"Ketika gue yang berstatus single di antara mahmud. Ya, jelas, jadi bahan ledekan"
\=\=\=\=\=\=\=
Hai, perkenalkan nama gue Adeeva Fatya, biasa dipanggil Eva. Gue gadis kelahiran Solo, meski kedua orang tua gue bukan asli sana. Ayah asli Semarang sedangkan Ibu campuran Sunda dan Betawi. Kedua orang tua gue sekarang tinggal di Semarang, mengurusi garmen kecil-kecilan mereka. Sedangkan gue milih merantau di ibukota yang kejam ini. Pekerjaan juga biasa aja, bukan di gedung bertingkat yang ber-AC. Gue cuma staff administrasi di salah satu tempat kursus mengemudi dengan gaji pas-pasan. Orang bilang sih gue ini aneh, karena kalau gue mau kerja bareng Ayah jelas jabatan dan gaji gue lebih gede. Status single. Tolong, jangan sebut diriku jomblo ya, karena gue paling nggak suka disebut jomblo.
Meskipun kedua sahabat gue tak pernah absen membully status itu. Katanya gue terlalu cantik untuk menyandang status belum laku. Yah, begini nih susahnya jadi orang cantik. Tapi emang sialan dua emak itu sih, maksud gue nggak haruslah sampai segitunya. Dan apesnya hari ini jadwal gue ketemu mereka. Gue ceritain dikit kali ya.
Oke, dimulai dari di Salma, umurnya paling tua di antara kami bertiga, yaitu 30 tahun. Anak juga udah dua, yang pertama sudah sekolah dasar dan yang satu masih umur 3 tahun, mungkin. Tapi kelakuan masih suka niruin anak abege baru belajar dandan, rempong. Meski pembawaan kesannya kalem sih.
Terus yang kedua namanya Shirin, umur 27 tahun, anaknya masih satu, seumuran dengan anak kedua Salma. Dia ini paling cantik di antara kita bertiga, dan paling beruntung di antara kita. Selain punya kecantikan yang bikin ngiri bidadari, ini perempuan bisa ngegaet pengusaha muda nan kaya raya, mana perhatiannya suka bikin ngenes para jomblo macem gue lagi, kurang beruntung apa lagi ini perempuan atu. Mana body masih kaya anak gadis lagi. Kan gue yang masih beneran gadis jadi suka minder sendiri.
Kalau boleh jujur, gue kadang merasa miris sih kalau lagi kumpul-kumpul gini. Bayangin aja kalau temen-temen kalian udah pada punya anak sementara lo masih betah sendiri. Berasa kepengen gantung diri di pohon toge kan? Iya, rasanya emang semelas itu.
"Udah lama?"
Gue bertanya pada Salma setelah cipika-cipiki dengannya. Salma hanya menggeleng, kemudian fokus ke anak bungsunya yang makin chubby aja itu pipinya. Karena gemas gue langsung mencubit pipinya. Dan apa yang terjadi setelahnya?
Yap. Itu bocah langsung nangis kejer, alhasil membuat gue mendapat pukulan manis dari tangan emaknya.
Gue mengaduh sesaat, sebelum akhirnya tertawa.
"Dasar cengeng," cibirku sengaja menjahili Ray.
"Mama!" rengek bocah itu yang membuat gue makin senang.
"Berani lo jahilin anak gue, gue bakar ya kost lo!" ancam Salma dengan wajah garang.
Ini emak-emak kalau udah marah serem, njirr. Gue dulu pernah iseng godain anak pertamanya yang cewek, dan kalian tau apa yang terjadi setelahnya. Hape gue dibanting dari lantai dua menuju lantai satu. Padahal itu hape masih kredit waktu itu. Ya, meskipun gue yang salah gue juga sih. Soalnya si Salma udah memperingatkan gue buat nggak nggangguin dulu, tapi gue abaikan tegurannya. Alhasil, hape gue yang jadi korban. Fufu, suka mendadak sedih gue kalau ingat kejadian itu.
"Ibu kost gue yang sekarang galak loh, masih berani lo?"
"Emang lo udah pindah?" Salma bertanya dengan polosnya.
Gue menggeleng sebagai tanda jawaban.
"Terus?"
"Yang ngelola sekarang anak sulungnya, dan galak parah. Sepet gue liatnya, mana sok cantik pula."
"Nggak menerima curhatan dadakan, ya." Salma berdecak jengkel.
Gue baru hendak membuka suara, tapi si Shirin tiba-tiba muncul di hadapan kita dengan wajah nggak enaknya karena bersalah.
"Sorry, telat."
Gue dan Salma sama-sama mengangguk paham.
"Udah biasa," kata gue kemudian terbahak.
Salma pun ikut terbahak sementara si Shirin memasang wajah cemberutnya.
"Tadi si Rafka rewel soalnya, Va."
"Kalau rewel kenapa nggak diajak aja?" tanya Salma.
"Ya kan kita mau kumpul, masa gue ajak anak."
"Why? Salma juga bawa anaknya," gue menunjuk Rey yang asik dengan cemilannya.
"Ya beda."
"Beda lah, pabriknya aja beda." Gue mendengkus sambil menggeleng tak habis pikir.
"Diem deh lo perawan tua!"
"Sialan," umpat gue merasa kalah.
"Status lo belum ganti?" tanya Salma dengan wajah prihatinnya.
Gue hanya memutar kedua bola mata, malas menjawab pertanyaan tak berfaedah ini.
"Serius belum?" tanya Salma sekali lagi, kali ini dengan wajah kagetnya. Entah beneran kaget atau cuma pura-pura kaget, gue nggak tahu juga sih.
"Udah sama pemilik cafe ini aja. Ganteng kok, temennya suami gue. Mau gue kenalin?"
Gue langsung memfokuskan pandangan gue dengan Shirin yang kini sedang memainkan kedua alisnya, menatap gue penuh harap.
"Kek apa bentukannya?" tanya gue tiba-tiba antusias.
Shirin berpikir sejenak. "Sebelas-dua belas sama Baim Wong lah."
Gue langsung mendesah kecewa. "Udah tua dong."
"Lo juga udah tua, bego!"
"Sama adek ipar gue aja gimana?" Kini giliran Salma yang promosi saudaranya sendiri.
"Hah? Emang masih punya?" Gue menatap Salma tak yakin.
"Masih satu. Baru lulus kuliah tahun lalu." Salma langsung terbahak, diikuti Shirin setelahnya.
"Kampret! Brondong dong," keluh gue kesal.
"Ini nih yang bikin lo nggak nikah-nikah. Kebanyakan mau-nya, padahal yang mau sama lo nggak banyak."
"Terima kasih atas pujiannya Ibu Shirin yang terhormat."
"Sama-sama," ucap Shirin dengan senyum sok manisnya. Untung beneran manis, kalau enggak. Udah gue siram sih sama minuman gue.
"Abis ini enaknya ke mana?" tanya Shirin setelah mengecek ponselnya, menatap gue dan Salma antusias. Dilihat dari ekspresinya sepertinya emak muda ini ngajak belanja. Holang kayah mah gitu.
"Gimana kalau shopping?"
Tuh kan. Bener.
Gue menoleh ke arah Salma, meminta pendapat ibu yang udah punya buntut dua. Jadi pasti mikir-mikirlah kalau diajak belanja.
"Enggak," Salma menggeleng. "kasian Ray. Udah jamnya tidur."
Shirin mengangguk, mencoba memahami Salma. Kemudian pandangannya beralih ke gue.
Gue meringis sambil menggeleng.
"Tanggal tua, Buk. Belum ada yang yang transfer tiap bulan lagi?"
"Gue yang bayarin deh."
Gue langsung tersenyum senang. " Kalau dibayarin, mana mungkin gue nolak. Jadi hayuklah."
"Oke. Sip." Shirin mengacungkan jempolnya puas.
Tbc,
"Gue emang single, belum punya pacar. Iya, bener. Tapi bukan berarti setiap ada cowok single mampir lo tawarin ke gue dong."
¤¤¤¤¤
"Ganteng nggak itu cowok?"
Gue langsung mendongak, menatap Bang Bima yang kini berdiri tepat di sebelah tempat gue duduk. Pria dengan wajah yang tidak bisa dikatakan jelek tapi nggak ridho kalau gue sebut ganteng ini adalah rekan gue. Dia salah satu instruktur mengemudi yang lumayan akrab dengan gue.
Gue hanya menatap Bang Bima pura-pura tak paham.
"Enggak usah pura-pura nggak paham deh, gue tahu lo paham maksud gue," decak Bang Bima.
Gue mendesah lelah. Ya, gue emang paham arah pembicaraan ini, hanya saja gue terlalu malas menanggapinya, jadi gue memilih pura-pura nggak paham. Bisa dibilang semua pria single yang datang ke tempat kursus kami, bakalan disodorin ke gue.
Gila. Gue se-enggak laku itu apa gue, sampai harus ditawarin sana-sini.
Gue akui cowok yang baru saja pergi dengan Fortuner putih tadi emang oke. Ganteng, tinggi, kulit cokelat khas orang Indo, dan satu lagi mapan. Dia kerja di BUMN, katanya. Dan dia pernah menikah a.k.a dudes duda pedes. Haha. Hot banget sih tampilannya.
Sekalipun sudah termasuk hot daddy versi gue, tapi kata Bang Bima itu laki belum punya buntut, karena mantan istrinya dulu punya masalah sama rahimnya, dan kini sudah tenang di surga. Aamiin. Semoga saja beneran di surga, ya.
"Mau tukeran nomor dulu?" tawar Bang Bima mengajak bernego.
"Enggak," tolak gue galak.
"Ganteng gitu, Va. Material husband banget lagi. Yakin mau lo tolak?"
"Belom tentu juga dia mau sama gue, Bang. Jadi gue nggak nolak kan," kata gue membenarkan kalimatnya.
"Enggak usah merendahkan, nggak cocok sama muka galak lo." Bang Bima memilih pergi meninggalkan gue yang kini sedang menghela nafas lelah. Lelah dengan keadaan yang seakan menekan gue untuk segera menikah atau sekedar memiliki pasangan hidup.
"Lo itu cantik, Va," ucap Bang Bima tiba-tiba sudah duduk di hadapan gue.
"Enggak usah muji-muji, gue lagi kere. Nggak ada traktiran," kata gue pura-pura menyibukkan diri dengan ponsel.
"Makannya kawin, biar hidup lo ada yang jamin. Nggak kere gini," cibir Bang Bima sambil berdecak.
Mulut gue menganga lebar dengan spontan.
"Nggak usah mangap-mangap kaya ikan Koi gitu, gue tabrak juga bibir lo." Bang Bima berdesis, sambil mengalihkan pandangannya ke arah jalan.
"Pake apaan, Bang?" goda gue jahil.
"Pake bibir gue. Puas lo?" Bang Bima mencebikkan bibirnya sebal, sementara gue terbahak.
"Pulang kerja, chek-in di hotel depan yuk, Bang." Gue makin gencar menggoda Bang Bima yang memang saat ini sedang puasa batin karena sang istri baru saja melahirkan 2 minggu yang lalu.
"Sialan lo! Gue doain entar pas lo malam pertama lo mens. Mampus!"
Gue kembali terbahak. "Nggak papa. Yang penting lo nggak doain gue mandul," balas gue sambil menjulurkan lidah puas.
"Emang mau kawin juga lo?"
"Kampret! Maksud lo apaan, Bang?" Tanpa pikir panjang gue melemparinya dengan bolpoin, dan sialnya bisa ditangkap olehnya.
"Jangan lempar-lempar sembarangan, bego! Gue baru jadi bapak, kalo kena mata gue gimana, terus gue buta, lo mau nanggung biaya pengobatan gue. Belum lagi lo harus nanggung biaya hidup anak istri gue. Sanggup lo? Hidup lo sendiri aja melarat gitu," cerocosnya panjang lebar. Mana ngelantur kemana-mana lagi.
"Enggak usah lebay. Muka pas-pasan lo aja nggak kena, gimana mau buta." Gue mendengkus tak habis pikir.
"Muka gue emang pas-pasan, tapi seenggaknya gue udah laku, ya. Dari pada lo, cantik sih, iya. Body juga oke, macem model gitu. Tapi sayang, bibirnya udah karatan gara-gara lama nggak tabrakan sama bibir cowok. Miris banget hidup lo," cibir Bang Bima sambil tersenyum mengejek.
"Dasar laki kurang belaian," cibir gue sebal.
"Emang. Boleh juga kayaknya kalau nanti pulang kita mampir ke hotel depan." Bang Bima tertawa terbahak sambil memainkan alisnya naik-turun.
"Sialan," umpat gue sebal dan kembali disambut dengan gelak tawa oleh Bang Bima.
****
"Nggak usah baper, Va," sindir Bang Bima tiba-tiba mengagetkanku. Gue menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung, sedang Bang Bima kini tengah menahan diri untuk tidak terbahak.
"Kalau mau ketawa nggak usah ditahan-tahan, Bang!"
Bang Bima menggeleng, masih dengan usahanya untuk tidak tertawa.
"Nggak enak deh gue."
"Kalau nggak enak kasih kucing."
Dengan gerakan otomatis Bang Bima menoleh ke arah gue, menerjapkan mata beberapa kali, memandangku serius.
"Udah, deh, Va. Sama yang tadi aja, hot duda gitu. Jelas pengalamannya."
Gue kembali memutar bola mata malas. Benar-benar malas menanggapi obrolannya yang kian menjengkelkan ini.
"Serah lo deh, Bang."
"Jadi lo mau nih?"
"E-n-g-g-a-k." Gue memepertegas nada bicara, agar ini bapak satu ini nggak makin ngelunjak.
"Halah, sok jual mahal."
"Jelas. Pelacur aja jual mahal, masa gue yang jelas tersegel gini mau jual murah."
"Nggak ada hubungannya, kampret!"
"Bang Bima mau mi ayam nggak?" Gue memilih mengabaikan umpatannya. Beranjak dari kursi, berniat untuk pergi ke warung sebelah yang menjual mi ayam.
"Kenapa? Mau lo bayarin?" tantangnya dengan muka sewot.
Gue sih nggak mengiyakan, hanya mengangkat kedua bahuku acuh tak acuh, melenggang keluar ruko.
"Gue Miso," teriak Bang Bima.
"Dibayarin nih?" tanya Bang Bima begitu gue kembali.
Gue menggeleng. "Tapi lo yang kudu bayarin gue."
"Sialan!" umpatnya dengan wajah memerah menahan kesal. Sementara gue jelas terbahak bahagia.
Tbc,
"Gue emang nggak suka dijodoh-jodohin. Tapi berhubung orangnya ganteng gitu, masa iya mau disia-siain. Kan mubazir!"
♡♡♡♡♡
ShirinE:
Hai cantikss😘
Gue langsung memajukan wajah gue ke layar ponsel. Mencoba memastikan jika ini memang pesan yang dikirimkan Shirin untuk gue. Ini emak-emak, tumben-tumbenan nge-WA gue pake acara manggil-manggil gue cantik. Biasanya kalau ada maunya pun dia jarang banget pake kalimat sok memuji gini, kecuali di saat-saat tertentu. Dengan gerakan cepat, gue langsung mengetik balasan untuknya.
Me:
Mavok lu Rin?😕
ShirinE:
Gue ada maunya nih
Me:
For what?
ShirinE:
Lo udah ada kandidat teman belum?
ShirinE:
Teman sehidup-semati lo😄.
Me:
Apan deh, gaje banget😧
Me:
Ada. Bentar gue kirim.
Me:
Sent a picture
Me:
Cakep kan? Udah di tungguin di kasur tuh gue. Gue off ya?😅
ShirinE:
Nggak usah halu deh. Mending sama abang gue.
ShirinE:
Btw, cakep juga sih. Siapa sih itu? Boleh lah kalo gue masukin daftar calon selingkuhan gue😂😂.
Me:
Lo mau daftarin diri gue jadi pelakor nih ceritanya?
Me:
Oke. Udah rampung gue ss. Tinggal dikirim ke suami lo ahhhhh😈😆😂😄😋
ShirinE:
Berani lo kirim.😠😤😡😬😈 gue bakar tempat kerja lo!
ShirinE:
Tapi gue jamin lo yang bakalan dijadiin pelakunya😈.
Me:
😥😥😥
Me:
Bomat😜
ShirinE:
Serius ini. Lu kalo gue sodorin abang gue mau nggak?
ShirinE:
Material husband. Dijamin MUI 😂😂
Me:
Sorry to sorry ya. Gue masih suka yang perjaka😋
Me:
Mau material husband kek, mau material bangunan kek. Gue tetep nggak minat. Mending suami gue kemana-mana
ShirinE:
Suami dari Hongkong😒
ShirinE:
Lo nggak perlu ngeraguin keperka--ups. Keperjakaan Abang gue. Dijamin 10000000% Abang gue masih perjaka.
Me:
Bukan tapi dari Korea😂😂
Me:
Bentar. Ini lu lagi ngomongin abang lu yang mana deh?😕
Me:
Gue berasa kayak galham gitu, masa?
ShirinE:
Abang gue pas. Yang tinggal di Semarang.
ShirinE:
Dijamin lu bakalan langsung klepek2 sekali liat.
Me:
OMG!!!!!!😱😱😱😱
Me:
Serius???? Demi apa?
Me:
Lo masih punya abang selain bang Ferdi?
ShirinE:
Demi...kian😂😂
ShirinE:
Serius dong Va. Pokoknya lo harus kenalan sama abang gue ini. Harus!
Me:
Berapa umurnya?
ShirinE:
31
Me:
😲😲😲
Me:
Gue sibuk. Bye!
ShirinE:
Woooyy, jangan kabur gitu dong.
ShirinE:
Sent a picture
Gue langsung melongo begitu foto yang Shirin kirim terunduh. Gila! Gue kok bisa nggak tahu kalau itu emak kece punya abang seoke ini. Kalau abangnya model beginian gimana gue bisa nolak coba. Harus gue sikat langsung nih. Tidak boleh disia-siakan.
Me:
Oke. Gue mau. Berhubung gue sahabat yang baik nih ya.
Me:
Demi lo nih gue mau dikenal2in gini.
ShirinE:
Lagak lu dah, Va. Gue jadi ragu gini mau jodohin kalian berdua. Apa gue cancel aja ya😌😏
Me:
ANDWAE!!!!
Me:
Harus gue yang jadi kakak ipar lo. Titik.
ShirinE:
Gue mulai merasakan
yang namanya penyesalan 😌😌😌
ShirinE:
Oke. Nanti gue coba atur kencan buta kalian deh.
Me:
Oke2.
Lo emang sahabat terbaik gue😍😍😍😙😚😗
"Chat sama siapa lo girang gitu?"
Gue buru-buru mengangkat wajah, dan langsung menemukan Bang Bima duduk di hadapan gue sambil menghisap batang rokoknya.
"Asep lo kemana-mana, Bang!" protes gue galak. Bukan Bang Bima kalau langsung menggubris kalimat yang gue keluarkan. Bahkan tanpa berdosa bapak satu anak ini malah makin menghembuskan asap rokoknya tepat ke wajah gue.
"Asap surga dunia nih," kelakarnya makin membuat gue langsung naik darah.
Tanpa berpikir panjang gue langsung berdiri.
"Gue sumpahin malem ini lo batuk sampe nggak bisa tidur dan bikin anak lo rewel terus lo dianggep bini lo nggak guna jadi suami," kata gue sambil menendang kakinya jengkel.
Gue pun langsung keluar setelahnya.
"Nggak seru lo, Va!" teriak Bang Bima yang jelas tak gue gubris.
"Kenapa lagi sih, Va, patner kok ribut mulu?" tanya Mbak Dewi begitu gue masuk ke ruko yang menawarkan jasa fotokopi dan juga alat tulis ini, tempatnya tak terlalu besar namun barang-barang yang ditawarkannya lumayan lengkap.
"Gue kesel, Mbak. Bang Bima kalo belum bikin gue naik darah rasanya belum lega," adu gue kesal. Tangan kiri gue, gue gunakan buat menopang kepala, sedangkan tangan kanan gue pakai untuk memainkan staples.
"Begitu pun dengan kalian kalau belum bikin kita para tetangga terusik dengan teriak kalian, juga belum lega kan?"
Gue meringis tak enak. "Kita ganggu banget ya, Mbak?" cengir gue memasang wajah sok polos.
"Menurut lo?"
Gue langsung tertawa kala mendengar Mbak Dewi menggunakan kalimat lo-gue. Mbak Dewi ini beda sama Salma yang suka pake lo-gue pas ngobrol, meski keduanya seumuran. Dia nyaris tidak pernah menggunakannya, tidak peduli seemosi apa dirinya. Lah, ini tumen-tumbenan pake lo-gue.
"Cie cie, lo-gue banget, Mbak," goda gue makin terbahak kala menemukan wajahnya yang memerah.
"Balik sana, ganggu orang kerja," usir Mbak Dewi cemberut.
"Kerja apaan, nggak ada orang mau ini kok."
"Kamu bukan orang?"
Gue menggeleng. "Bukan. Gue bidadari." Langsung memilih kembali ke ruko dan menemukan Bang Bima tak sendirian.
"Dari mana aja lo, bukannya kerja malah main mulu. Mau gue aduin ke bos lo?"
Karena masih kesal dengan yang tadi, gue memilih mengabaikan-nya.
"Siang, Pak!" sapa gue pada seorang pria paruh baya agak bertubuh gempal. Pria itu tersenyum kala mata kami bertemu, gue mengangguk sopan baru kemudian mempersilahkannya kembali duduk diikuti gue setelahnya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Cih. Sok manis banget ini perempuan jones," guman Bang Bima tanpa memelankan suaranya.
"Saya mau daftarin ponakan saya kursus, Mbak," kata pria yang sepertinya sangat cocok gue panggil bapak-bapak.
Gue mengangguk paham dan mulai menerangkan beberapa tawaran paket belajar mengemudi yang kami miliki. Si bapak mangguk-mangguk mendengar penjelasan gue.
"Kira-kira saya harus ambil paket yang apa ya, Mbak?"
Gue langsung diam kala Pak Harno, nama bapak-bapak ini bertanya. Gue lirik lah Bang Bima yang kelihatannya siap ngetawain gue, namun tak gue guburis. Sebisa mungkin gue tersenyum, meski gue yakin akan terasa aneh karena gue terlalu memaksakan senyum gue.
"Gini aja, Pak, gimana kalau ponakan Bapaknya besok diajak dulu, biar ponakannya yang nentuin sendiri mau ambil paket apa."
"Ponakan saya kalo besok belum sampai, Mbak, masih berangkat kemarin."
"Aduh, gimana ya." Gue menggaruk rambut gue yang mendadak gatal. Mungkin efek karena tadi pagi gue nggak keramas dulu kali, ya.
"Ya udah, gini aja, Mbak, nanti saya ke sini lagi aja kalau ponakan saya udah sampai, gimana?"
"Gitu juga bisa, Pak." Gue mengangguk setuju.
"Saya boleh minta nomer Mbaknya?" tanya Pak Harno dengan ekspresi entah kenapa bikin gue sedikit curiga.
"Boleh, Pak, ini." Gue langsung menyodorkan selembar brosur kepada Pak Harno.
"Makasih loh, Mbak, maaf mengganggu waktu luangnya."
Gue masih mencoba tersenyum.
"Sama-sama, Pak. Tidak mengganggu sama sekali karena itu memang tugas saya."
Pak Harno terlihat mangguk-mangguk sambil tersenyum.
"Ngomong-ngomong Mbaknya bener masih single?"
Ekspresi gue langsung berubah tak suka, namun buru-buru gue paksa untuk tersenyum meski dengan terpaksa.
"Maaf, Pak, itu privasi saya dan saya tidak berkewajiban untuk menjawab."
"Sombong banget," guman Pak Harno sambil tersenyum sinis, "Saya punya banyak tanah loh di Semarang dan Jogja juga, kalo Mbaknya minat jadi istri ke--"
"Maaf, Pak." Gue buru-buru menyela dengan sikap tak sopannya. "Kalau sudah tidak ada yang ingin ditanyakan perihal paket belajar mengemudi, Bapak Harno yang terhormat bisa langsung pergi, selagi saya masih bisa memperingatkan dengan sopan."
Ekspresi Pak Harno langsung berubah ketus.
"Sok cantik," ketusnya langsung pergi tanpa pamit.
"Tua bangka sialan!" umpat gue kadung kesal.
Bang Bima menghampiri gue dengan ekspresi kasiannya. "Sabar! Jadi cantik atau ganteng macem gue emang susah. Bawaannya pasti bikin orang pikir selingkuh mulu." Kemudian menepuk pundak gue pelan.
Gue tak merespon lebih kecuali memberikan pelototan tajam ke padanya, mengintruksi pria ini agar menjauhkan tangannya dari pundak gue yang sayangnya tak bisa dicerna dengan baik.
"Singkirin tangan lo dari pundak gue sekarang juga, sebelum gue bikin lo nggak bisa ngajar selama sebulan."
Dengan gerakan cepat Bang Bima menarik tangannya dari pundak gue.
"Lo kalau sewot lebih serem dari bini gue yang lagi PMS. Gue cabut ah," katanya langsung pergi begitu saja. Gue hanya berdecak melihatnya.
Tbc,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!