NovelToon NovelToon

My Story

Sangkuriang: Asal Gunung Tangkuban Perahu

Alkisah pada jaman dahulu kala seekor babi tengah melintas di sebuah hutan belantara. Babi hutan itu sedang merasa kehausan di tengah panasnya terik matahari. Pada saat dia mencari-cari mata air, dia melihat ada air yang tertampung di pohon keladi hutan.

Segera diminumnya air itu untuk melepas dahaga. Tanpa disadarinya air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Karena kesaktian Raja Sungging Perbangkara, babi hutan itu pun mengandung setelah meminum air seninya. Sembilan bulan kemudian si babi hutan melahirkan seorang bayi perempuan.

Raja Sungging Perbangkara mengetahui perihal adanya bayi perempuan yang terlahir karena air seninya itu. Ia pun pergi ke hutan untuk mencarinya. Ditemukannya bayi prempuan itu. Dia pun memberinya nama Dayang Sumbi dan membawanya pulang ke istana kerajaan.

Dayang Sunbi tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik wajahnya. Serasa tak terbilang jumlah raja, pangeran dan bangsawan yang berkehendak memperistri anak perempuan Raja Sungging Perbangkara itu. Namun, semua pinangan itu di tolak Dayang Sumbi dengan halus. Sama sekali tidak diduga oleh Dayang Sumbi , mereka yang ditolak pinangannya itu saling berperang sendiri untuk memperebutkan dirinya.

Dayang Sumbi sangat bersedih mengetahui kenyataan bahwa para pangeran, raja dan bangsawan yang ditolaknya saling melakukan peperangan. Dia pun memohon kepada Raja Sungging Perbangkara untuk mengasingkan diri. Sang Raja akhirnya mengijinkan anaknya tersebut untuk mengasingkan diri. Dayang Sumbi mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani oleh seekor anjing jantan bernama si tumang. Untuk mengisi waktu luangnya selama dalam pengasingan, Dayang Sumbi pun menenun.

Alkisah, ketika Dayang Sumbi sedang menenun, peralatan tenunannya terjatuh. Ketika itu Dayang Sumbi merasa malas untuk mengambilnya. Terlontarlah ucapan yang tidak terlalu disadarinya.” Siapapun juga yang bersedia mengambilkan peralatan tenunku yang terjatuh, seandainya itu lelaki akan kujadikan suami, jika dia perempuan dia akan kujadikan saudara.”

Tak disangka si tumang mengambil peralatan tenun yang terjatuh itu dan memberikannya kepada Dayang Sumbi.

Tidak ada yang dapat diperbuat Dayang Sumbi selain memenuhi ucapannya. Dia menikah dengan Si Tumang yang ternyata titisan dewa. Si Tumang adalah dewa yang dikutuk menjadi hewan dan dibuang ke bumi. Beberapa bulan setelah menikah, Dayang Sumbi pun mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Dayang Sumbi memberinya nama Sangkuriang.

Waktu terus berlalu. Beberapa tahun kemudian terlewati. Sangkuriang telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan wajahnya. Gagah. Tubuhnya kuat dan kekar. Sakti mandraguna pula anak Dayang Sumbi ini.

Sejak kecil Sangkuriang telah senang berburu. Setiap kali melakukan perburuan di hutan. Sangkuriang senantiasa ditemani oleh si tumang. Sama sekali Sangkuriang tidak tahu bahwa si Tumang adalah ayah kandungnya.

Pada suatu hari Sangkuriang dengan di temani Si Tumang kembali meakukan perburuan di hutan. Sangkuriang berniat mencari kijang karena ibunya sangat menghendaki memakan hati kijang. Setelah beberapa saat berada di dalam hutan, Sangkuriang melihat seekor kijang yang tengah merumput di balik semak belukar. Sangkuriang memerintahkan si tumang untuk mengejar kijang itu Sangat aneh, si Tumang yang biasanya penurut, ketika itu tidak menuruti perintahnya. Sangkuriang menjadi marah. Katanya.” Jika engkau tetap tidak menuruti perintahku, niscaya aku akan mebunuhmu.”

Ancaman Sangkuriang seakan tidak dipedulikan si Tumang. Karena jengkel dan marah, Sangkuriang lantas membunuh si Tumang. Hati anjing hitam itu diambilnya dan dibawanya pulang ke rumah. Sangkuriang memberikan hati si Tumang kepada ibunya untuk dimasak.

Tanpa disadari Dayang Sumbi bahwa hati yang diberikan anaknya adalah hati suaminya. Dia kemudian memasak dan memakan hati itu. Maka, tak terperikan amarah Dayang Sumbi kepada Sangkuriang ketika dia tahu hati yang dimakannya adalah hati si Tumang. Dia lalu meraih gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan memukul kepala Sangkuriang, hingga kepala Sangkuriang terluka.

Sangkuriang sangat marah dan sakit hati dengan perlakuan ibunya itu. Menurutnya, Ibunya lebih menyayangi si Tumang dibandingkan dirinya. Maka, tanpa pamit kepada Dayang Sumbi ibunya, Sangkuriang lantas pergi mengembara ke arah timur.

Dayang Sumbi sangat menyesal setelah mengetahui kepergian Sangkuriang anaknya. Dia pun bertapa dan memohon ampun kepada para dewa atas kesalahan yang diperbuatnya. Para dewa mendengar permintaan Dayang Sumbi, mereka menerima permintaan maaf itu dan mengaruniakan Dayang Sumbi kecantikan abadi.

Syahdan, Sangkuriang terus mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dalam pengembaraanya Sangkuriang terus menambah kesaktiannya dengan berguru kepada orang-orang sakti yang ditemuinya selama pengembaraan. Bertahun-tahun Sangkuriang mengembara tanpa disadari dia kembali ke tempat dimana dia dahulu dilahirkan.

Sangkurian terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi yang abadi, dia tidak menyadari bahwa perempuan cantik yang ditemuinya di hutan adalah ibu kandungnya sendiri. Hal yang sama terjadi juga pada Dayang Sumbi yang tidak menyadari pemuda gagah yang sakti itu adalah Sangkuriang anaknya. Karena saling jatuh cinta mereka merencenakan untuk menikah.

Sebelum pernikahan dialngsungkan Sangkuriang berniat untuk berburu. Dayang Sumbi membantu Sangkuriang mengenakan penutup kepala. Ketika itulah dayang Sumbi melihat luka di kepala calon suaminya. Teringatlah dia pada anak lelakinya yang telah meninggalkannya. Dia sangat yakin pemuda gagah itu tidak lain adalah Sangkuriang anaknya.

Dayang Sumbi kemudian menjelaskan bahwa dai sesungguhnya adalah ibu kandung dari Sangkuriang. Oleh karena itu dia tidak bersedia menikah dengan anak kandungnya tersebut. Namun, Sangkuriang yang telah dibutakan oleh hawa nafsu tidak memperdulikan penjelasan Dayang Sumbi, dia tetap bersikukuh akan menikahi Dayang Sumbi.

“Jika memang begitu kuat keinginanmu untuk menikahiku, aku mau engkau memenuhi satu permintaanku” Kata Dayang Sumbi

“Apa permintaan yang engkau kehendaki.” Tantang Sangkuriang.

Dayang Sumbi mengajukan syarat yang laur biasa berat yaitu dia ingi sungai citarum dibendung untuk dibuat danau, dan didalam danau itu ada perahu besar.” Semua itu harus dapat engkau selesaikan dalam waktu satu malam.” Ucap Dayang Sumbi.” Sebelum fajar terbit, kedua permintaanku itu harus telah selesai engaku kerjakan.”

Tanpa ragu Sangkuriang menyanggupi permintaan dari Dayang Sumbi.” Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu.”

Sangkuriang segera bekerja mewujudkan permintaan Dayang sumbi. Pertama kali dia menebang pohon besar untuk dibuatnya sebuah perahu. Cabang dan ranting pohon yang tidak dibutuhkannya ditumpukan. Tumpukan cabang dan ranting pohon itu dikemudian hari menjelma menjadi gunung Burangrang.Begitu pula tunggul pohpon itu kemudian berubah menjadi sebuah gunung yang lebih dikenal gunung bukit tinggul.

Perahu besar itu akhirnya selesai dibuat Sangkuriang. Pemuda Sakti itu lantas berniat membendung aliran sungai Citarum yang deras untuk dibuat sebuah danau. Sangkuriang kemudian memanggi para makhluk halus untuk membantunya mewujudkan permintaan Dayang sumbi.

Semua yang dilakukan Sangkuriang diketahii oleh Dayang Sumbi. Terbit kecemasan dalam hati Dayang Sumbi ketika melihat pekerjaan Sangkuriang sebentar lagi selesai. Dia harus menggagalkan pekerjaan Sangkuriang agar pernikahan dengan anak kandungnya itu tidak terlaksana. Dia pun memohon pertolongan dari para Dewa.

Setelah berdoa, Dayang Sumbi mendapatkan petunjuk. Dayang Sumbi lantas menebarkan boeh rarang (kain putih hasil tenunan). Dia juga memkasa ayam jantan berkokok disaat waktu masih malam. Para makhluk halus sangat ketakutan ketika mengetahui fajar telah tiba. Mereka berlari dan menghilang kesegala penjuru. Mereka meninggalkan pekerjaannya membuat danau dan perahu yang belum selesai.

Sangkuriang sangat marah. Dia merasa Dayang Sumbi telah berlaku curang kepadanya. Ida sangat yakin jika fajar sesungguhnya belum tiba. Dia merasa masih tersedia waktu baginya untuk menyelesaikan pekerjaan. Dengan kemarahan tinggi, Sangkuriang lantas menjebol bendungan di Sanghyang Tikoro. Sumbat aliran citarum lantas dilemparkannya ke arah timur yang kemudian menjelma menjadi gunung Manglayang. Air yang semula memenuhi danau itu pun menjadi surut. Serasa belum reda kemarahannya. Sangkuriang lantas menendang perahu besar yang telah dibuatnya hingga terlempat jauh dan jatuh tertelungkup. Menjelmalah perahu besar itu menjadi sebuah gunung yang kemudian di sebut gunung Tangkuban Perahu.

Kemarahan Sangkuriang belum reda. Dia mengetahui, semua itu sesungguhnya adalah siasat dari Dayang Sumbi untuk menggagalkan pernikahan dengannya. Dengan kemarahan yang terus meluap, Dayang sumbi pun dikejarnya. Dayang sumbi yang ketakutan terus berlari untuk menghindar hingga akhirnya menghilang di sebuah bukit. Bukit itu kemudian menjelma menjadi gunung Putri. Sedangkan Sangkuriang yang tidak berhasil menemukan Dayang Sunbi akhirnya menghilang ke alam gaib.

“Pesan Moral dari Legenda Asal Muasal Gunung Tangkuban Perahu : Kisah Sangkuriang adalah Bersikaplah untuk jujur karena kejujuran akan membawa kebaikan dan kebahagiaan di kemudian hari. Perbuatan curang akan merugikan diri sendiri serta bisa mendatangkan musibah bagi diri sendiri ataupun orang lain.”

Malin Kundang

Zaman dahulu kala ada sebuah cerita di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat. Ada seorang janda bernama Mande Rubayah yang hidup bersama anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang.

Mande Rubayah sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin kemudian tumbuh menjadi seorang anak yang rajin dan penurut.

Ketika Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan dirinya dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh sakit keras, hingga nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diseiamatkan-berkat usaha keras ibunya.

Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi.

Saat Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.

“Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani ibu,” ucap ibunya yang sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.

“Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” ujar Malin sambil menggenggam tangan ibunya.

“Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah” pinta Malin memohon.

“Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak,” kata ibunya sambil menangis.

Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan Malin untuk pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus,

“Untuk bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu Malin Kundang berangkat ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.

Hari demi hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut.

“Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?” tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut.

la selalu mendoakan agar anaknya selalu selamat dan cepat kembali. Beberapa waktu kemudian ketika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya.

“Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?” tanyanya.

Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, dan kini jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dahulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.

“Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya,” ucapnya saat itu.

“Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang…” rintihnya pilu setiap malam.

Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai.

Penduduk desa mulai berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira. Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali.

Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.

Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah.

Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang.

Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat Malin karena takut kehilangan anaknya lagi.

“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena gembira, “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”

Malin terkejut karena dipeluk perempuan tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa perempuan itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah dan berkata,

“Perempuan jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku! Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!” ucapnya sinis

Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga terguling ke pasir, “Perempuan gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.

Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata,

“Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!”

Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat perempuan itu bersujud hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata,

“Hai, perempuan gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!”

Perempuan tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati. Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi.

Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya diangkat ke langit. Ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu,

“Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis.

Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya.

Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Lalu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.

Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di pinggir pantai terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia.

Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Kisah Legenda Malin Kundang ini memiliki pesan yang dapat diambil si Kecil, yaitu sayangi kedua orangtua saat susah dan senang, dan jangan melupakan jasa orangtua yang telah menyayangi dan mendidik dari kecil

Episode 1

WARNING!!!

EPISODE 1 & 2 JANGAN DIBACA!! EPISODENYA SUDAH SAYA HAPUS!!!

Musim ini sakura bermekaran dengan indah…

Seorang perempuan terlihat sedang duduk di kursi taman bunga central park. Parasnya yang lembut menambah kecantikan sang gadis. Perempuan itu duduk tepat di hadapan pohon sakura yang sedang bermekaran. Tapi, walaupun perempuan itu disuguhi pemandangan bunga sakura yang indah, raut wajahnya terlihat sedih ketika memandang kelopak sakura yang mulai berjatuhan itu. Ekspresinya menggambarkan kesedihan, kepedihan, dan rasa putus asa akan sesuatu yang mungkin tak akan ada satu orang pun yang mengerti.

Nama gadis itu adalah Ageha. Sebulan yang lalu, dokter memvonis bahwa Ageha positif terkena kanker hati akut dan sudah masuk stadium akhir. Dan dia hanya menunggu sisa-sisa hidupnya sebelum ajal menjemput. Ageha putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Tapi, berapa kali pun ia melakukan percobaan bunuh diri. Usaha yang ia lakukan selalu gagal oleh beberapa hal yang selalu menghalanginya.

Suatu hari dokter menyarankan untuk menjalani operasi, tapi kemungkinan untuk berhasil sangatlah sedikit dan taruhannya adalah nyawa Ageha sendiri. Ageha sangat sedih dan merasa ia takkan bisa sembuh juga tidak akan bisa bersekolah seperti dahulu. Dia marah kepada tuhan, Kenapa engkau memberikanku cobaan yang sangat berat? Aku tak ingin meninggalkan ibuku sendirian. Kenapa engkau begitu tega memberikanku penyakit yang sangat mengerikan ini, tuhan. Jika engkau mencabut nyawaku, lalu ibuku bagaimana? Aku tak mau melihat ibuku terus menangis karena kepergianku. Batinnya. Sekarang Ageha duduk di kursi taman central park, sembari merenungkan nasibnya kelak dan berusaha untuk menentukan pilihan, dioperasi atau tidak.

Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda berdiri memperhatikan seorang perempuan sedang duduk dengan raut wajah sedih melalui kelopak sakura yang berjatuhan. Ia memandang perempuan itu dengan penuh tanya. Sedang apa gadis itu? Batinnya. Ia mendekati perempuan tersebut, semakin mendekat raut wajah pria itu berubah menjadi terpesona. Ia tidak terpesona dengan paras perempuan tersebut, melainkan pandangan sedih akan gadis tersebut. Ia merasa ditarik oleh mata sayu itu. Mata yang berwarna hitam kehijauan tajam tersebut. Perlahan ia berjalan mendekati perempuan itu, ketika ia mulai berada di dekatnya…

Tess… tess…

Ia terkejut melihat air mata yang mengalir dari pipi gadis itu. Ia terpana akan tangisan yang ditahan gadis itu walaupun air matanya tak tertahankan lagi. Ia pikir, gadis ini mengalami hal pahit yang membuatnya sedih. Saat itu dia seakan ingin rasa pahit gadis itu cepat sirna dan dia ingin melihat seulas senyuman terlukis di bibirnya.

“Kamu tak apa-apa?” Ageha menoleh, ia mendapati sosok laki-laki rupawan yang menyodorkan sapu tangan kepadanya sambil tersenyum lembut. Ageha meraih sapu tangan itu dengan senyum kecil di bibirnya.

“Aku… tidak apa-apa,” jawabnya, sembari menyeka air matanya.

“Sedang apa kamu sendirian di sini? Dan… kenapa kamu menangis?”

Ageha diam. Laki-laki itu menyadari kata-katanya yang sangat tidak sopan untuk seseorang yang baru saja bertemu. Ia pun mulai mencari kalimat yang dapat menghibur Ageha.

“Maaf, jika aku asal tanya. Oh iya, namaku Ryuga. Salam kenal.” Sahut laki-laki itu dengan senyuman lebar di bibirnya.

“Aku Ageha. Salam kenal juga.”

“Wah… nama yang indah. Hm… kupu-kupu ya… indah sekali. Menurutku… kupu-kupu itu adalah hewan yang cantik,”

Kening Ageha mengerut. 'Apa dia baru saja menggodaku?' Batinnya.

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!