagaimana bisa dia melakukan semua ini. Aku ingat betul dengan arogannya Mas Anggara menasehatiku hanya karena meminta tolong untuk mengangkat jemuran. Ia bahkan membiarkan pakaian-pakaian kami yang setengah kering tersebut basah kembali terkena air hujan.

Dulu bagi Mas Anggara segala urusan rumah tangga adalah tanggung jawab istri. Suami hanya berkewajiban untuk mencari nafkah. Sungguh pemikiran yang kolot di era milenial seperti sekarang ini.

Semangkuk bubur kacang hijau telah kuhabiskan. Tak kubiarkan tersisa barang setetespun. Rasanya sungguh lezat. Bahkan mungkin aku tak bisa membuat bubur dengan rasa yang sama. Kucuci mangkuk yang baru saja kugunakan, ketika tiba-tiba suara parau Mas Anggara sudah memenuhi ruangan ini memanggilku. Sedari tadi ternyata dia berada di dalam kamar mandi, padahal tak terdengar setetes airpun mengalir dari dalam sana.

"Sayang...Sayang..." Aku mencebik. Dulu saja ketika masih berpacaran dia selalu memanggilku Nir. Tak kujawab panggilannya tersebut.

Ia terus saja menyebutkan kata sayang yang semakin membuatku ingin mual.

"Apa?"

Mas Anggara mendongakkan sedikit badannya di ambang pintu.

"Bisa tolong ambilin handuk nggak, aku lupa nggak bawa." Aku menarik nafas dalam. Ini adalah kebiasaannya yang tak akan pernah hilang seumur hidup. Aku segera bergegas menuju laundry room. Padahal jarak antara kamar mandi ke ruangan ini hanya sekitar lima langkah. Toh tidak akan ada orang yang melihatnya. Akupun tak tertarik.

"Ini." Ucapku seraya menyodorkan handuk berwarna putih tersebut ke arahnya. Aku memalingkan wajah namun Mas Anggara malah tertawa. Ia menyambut uluran tanganku. Namun tak hanya handuk yang ia ambil. Ia juga meraih tanganku kemudian dengan paksa menarikku masuk. Sial, dengan bodohnya aku malah masuk kedalam jebakannya yang sangat klise ini.

Ia mendorongku ke tembok seraya meletakkan kedua tangannya di sisi kiri kananku. Aku terus memandang sekitar karena tak mau melihat tubuh polosnya.

"Kamu inget nggak, dulu pas masih penganten baru kita sering mandi bareng?" Ucap Mas Anggara menggodaku.

Ia terus menatapku yang membuatku semakin salah tingkah. Tak banyak bualan yang keluar dari mulutnya kali ini, dan dia malah langsung mengecup bibirku.

Kali ini aku tak bisa lepas dari jeratannya.

Sial sekali lagi aku melakukan kesalahan yang sama.

Acuhku

Aku dan Mas Anggara memutuskan untuk memesan tiket penerbangan tujuan Jakarta paling awal. Tertulis pesawat akan lepas landas tepat pukul 07.00 WITA. Setidaknya aku dan Mas Anggara harus tiba 60 menit lebih awal untuk melakukan check in.

Langit masih gelap. Bunyi kokok ayam bersahut-sahutan. Dua tiga orang keluar dari masjid yang terletak di sebelah selatan vila kami. Beberapa menit yang lalu mereka baru saja melaksanakan sholat subuh berjamaah. Masjid ini merupakan satu-satunya tempat beribadah umat islam yang ada di area ini.

Taxi online yang kami pesan sudah berada di depan vila. Aku dan Mas Anggara hanya membawa ransel masing-masing di punggung, karena memang tak banyak barang yang kami bawa saat kemari.

Dengan langkah cepat, aku mendahului Mas Anggara yang masih sibuk mengunci pintu gerbang utama vila. Kemudian aku memposisikan diriku di samping sopir.

Dulu Mas Anggara yang selalu melakukan hal ini padaku. Ia seakan tak mau berada di sisiku. Biar dia tahu bagaimana rasanya diperlakukan dingin seperti itu.

Mas Anggara yang masuk ke dalam mobil selang beberapa detik dariku malah terkekeh. Entah, mungkin dia sedang menertawakan dirinya sendiri.

"Kok jauh-jauhan Pak, Buk? Tidak duduk bersama?" Celetuk sopir taxi online tersebut meledek kami dengan dialek kental khas Bali.

"Iya Pak. Padahal kami pengantin baru. Tapi saya malah dicuekin." Mas Anggara yang masih terkekeh dengan tidak tahu malunya menanggapi ucapan sopir tersebut.

"Saya kalo naik mobil bagus suka mabuk, Pak. Makanya saya duduk di depan." Tukasku.

Mas Anggara yang mendengar alasan anehku tersebut tak bisa menahan tawanya. Ia tertawa dengan begitu lantang. Bagaimana tidak, aku yang sudah terbiasa menyetir mobil sendiri sejak usia 20an malah berkata demikian.

"Maklumin istri saya ya, Pak. Dia lagi ngambek." Mas Anggara terus saja terkekeh sepanjang jalan.

Perjalanan dari vila menuju bandara membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Aku memutuskan untuk menutup mataku dan pura-pura tidur karena akan aneh rasanya jika perbincangan ini kami lanjutkan, hingga tiba-tiba mobil berwarna hitam pekat yang kami tumpangi sudah memasuki area bandara.

"Pesawatnya masih lama. Kita cari sarapan dulu yuk, Nir." Ucap Mas Anggara. Jari telunjuk dan tengah tangan kirinya sedang mengapit sebatang rokok. Ia memasukkannya kedalam mulut kemudian menyulutnya dengan korek api yang ia genggam di tangan kanan.

"Gausah. Nanti di pesawat juga dapet sarapan." Aku berlalu mendahuluinya masuk ke dalam lobby bandara.

Sudah pasti dia hanya sedang mencari tempat untuk menghisap benda mati tersebut. Dia akan menghabiskan lebih dari tiga batang rokok sebelum naik ke dalam pesawat, seperti yang selalu ia lakukan.

Mas Anggara adalah perokok berat. Dalam sehari ia bisa menghabiskan 2 bungkus rokok. Berada dalam ruangan ber-AC yang terlalu lama akan membuatnya tersiksa. Setidaknya setiap 20 menit sekali ia akan menghisap satu puntung rokok baru.

Aku berlalu menuju konter check in terlebih dahulu tanpa memperdulikannya.

Sudah pukul 06.25 WITA, namun Mas Anggara belum juga sampai di gerbang keberangkatan. Entah apa yang sedang ia lakukan. Dia selalu seperti ini, tidak pernah menghargai waktu.

Terlihat dari kejauhan dengan santainya Mas Anggara melangkahkan kaki. Seorang wanita cantik sedang berjalan mengimbanginya. Perempuan tersebut mengenakan seragam batik merah panjang dengan rambut tersanggul rapi. Aku berdecik. Dia memanglah Mas Anggara. Dalam keadaan semacam ini saja dia malah menggoda seorang pramugari.

Mereka berdua tampak akrab. Entah sedang mengobrolkan apa sampai-sampai si perempuan dengan malu menutupi mulutnya yang sedang tertawa kecil. Masa bodoh, aku tidak peduli.

Mas Anggara menunjuk ke arahku. Disusul anggukan perempuan tersebut. Aku berpalis, berpura-pura tidak tahu. Jangan sampai Mas Anggara mengira aku sedang cemburu karena terus memandang ke arah mereka.

Keduanya saling berjabat tangan, kemudian melambai seraya melangkah ke arah berlawanan.

"Temen SMPku. Namanya Vivi." Mas Anggara menjelaskan tanpa kubertanya. Padahal sedikit saja aku tidak penasaran.

"Your attention please, passengers of Garuda Indonesia on flight number GA417 to Jakarta please boarding from door A12, Thank you."

Panggilan pemberangkatan terdengar samar di telingaku. Mas Anggara yang sudah berdiri terlebih dahulu tiba-tiba menggenggam jemariku lalu menariknya. Ia kemudian memasukkan tangan kami ke saku jaket kirinya.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk menarik kembali tanganku. Namun sia-sia. Usahaku tak sebanding dengan kekekaran otot lengannya. Mas Anggara terus saja melakukan hal yang membuatku bergidik geli. Ini bukanlah dirinya.

Aku ingat betul selama menikah ia hanya menggenggam tanganku sekali ketika aku sedang berjuang untuk melahirkan Dirga. Tangis harunya saat itu terlihat sangat tulus. Ia tak hentinya mencium kening dan pipiku. Setelahnya tak pernah kudapati wajah tulus itu lagi.

Mas Anggara mempersilahkanku untuk duduk terlebih dahulu. Ia mungkin hafal, aku selalu senang memandang keluar jendela ketika pesawat sudah berada di atas awan. Rasanya nyaman dan tentram. Entahlah ada kebahagiaan tersendiri ketika aku melakukannya.

Aku menyandarkan kepalaku ke jendela. Pandanganku jauh menerawang ke depan.

Mas Anggara dengan tiba-tiba meletakkan kepalanya di pundakku. Aku tersentak, namun aku tak bisa bergerak.

"Kita foto yuk." Ekspresi datarku sudah terlanjur tertangkap kamera ponsel Mas Anggara. Tanpa aba-aba ia terus saja memencet tombol bidik di layarnya. Aku memalingkan wajah. Entah setan apa yang sedang merasukinya. Dulu ketika akan melakukan sesi foto keluarga saja kami harus bertengkar hebat terlebih dahulu. Dan mungkin itu satu-satunya fotoku yang ada di ponsel Mas Anggara pada saat itu.

Aku mengambil earphone dari dalam tasku kemudian menancapkannya ke lubang kecil bawah ponsel.

"Aku baik baik saja

Menikmati hidup yang aku punya

Hidupku sangat sempurna

I'm single and very happy

Mengejar mimpi mimpi indah

Bebas lakukan yang aku suka

Berteman dengan siapa saja

I'm single and very happy"

Kumainkan lagu Oppie Andaresta yang selalu menemaniku setahun ini. Aku tersenyum. Aku ingat bagaimana aku selalu memotivasi diriku sendiri untuk terus bergerak maju dengan lirik-lirik indah di dalamnya. Aku sudah tidak lagi membutuhkan Mas Anggara. Bagiku Dirga saja sudah lebih dari cukup. Saat ini aku hanya menganggapnya sebagai partner dalam mendidik dan membesarkan Dirga.

"Nir. Udah nyampe." Mas Anggara menggoyangkan pundakku pelan. Aku merentangkan kedua tanganku dengan perlahan. Aku menguap. Kurapikan baju dan rambutku yang sedikit acak-acakan. Rasanya baru beberapa saat yang lalu aku melangkahkan kami masuk ke dalam pesawat, tiba-tiba saja kami sudah sampai di Jakarta.

"Habis ini aku langsung ke kampus ya. Ada mahasiswa yang mau bimbingan." Ucap Mas Anggara pelan. Ia berjalan tepat di belakangku. Aku terus saja melajukan langkahku tanpa memperdulikan ucapannya.

"Mahasiswa laki-laki. Ini fotonya." Terang Mas Anggara sembari menyodorkan ponselnya tepat di depan wajahku. Terlihat foto seorang anak muda mengenakan kaos oblong warna hitam. Mas Anggara menyimpan nomor tersebut dengan nama Kevin.

Aku berhenti mendadak yang membuat Mas Anggara menabrakkan badannya ke punggungku.

"Terserah kamu mau ketemu sama siapa aja. Itu sudah bukan lagi urusanku. Yang jelas jangan sampai keluarga serta orang terdekatku mengetahui kegilaan-kegilaan yang kamu lakuin seperti dulu, terutama ibuk."

Tak sepatah kata terucap kembali dari mulut Mas Anggara. Kini jalannya memelan.

Kami berdua pergi ke tujuan masing-masing tanpa saling berucap kata perpisahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!