NovelToon NovelToon

KUPU-KUPU JINGGA

Misi yang Gagal

Sofia terus berlari sejauh mungkin, peluru yang ditembakkan oleh anak buah Lily sempat mengenai bahunya ia merasa tenaganya mulai berkurang dan akan mati konyol jika memaksakan bertarung dengan segerombolan laki-laki berbadan besar yang bernafsu untuk membunuh dirinya di bawah perintah Lily. Jauh hari Sofia memang sudah curiga ada yang tak senang padanya di dalam kelompok Black Butterfly, kelompok pembunuh bayaran yang sangat terlatih untuk membunuh dengan jasa yang dibayar sangat mahal atau tergantung dari target yang diminta klien. Namun Sofia tidak menyangka jika yang ingin menghabisinya justru Lily, kawan yang tumbuh bersama sedari kecil di bawah asuhan Aretta. Sosok perempuan bertangan dingin yang membuat senjata-senjata pembunuh

yang cantik dan menawan seperti Sofia, Lily, Jasmine, Diane dan yang termuda diantara mereka Trish.

Nafas Sofia kian memburu luka tembak di bahunya tak henti mengeluarkan darah sementara pistol di genggamannya hanya menyisakan tiga peluru saja. Gadis berambut sebahu itu memutuskan bersembunyi di balik pohon besar dari kejauhan ia mendengar dedaunan yang disibak kasar dan ocehan tentang hadiah besar jika ia bisa tertangkap hidup atau mati. Mata tajam Sofia mengawasi dalam kegelapan jika tak salah duga tak jauh dari tempatnya bersembunyi ada jalan raya dan ia harus kesana secepat mungkin. Dengan gerakan yang hati-hati Sofia berusaha untuk menjauh namun dahan kering yang ia pijak terdengar oleh seorang laki-laki memburunya, laki-laki itu berseru dan mengejar Sofia, tangan gadis yang berlumuran darah itu mengarahkan pistolnya, ia membidik sesaat dan melepaskan tembakan, terdengar jeritan tertahan dan seruan kata-kata kasar oleh rekan laki-laki itu. Sofia merasa harus berlari sekarang menuju jalan raya itu agar bisa selamat dari kejaran anak buahLily yang memburunya membabi buta.

Jalanan sangat lengang mobil yang dikendarai Biyan melaju dengan cepat hari ini ia lelah sekali dan ingin segera tiba di rumah. Malam sudah mendekati pertengahannya hanya sesekali ia berpapasan dengan kendaraan lainnya. Biyan memutar musik untuk menghalau rasa penat dan kantuk yang mulai menghampirinya. Peralihan musim membuat pasien di kliniknya mengantri lebih panjang dari biasanya dan ayahnya yang juga seorang dokter memutuskan untuk menginap di klinik mereka, hanya Biyan saja yang pulang malam ini.

Biyan menginjak gas lebih dalam mobilnya pun melaju mengikuti alur jalan raya yang berkelok membelah hutan hingga di belokan selanjutnya bayangan hitam melintas begitu saja dan mengejutkan Biyan, ia segera mengerem mencoba menghindari bayangan itu. Suara decitan rem mobil terdengar, namun terlambat mobilnya berhasil menyambar tubuh seseorang dan membuatnya terlempar dan terguling sementara Biyan membanting stir ke arah kanan hutan dan menabrak pembatas jalan. Dentuman benda keras terdengar beberapa detik berikutnya. Pandangan Biyan sesaat berkunang pelipisnya membentur stir tengkuknya pun terasa nyeri. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dengan gerak cepat ia membuka pintu mobil dan menghampiri sesosok tubuh yang tengah tertelungkup tak sadarkan diri.

Ia memeriksa kondisi korban yang ia tabrak, dahinya berkerut saat ia tahu jika ada luka tembak di bahu si korban. Biyan semakin merasa tak karuan ketika ia tahu jika korban yang tengah ia pegang adalah seorang perempuan. Ia menghela nafas berat, jemarinya merogoh saku celananya dan sesaat menelpon seseorang.

“Ayah, tolong kirimkan ambulans di kilometer 48, iya … di tikungan tajam itu. Segera ayah,

korban mengalami luka parah dan… aku yang telah menabraknya.” Biyan memutuskan sambungan telponnya. Ia mencoba memeriksa kembali apa ada tulang yang patah atau tidak.

Biyan mengedarkan pandangannya tampak sepi sekali bahkan tak ada tanda jika bakal ada kendaraan yang akan melintas. Namun tanpa Biyan ketahui di dalam hutan sana para pemburu Sofia melihat kejadian itu dan mereka memutuskan untuk tidak mengejar Sofia lagi.

Biyan menyentuh leher gadis itu untuk memastikan lagi jika korban yang ia tabrak masih hidup. Beragam tanya berkelebat di pikiran Biyan mengapa sampai kecelakaan ini terjadi. Ia heran apa mengapa seorang gadis sendirian berlarian di jalan raya lengang di tengah malam. Biyan merasa pusing sesaat, ia meraba pelipisnya yang terluka. Jalanan begitu sepi bahkan suara jangkrik di hutan pun bisa terdengar.

Dokter muda yang berperawakan tinggi dan berbadan tegap itu mencoba berdiri dan berjalan menghampiri mobilnya yang kini dalam keadaan mati. Ia memeriksa sejenak dan memastikan tidak ada kerusakan parah.

Dari dalam hutan sisa-sisa penyerang Sofia mundur ke dalam hutan. Mereka mencoba berpikir laporan apa yang akan mereka katakan kepada Lily bos yang membayar mereka. Di luar dugaan Sofia justru mengalami kecelakaan yang menurut mereka siapa pun tidak akan selamat dengan tabrakan seperti itu. Mereka memutuskan untuk menjauh para tukang pukul itu pun enggan berhubungan dengan polisi. Yaa mereka yakin polisi akan datang karena penabrak Sofia tidak melarikan diri justru menunggu sesuatu.

Tak lama suara sirene ambulans mendekat di kejadian tabrakan itu. Dengan cekatan Sofia dipindahkan ke dalam ambulans.

"Aku akan ikut di dalam. Biar aku tahu perkembangan korban ini." Tanpa ragu Biyan segera naik dan duduk di sisi Sofia sementara petugas medis segera melakukan pertolongan pertama dan memeriksa tanda-tanda vital gadis yang nyaris bersimbah darah.

"Mobil Anda bagaimana dokter Biyan?" tanya salah seorang petugas.

"Aku sudah memeriksa mesinnya ku pastikan mobil itu masih bisa membawamu kembali ke klinik."

"Maksud Anda bagaimana dok?" tanya pemuda itu lagi. Nampaknya Biyan sangat mengenalinya hingga tak canggung menyuruh pemuda itu yang mengendarai mobilnya. Biyan menatap pemuda itu dengan mata lebar,

"Hey... Arman aku baru saja mengalami kecelakaan kepalaku ini terluka dan ku rasa berdenyut sakit! Untuk kalimat yang ku katakan tadi pun kau tidak paham... ck" Biyan menutup pintu ambulans dan meninggalkan Arman yang masih tampak bingung, butuh setengah menit setelah ambulans itu berlalu barulah Arman menyadari jika ia diperintah oleh anak dari pemilik klinik untuk membawa mobil bosnya itu kembali ke klinik. Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mematuhi perintah bosnya.

Biyan masih memandangi wajah perempuan yang ia tabrak itu, kondisinya tidak bagus. Ia merasa gusar karena menurutnya ambulans ini berjalan dengan pelan. Tentu Biyan merasa khawatir jika tidak bisa tiba tepat waktu ia tak mau nyawa gadis ini melayang karena kecelakaan itu. Tentunya Biyan tidak sepenuhnya bersalah toh gadis itu tiba-tiba saja muncul di depan mobilnya yang tengah melaju.

"Dok... dokter Biyan, apa Anda tahu jika luka gadis ini bukan karena kecelakaan mobil saja ?" tanya petugas yang memeriksa Sofia. Biyan menatap lurus ke arah gadis yang menghirup oksigen dari balik masker.

"Ada luka tembak di bahu gadis ini dok..."

kupu-kupu tak bernama

Biyan menahan nyeri di pelipisnya yang harus mendapatkan tiga jahitan. Tampak raut cemas dari suster Rima, suster senior yang sudah lama bekerja dengan ayah Biyan mulai dari klinik kecil yang dirintis ayah Biyan hingga sekarang. Biyan mengenal Rima mulai dari Biyan di taman kanak-kanak hingga ia menjadi dokter dan berusia matang. Kasih sayang Rima pun sangat lembut serupa ibu baginya, masih menjadi tanda tanya Biyan juga mengapa ayahnya yang sudah lama menduda tak menikahi saja suster Rima yang belum pernah menikah itu.

“Jangan menatapku seperti itu Bi, aku tidak apa-apa.” ujar Biyan sambil tersenyum, Rima memalingkan muka dan menghilangkan raut cemasnya itu.

“Bibi kan sudah bilang kamu menginap di klinik saja jika lelah akhirnya kamu tidak fokus di jalan dan menabrak orang.”

“Bi… aku tadi pulang dalam sikon baik-baik saja lagi pula gadis itu yang tiba-tiba menyeberang jalan dan…” Biyan terdiam kalimatnya menggantung tadinya ia ingin bersama ayahnya untuk memeriksa gadis itu tapi ayahnya justru berhasil membuat Rima menyeretnya ke ruangan Rima untuk diobati.

“Istirahatlah Yan, kalau ada kabar mengenai gadis itu Bibi akan beritahu kamu.” Rima membereskan perlengkapannya dan meninggalkan ruangan.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari rasanya Biyan tak ingin tidur sampai pagi.

Di ruang operasi dokter Rasyidi tengah melakukan operasi kecil di bahu Sofia untuk mengeluarkan peluru yang bersarang cukup dalam di bawah daging yang terkoyak. Kantong darah sudah diganti untuk yang kedua kalinya gadis itu benar-benar nyaris mati kehabisan darah. Menangani Sofia membuat debaran jantung dokter Rasyidi berpacu dengan tidak biasanya. Memorinya mundur jauh di puluhan tahun yang lalu ketika ia masih muda, jauh sebelum Biyan lahir dan mengubah jalan hidupnya. Kala itu di waktu yang sama ia tengah berjuang menyelamatkan seorang pemuda yang babak belur dan diterjang tiga peluru. Seorang pria muda keturunan indo belanda yang tak bisa

memilih takdir bahwa dia lahir dan tumbuh di keluarga mafia. Takdir pula yang membawa pria itu pada Rasyidi dan mereka terikat pada persahabatan yang tak jauh dari uji adrenalin Rasyidi.

Jemari dokter paruh baya itu lincah memainkan jarum dan menutup luka Sofia. Mendadak nafas Rasyidi tercekat saat ia melihat sebentuk tatto kecil di tengkuk leher Sofia, tatto kupu-kupu berwarna hitam. Jarinya gemetar mengusap tatto itu dan membayangkan wajah cantik seorang perempuan.

“Aretta…” desisnya tertahan dan mendadak wajah Rasyidi pias dan berpeluh.

“Dok… Anda baik-baik saja ?” asisten Rasyidi yang sedari tadi membantu menangani Sofia heran melihat perubahan atasannya. Dengan cepat Rasyidi menarik nafas dan membuat dirinya tampak normal kembali.

“Iya, tidak apa-apa. Saya hanya teringat dengan seorang kawan lama saya yang pernah mengalami luka ini. Ooh… Ya… Saya minta kamu merahasiakan luka pasien ini, hanya kita berdua saja yang tahu jika ia mengalami luka tembak. Saya enggan berurusan panjang dengan polisi. “

Asisten dokter Rasyidi hanya mengangguk tanda ia paham dengan perintah atasannya. Tak lama Sofia pun dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Sepertinya Sofia mengalami gegar otak dan entah kapan gadis itu akan pulih kesadarannya. Setelah membersihkan diri Rasyidi kembali ke ruangannya waktu sudah menjelang pagi. Ia duduk di kursi kerjanya dan merenung. Sungguh takdir yang hendak ia ubah bersama Biyan kembali datang mengejarnya. Jemarinya kembali bergetar, matanya memanas rupa jelita Sandrina ibu Biyan kembali hadir memenuhi ingatannya. Hingga kalimat terakhir yang diucapkan perempuan itu sabagai pesan dan amanah seumur hidup Rasyidi kembali terngiang.

“Jaga Biyan untuk ku Ras… Ku mohon… Jangan sampai ia tumbuh di tempat yang tak punya pilihan selain membunuh atau terbunuh. Jaga putraku… “ mata coklat muda milik Sandrina pun

menutup seiring degup jantungnya yang terhenti. Sandrina tak dapat bertahan hidup setelah berjuang melahirkan Biyan. Di saat itu pula Rasyidi memutuskan menghilang bersama Biyan, menjaga anak laki-laki itu dengan segenap jiwa raganya, memastikan ia tak kurang apa pun baik kasih sayang dan pendidikan yang baik. Terbukti Biyan menjadi dokter yang handal, cekatan dan rendah hati. Rasyidi menarik nafasnya dengan berat, ia mengingat kembali gadis bertatto kupu-kupu hitam itu. Ia paham sebuah pesan kematian hampir tiba entah untuk dirinya sendiri atau harus bersama Biyan Putra Mahesa.

Mentari bersinar sangat cerah, senyum. simpul seorang anak kecil perempuan berusia tujuh tahun tak henti menghiasi wajahnya yang manis. Rambut hitamnya tergerai sebahu dengan bando warna pink menambah cantik penampilannya yang bergaun warna senada. Ia senang sekali ayahnya membawanya jalan-jalan seperti janji ayahnya minggu lalu. Duduk di sampingnya perempuan muda yang tengah mengandung sekitar tujuh bulan, raut wajahnya pun berseri melihat kebahagiaan putrinya, sesekali ia mengusap perutnya yang terasa bergerak karena bayi di dalam perutnya tak mau diam. Akhir pekan yang sempurna, keluarga kecil ini akan berpiknik di kebun binatang tempat favorit keluarga mereka. Dengan penuh riang mereka ada di dalam mobil yang dikemudikan dengan tenang oleh pria yang usianya hampir kepala empat namun masih terlihat sangat muda dan enerjik.

“Apa putri ayah senang kali ini ?” Tanya sang ayah kepada putri manisnya itu.

“Iya Ayah… Tentu aku senang sekali, bunda juga… Iya kan Bunda ?” manik mata coklat muda

anak itu begitu berkilau menatap bundanya.

“Iya Sayang… Adik juga niih sepertinya senang juga sampai bergerak-gerak terus dalam perut bunda.”

Sang ayah tertawa lepas, ia pun turut bahagia melihat dua perempuan kesayangannya nampak gembira. Sejenak ia bisa melupakan ketegangan dan tekanan pekerjaannya sebagai seorang polisi apa lagi sekarang ini ia sedang menghadapi kasus besar gembong narkoba yang membuatnya berhadapan dengan mafia kelas kakap.

“Tapi janji yaaa Sayang… Anak ayah harus rajin belajar dan pintar. Ayah sayaaaaaang banget dengan anak ayah, bunda dan… “ Brrraaaaaakkkkk…!!! mobil yang dikendarai laki-laki itu ditabrak oleh mobil truk ukuran besar dan menyeretnya beberapa meter. Sang polisi segera menoleh untuk melihat keadaan istri dan anaknya. Istri dan anaknya tampak shock wajah mereka pucat juga wajah polisi muda itu. Mobil truk itu berhenti beberapa orang turun dari sana dan bersenjata, segera ia mengingatkan istri dan anaknya agar turun dari mobil dan melarikan diri.

“Anak ayah sayang, ayah tahu kamu anak ayah yang pemberani, ayah mau kamu lari sejauh mungkin jangan khawatirkan ayah dan bunda. Ayo cepat…!”

Putri kecil itu tampak gemetar ia tahu ada bahaya besar yang sedang menimpa mereka. Polisi itu turun secepat mungkin membuka pintu mobil dan menyuruh putrinya lari secepat mungkin. Tapi tidak dengan istrinya, posisi istrinya terjepit dan butuh waktu untuk mengeluarkannya.

“Senja… Maafkan aku yang tidak bisa menjaga keluarga kita… Bertahan lah sayang…” suaranya bergetar dengan segala usaha ia mencoba mengeluarkan istrinya. Mendadak tangan-tangan besar

menariknya dan menghempaskannya ke tanah sementara beberapa laki-laki lainnya berusaha mengeluarkan Senja istrinya dan memaksanya berlutut. Senja terlihat menahan sakit yang luar biasa namun tetap mencoba tegar ia tahu resiko menjadi istri penegak hukum tipe suaminya yang pantang mundur dalam membasmi kejahatan. Senjata ditodongkan ke kepala Senja, suaminya mencoba melawan namun menjadi bulan-bulanan orang-orang yang berbadan kekar itu. Berkali-kali mereka bertanya tentang bukti kejahatan bos mereka yang disimpan polisi muda itu. Di balik semak dan pepohonan putri kecil mereka dengan tubuh gemetar melihat ayahnya dipukuli, air mata anak itu sudah membasahi wajah putihnya yang pias. Ia pun mundur perlahan masuk ke dalam hutan kecil di belakangnya, ia tahu ayah dan bundanya ingin ia selamat, meski ia takut luar biasa ia yakin dengan kata-kata ayahnya kalau ia anak yang pemberani. Gadis kecil yang kakinya bergetar perlahan berbalik dan siap lari…

Dooorrrr…! Bahu anak kecil itu tersentak ia menoleh dilihatnya bundanya sudah terkapar,

“Senjaaaaaaaa…!” terdengar raungan ayahnya dan sekali lagi… Dooorrrr…! Lalu semua senyap, sang gadis kecil menutup mulutnya agar tidak menangis tapi bukan kah sedari tadi air matanya tumpah ? Kaki kecilnya melangkah pelan selangkah dua langkah hingga ia memutuskan berlari tanpa henti

hingga “Aaaaaahhhh….!” tubuh kecilnya terperosok ke dalam jurang cukup dalam untuk tubuhnya dan membuat dunianya

gelap mungkin sebentar lagi ia akan berkumpul dengan ayah bundanya di kebun surga.

Satu tarikan nafas panjang terdengar dan mata Sofia terbuka, ia sudah sadar setelah hampir sebulan tak sadarkan diri. Matanya nanar menyapu ruangan yang bernuansa putih. Ia melepas alat bantu pernapasannya dan mencoba bernafas dengan baik. Gadis itu mencoba mengumpulkan ingatannya tentang apa yang terjadi hingga ia terbangun di ruangan ini. Pintu perlahan terbuka seorang perawat masuk dan tersenyum ramah.

  “Kau rupanya sudah sadar Nona. Saya akan memanggil dokter untuk memeriksa kondisimu.”

Perawat itu berbalik kembali menutup pintu. Sofia masih merasakan sakit di kepalanya dan nyeri di sekujur tubuhnya. Beberapa menit kemudian dua orang pria dokter paruh baya dan dokter muda juga perawat yang tadi. Setelah memeriksa bagian tubuh Sofia dokter yang tak lain dokter Rasyidi itu mencoba menggali informasi pada gadis yang masih terlihat lemah itu.

“Siapa namamu Nona ? Apa kau punya keluarga ? Kami tidak menemukan identitas apa pun hingga sulit menghubungi keluargamu.”

Sofia terdiam ia mencoba mengingat namanya sendiri namun ia lupa… dahinya berkerut sungguh

aneh kan ? Masa nama sendiri ia tidak bisa mengingatnya.

“Nona ? Apa kau baik-baik saja ?” Dokter Rasyidi kembali bertanya.

“Dokter…” suara Sofia terdengar parau, “Aku tak bisa mengingat namaku… aku tidak punya

ingatan apa-apa… “

Dokter Rasyidi menghela nafas berat hatinya bimbang ia ragu percaya pada pernyataan gadis ini barusan namun tatapan mata Sofia menyatakan gadis cantik ini kebingungan seperti anak kecil yang tak tahu jalan pulang.

Cinta baru

Langit melukiskan semburat oranye tanda senja menjemput. Di balkon atas rumah yang di desain dari kayu bergaya eropa itu Biyan berdiri memandangi hamparan padang rumput yang ikut tersiram warna oranye dari langit. Tangan kanannya masih memegang cangkir teh yang mulai pudar hangatnya. Matanya menerawang jauh melintasi padang rumput yang biasa ia lewati jika sedang berkuda. Keresahan itu masih ada meski telah berbaur dengan detak cepat jantungnya yang ia harus tenangkan jika bersama dengan Sofia atau Anna nama pemberian dokter Rasyidi pada gadis itu.

Setelah kematian Flora tunangannya lima tahun lalu ia sama sekali tidak dekat lagi dengan seorang wanita. Jantungnya sepertinya sudah mati rasa, tak ada lagi debaran kuat dan hati yang terpikat pada wanita manapun hingga Anna datang walau kehadirannya dengan cara yang tak lazim. Enam bulan sudah terlewati selepas dari sembuh fisiknya Sofia atau Anna tak ada pilihan lain selain membawa gadis tanpa ingatan itu ke rumah mereka. Biyan tak ingat lagi kapan jantungnya mulai berdebar saat dekat dengan Anna.

Getaran di saku celana Biyan membuatnya sedikit tersentak pikiran tentang Anna selalu berhasil membuatnya hanyut. Pria itu segera merogoh kantung celananya dan terlihat nama Arda yang memanggil.

“Gimana Ar, kamu sudah dapat informasinya ?”

“Susah bro… Kayaknya nih cewe bukan penduduk bumi !” jawab Arda dengan nada gusar.

“Kamu sendiri kan yang bilang kalau kamu punya koneksi untuk informasi seperti ini ?” Biyan menghela nafas selama berbulan-bulan ini ia dan Arda tetap berusaha mencari identitas Anna.

“Tapi paling tidak ada sesuatu yang harus aku kasih lihat ke kamu. Tunggu saja aku akan kesana malam ini.”

“Baiklah aku menunggu.” percakapan itu selesai dan Biyan menghabiskan tegukan teh terakhirnya yang sudah dingin.

“Aku sangat suka pemandangan senja dari balkon ini.” suara seorang wanita tiba-tiba mengejutkan Biyan, ia terbatuk kecil lalu menoleh pada Anna yang entah kapan sudah berada di sampingnya.

“Heyyy… Maaf aku tidak bermaksud mengejutkanmu. “ sorot mata Anna terlihat cemas. Mata dengan iris coklat muda yang membuat Biyan terasa ada hipnotis di dalamnya.

“Tak apa.” gumam Biyan pendek hampir tak terdengar. Pria itu berusaha nampak setenang mungkin, ia tak ingin terlihat gugup di depan Anna.

“Aku juga suka senja di balkon ini, ketika padang rumput itu berubah warna rasanya sedang melihat karpet raksasa berwarna oranye.” Biyan terkekeh sekenanya, Anna tersenyum lebar deretan gigi putih dan rapih itu semakin membuat Biyan tertawan. Oke fix… Aku memang sedang mengalami kejatuhan… Hatiku jatuh pada wanita ini. Suara itu terdengar lagi di kepala Biyan.

“Bi…” Anna selangkah mendekat dan berdiri persis di samping Biyan. Aroma parfum Anna tercium begitu lembut dan membuat senja semakin syahdu.

“Akhir-akhir ini aku sering bermimpi tentang anak kecil perempuan yang menangis di dalam hutan. Aku tidak tau anak itu siapa atau bisa jadi itu aku.” Anna tertunduk dengan wajah yang mendadak muram.

“Dunia ini luas Bi, tanpa ingatan apa pun aku merasa dunia ku hanya ada kamu dan ayah serta kebaikan kalian. Bagaimana jika aku ini ternyata orang jahat Bi ?”

Biyan berbalik dan memandangi Anna, jemarinya perlahan mengangkat dagu wanita itu, mata mereka bertemu mata teduh Biyan yang selalu membuat Anna nyaman.

“Semua orang punya masa lalu, siapa pun dirimu hingga kau hidup saat ini itu rencana Tuhan. Jalani saja jangan cemaskan apa pun selama kau disini.” Biyan tersenyum meyakinkan Anna, tatapan mata Biyan berkata semua akan baik-baik saja karena ada cintaku yang selalu menjagamu…

Biyan meletakkan cangkir tehnya, lalu berjalan ke arah belakang Anna. Lengan kokohnya melingkari bahu Anna dan melewati dada atasnya. Ia meletakkan dagunya di bahu kanan Anna sambil menikmati aroma wangi di sela-sela anak rambut gadis itu. Anna pun memegang lengan Biyan dengan hangat. Mereka terdiam dan merasakan senja yang hangat berdua.

"I love you Anna..." sambil mengecup pipi gadisnya bahkan hingga berbulan-bulan ini Biyan belum sekali pun memberanikan diri mencium bibir Anna. Ia tak ingin memaksa, ia hanya menunggu momen yang tepat untuk itu. Anna awalnya canggung dengan sikap Biyan yang kadang romantis seperti ini namun ia sesungguhnya tak berani berharap lebih meski ia sangat menyukai pria yang menolongnya ini. Anna menerima semua perlakuan baik Biyan karena berhutang nyawa dan tak punya ingatan apa-apa.

"Mengapa kau tak pernah membalas ucapan cintaku An?" tanya Biyan setengah berbisik di telinga Anna. Sekilas Anna tersenyum dalam hatinya memang belum yakin dengan perasaannya itu. Ia masih memiliki ketakutan dalam dirinya bagaimana jika suatu saat nanti ingatannya pulih ? Bisa saja ia punya seseorang yang sedang menunggunya kembali.

"Aku menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya kepadamu Bi" jawab Anna beberapa saat. Gadis itu menghela nafas ia merasa Biyan terlalu baik kepadanya selama ini. Tak pernah ia melihat sifat buruk dari Biyan yaa kecuali gila kerjanya itu dan kutu buku. Tak jarang pria yang tengah memeluknya ini tidur dengan beberapa buku di atas kasurnya atau ia mendekap sebuah buku yang terbuka dalam tidurnya.

"Waktu yang tepat?" Biyan melontarkan kembali pertanyaan itu meski terdengar hanya sebagai kalimat yang tak ingin Anna jawab.

"Hmmm... iya waktu dimana aku tak meragukan lagi ingatan atau masa laluku." desah nafas Biyan terdengar sedikit berat. Ia menegakkan badannya, kalimat yang di dengarnya barusan memang masih menjadi dinding pembatas tak terlihat antara dirinya dan Anna. Keraguan yang membuat Anna terkadang masih menjaga jarak dengannya walau pun ia tak menolak sentuhan fisik spontan yang dilakukan Biyan kepadanya.

Anna melepaskan pelukan Biyan, berbalik menatap Biyan yang pandangan Biyan justru jauh ke padang rumput sana. perlahan jemarinya menyentuh pipi Biyan dan menuntun wajah itu untuk sedikit tunduk melihat ke arah wajah Anna. Jantung Biyan seketika berpacu dengan cepat konyolnya bahkan ia mengira Anna akan mendengar degupan jantungnya itu.

"Terima kasih atas kebaikanmu selama ini Biyan bahkan terang-terangan dirimu menyatakan cinta padaku. Kau tahu aku sangat beruntung ditabrak olehmu." Anna mengukirkan senyum di bibir tipisnya itu. Biyan merengkuh Anna ke dalam pelukannya.

"Terima kasih untuk kau tetap bertahan hidup Anna, aku tak tahu hidupku akan jadi seperti apa andai kau menyerah saat itu juga. Kau tidak akan berada di pelukanku saat ini dan merasa hidupku sempurna."

Anna terdengar tertawa kecil dalam dekapan dada Biyan yang bidang.

"Jangan berlebihan Bi ... itu tidak baik. Aku hanya gadis dengan cacat ingatan,aku..."

"Ssttt... aku tidak ingin mendengar kata cacat ingatan itu lagi." potong Biyan cepat ada nada geram di perkataan Biyan barusan. Anna mengangguk sambil tersenyum canggung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!