Pagi itu di sebuah pasar yang sudah ramai pengunjung, tampak seorang wanita muda, berdiri didepan kios penjual ikan. Dengan ramah dia menyapa paman penjual yang sepertinya sudah akrab dengannya. Wanita
itu tampil sederhana dengan celana kain hitam, kemeja hijau muda polos dan sandal . Rambut ikal sebahunya diikat kebelakang. Sangat sederhana, biasa saja tidak ada yang istimewa.
Namun wajahnya yang ramah dan senyumnya yang hangat, membuat siapapun yang menatapnya akan ikut tersenyum. Mukanya yang lembut dan suaranya yang lembut dan ceria menggambarkan kebaikan hatinya.
“Selamat pagi paman,” katanya dengan nada ceria. Badannya yang tinggi besar seolah menutupi depan kios, membuat beberapa ibu memilih minggir saat menuggu ikan yang mereka beli siap. Wanita itu tersenyum ramah pada ibu-ibu disana. Mereka juga dengan ramah, membalas senyum wanita itu. Bahkan ada beberapa yang
menyapanya dengan akrab.
Ya gadis bertubuh besar itu memang terkenal ramah dan selalu menyapa semua orang. Namun tubuhnya yang besar dan gemuk, seringkali membuat orang memilih menghindar karena tidak mau tertabrak. Dibelakangnya ada beberapa ibu ibu yang mengomel karena terganggu, ada yang mengatakannya sebagai gajah gemuk bahkan ada juga yang mentertawakan bentuk tubuhnya.
Wanita itu bukannya tidak sadar kalau ibu-ibu itu menghindarinya atau mencemoohnya. Namun
karena sejak lama, perlakuan itu sudah didapat, dia jadi menghiraukan semua itu. Baginya, selama dia tetap baik, orang juga akan baik padanya. Itu yang diajarkan ibunya, dan dipegang teguh olehnya.
“Mau beli apa kali ini neng? Mau lele apa ikan kembung? Noh ada Ikan ekor kuning yang baru pulang dari
laut, masih kinyis kinyis neng. Masih seger,” kata sang penjual ikan.
“Waduh, masih perawan dong mang,” kata si wanita gemuk sambil tersenyum lebar. ”Kalau yang ganteng
ada nggak? Lumayan kan, dilirik ikan ganteng.”
“Lah dia nyari yang ganteng. Coba aja tanya sendiri neng, siapa tahu mau sama eneng ikannya,” kata
sang penjual ikan sambil tertawa. Tangannya terus bekerja membersikan ikan yang sudah dipilih pembeli. .
“Belah saja kalo begitu. Coba kulihat, apakah dia cowok apa cewek mang,” kata wanita itu. Mereka berdua tertawa mentertawakan kekonyolan mereka sendiri. Ibu-ibu yang lainpun ikut tertawa mendengar obrolan unfaedah keduanya. Wanita itu mengambil ikan seekor dari ember di bawahnya.. Ikan itu dia angkat tinggi dan dia perhatikan dengan seksama kemukanya. Namun ternyata tidak mudah memegang ikan yang masih hidup. Ikan dalam genggaman itu sangat licin, terus menggelepar dan melompat. Hal iini membuat wanita itu terkejut dan terpeleset sampai terdengar bunyi gedubrak yang membuat orang-orang menoleh keasal suara.
“Aduuuhh, Auuuhhhh!”. Teriak wanita itu saat terpelanting jatuh ke dalam ember besar milik penjual
ikan.
“Aduh neng… aduhh… alamakk… ember… aduhh ikanku kena gajah eh maaf… Neng kamu nggak apa apa?” kata Mamang penjual ikan sambil mengernyitkan mukanya memandang wanita bertubuh besar itu nyaris basah kuyup terduduk di embernya.
Wanita gemuk itu memandang sekitarnya. Dilihatnya orang-orang hanya memandangnya dan mentertawakan sambil berlalu. Sepertinya tidak ada yang memperdulikan untuk sekedar berhenti dan menolongnya. Kembali ia edarkan pandangannya, memandang ke sekeliling.
“Saya nggak papa… saya nggak apa apa…” katanya berulang kali sambil mukanya merah padam. Dia lalu berusaha berdiri dengan susah payah. Bahkan untuk bisa berdiri, dia harus menggulingkan badannya kesamping. Banyak orang disana hanya melihat dan menghindar memberikan ruang padanya untuk berguling. Pantat dan punggungnya pasti sakit. Namun itu tidak seberapa dibanding malu yang dirasakannya saat ini. Dia memandang Mamang penjual ikan, seakang minta maaf. Sedangkan si Mamang hanya tersenyum dan menggeleng kepala, mulai membereskan kekacauan akibat kejadian tadi. Wanita itu memandang ke sekeliling kakinya. Dia melihat banyak ikan yang menggelepar di lantai, keluar dari ember tempat dia tercebur . Sementara itu ada dua ekor ikan besar yang tampak mengambang di sisa air yang sedikit diember. Sepertinya mati karena tertimpa badannya. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskan pelan-pelan.
“Hahaha, gila ya, kasihan ikan sampai gepeng gitu,”
“Iya lah, ikan kok ditimpa gajah, ya mati gepeng,”
Banyak lagi kalimat-kalimat pengunjung yang tertawa dan mencemooh, membuat kuping siapapun akan merah jika olokan itu ditujukan padanya. Terlihat wanita itu mencoba mengatur naffasnya. Tangannya mengepal meski bibirnya tetap berusaha tersenyum. Sepertinya wanita itu tidak perduli jika dirinya sudah basah kuyup dan bau
amis. Atau mungkin malah dia tidak sadar keadaannya saat itu, karena rasa malu dan sakit dihatinya.
** Pov Nada**
Namaku Nada Rahmatika, atau kamu bisa memanggilku Nada.
Ya kamu bisa menebak kan, kalau akulah wanita gemuk yang jatuh di ember tukang ikan? Itulah aku, Si Gajah Gemuk yang dengan suksesnya masuk ke bak ikan di pasar. Meski aku selalu berusaha ramah dan banyak orang yang selalu menyahutku dengan ramah, tapi kalau urusan penampilan, aku adalah contoh terburuk dari
difinisi seorang wanita.
Sejak lama aku di bully dan dicemooh seperti ini, dimanapun aku berada. Itu sebabnya aku tidak memiliki banyak teman. Aduh salah, aku tidak punya teman. Hanya suamiku, teman terbaik yang tidak pernah mengatakan apapun tentang tubuh dan penampilanku. Suamiku terbaik dan tersayang.
Keadaan tubuh dan penampilanku yang seperti ini, selain mengundang cemooh juga membuatku tidak bisa banyak bergerak. Bahkan akadang tanpa aku sadari, gerakan tubuhku akan membuat sebuah kecelakaan konyol yang berakir dengan hal memalukan. Kata orang, keadaanku ini sudah tidak tertolong lagi. Jika saja Mahardika dan tim nya yang terkenal dengan acara “Makeover Total” ditelevisi itu datang, mungkin dia akan langsung mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Karena sangat sulit melakukan makeover pada produk super gagal seperti aku ini.
Dulu mama selalu marah jika aku mengatakan hal ini pada diriku sendiri. Menurut mama, aku cantik. Menurut mama, aku memiliki inner beauty. Menurut mama, kecantikanku adalah otakku yang sangat cerdas dan hatiku yang sangat baik. Saking baiknya, sejak kecil jika tidak dibuli, aku akan dimanfaatkan oleh teman-temanku. Aku seringkali tidak sadar sampai semuanya terlambat. Dan akhirnya aku hanya bisa menangis sendiri di kamar atau
dipangkuan mama.
Mama selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu menuruti kata teman-teman yang hanya memanfaatku, untuk uang dan barang barangku. Tapi mama tahu apa? Mama terlahir sebagai wanita jawa yang cantik dan anggun dengan segala kharismanya. Ya meskipun kata orang, mata ku seperti dia. Sisanya, aku lebih mirip dengan papa.
Aku tahu, sangat tahu jika aku ini Si Gajah Gemuk dengan kulit Hitam, hidung Pesek dan gigi Gingsul, keturunan Bapak Hermawan. Itu juga yang membuat apa yang terjadi padaku dikios penjual ikan pagi ini seolah hanya tontonan sambil lalu. Siapa sih yang mau peduli dengan sigadis gajah buruk rupa ini? Tidak ada. Tidak pernah ada. Mereka hanya peduli pada kejadian itu sebagai sebuah tontonan hiburan menggelikan di
pagi hari. Tidak lebih.
Aku mengingat apa yang terjadi pagi itu. Aku mencoba memegang ikan yang ternyata sangat licin dan
lincah. Karena kaget saat ikan itu melejit kearah wajahku, aku terpeleset.
“Aduuuhh, Auuuhhhh!”. Aku berteriak keras karena kaget, terpelanting jatuh ke dalam ember besar milik
penjual ikan yang ada di bawah.
“Aduh neng… aduhh… alamakk… ember… aduhh ikanku kena gajah eh maaf… Neng kamu nggak apa apa?”
kudengar mamang penjual ikan. Gajah? Kulirik dia yang sedang mengernyitkan mukanya memandangku. Aku dengar tapi berusaha menghiraukannya.
Sungguh terasa sakit di pantat dan punggungku. Pantatkupun sempat tersangkut di bak dan sulit buatku
untuk bisa berdiri. Aku memandang sekieliling dengan sangat malu, sampai sampai melupakan rasa sakitku. Sakit memang, tapi itu tidak seberapa dengan malu dilihat semua orang disana dan ditertawakan. Ya mereka tertawa terbahak bahak dan mencemoohku.
“Saya nggak papa… saya nggak apa apa…” kataku berulang kali, tanpa sadar. Mulutku seakan mengoceh tanpa bisa aku control. Aku yakin mukaku saat ini sudah merah padam. Aku tidak mau berlama lama dalam keadaan seperti ini tentunya. Kurasakan ada ikan yang bergerak dibawah pantatku. Sementara itu, pantatku tertahan oleh bak, membuatku susah berdiri dan bergerak. Kakiku yang gemuk melayang layang diudara, sulit untuk bisa menapak ke tanah. Aku berusaha keras untuk bisa berdiri namun tidak berhasil. Seandainya ada yang berbaik hati, mengulurkan tangan membantuku berdiri, pasti semua akan lebih mudah. Namun semua itu hanya berhenti pada kata seandainya. Kenyataannya tidak ada yang mengulurkan tangan, membantuku berdiri. Aku putuskan untuk berguling ke samping meski itu akan tampak lebih memalukan. Namun kurasa itu satu satunya cara bagiku untuk bisa melepaskan bak dari pantatku, dan berdiri. Akirnya setelah menggulirkan badanku ke kanan, aku berhasil keluar dari bak. Itupun aku masih terduduk di depan kios dengan kelelahan. Orang orang yang tadi berdiri disekitar kios, mundur menghindar agar tidak terkena badanku atau kecipratan
air ikan. Pantat dan punggung bawahnya terasa berdenyut sakit. Namun itu semua tidak seberapa, dibanding malu yang kurasakan saat ini, sungguh.
Aku segera berdiri dan menghela nafas. Kulihat mamang penjual memandangku antara kasihan dan kesal.
Tanpa kata, kusampaikan permintaan maafku yang disambut dengan senyuman dan gelengan kepala. Dia menarik nafas panjang, kemudian mulai membereskan kekacauan yang kubuat tadi. Kulihat banyak ikan yang menggelepar di lantai, keluar dari bak besar yang sekarang sudah pecah karena tertimpa badan gajahku ini. Sementara itu ada dua ekor ikan besar yang tampak mengambang di sisa air didalam bak. Sepertinya mati karena tertimpa badaku tadi, batinku. Kucoba menenangkan diri dengan mengambil nafas panjang dan menghembuskan pelan. Cara yang diajarkan papa saat aku marah atau kesal karena dibuli atau dibohongi teman –temanku.
“Hahaha, gila ya, kasihan ikan sampai gepeng gitu,”
“Iya lah, ikan kok ditimpa gajah, ya mati gepeng,”
Kudengar suara suara disekelilingku. Itu hanya sebagian, sisanya, aku berusaha menutup kedua telingaku.
“Kenapa juga badanku kayak gentong begini. Kenapa sih aku nggak bisa kurus kayak gadis gadis lain. Dan kenapa sih badanku ini seperti sulit menurut pada otakku, selalu ceroboh dan menyusahkanku,” kata pelan mengingat bagaimana aku berusaha untuk keluar dari bak dengan susah payah, tanpa seorangpun menolongku. Menolongku? Tentu tidak perlu. Tidak ada untungnya kan peduli sama gadis tak terlihat, ups maaf, aku
salah kata. Aku cukup besar untuk terlihat. Terlalu besar malah. Maksudku untuk peduli dengan gadis sepertiku. Tukang ikanpun lebih peduli dengan ikan ikannya dibanding denganku.
Saat aku duduk di bangku SMA, semua cewek sedang berlomba tampil cantik untuk menarik para cowok. Mereka memamerkan kemolekan tubuhnya dan kecantikan wajahnya. Termasuk Sandra sahabatku. Hampir setiap hari, di sekolah, di kelas, di kanton, lapangan bahkan taman belakang sekolah, aku melihat banyak pasangan sedang bersendau gura bahkan lebih. Hal ini sangat berbeda dengan diriku yang lebih banyak menghabiskan waktuku di dalam kelas atau kantin, sendirian. Memang sih, kadang ada Sandra yang menemaniku. Namun sejak dia pacaran dengan Leo, aku lebih banyak sendiri.
Bukan aku tidak mau bergaul, tapi akiu lelah saat harus menerima pandangan sinis, geli, jijik dan mencemooh mereka.Aku benci saat dijadikan taruhan para cowok sebagai lucu-lucuan atau hukuman. Aku lelah harus mengatakan bahwa namau Nada, bukan gajah. Aku lelah merasa iri dan ingin berubah menjadi gadis langsing tanpa lemak.
Aku ingin kurus seperti gadis gadis lain. Badan sebesar ini terasa sangat sulit aku kendalikan baik secara harafiah maupun secara batin. Aku ingin kurus bukan hanya agar bisa bergerak dengan ringan dan bebas, agar bisa menghindar dari hal memalukan akibat kecerobohanku dan masuk kedalam bak,seperti ini, tapi masih banyak alasan lain. Nanti kalian pasti mengerti, kenapa aku tertarik dengan acara Makeover Total yang katanya melibatkan banyak dokter bedah plastic. Sebuah acara yang menonjolkan kepiawaian Mahardika sebagai Image Communication Expert sekaligus ahli rekonstruksi wajah. Bahkan jika saja bisa, aku ingin kuliah lagi mengambil jurusan Image Communication seperti Mahardika.
Setelah menyelesaikan urusanku dengan tukang
ikan dan membayar semuanya, aku yang dalam keadaan kotor, basah dan bau amis,
memutuskan untuk menyudah acara belanjaku. Untungnya sudah hampir semua aku
beli tadi. Untungnya juga tukang ikan hanya memintaku untuk membayar ikan yang
mati karena ulahku tadi, bukan untuk bak pecah. Sebenarnya aku tidak keberatan
membayar ganti rugi bak itu, sayang ibu mertua memberikan uang yang pas untuk
belanja tadi. Kalaupun ada lebih, sebenarnya aku ingin menggunakannya untuk
naik taksi demi menyelamatkan keadaanku saat ini. Tapi apa daya, uangku hanya
cukup untuk naik bus kota. Bayar dirumah? Jangan harap bisa, karena ibu mertuaku pasti akan marah
karena menganggapku manja. Tak apalah aku naik bus. Toh aku juga sudah biasa.
Mama dan Papa meski kaya, tidak memanjakanku. Aku terbiasa dengan pekerjaan
rumah, belajar dan kerja keras serta kemana mana naik angkot dan bus. Dan aku
menyukainya. Itu semua membuatku tumbuh menjadi aku yang kata orang serba bisa,
kuat, tegar dan selalu tersenyum.
Ah sudahlah, lebih baik aku segera pulang, karena ibu mertua dan adik adik iparku pasti akan marah jika aku kesiangan menyiapkan makan siang. Apalagi, karena harus ke pasar pagi ini, aku belum sempat menyelesaikan pekarjaan rumah yang lain. Seperti memberes rumah dan mencuci.
Sesampainya di halte bus -Pejaten-, aku melihat busku telah lewat. Padahal aku sudah berlari, agar tidak ketinggalan tadi. Yah, aku ingin cepat sampai dirumah. Tapi apa yang aku bisa dengan tubuh sebesar ini? Berlari
bagiku adalah pekerjaan yang melelahkan dan berat. Dengan nafas terengah engah, aku membungkukkan badanku mengatur nafas. Kulihat sekeliling, hanya seorang gadis langsing yang cantik dengan rok pendek yang memamerkan paha mulusnya yang mulus dan tentu saja tanpa lemak. Kulihat kearah kanan, Eh tunggu dulu. Itu kan bus dengan nomor yang aku mau. Bus yang lewat komplekku.
“Asyik. Rejeki anak sholeh memang.” Kataku dalam hati. Saat aku sedang sibuk dengan belanjaanku, gadis dengan rok pendek dan baju tanktop tadi menyalipku naik keatas bus. Bagiku hal seperti itu tidak masalah. Toh sama saja. Bus juga tidak terlalu penuh, walau tidak ada bangku kosong disana.
Saat aku naik, kulihat gadis itu membayar ongkos pada sopir. Sopir menerima uang gadis itu dengan ramah dan sedikit menggodanya. Saat giliranku membayar sopir itu langsung memandang kedepan sambil mengeryit, seolah ada rasa jijik melihat tampilanku. Namuntangannya menerima uangku tanpa memandang. Arg, peduli amat. Aku toh tidak naik gratis. Setelah itu aku mencoba menggeser ke dalam. Kulihat tatapan para penumpang,
yang kebetulan sebagian besar adalah cowok, menatap gadis yang tadi didepanku. Mereka memandangnya dengan mata lapar dan terpesona. Ya aku tahu, dia memang cantik dan sexy. Sangat enak dipandang mata. Saat aku yang kerepotan dengan barangku bergerak ke dalam, semua mata memandangku. Mereka memberikan tatapan berbeda saat menatap gadis itu dan menatapku.
Berbeda?
Tentu saja berbeda. Saat mata mereka menatap gadis itu, mereka senyum senyum dan seolah olah ingin memakannya. Sedangkan saat mata itu menatapku, pandangan itu berubah menjadi sebal atau paling tidak, memberikan tatapan datar setengah jijik. Seolah olah aku adalah pengganggu pandangan mereka. Beberapa orang penumpang bahkan dengan sengaja menutup hidungnya saat memandangku. Iya sih, mungkin memang saat ini bauku seperti ikan di pasar tadi. Mau bagaimana lagi.
Saat aku mencoba
berpegangan keatas, penumpang di depanku memandangku jijik dan menampilkan muka seperti mau muntah. Aku melirik ke baju dan ketiakku yang tampak basah dan menguning, menjijikan memang. Makanya aku segera melepaskan pegangan tanganku ke pagangan yang diatas, dan membuang muka kedepan. Sekilas kulihat pak sopir memandangku dari spion.
Belum sempat berpikir jauh, tiba tiba sopir menginjak rem dalam dalam membuatku yang tidak berpegangan, terpelanting kedepan. Tubuhku yang gemuk terlempar sampai ke pintu depan. Belanjaan dan barang-barangku berserakan. Sekilas kulihat cewek yang tadi berdiri didepanku sedang dalam pelukan beberapa pria yang menangkapnya agar tidak terjatuh. Sekilas ada rasa, kenapa taka da seorangpun menangkapku tadi. Tapi sudahlah, apa peduliku. Toh mereka tidak peduli. Bahkan sopir pun hanya meliriku sebentar dan bersiap melaju.
“Lebih baik aku berdiri sekarang,” batinku. Dengan susah payah aku mencoba untuk berdiri. Namun saat aku sudah hampir bisa berdiri diatas kedua kakiku, namun belum sempat berpegangan, bus berbalok dengan tajam. Ya, kamu benar, aku kembali terguling bahkan sampai terperangkap di tangga pintu masuk bus yang lumayan sempit. Untungnya, pintu bus tertutup rapat. Jika tidak, bisa dipastikan aku akan terlempar keluar. Ada yang peduli? Tentu tidak. Aku menatap tajam pada sopir yang melirikku sambil tertawa kecil.
“Kamu sengaja pasti!” kataku menggeram.
“Mungkin. Sudahlah. Ayo cepat bangun. Jangan tiduran disana seperti gajah duduk. Kumpulkan barangmu
sebelum berserakan kemana mana mengotori busku,” Katanya pelan sambil menyeringai.
Aku berusaha bangun. Tidak mudah lho, untuk wanita dengan ukuranku, harus bangun dari lantai bus yang berjalan. Tidak ada satu orang pun yang membantuku. Tentu saja aku juga tidak berharap ada yang membantuku. Aku tau kalau mereka tidak akan membantu. Tidak apa-apa. Bagiku ,lebih baik mereka menertawakanku, mengejekku atau mengindahkanku, seperti ini.dari pada mereka mengasihaniku. Pandangan kasihan itu jauh lebih menyakitkan.
Ah, ya, kamu benar, ini alasan lain kenapa aku ingin langsing. Agar aku tidak mengalami hal seperti ini. Aku lelah di bully dan mendapat perlakuan tidak adil dimanapun aku berada. Tapi tentu aku juga tidak mau menjadi gadis yang terjatuh dalam pelukan laki-laki modus itu sih. Bagiku itu terlalu murahan. Jika aku memiliki tubuh seperti dia, aku tidak akan mengijinkan siapapun menyentuhku seperti itu. Hanya suamiku tercinta yang boleh melakukannya.
***
Aku sekarang tinggal dirumahku, di sebuah perumahan yang lumayan besar. Rumah ini dulu adalah rumah
mama dan papa. Papa memang memberikan banyak hal selain cinta dan perlindungan. Sebelum papa meninggal, papa memastikan aku dan mama bisa hidup meski tanpa papa. Papa memberikan rumah ini dan membelikan beberapa aset, yang bisa menjadi bekalku nantinya. Papa memberikan rumah yang aku tinggali sekarang lengkap dengan isinya, setelah aku menikah. Papa dan mama memilih ke Bandung, dan mengawasi
usaha kami yang disana.
Karena ini rumahku, aku yang merawat dan mengerjakan segala hal yang ada di rumah ini. Itu kata ibu mertuaku. Akulah tuan rumah yang wajib werawat dan mengerjakan semua hal dirumah ini. Namun ibu mertuakulah yang mengatur segalanya dirumah ini, termasuk keuangan. Uang yang dikirimkan suamiku semua
diberikan kepada ibu mertua untuk mengaturnya.
Sejak menikah, aku memang tinggal bersama Ibu dan bapak mertua serta kedua adik iparku, Pipit dan Prita. Ibu mertuaku selalu bilang, karena aku yang paling tua, maka akulah yang bertanggung jawab pada rumah ini dan isinya. Termasuk membersihkan rumah, mencuci dan setrika baju seisi rumah, memasak dan sebagainya. Kata ibu, kami tidak akan mampu membayar pembantu. Jadi mau tidak mau, akulah yang harus mengerjakan semua itu. Ibu sudah terlalu tua untuk membantuku. Sedangkan kedua adik iparku, mereka terlalu sibuk dengan
kuliahnya. Mereka semua memang bergantung padaku sepenuhnya. Itulah mengapa mereka selalu mencariku, jika aku terlalu lama diluar. Bahkan akadang untuk sekedar mencari baju atau membuat teh, mereka membutuhkan aku. Itulah mengapa aku harus buru buru sampai rumah apapun keadaanku.
Sesampainya di rumah, kulihat Prita dan Pipit sedang menikmati ayam goreng dari kedai fastfood ternama.
Disana juga ada beberapa potong martabak manis yang terlihat sangat lezat. Apalagi bagiku yang memang suka sekali makan. Dalam keadaan lelah dan semua peristiwa tadi, selera makanku akan luar biasa. Melihat apa yang tersaji diatas meja adalah surge tersendiri bagiku. Di meja juga ada beberapa kaleng sofdrink dingin yang pasti rasanya akan sangat enak setelah perjalanan yang melelahkan dan panas tadi.
“Assalamualaikum,” kataku mengucapkan salam. Kuletakan belanjaanku di meja dapur yang terhubung
dengan ruang keluarga. Mataku masih memandang dan melirik meja dimana makanan-makanan itu berserakan bersama sampah pembungkus. Ughh, padahal tadi sebelum berangkat aku sudah membersihkan meja itu sampai mengkilat.
“Salam! Oh kamu kak,” jawab Prita dengan dingin. Sementara itu Pipit masih asyik dengan ayam dan minumannya. “Baru pulang jam segini. Main kemana aja kamu?” Aku sedikit mendongak mendengar nada dingin Prita. Selama itukah aku pergi? Rasa bersalah timbul dari hatiku. Argh, semua ini gara-gara ikan sialan itu.
“Kan aku dari pasar dik. Masa sih lama. Kakak sudah berusaha cepat tadi belanjanya,” jawabku dengan suara pelan. Rasa bersalahku semakin besar melihat muka dingin Prita.
“Wah sedang menikmati martabak ya dik. Sepertinya enak,” kataku mendekati mereka sambil melihat makanan dimeja. Godaan makanan memang sangat sulit aku tolak. Bagiku, makan adalah hiburan yang menyenangkan. Semua orang tahu itu. Aku melirik kearah Prita yang masih memandangku, sedangkan pipit masih asyik dengan ayam gorengnya. Aku duduk di samping meja sambil memandangi makanan makanan
Muka Prita tiba tiba berubah saat memandangku. Dilemparkannya ayam goreng yang baru saja akan dia gigit, kembali ke kotaknya. Ia segera mendorong kotak kota berisi ayam dan martabak kearahku
“Udah ah Pit.” Kata Prita dengan keras.
“Lah kenapa sih, masih enak nih, tinggal sepotong lagi,” kata Pipit masih asyik dengan ayamnya.
“Ntar keenakan si gendut makan ayam gratisan,” kata Pipit seolah aku tidak ada disana.
“Gila ih kamu. Kamu mau badan kamu kayak dia? Liat dong,” kata Prita sambil menatapku dengan tatapan jijik. Pipit menghentikan gigitannya dan memandangku. Digedikkannya pundaknya, seolah olah dia bergidik karena jijik. Dilemparkannya ayam yang sudah hampir habis itu ke kotak yang sudah hampir kosong. Hanya tinggal
potongan milik Prita tadi dan setengah dari punya Pipit.
“Nggak mau lah kak. Mana ada aku jadi gajah bengkak kayak dia,” Kata Pipit berdiri diikuti Prita.
“Sudah itu kamu habiskan semua lalu beresin. Ingat ya beresin sampai bersih. Aku nggak mau ibu tahu aku makan fast food dan martabak jam segini. Kalau samapai ibu tahu, aku akan bilang kalau kamu yang membeli semua ini dan bermalas malasan menghabiskannya dari tadi,” kata Prita dengan tajam .
“Iya, aku beresin kok, tenang saja,” kataku sambil menikmati makanan yang ada di meja. Aku mengambil
sekaleng soft drink diatas meja. Belum sempat kubuka, sebuah tangan mengambil kalengku dan menggantinya dengan kaleng yang sudah tinggal isi setengah.
“Enak aja mau minum punyaku. Nih kamu minum bekasku aja, masih ada kok. Punya Pipit juga masih.” Kata Prita yang ternyata sudah berdiri dibelakangku. Dia membawa pergi kaleng kaleng soft drink yang masih utuh. Hanya menyisakan kaleng kaleng kosong, dan dua kaleng yang isinya tinggal setengah dan sepertiga. Baiklah, tidak apa apa. Ini juga sudah lumayan, batinku. Lagian makanan makanan ini kan masih baik baik saja, gratis lagi. Kalau aku beli sendiri mana bisa. Meski uangku dan uang kiriman suami ada di ibu, aku tidak akan mendapatkannya kalau buat jajan diluar. Ibu pasti akan memarahiku. Kadang aku jajan di pasar sih, itu kalau Sandra atau Mama memberikan uang padaku. Itupun sangat jarang, karena kalau sampai Ibu tahu kalau aku diberi uang Mama, pasti Ibu akan marah dan uangnya akan disita. Kalau Sandra yang tahu bagaimana keadaanku, pasti akan mentraktirku diam-diam, tanpa diketahui orang rumah.
Aku meneruskan kegiatanku menghabiskan makanan dan minuman sisa saudaraku. Setelah selesai,
aku membersihkan semuanya. Ruangan ini adalah ruangan yang selalu mengingatkanku pada Papa. Aku memandang sebuah foto keluarga yang tergantung didepanku. Itulah keluargaku sekarang.
Dulu didinding yang sama tergantung fotoku dengan keluargaku yang lama. Aku, mama dan papa. Saat
membuat foto itu, Mama memandikan aku dengan sangat bersih. Mama menggosokan sabun berulang ulang pada badanku. Mama membelikan sebuah gaun khusus untuk pemotretan hari itu. Papa memakai jas terbaiknya dan mama memakai kebaya dan kain prada yang sangat indah. Rambut Papa disisir rapi dengan minyak rambut,
yang membuat wajah papa terlihat lebih tampan. Sedangkan mama yang memang berwajah ayu, menyanggul rambutnya seperti wanita Jawa jaman dulu. Cantik sekali kata papa, yang terpesoina melihat mama waktu itu. Mama tersipu malu, saat dipuji Papa dan aku berkhayal, setelah besar nanti, aku tidak lagi hitam, gemuk, berhidung pesek. Aku bermimpi, saat besar nanti akan menjelma seperti Mama.
Namun sejak lama foto itu sudah tidak ada. Foto yang terpasang saat ini, adalah foto keluargaku dirumah ini sekarang. Mereka adalah keluarga suamiku. Ditambah dengan keberadaanku diantara mereka, disamping anak
sulung keluarga ini. Dalam kedua foto itu, aku ternyata masih sama. Penampilanku tidak berubah menjadi seperti mama, seperti mimpiku dulu. Disana ada Bapak mertua yang aku panggil Bapak. Laki-laki ini ang masih gagah dan murah senyum, seperti yang kuingat sejak dia masih sering mengantarku sekolah, Ibu mertua yang cantik kas keturunan tionghoa jawa. Aku memanggil Ibu padanya. Sejak awal aku berharap, Ibu bisa menggantikan Mamaku. Pada awal pernikahanku, Ibu memang sangat baik padaku. Dia selalu membuatkanku minum dan sarapan buatku, Papa dan Mama. Dia selalu ada disampingku setiap saat. Bahkan karena selalu sayang padaku, dia selalu memisahkanku dari Mas Pradipta. Kadang Ibu akan duduk ditengah-tengah antara
aku dan mas Pradipta saat kami sama sama menikmati acara televisi.
“Ibu, sempit ini,” protes Mas Pradipta saat itu.
“Biarin kenapa sih. Kamu kan selalu sama Nada. Ibu kan juga pingin duduk sama mantu Ibu. Ya nggak Nak Nada,” itu jawaban ibu saat itu. Semua yang disana tertawa melihat kekonyolan Ibu Mertuaku. Hatiku menghangat karena perlakuan ibu mertuaku.
“Bu, sudahlah. Kamu itu ada ada saja. Kayak anak kecil. Jangan ganggu Nada dan Pradipta,” kata ayah
mengingatkan istrinya.
“Tidak apa apa yah, Nada senang kalau ibu menganggap Nada putrinya sendiri,” jawabku sambil
tersenyum, saat itu.
Semua itu terjadi saat lukisan pertama yang terpasang. Setelah Papa dan Mama pindah ke Bandung dan
lukisan pertama berganti dengan lukisan sekarang, ibu tidak lagi pernah melakukannya. Jika ada mas Pradipta, ibu lebih menempel ke anaknya dan menyuruhku duduk sendiri. Rindu pada anaknya, begitu katanya.
Selain ibu dan bapak, disana ada aku dan mas Pradipta yang berdiri berdampingan. Mukaku sangat cerah
disana. Ya aku bahagia, karena cinta pertamaku berdiri disampingku saat itu. Tidak ada lagi yang kuingin kan. Aku bahagia dan semua terpancar dari wajahku. Sedangkan wajah tampan suamiku yang keturunan tionghoa jawa, tersenyum meski agak kaku.
Disebelah Ibu ada Prita dan Pipit, adik Mas Pradipta. Dua gadis cantik, berkulit putih dan mata agak sipit. Badan semampai yang langsing sangan sesuai dengan baju gaun merah yang menunjukan lekuk tubuh sempurna. Melihat foto itu, aku membatin. Ini adalah salah satu alasanku untuk menjadi langsing. Untuk suamiku dan untuk bisa diperlakukan dengan baik oleh orang-orang di foto itu.
***
Hari ini semua pekerjaan bisa aku selesaikan dengan cepat. Bahkan setelah makan siang tadi, saat semua keluargaku masuk ke kamar, aku langsung membersihkannya. Setelah itu aku menyetrika. Hari ini sangat terik. Jemurannya cepat kering sehingga bisa langsung kusetrika. Meskipun banyak, namun baju Prita dan pipit juga ibu adalah baju rumah yang tidak sulit disetrika. Aku masih sempat untuk mempersiakan bahan-bahan makan
malam. Hanya tinggal mengeksekusinya nanti menjelang makan malam. Ibu sangat tidak suka makanan dingin. Semua masakan harus dimasak sebelum disajikan.
Aku meyakinkan semuanya sudah rapi lalu segera mandi. Setelah mandi kukenakan baju dengan cepat. Aku kali ini memilih mengenakan baju yang kemarin baru selesai kujahit. Aku menyisir rambut ikalku dan memasang bando bunga-bunga di kepalanya. Kuberikan bedak tipis ke mukaku yang bulat. Kutambahkan sedikit blush on dipipi dan liptint di bibir. Kupanddangi wajahku di cermin dengan seksama. Setelah puas, segera kusiapkan kamera handphobe di meja. Aku akan membuat rekaman video untuk kukirimkan paada suamiku. Sebuah video singkat yang aku buat untuk menyalurkan rasa rindu.
Aku sangat merindukan mas Pradipta suamiku. Dia seorang pekerja keras. Bahkan demi mendapatkan uang
banyak dan mencukupi kebutuhan kami, dia rela untuk tidak pulang. Aku tahu, dia berjuang untuk kami seperti katanya saat aku menanyakan kapan dia pulang. Meski menikah selama delapan tahun, pertemuanku dengan suami sepertinya masih bisa dihitung dengan jari. Untuk hubungan komunikasi dengan telpon atau videocall
juga jarang kami lakukan. Kata suamiku, dia terlalu sibuk setiap harinya. Bahkan dia selalu pulang malam dan langsung tertidur. Jika tidak penting, sebaiknya aku tidak menelpone, itu kata mas Pradipta. Katanya, takut aku telpon saat ditengah tengah pekerjaan dan akan mengganggu konditenya. Hanya dengan berkirim video seperti inilah kami berkomunikasi, melepas kerinduan. Aku menyimpan semua video kiriman suaminya di gawaiku. Tentu untuk kulihat dan kulihat lagi saat aku sedih dan senang, terutama saat aku merindukannya dan kesepian. Aku tahu, suamiku terlalu sibuk untuk melakukan telpon dan video call denganku. Dan aku sangat menghargai waktu. Itulah mengapa aku sangat senang dan menghargai mas Pradipta, yang masih mau menyempatkan diri
merekam video untuk dikirimkan padaku. Akupun melakukan hal yang sama setiap hari, sesibuk apapun aku. Setelah kamera siap, aku mulai menyapa mas Pradipta lewat video.
“Hai suamiku, pa kabar? Kamu pasti lagi sibuk bekerja disana. Terimakasih karena sudah menjadi suami yang bekerja keras untuk menghidupi kami. Tapi jangan terlalu keras bekerja. Jangan sampai kamu sakit. Oh ya, aku kemarin menjahit baju ini khusus untuk kupakai di depanmu. Bagus tidak? Jangan kuatir, ini tidak mahal kok. Kainnya dibelikan oleh mama kemarin. Aku tidak ke penjahit, aku jahit sendiri jadi tidak ada biaya penjahit. Bagaimana? Kamu suka kan penampilanku? Aku cantik kan?” kataku sambil berputar-putar didepan kamera. Sungguh saat ini aku merasa cantik, dan aku ingin mas Pradipta juga melihatku saat cantik. Saat merekam
seperti ini aku merasa mas Pradipta melihatku secara langsung dan tersenyum dengan senyum tampannya. Matanya yang sipit, yang seperti terpejam saat tertawa, seperti ada didepanku. Namun entah mengapa aku merasa saat ini ada mata lain mengawasiku. Tapi mana mungkin, aku hanya sendiri kan di kamar ini.
“Buahahahahaha!” sebuah tawa keras mengagetkanku. Aku kaget setengah mati. Kulirik pintu kamar yang sedikit terbuka? Terbuka? Padahal seingatku tadi sudah kututup? Apakah ada yang mengintip aksiku didepan kamera tadi. Mukaku memanas, karena malu. Cepat-cepat kumatikan rekaman kamera dan menghampiri pintu. Aku ingin tahu siapa yang mengintipku, meski aku sudah bisa menduganya.
“Sssst! Pit, jangan keras keras ketawanya nanti Nada dengar,” suara Prita menghentikan langkahku untuk
keluar kamar.
“Ya abis lucu banget kak. Seperti menonton sirkus gajah di pakaiin bando ha… ha… ha…” kata Pipit.
“Ssst, jangna keras keras tapi. Lumayan kan jadi hiburan gratis buat kita dan kakak. Aku yakin kak Pradipta dan Juli, akan ketawa ngakak nontonnya nanti. Eh atau malah jijik ya?” kata Prita.
“Pfffttt, udah ah kak, sakit perutku nahan ketawa dari tadi. Biarkanlah si gajah berhalu ria. Kalau dipikir-pikir, Nada itu memang nggak tahu diri sih. Badan sebesar itu, mana hitam dan kalau kringetan … iewwww. Tapi ya sudahlah, biarkan. Lumayan kan hiburan disore hari begini,” terdengar kata kata Pipit sebelum kemudian langkah mereka menjauh menuju kamar. Aku tercenung sendiri. Benarkah suamiku akan mentertawakanku seperti mereka mentertawaiku sekarang ini? Dadaku serasa diremas. Antara sakit dan malu. Sangat menyakitkan. Selalu seperti ini keadaannya. Aku sadar, semua ini bermula dari bentuk badanku yang gemuk dan besar ini.
. “Aku ingin kurus” bisikku dalam hati.
POV Nada end
Nada adalah gadis kesayangan keluarga Hermawan. Bukan keluarga konglomerat namun cukup memiliki nama
dijajaran pengusaha kuliner negeri ini. Hidup Nada tidak pernah susah jika kamu bicara soal ekonomi. Namun hidup gadis yang bertubuh gemuk dan besar seperti ayahnya ini cukup berat sejak masuk ke bangku SMP. Bagi nada, hinaan dan bully adalah makanan sehari-hari. Menjadi bahan ejekan dan tertawaan teman-temannya
sudah bukan hal baru. Selama itu tidak menyakiti tubuhnya, Nada memilih untuk diam dan menelan semua itu. Meski hatinya sangat sakit. Meski dia sering kali kesepian karena tidak ada yang meu menjadi temannya, kecuali Sandra, tetangga dan sahabatnya sejak SD.
Selain Sandra, saat SMP dan SMA, Nada juga dekat dengan Pradipta. Dia adalah putra dari Pak Henky, sopir pribadi keluarga Hermawan, sejak Nada masih kecil. Pak Henky sudah sangat dekat dengan keluarga tuannya. Pak Henky memiliki satu putra dan dua putri, yang juga dibiayai sekolahnya oleh orangtua Nada. Meski begitu, hanya Pak Henky dan Pradipta yang sering berada di kediaman Hermawan. Pradipta sendiri sering membantu Bapak Hermawan di restoran atau dirumah, dengan imbalan tentunya. Karena itu, Nada sering bertemu dengannya sejak SMP.
POV NADA
Aku mengenal mas Pradipta sejak masih kecil. Bisa dikatakan kami tumbuh bersama, karena mas Pradipta sering ikut ayahnya kerumah kami. Jika tidak ada pekerjaan, biasanya mas Pradipta akan menemaniku bermain. Dia sangat baik padaku. Tidak pernah sekalipun dia menghinaku karena gemuk. Dia pria tertampan yang pernah aku temui.
Ya kamu benar, aku jatuh cinta padanya sejak aku mengenal rasa itu. Tepatnya saat kelas dua SMP. Kebetulan
kami memang seusia, namun tidak satu sekolah. Beberapa kali, Mas Pradipta menolongu saat dibuli oleh anak-anak komplek. Dia selalu melarangku keluar rumah, dan bermain di halaman bertiga dengan Sandra. Dia pula yang menyemangatiku agar aku berlatih kickboxing untuk melindungi diriku. Dia yang selalu mendorongku untuk berani menunjukan rasa tidak suka saat dibuli. Dan karena itu jugalah, meski bisik bisik, cemooh dan berbagai bully masih terus ada, namun tidak pernah ada yang sampai menyakitiku secara fisik. Aku cukup handal di Kickboxing.
Kami bertiga tumbuh bersama bahkan kuliah ditempat yang sama. Kami berhasil masuk ke fakultas komunikasi di perguruan ternama di kota kami. Tentu aku dan mas Pradipta dibiayai oleh papa. Saat kuliah kami selalu berangkat dan pulang bertiga. Saat akhirnya Sandra memiliki kekasih dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan kekasihnya, aku selalu pulang dan pergi bersama Mas Pradipta. Disanalah perasaan cintaku makin besar. Meski Mas Pradipta tidak pernah mengatakan apapun tentang perasaannnya, namun aku juga tidak pernah melihatnya bersama wanita lain selain aku.
Saat menjelang akhir masa kuliah, papa dan mama mengajakku bicara. Rupanya mereka menyadari kalau
putri semata wayangnya jatuh cinta pada putra Pak Henky. Pada awalnya aku tidak ingin mengakui rasaku. Namun mama bukan lawanku jika bicara. Akhirnya, aku mengeluarkan semua rasa yang ada di hati. Papa marah karena aku jatuh cinta pada putra seorang sopir? Jawabannya adalah tidak. Papa dan mama adalah orang hebat yang tidak pernah memandang rendah seseorang berdasarkan kelas sosial atau status pekerjaan. Bagi papa mama, sopir hanyalah pekerjaan pak Henky.
“Papa ingin kamu bahagia, Nada,” kata papa sambil tersenyum saat itu. Tangan mama mengelur kepalaku yang ada dipangkuannya. Papa dan mama yang duduk di sofa sedangkan aku duduk di karpet, membuatku dapat
meletakkan kepalahku dengan nyaman di pangkuan mama, sambil berbicara.
“Mama lihat, kamu juga sudah sangat dekat dengan Pradipta. Jika memang kamu menyukainya, menikahlah dengannya. Kalian sudah cukup usia. Kamu dan Pradipta nanti bisa meneruskan usaha papa dan mama. Saat ini malah Sandra yang menjadi asisten mama lho. Kalau kalian menikah, Pradipta bisa menggantikan papa,
sedangkan kamu dan Sandra bisa menangani yang lain menggantikan mama kan. Pradipta adalah laki laki yang sangat baik sopan dan bertanggung jawab,” kata Mama. Aku hanya bisa tersenyum. Jantungku berdegup kencang membayangkan akan menikah laki-laki cinta pertama dan satu-satunya yang kumiliki.
“Tapi ma, pa, aku tidak pernah bicara apa-apa tentang hubunganku dengan mas Pradipta. Apakah dia mau menikah denganku? “ tanyaku saat itu dengan malu. Mukaku terasa panas terbakar.
“Yang penting kamu bersedia menikah dengan Pradipta kan? Sisanya biar papa dan pak Henky yang
mengurusnya, yak an ma?” kata Papa.
“Iya, Nada. Kalau kamu sudah menikah, kami akan tenang,” tambah mama yang hanya kujawab dengan anggukan kepala.
Sampailah dihari kami bertiga wisuda bersama. Sepulang wisuda, keluarga Hermawan dan keluarga Henky merayakan kelulusan kami di sebuah restoran. Suasana akrab dua keluarga ini tampak terjalin. Prita dan
Pipit, adik mas Pradipta yang duduk dibangku SMP dan SMA, sesekali memandangku yang saat itu mengenakan kebaya. Keduanya terlihat berbisik dan tertawa kecil tertahan. Sesuatu yang sudah tidak asing bagiku. Sementara itu Papa asyik bicara dengan Pak Henky dan mama asyik bicara dengan ibu mas Pradipta. Dari tadi, ibu mas Pradipta dengan terang terangan memuji tas tas branded mama.
Mas Pradipta beberapa kali melotot pada kedua adiknya, saat Pipit dan Prita mentertawakanku. Hal ini
sungguh, membuat hatiku menghangat. Namun aku hanya bisa berdiam diri tak mengatakan apapun. Mas Pradipta sama sekali tidak mengajakku berbicara. Jika tidak bicara dengan kedua adiknya,
dia asyik dengan makanannya atau gawainya.
“Ehem… minta perhatian sebentar ya,” tiba tiba papa mengegetkan kami. “Alhamdulilah, hari ini kita diberkahi kelulusan Nada dan Pradipta. Selamat buat kalian berdua ya. Lalu apa rencana kalian?” aku hanya terdiam. Ya aku tidak punya rencana apapun selain membantu mama kan. Dan mereka tahu itu.
“ Terimakasih pa, saya sudah diberi kesempatan untuk bisa sekolah dan kuliah sampai sekarang. Seperti
rencana papa tentunya, saya akan bekerja di tempat papa. Itu jika tawaran papa masih berlaku. Namun sebenarnya saya sendiri ingin melanjutkan kuliah di Singapura pa. Itu nanti setelah saya bisa mengumpulkan biatanya,” kata mas Pradipta mantap. Ya, dia memanggil papaku dengan panggilan papa dan mamaku
dengan panggilan mama, seperti permintaan kedua orang tuaku.
“Iya pak Hermawan, saya juga berterimakasih sekali karena bapak dan ibu Hermawan telah berbaik
hati membiayai sekolah anak-anak saya. Bapak juga yang menyelamatkan nyawa saya puluhan tahun lalu. Selain berhutang nyawa pada bapak, saya juga berhutang budi atas masadepan anak anak saya,” kata pak Henky sambil berdiri dan membungkuk pada Papa. Mas Pradipta memandang ayahnya dengan tatapan yang aku tidak tahu artinya. Seperti ada kilat tidak nyaman, terimakasih dan entah lah. Sementara itu ibu Henky
masih sibuk mengamati tas mama, tidak terpengaruh dengan pembicaraan ini.
“Pak Henky ini ada ada saja. Tidak usah seperti itu. Kita ini keluarga kan,” kata papa.
“Pa, bagaimana kalau kita bicarakan sekarang, mumpung kita semua disini,” kata mama sambil menyenggol tangan papa. Papa mengangguk dan berdehem, tanda bahwa dia akan berbicara serius.
“Bapak dan ibu Henky dan terutama kamu Pradipta. Tentu kalian tahu kalau kami memiliki putri satu-satunya, Nada. Kami juga tidak punya saudara dekat. Itulah mengapa kami ingin memastikan masa depannya pada tangan yang tepat. Untuk itu, kami ingin bertanya pada Pradipta terutama, apakah bersedia menerima Nada sebagai pendamping. Saya ingin menitipkan Nada padamu, agar kami tenang,” kata Papa sambil tersenyum.
Kalimat papa yang diucapkan dengan tenang ini ternyata kekuatannya melebihi gelegar halilintar. Terbukti semua yang duduk dimeja itu terdiam kaku tak bergerak. Bahkan jantungku berdetak kencang tak terkendali. Mungkin semua orang bisa mendengarnya disaat senyap seperti ini. Papa memandang lurus ke mas Pradipta. Laki-laki yang awalnya tersenyum itu, kini menunduk seperti tidak tahu bicara apa.
“Bapak dan ibu Hermawan, maafkan kami kalau kami belum bisa menjawab sekarang. Semuanya terlalu tiba-tiba untuk kami,” kata bu Henky sambil tersenyum memecah kesunyian yang muncul akibat kata-kata papa tadi.
“Saya pribadi tidak keberatan Pak Hermawan. Bahkan Nyawa dan hidup saya sudah sejak awal, saya serahkan pada bapak. Saya pastikan Pradipta yang akan menjaga Nada sampai kapanpun,” kata Pak Henky memotong perkataan istrinya.
“Tapi pak…” kudengar mas Pradipta berteriak. Ya aku sadar, pasti dia keberatan menikahiku. Dia yang
begitu tampan dan hebat, mana mau menikah dengan gadis gemuk sepertiku. Aku menunduk dalam menahan airmataku. Hatiku sudah patah bahkan sebelum bertumbuh. Kuremas jari-jemariku sambil mencoba menghela nafas dalam. Mama disebelahku mengambil tanganku dan menggegamnya. Memberikan ketenangan dan kekuatan seperti biasa.
“Tidak ada tapi Pradipta. Apapun permintaan pak Hermawan, harus kamu ikuti. Karena semua yang kamu miliki sekarang ini adalah milik Pak Hermawan,” kata Pak Henky tegas.
“Sudahlah, lebih baik kita bicarakan ini dirumah,” potong bu Henky menengahi pembicaraan Pak Henky
dan putranya. “Bapak ibu Hermawan, saya mohon, berikan kami waktu untuk membicarakan ini semua. Semua terlalu tiba-tiba bagi kami. Pradipta hanya terkejut pak, bu. Kami akan merencanakan semua dengan baik. Lagipula, bukannya pihak laki-laki yang seharusnya melamar? Jadi berikan kami waktu ya pak bu. Pradipta, bapak, ayo kita pulang. Banyak yang harus kita bicarakan dan persiapkan,” kata bu Henky sambil tersenyum.
“Oh iya, benar juga. Baiklah Pak Hermawan, sebaiknya kami mohon pamit. Nanti kami akan segera sowan
untuk membicarakan semuanya lebih lanjut,” kata Pak Henky dengan senyum lebar di mukanya. Kulihat muka mas Pradipta yang tampak tegang dan kusut. Sementara itu wajah Prita dan Pipit tampak kebingungan. Bu Henky segera berdiri dan menyalami papa dan mama, lalu menarik tangan mas Pradipta, diikuti Prita dan
Pipit. Sekali lagi, pak Henky berpamitan pada kami dan menyusul keluarganya. Sepeninggal mereka, kamipun segera pulang kerumah.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!