Kulihat wanita di sampingku, wajahnya tampak kusam, terlihat di bawah mata hitam samar. Menampilkan seperti mata panda.
Rambut yang terikat hanya dengan tali karet saja, dengan tangan terlihat penuh luka.
Hatiku merasa sangat pilu melihat penampilan seorang wanita yang seakan tak terawat, di sampingku. Ia menundukkan pandangan terlihat sekali begitu banyak beban yang ia rasakan.
Rasa penasaran dalam hati kian menggebu, ingin bertanya? Namun, mulut tak kuasa.
Di bis yang memang padat penumpang hanya aku yang duduk bersebelahan dengan wanita itu.
Tangannya bergetar hebat seakan ia ketakutan, apa yang harus aku lakukan? Rasanya inginku genggam tangan yang bergetar dan penuh bekas luka itu.
Menarik nafas pelan tanganku mulai refleks memberi botol minum berisi air.
"Mbak, silakan minum."
Rasa hatiku seakan tak karuan, apa dia akan menerima botol minum yang di sodorkan tanganku. Tapi rasanya tidak mungkin pasti dia tidak sembarangan menerima botol minum pemberian orang.
Ternyata perasaanku salah, wanita itu membalikkan badan. Tangan bergetarnya meraih botol minum yang aku sodorkan, aku kaget. Dadaku berdetak kencang lebih cepat dari sebelumnya.
Dari balik rambut dan tampilan berantakan, wajah wanita itu begitu manis, cantik.
Sederhana, membuat kedua mataku terpana.
Ya tuhan, ada wanita secantik ini di sebelahku.
"Maaf, kalau saya boleh tanya mbak mau ke mana ya?" tanyaku. Sedikit ragu-ragu.
"Entahlah, aku bingung mas. Aku kabur dari rumah!" jawabnya. Matanya mulai mengeluarkan air mata secara tiba-tiba. Aku mulai bertanya lagi pada wanita di samping kursi bis ini.
"Loh, kok bisa. Kenapa? Nanti orang tua Mbak cari keberadaan Mbak loh. Kasihan mereka," ucapku dengan sok bijak dan menasihati. Padahal aku belum tahu cerita sesungguhnya.
Tiba-tiba wanita di sampingku menangis terisak-isak. Membuat para penumpang di bis menatap wajahku sengit, kucoba menenggakkan wanita ini dengan berkata lembut." Mbak jangan menangis."
Tangisannya malah semakin terdengar keras membuat aku menjadi bingung dan kewalahan.
"Eh Mas, kasihan istrinya sampai menangis begitu," ucap salah satu penumpang membuat aku bengong seketika.
Ya ampun, istri dari mana. Kekasih juga tak punya. Maklum aku jomblo sejati.
"Eh, mbak saya mohon jangan menangis. Orang-orang pada liatin kita. Stop ya," ucapku menenangkan wanita di sampingku.
"Mas ... mas kalau istri nangis tuh peluk biar dia tenang, ini malah di biarin gitu aja," ucap bapak-bapak di sebelah kiri tempat duduk.
Peluk, ya aku mau aja. Lah ceweknya mau enggak. Kan tahu sendiri dia bukan istriku. Ahhk netizen ini benar-benar rombeng mulutnya.
Tiba-tiba wanita itu berbalik arah pada bapak-bapak yang mengatakan tentang pelukan.
"Maaf pak, dia bukan suamiku."
Semua orang langsung menutup mulutnya, membuat keheningan di dalam bis.
Perjalanan yang aku lalu masih terbilang sangat jauh, aku merantau dari kampung halaman Surabaya menuju Jakarta. Untuk mencari kerja, setelah lulus wisuda. Aku ingin membuktikan pada orang tua bahwa aku bisa mempunyai pekerjaan yang mapan di perusahaan besar.
Itulah cita-cita yang aku impikan saat ini.
"Mas, nya mau ke mana?" tanya wanita di sampingku. Menampikan senyuman yang tak biasa, rasanya bis ini begitu panas ketika senyuman itu tertuju padaku.
Ahhk jelas aku terlalu berkhayal, karna kelamaan jadi jomblo.
"Kebetulan saya lagi cari kerja mbak berhubung, saya baru lulusan wisuda. Mbak sendiri?"
"Aku bingung mau ke mana? Karna ...."
Seketika bis pun berhenti, wanita yang belum aku tahu namanya itu. Malah turun dengan tergesa-gesa seakan ada sesuatu yang membuatnya ketakutan.
Menepuk jidat, menyenderkan punggung pada kursi bis. Membuat hatiku menjadi galau. Ya ampun baru pendekatan sudah hilang entah ke mana.
Namun, aku masih penasaran dengan bekas luka di tangan dan juga bibirnya.
Sebenarnya ada masalah apa dengan wanita itu?
#Kau_Buang_Istrimu_Seperti_Sampah_Ku_Pungut_Dia_Seperti_permaisuri.
Tak terasa perjalanan ku menuju kota jakarta telah sampai, benar-benar perjalanan yang sangat melelahkan. Membuat seluruh badan terasa remuk dan pegal-pegal. Setelah ini aku harus mencari tempat tinggal semacam kontrakan.
Agar aku bisa mengistirahatkan sejenak tubuh yang lemas dan letih ini. Akhirnya sampai juga di kontrakan kecil walau ya terlihat kumuh, ini cukup untuk tempat tinggal sementara. Selama aku belum mendapat pekerjaan.
Dengan beralas tikar, ku rebahkan tubuh ini, dengan pelan. Rasanya nyaman, walau tak senyaman di rumah emak di kampung. Demi tekad dan juga keinginan aku harus sukses demi masa depan dan cita-citaku.
Ku usap kasar wajahku, tak terasa waktu adzan pun telah tiba, Dimana waktu adzan isya berkumandan. Mengucap kata alhamdullilah, langkah kaki ini. Ku langkahkan menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu dari pancuran keran.
Mengambil sajadah dan menggelar di atas lantai. Ku pasrahkan semua urusan dunia kepada Ilahi Robbi, melupakan dan berserah diri untuk tetap khusyuk dalam menjalankan Shalat.
Tak lupa setelah Shalat, ku panjatkan doa dengan mengangkat kedua tangan. Memuji sang maha kuasa dan juga mendoakan emak bapak di kampung. Tak terasa air mata ini mengalir perlahan mengenai pipi.
Tiba-tiba, dalam pikiranku terbayang wanita yang berada di bis saat duduk bersebelahan denganku. Astagfirullah, kenapa dengan pikiranku? Aku meminta ampun dan meminta petunjuk ada apa dengan wanita yang bertemu denganku saat di bis itu.
Ku lipatkan sajadah yang menggelar di atas lantai, dengan rapih. Entah hati ini rasanya tak karuan, seakan ada yang mengganjal.
Apa terjadi sesuatu dengan wanita itu? Akh, segera ku tepis semua pikiran jelek yang menghantui kepalaku saat itu.
Tak terasa malam begitu cepat berlalu, hingga mataku menutup perlahan. Terhanyut dalam mimpi yang perlahan datang.
Aku berjalan di hutan yang gelap, tak ada sinar cahaya di sana. Berjalan menginjak setiap ranting pohon rasanya perih sakit mengenai kaki.
Tanpa rasa lelah aku terus berjalan, walau dalam kegelapan. Hingga akhirnya telinga ini mendengar suara jeritan dan lolongan seorang wanita.
"Sakit ... mas, aku mohon hentikan."
Suara itu, suara wanita. Ada apa dengan wanita itu? Berlari tergopoh-gopoh pada akhirnya aku menemukan satu titik cahaya terang. Dimana cahaya kecil itu menyorot pada kedua mataku.
Tangan ini mulai menutup kedua mataku, karna cahaya yang menyilaukan. Membuat kedua mataku pedih.
"Mas, sakit ... ampun mas."
Suara itu terdengar lagi dan semakin mendekat. Dengan terpaksa aku meneruskan langkah kaki ini agar bisa cepat sampai menuju sumber suara itu.
Apa itu? Bukankah wanita itu?
Kedua mata lelaki itu menatap tajam kearah wajahku, ia seakan menyimpan kebencian yang teramat dalam. Sorot matanya tak lepas menatap wajahku.
Wanita itu menangis, menyodorkan tanganya. Meminta tolong kepadaku.
Dengan lantangnya aku menghampiri wanita itu, berniat untuk menolong, saat tangan ini meraih tanganku satu celurit datang siap memotong tanganku.
Dan ahkk ... Ya Allah ini hanya mimpi ternyata.
Melihat jam alarm berbunyi, Dimana waktu adzan subuh berkumandang. Dengan keringat dingin membasahi, aku mulai meraih handuk untuk membersihkan diri.
Menjalankan Shalat subuh. Tak lupa berdoa, meminta petunjuk apa arti dari mimpiku semalam.
Pagi pun menjelang. Dimana aku berangkat untuk bekerja saat itu, sesaat keluar dari dalam kontrakan. Aku menelusuri gang-gang kecil, melewati semua wanita yang entah sejak kapan mereka memandangi diriku ini.
Apa ada yang aneh dengan penampilanku? Atau aku bau? Atau aku culun?
Menepis pikiran jelek itu, mungkin aku terlalu kepedean. Langkah kaki terhenti karna kedua gua hidungku mencium wangi nasi uduk saat itu. Wanginya, membuat cacing-cacing di perut meronta-ronta meminta jatah untuk sarapan.
"Bu, nasi uduknya satu ya," pintaku pada ibu-ibu penjual uduk itu. Entah kenapa matanya tak henti memandang wajahku, hingga nasi yang ibu penjual itu ambil dengan sinduk berhamburan ke mana-mana.
"Bu ... ibu ...." Memanggil-manggil nama ibu penjual dan melambai-lambaikan ke arah wajahnya dengan tanganku.
"Eh, den maaf. Lah, nasinya berantakan ya. Maaf ya, tunggu sebentar ibu ganti yang baru," ucap ibu penjual nasi uduk itu. Segara membungkuskan nasi uduk yang baru.
"Berapa?" tanyaku, ibu penjual itu malah menatapku genit. Ia Senyum-senyum sendiri.
"Oh, tujuh ribu saja!" jawabnya.
Kuberikan uang sepuluh ribu pada ibu penjual uduk itu.
Dia meraih uang itu sembari menyentuh sedikit tanganku begitu genit, aku yang melihatnya bergidig ngeri.
"Maaf ya den, habis Aden ganteng si. Soalnya baru kali ini ada orang ganteng mau tinggal di kontrakan kumuh daerah sini," ucap penjual uduk itu kepadaku.
Apa yang di katakan ibu penjual uduk tadi, aku ganteng? Sungguh di luar logika. Masa ia aku ganteng? Meraih ponsel melihat pada layar ponsel, eh. Ganteng sih lumayan pasaran lima puluh ribu.
Aku tertawa sembari berjalan, ada rasa bangga karna di kentarakan ini aku yang paling ganteng. Tapi coba kalau aku berada di kampung, Ahhk. Aku yang paling buluk.
Rasa senang kini kian kurasakan, bahagia karna pagi-pagi di sambut dengan pujian. Oh ... mantap. Tapi tetap saja aku harus menjauhi sifat angkuh, karna itu sifat yang tidak di sukai sang maha kuasa.
Aku harus cepat-cepat menaiki bis menuju kota untuk bergegas mencari pekerjaan.
Sesaat bis berhenti di depan mata, aku bergegas naik melangkah pada bis itu.
Namun, brug ... seseorang malah membuat aku tersungkur jatuh.
Siapa wanita yang tengah menabrak ku saat itu? Aku mulai meraih pundaknya, tapi supir bis menyuruhku untuk segera naik.
Dengan terpaksa kuurungkan keingin tahuan tentang wanita yang menabrak ku saat itu.
Kadua mataku benar-benar di manjakan dengan pemandangan gedung-gedung yang menjulang begitu tinggi. Membuat aku kagum, begitu luar biasa ciptaan manusia. Dengan akal dan pikiran kerja keras, kerja sama. Mereka bisa membangun gedung-gedung megah itu.
"Permisi mas, boleh aku duduk di kursi ini."
Aku menatap gadis berambut panjang itu tersenyum kepadaku.
"Silakan mbak."
Entah kenapa setiap menaiki bis selalu saja bersebelahan dengan seorang wanita. Ahhk, nasibku bagus ternyata di Jakarta.
Next enggak
"Oh, ya. Mau melamar kerja mas?" tanya sosok wanita di sebelahku. Kedua matanya melirik pada berkas coklat yang tengah aku pegang.
Aku menganggukkan kepala seraya menjawab," iya, mbak."
"Kebetulan di kantor tempat saya bekerja lagi membutuhkan pegawai. Siapa tahu Mas bisa melamar ke sana, saya bantu!" jawabnya. Aku sedikit melirik ke arah wajahnya, ada rasa gerah yang menghantui tubuh dan hatiku. Melihat bajunya yang menurutku terlalu minim
Membuat aku harus terus beristigfar beberapa kali. Untung saja aku hanya melirik satu kali, katanya kalau mata lelaki melihat wanita seksi dua kali itu enggak dosa. Berarti masih ada satu kali lagi.
"Benaran mbah?" tanyaku. Masih tak percaya.
Mendengar perkataan wanita di sebelahku, membuat jiwa ini tiba-tiba bersemangat. Baru mau mencari pekerjaan, eh ternyata langsung ada yang ngasih tahu. Oh senangnya.
Rezeki Emang enggak ke mana.
Dia menjulurkan tangannya mengajak untuk bersalaman dan menyebut namanya sendiri," kenalkan namaku Nia."
Aku yang tak terbiasa berkenalan. Dengan seorang wanita, langsung menempelkan kedua tanganku sendiri seraya berkata," maaf namaku Haikal."
Tangannya yang menjulur ke hadapanku, kini ia kepalkan.
"Oh, ya. Asal dari mana?" tanyanya.
"Surabaya!" jawabku.
"Oh, kenapa matanya merem gitu?" tanyanya
"Ini mbak kelilipan!" jawabku sedikit berbohong. Padahal dalam hati mataku tak kuat jika melihat wanita yang berpenampilan agak seksi. Kalau kata emak di kampung Pamali.
Entah kenapa, duduk bersebelahan bersama wanita ini. Mengingatkan aku pada wanita yang pertama kali bertemu, di dalam bis.
Dia wanita sederhana, yang membuat mata dan hatiku terpana. Tampilannya pun dalam memakai baju tidak minim, seperti wanita di sebelahku ini.
Apa kah ada harapan bertemu wanita itu lagi?
Dan mencari tahu, bekas luka apa yang berada di tangannya.
Tiba-tiba bis berhenti di sebuah perusahaan besar.
"Ayo, kita turun," ajak Nia kepadaku. Dia tiba-tiba menarik lengan. Membuat aku seketika refleks menepis tangannya yang memegang lenganku ini.
"Eh."
"Maaf mbak bukan muhrim?" jawabku. Berdiri dari kursi bis, berjalan mengikuti langkah kakinya dari belakang.
Ketika turun keluar dari bis, kedua mataku benar-benar di manjakan oleh perusahaan yang terpampang begitu megah dan besar.
"Apa mbak tidak salah membawa aku ke perusahaan besar," ucapku, pada gadis berambut pajang itu.
Nia menggelengkan kepala seraya menjawab." Enggak kok. Ini perusahaan tempat aku bekerja.
Aku berdiri mematung seakan tak percaya, apa aku bisa masuk ke perusahaan sebesar itu. Mengusap kasar wajahku, rasanya benar-benar seperti mimpi.
"Ayo," ajaknya.
Tanpa basa-basi ia menarik lenganku lagi masuk ke dalam perusahaan itu.
Saat aku masuk ke dalam perusahaan itu, semua orang menundukkan kepala, menyambut kedatanganku dan Nina. Mereka mengucap kata selamat pagi.
Seakan Nina itu adalah pemimpin perusahaan, sehingga mereka begitu menghormati kedatangan wanita berambut panjang di sebelahku.
"Oh ya, kenalkan ini adalah Pak Haikal. Hari ini dia akan bekerja di Perusahaan Permata Dirga. Sebagai sekretaris saya."
Mendengar penuturan kata Nina kepada orang-orang di kantor membuat aku sedikit syok. Apa dia tidak salah berucap, bukanya tadi dia bilang bekerja di sini. Tapi sekarang dia seakan menjadi bos di perusahaan ini.
Semua orang bertepuk tangan, menyambut kedatanganku.
"Oh, ya Pak Haikal. Sekarang kamu ikut saya ke ruangan," ucapnya. Aku hanya menganggukkan kepala, mengikuti semua perkataannya.
Setelah sampai di ruangan Nina. Wanita itu langsung menujukan ruangan untuk aku mulai bekerja.
"Jadi mbak itu, bos di perusahaan ini?" tanyaku. Yang masih tak percaya karna ini benar-benar seakan mimpi, aku yang baru saja datang dari Surabaya kini menjadi seorang sekretaris di perusahaan besar di Jakarta.
"Ya, kebetulan sekali aku lagi mecari sekretaris laki-laki yang tidak mudah tergoda. Dan benar saja aku menemukan kamu Pak Haikal," ucapnya mendekat. Menyentuh dada bidangku. Membuat tubuh ini sedikit mundur.
"Ya, sudah selamat bekerja," ucapnya melambaikan tangan. Pergi begitu saja.
Mengusap kasar rambutku, apa aku akan kuat dengan godaan bos wanita ku ini?
************
Setelah selesai bekerja, aku bergegas untuk pergi ke toilet. Rasanya tak tahan ingin membuang air kecil, dengan terburu-buru mencari toilet. Rasanya seakan tak bisa di tahan, hingga aku menabrak seorang OB wanita.
Ember berisi air untuk dia mengepel lantai berhamburan ke mana-mana, membuat lantai yang bersih menjadi kotor lagi. Karna aku yang ceroboh.
Pegawai OB itu hanya menundukkan pandangan. Aku yang sudah kebelet ingin buang air kecil, berlalu pergi tanpa meminta maaf kepadanya.
Akh biarkan saja dulu lah, nanti aku minta maaf setelah selesai buang air kecil.
Setelah membuang air kecil, aku mencari OB wanita itu. Namun, tak ku temui juga.
"Kemana OB yang tadi ya."
Hingga jam pulang pun aku tidak menemukan OB wanita yang aku tabrak tadi.
Saat menunggu bis datang, Bos Nina mengajakku untuk pulang bersama. Namun aku menolak, dengan alasan tak mau merepotkannya.
Untung saja Bos seksi itu tidak memaksa, dia berlalu pergi dengan sopirnya.
Akhirnya bis datang juga, berlari menghampiri bis hingga aku menabrak lagi seorang wanita.
"Aw," teriaknya kesakitan.
"Ya ampun mbak maaf, saya tidak sengaja," ucapku meminta maaf. Hari ini aku benar-benar ceroboh, sudah berapa kali menabrak seorang wanita.
Seketika wanita itu mengangkat wajahnya, ternyata dia wanita yang pertama kali bertemu denganku di dalam bis mobil.
Rasanya aku merasa bahagia, bisa bertemu lagi dengan wanita sederhana seperti dia di kota besar ini.
Aku melihat bulu mata lentik, dengan bibir tipis dan hidung peseknya membuat mataku tak berkedip-kedip. Sungguh indah ciptaan mu Ya Allah.
"Mas, mas," ucapnya melambai-lambaikan tangan kearah wajahku. Membuat lamunanku seketika membuyar, seraya menyebut istigfar.
"Astagfirullah. Aduh mbak maaf," mengusap kasar wajah beberapa kali. Entah kenapa mataku seakan susah mengedip.
"Mbak enggak kenapa-napa kan?" tanyaku sedikit panik.
Wanita berhidung pesek, itu menggelengkan kepala seraya menundukan pandangan.
Aku yang seakan salah tingkah mengaruk-garuk kepala belakang.
TID ... tid ...
Suara klakson bis membuat pandangan mataku pada wanita dihadapkanku ini seketika membuyar.
"Mau naik enggak, pacaran aja. Kaya sinetron." Teriak sopir bis kepada kami.
Ala si abang kaya tahu aja, pacaran ala-ala sinetron. Aku mempersilahkan wanita itu untuk naik duluan.
Sesaat menaiki bis ternyata hanya ada satu kursi yang kosong, dengan terpaksa aku mengalah. Mempersilahkan wanita itu untuk duduk di kursi, bagaimana pun wanita harus di hargai. Itulah nasehat emak kepadaku.
Aku tertawa sendiri, seakan tak percaya. Bertemu dengan wanita di sampingku lagi. Apa ini jodoh?
"Eh, om stres ya. Ketawa-ketawa sendiri," ucap salah satu anak kecil, yang duduk si sebelah kiri. Aku yang tengah berdiri, membulatkan kedua mata membuat anak kecil itu diam dan menundukkan pandangan.
Dengan kekuatan dalam hati, mulut ini mulai berani bertanya? "Maaf mbak namanya siapa ya, kalau saya boleh tahu."
Baru ada keberanian bertanya, si abang sopir bis itu, memberhentikan mobil bisnya.
Membuat wanita yang tengah aku ajak berkenalan keluar dari dalam bis. Berpamitan padaku, seraya berkata," Dinda."
Namun, setelah wanita itu keluar dari dalam mobil. Aku melihat dia di tarik paksa oleh seorang lelaki. Untuk menaiki motor.
Siapa lelaki itu? Apa dia abang ya? Tapi kenapa sekejam itu, sampai harus di tarik-tarik segala.
Saat di dalam rumah hati ini mulai bertanya-tanya, untung saja aku melihat seragam yang ia pakai. Seragam OB Perusahaan Permata Dirga, berarti dia bekerja di tempat aku bekerja.
Besok aku akan menemui dia.
Ahhk, baru saja mata terlelap beberapa jam, mimpi itu datang lagi. Membuat seluruh tubuhku berkeringat, hawa di kontrakan ini begitu panas, dan kebetulan aku belum membeli kipas Angin hanya untuk sekedar menyejukkan badan agar aku tidak kepanasan.
Mengusap kasar wajah, seraya menyebut nama sang maha kuasa Allahu akbar. Mengeluarkan nafas yang memang terasa berat.
Jam dinding berdetik seperti biasa, membuat kesunyian terasa, ku lihat pukul berapa sekarang. Hingga aku bisa terbangun
dengan mimpi yang sama seperti kemarin.
Ternyata masih pukul 01:00 malam, saat itulah aku terbangun meraih kedua sandal jepit yang sengaja aku simpan di dekat tikar tempat tidur. Memakai sandal jepit ke kamar mandi untuk segera membasuh badan dan juga mengambil air wudhu.
Air yang mengalir pada rambut dan juga tubuh terasa begitu segar, membuat rasa kantuk hilang seketika. Saat itulah aku berwudu untuk menunaikan Shalat malam.
Menggelar sajadah menjalankan Shalat sunat malam. Aku tidak pernah lupa karna itulah yang selalu di ajarkan oleh emak, ketika aku masih kecil. Sampai sekarang.
Ketika tangan mengangkat mengucap kata doa, dari sana aku teringat perkataan emak yang tak pernah hilang dari pikiranku.
"Nak, ingat jika kamu dalam kesulitan jangan lupa berdoa minta perlindungan sama Allah.
Jangan tinggalkan Shalat lima waktu mu nak, itu adalah kewajiban dan perlindungan untuk meningkatkan ketakwaan mu kepada yang maha kuasa. Ingat ya nak pesan emak, Karna tidak ada usaha tanpa doa yang sia-sia."
Emak adalah sosok seorang ibu dan juga sosok pahlawan bagiku, tanpa seorang ibu apalah daya hidup ini. Ku usap pelan air mata yang mengalir dalam setiap doa untuk emak.
Saat itu lah aku meminta petunjuk, apa arti dari mimpiku sehingga itu terulang yang kedua kalinya. Kalau pun arti mimpi itu nyata aku memohon dalam doa agar bisa menyelamatkan sosok wanita itu.
Tak terasa pagi pun menjelang, matahari mulai terbenam menyinari seluruh dunia.
Tidak seperti hatiku yang kurang ter sinari oleh sosok wanita yang menemani.
Ahhk, ini lah akibat kelamaan jomblo. Jadi begini. Melantur.
Bersiap-siap untuk pergi bekerja, memakai kemeja yang sederhana. Karna memang hanya ini yang ku punya, bersyukur alhamdulillah. Karna di setiap jahitan terdapat keringat emak, yang susah payah membuatkan kemeja ini untukku.
Emak akan ku buktikan jika pulang nanti, aku akan memperlihatkan pada emak kalau aku bisa sukses dan membahagiakanmu mak.
Tid ... tid ...
Baru saja langkah kaki melangkah keluar rumah, terdengar suara klakson mobil di depan rumahku. Siapa pagi-pagi gini?
Saat ku lihat ternyata itu Bos Nina, dia menjemputku dengan mobil mewahnya.
"Selamat pagi Pak Haikal," ucap Bos Nina menyapaku.
"Pagi Bu!" jawabku sedikit tertohor kaget.
"Oh, ya. Mari berangkat," ucapnya mempersilahkan aku masuk.
Dunia ini benar-benar seperti mimpi. Saat itulah aku menaiki mobil yang menurutku terbilang mewah, maklum lah aku hanya pemuda kampung. Setiap yang bagus pasti di bilang mewah.
Duduk bersebelahan dengan Bos Nina.
"Pak Haikal, ini," ucap Bos Nina menyodorkan kunci.
"Ini kunci apa ya?" tanyaku.
"Ini kunci apartemen untukmu, jadi selama kamu menjadi sekretaris saya. Kamu sudah mendapatkan fasilitas untuk kendaraan dan juga tempat tinggal."
Mendengar perkataan dari sosok wanita di sebelahku membuat aku seakan tak percaya. Rasanya benar-benar bahagia.
"Terima kasih, Bu."
Sesaat mobil terhenti karna perjalanan begitu macet, aku melihat sosok pengemis yang meminta-minta pada jendela. Dengan pelan ku buka jendela mobil, mengambil uang pada saku baju. Sebenarnya uang itu untuk aku membeli baju baru, tapi tak apalah biar aku berikan pada pengemis kakek tua itu. Dia lebih membutuhkan dari pada aku.
"Ini ke."
"Terimakasih pak, semoga Allah membalas kebaikan bapak."
"Amin. Sekalian doanya biar cepat-cepat dapat jodoh. Gitu ke."
Tiba-tiba Bu Nina menertawakan ku.
"Kenapa Bu, kok ketawa. Ada yang Lucu?" tanyaku.
Bu Nina menutup mulut menahan tawanya.
"Enggak, kok."
" Pak Haikal, apa kamu tidak punya baju lagi. Perasaan baju mu kaya baju kemarin," ucap Bu Nina kepadaku.
Ada rasa malu menghantui diriku, " Oh ya, belum bisa beli baju Bu. Kan baru kerja."
"Lah, terus ngapain tadi kamu kasih uang kamu ke pengemis kalau kamu masih punya kebutuhan?"
"Kake itu lebih membutuhkan, apa lagi dia sudah terlihat tua. Untuk cari makan pun pasti dia kesusahan, mending dia punya keluarga kalau enggak. Kasian kan, Kebutuhan untuk beli baju bisa nanti lagi."
" Pak Haikal ... Pak Haikal."
Tiba-tiba Bu Nina menyuruh supir untuk putar balik mobil kearah Mall.
"Loh, bu. Bukanya kita mau ke kantor, ko malah ke mall."
"Sudah ikuti saya saja."
Aku menuruti perkataan Bu Nina, saat itulah Bu Nina mengambil beberapa baju kemeja untukku dan juga jas.
"Saya tidak mau sekretaris saya terlihat kumel, jadi kamu harus pakai baju kemeja dan jas baru ya." Ucap Bu Nina.
Aku hanya terdiam dan mengambil baju-baju yang Bu Nina ambilkan untukku.
"Oh ya, jangan senang dulu ya Pak Haikal. Ini enggak gratis nanti aku potong dari gaji kamu."
"Ya, Bu."
Aku kira gratis, tawa ku menggema dalam hati.
"Kenapa kamu senyam senyum gitu?" tanya Bu Nina. Mengerutkan keningnya.
"Saya hanya memikirkan, bagaimana kalau ibu memakai hijab. Mungkin terlihat modis," ucapku tanpa sadar. Aku segera menutup mulut. Kebiasaan yang selalu terlontar dari mulutku ceplas ceplos.
Bu Nina langsung melihat ke sisi kiri badanku melihat busana muslim yang terpajang pada patung dengan warna putih dan terlihat modis.
"Ayo kita pergi, nanti kita terlambat," ajak Bu Nina. Ia seakan mengabaikan perkataanku.
"Oh, ya Bu ayo. Aku lupa sekarang jadwal ibu menemui klien," jawabku.
Kami pun meneruskan perjalanan menuju kantor, aku melihat Bu Nina seakan menatap bajunya. Ia seakan memikirkan sesuatu.
"Apa ibu memikirkan sesuatu?" tanyaku di dalam mobil.
Wajahnya menatap ke arahku, dia menjawab." Apa saya terlihat memikirkan sesuatu."
Deg, Bu Nina malah bertanya lagi kepadaku. Membuat bibirku keluh dan terdiam.
Akhirnya sampai di kantor, untung saja kami tidak telat. Klein sudah datang.
Dengan kecerdasan Bu Nina dalam berkata, membuat para klien setuju untuk bekerja sama dengan perusahaan mereka.
Gadis berbulu mata lentik berhidung mancung itu sungguh luar biasa, ia bisa membuat para klien kagum dan juga puas dalam penjelasan mengenai perusahaan.
Aku baru ingat, setelah selesai meeting. Akan menemui wanita bernama Dinda.
Berjalan menghampiri beberapa pekerja Office Boy di kantor, bertanya ke mana wanita yang bernama Dinda? Apa dia masuk bekerja hari ini? Mereka malah menggeleng-gelengkan kepala tidak tahu keberadaan temanya yang bernama Dinda itu.
Aku harus cari ke mana wanita itu? Duduk di bawah lantai luar, memegang kepala dengan kedua tangan.
"Maaf, apa bapak mencari saya?" tanya sosok wanita di hadapanku, mendengar suara itu aku langsung menatap ke arah wajahnya. Benar saja dia wanita bernama dinda itu.
Tapi kenapa matanya terlihat bengkak.
"Ya, aku cari kamu," ucapku. Menatap kedua matanya yang polos itu.
"Ada apa pak? Apa saya melakukan kesalahan?" tanyanya menundukkan pandangan. Kulihat wanita di hadapanku seakan ketakutan.
"Tidak, kamu tidak melakukan sesuatu. Aku hanya ingin bertanya siapa lelaki yang kemarin bersama kamu?" tanyaku penasaran.
"Kenapa bapak mempertanyakan itu," jawabnya. Sedikit melirik ke arah wajahku.
Bodoh kamu Haikal, jelas dia mempertanyakan pertanyaan bodoh kamu. Ikutan urusan pribadinya dia, aku kan buka siapa-siapanya. Gerutuku dalam hati.
"Kalau tidak ada yang di pertanyakan lagi saya pergi dulu untuk bekerja kembali," ucapnya.
Aku menarik lengan sapu tangannya, yang menutup pergelangan tangan, membuat mataku membulat.
"Dinda, bekas luka apa itu?" tanyaku tanpa sadar memegang tangan kanannya. Ia menepiskan tanganku dengan kasar.
"Bapak tidak harus tahu!"
Wanita itu Berlari, meninggalkan aku yang penuh pertanyaan dan tanpa ia sadari. Dompet kecilnya terjatuh.
Memanggil namanya, namun ia sudah berlari sangat jauh.
Tanpa sengaja aku membuka dompet itu, ada ktp dan beberapa uang lembar dua ribuan.
Melihat dalam status ktpnya, ternyata dia sudah menikah.
Bagai disambar petir di siang bolong, betapa remuknya hatiku saat itu.
Wanita yang aku kagumi ternyata sudah berstatus istri orang, sial. Sungguh sial hidupku. Menyukai istri orang, tapi kenapa? lengannya penuh luka cambukkan? Apa suaminya telah menyiksa dia?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!