NovelToon NovelToon

The Greatest Emperor

Vol 1. Bab 1 - Awal dari Segalanya

Heru! Ia adalah seorang raja dari sebuah kerajaan kecil bernama Pandora. Pandora memiliki luas sekitar 6.400 kilometer persegi dan terletak di tengah samudera. Selama berabad-abad, Pandora tidak pernah melakukan kontak dengan dunia luar karena letaknya yang sangat jauh dari daratan terdekat. Walaupun demikian, Pandora adalah kerajaan yang sangat makmur dan memiliki teknologi maju.

Heru dikenal rakyatnya sebagai raja yang adil dan bijaksana. Di umurnya yang baru menginjak 21 tahun, ia mampu membawa Pandora menuju zaman keemasan melalui kebijakan-kebijakan yang ia terapkan selama 3 tahun masa kepemimpinannya. Prestasinya bisa dibilang sangat luar biasa, bahkan sanggup disejajarkan dengan raja-raja terbaik di era sebelumnya.

Selain dikenal bijak dan adil, Heru juga dikenal sebagai salah satu raja terkuat sepajang sejarah karena kemampuannya yang tak tertandingi. Ia dianugrahi dengan fisik mumpuni, pikiran jenius, insting tajam, dan bakat luar biasa. Dalam hal kemampuan tempur, ia sanggup One vs Army. Semua pencapaian itu didapat dengan kerja keras. Sehingga, kombinasi bakat dan kerja kerasnya menyatu menjadi sosok yang sangat dikagumi sekaligus ditakuti.

***

Ruang Tahta Kerajaan.

Heru duduk di singgasananya sambil meminum secangkir teh. Tangan kanannya memegang cangkir dan tangan kirinya memegang alas cangkir. Ia duduk di kursi singgasana raja sambil menyilangkan kaki. Kepalanya dihiasi mahkota emas dan bajunya terbuat dari sutra yang dilengkapi jubah berwarna merah berhias benang emas.

"Haah! Bosan!" Heru menghela nafas panjang sembari menikmati segelas teh hangat. "Apa tidak ada sesuatu yang menarik?" imbuhnya.

Saat Heru tengah larut dalam kebosanan, tiba-tiba sahabatnya yang bernama Herald datang ke ruang tahta dengan tergesa-gesa.

"Yang Mulia, saya datang untuk melapor!" Herald datang menghadap Heru sambil membungkuk hormat.

"Ada apa?" Heru menyangga kepalanya dengan tangan kanan sembari memandang Herald dengan ekspresi binggung.

"Ada beberapa orang asing yang datang ke Pandora menggunakan kapal. Saat ini, mereka tengah ditahan di pesisir pantai."

"Ayo ke sana sekarang!" Heru bangun dari singasananya. Jubah merah berhias benang emas menyerumbai seperti tengah tertiup angin, mahkota emas bersinar di bawah pancaran sinar matahari, membuatnya terlihat sangat luar biasa saat sedang berdiri di depan singasana raja.

***

Pesisir pantai.

Heru dan Herald sampai di dekat pantai yang dimaksud. Di sana, Heru melihat ada banyak warga yang tengah berkumpul. Heru datang ke pantai itu ditemani oleh 100 prajurit penjaga raja dan Herald di sampingnya. Rombongan Heru datang ke pantai itu mengunakan mobil mewah.

"Sang raja telah datang!" Seorang prajurit penjaga raja turun dari kendaraan sambil berteriak lantang kepada semua orang yang ada di sana.

"Oh, raja! Wah, itu sang raja! Raja, anda sangat tampan!" Orang-orang di sana histeris saat melihat raja mereka datang ke wilayah pesisir itu. Beberapa dari mereka bahkan sampai bersujud sebagai tanda penghormatan.

Heru pun turun dari kendaraannya. Saat kakinya pertama kali menyentuh tanah, orang-orang di sana tertegun karena melihat keagungannya. Wajah putih bersih berseri di bawah pancaran sinar matahari, baju mewah, mahkota emas, dan jubah berwarna merah berhias kain emas saling berpadu dengan indah, membuatnya terlihat sangat mempesona di mata setiap orang yang memandang.

"Oh, raja! Kyaa!" Para wanita di sana tumbang karena tidak sanggup menahan pesona yang Heru pancarkan.

Heru berjalan dengan pelan namun pasti mendekati orang-orang asing yang tengah dikerumuni penduduk Pandora. Matanya fokus menatap para orang asing itu. Setiap langkahnya terdengar seperti lantunan melodi indah di telinga rakyat Pandora yang ada di sana.

"Jadi kalian orang-orang asing itu?" Heru berdiri tepat di hadapan 12 orang itu sambil melirik tajam ke arah mereka.

"Benar, Yang Mulia." Seorang pria paruh baya mewakili 11 orang lainnya, menjawab pertanyaan Heru sambil menunduk hormat.

"Siapa namamu?"

"Andrew, Yang Mulia."

"Bagaimana caramu bisa sampai ke sini?"

"Kami tidak sengaja bisa sampai ke sini. Beberapa hari yang lalu, kapal kami terkena badai dan terombang-ambing di tengah lautan. Tanpa kami sadari, tiba-tiba kami sampai ke pulau ini."

"Lalu dari mana kalian berasal?"

"Kami berasal dari Benua Neverland."

Selama 21 tahun masa hidupnya, Heru tumbuh dan dibesarkan di kerajaan Pandora tanpa mengetahui apapun tentang dunia luar. Ia selalu diberitahu bahwa dunia luar itu sangat jauh dan hampir mustahil mencapai daratan terdekat. Karena hal itu, ia tidak pernah sekalipun berfikir untuk pergi ke dunia luar karena dirasa mustahil. Tapi, melihat ada orang yang berhasil selamat sampai ke kerajaanya, membuatnya mulai berfikir dua kali.

Heru menatap semua orang asing itu sambil menguntai senyum tipis di wajahnya. Melihat hal itu, Herald hanya bisa menghela napas seolah sudah mengetahui arti dari senyum itu.

***

2 hari kemudian.

Heru menemui adiknya yang bernama Hendra di aula kerajaan.

"Heh, aku?" Adik laki-laki Heru yang bernama Hendra memasang wajah binggung sambil menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk.

"Hah ...." Heru menghela nafas. "Benar, Aku ingin kau mengambil alih tahta raja!" Heru menunjuk-nunjuk Hendra sambil sesekali menyentuh dadanya dengan jari telunjuk.

"Kenapa kau tiba-tiba ingin turun tahta?"

"Aku ingin menjelajah dunia!" Heru mengatakannya dengan wajah berseri-seri seperti seolah muncul cahaya menyilaukan dari wajahnya.

"Heh, apa kau bodoh atau semacamnya? Bagaimana mungkin seorang raja melepaskan tahtanya hanya karena ingin berpetualang!" Hendra menanggapi ucapan kakaknya dengan wajah suram.

"Oh, ayolah adikku yang manis. Aku yakin kau pasti bisa menjadi raja yang lebih baik dariku. Aku tau bahwa ada potensi terpendam dalam dirimu. Ini adalah saat yang tepat untuk memberitahukan kepada seluruh penduduk Pandora bahwa kau memiliki kharisma dan keahlian melebihi kakakmu yang bodoh ini." Heru mencoba membujuk adiknya menggunakan rayuan maut.

"A-Ahem! Begitukah? Baiklah kalau itu yang kau mau." Hendra pun luluh oleh bujukan kakaknya.

"Yosh!" Heru mengepalkan tangan karena berhasil membujuk adiknya untuk mengambil alih tahta raja. Ia sengaja melakukannya karena adiknya selalu menuruti apapun permintaannya saat dipuji.

"Tunggu dulu!" Herald muncul dari balik pintu untuk mencoba menghentikan keputusan bodoh yang Hendra ambil. "Pangeran Hendra, tolong jangan dengarkan bujukan Raja Heru. Ia sedang memperdaya Anda!" Herald berusaha menyadarkan Hendra dari bujuk rayu Heru.

"Tch!" Heru menggerutu karena kesal saat Herald merusak rencananya. "Herald, ini adalah perintah raja. Pergi dari sini sekarang juga!" Heru mengarahkan tangannya ke pintu keluar sebagai tanda meminta Herald keluar dari sana.

"Kali ini, saya tidak akan menuruti perintah Anda!" Herald mengabaikan perintah rajanya dan berjalan mendekati Hendra. "Sadarlah Pangeran Hendra. Anda saat ini tengah diperdaya Raja Heru." Herald bersujud hormat di depan Pangeran Hendra.

"Tapi ...." Hendra berusaha menepis omongan Herald dan tetap berada dalam tipu daya Heru. Pengaruh pujian yang Heru lontarkan masih melekat kuat di pikirannya.

Brak! Suara pintu aula istana dibuka dengan kasar.

"Heru! Apa yang ingin kau lakukan sampai-sampai nekat turun tahta!" Ayah Heru atau yang biasa dikenal sebagai Raja Hidan tiba-tiba memasuki aula.

Raja Hidan adalah ayah Heru sekaligus raja sebelumnya. Raja Hidan turun tahta di umurnya yang menginjak 57 tahun karena ingin segera mewariskan tahta pada putra sulungnya yang dianggap sebagai salah satu calon raja terbaik sepanjang masa. Karena hal itulah, Raja Hidan bersedia turun tahta sebelum ajal menjemput. Tapi, saat ini ia malah mendapati anak sulungnya berniat meninggalkan tahta raja hanya karena ingin berpetualang di dunia luar.

"A-Ayah!" Heru cukup terkejut dengan kedatangan ayahnya. Ia saat ini tidak tau harus berkata apa karena merasa bahwa ayahnya tidak akan memahami perasaanya yang sangat ingin melihat dunia luar.

Sejak masih kecil, Heru selalu penasaran dengan dunia luar. Tapi, lingkungannya tidak pernah sekali pun memberitahu informasi mengenai itu. Selama bertahun-tahun, ia hanya bisa memendam rasa penasarannya dan memilih memikul tanggung jawab sebagai raja di kerajaan Pandora.

Hendra dan Herald pun merasa kasihan saat melihat ekspresi tertekan di wajah Heru. Mereka sebenarnya tidak ingin melarangnya untuk pergi. Tapi, mereka tidak bisa melakukan itu karena Heru punya tanggung jawab besar di kerajaan Pandora. Tanpanya, kerajaan Pandora pasti akan kehilangan sosok pemimpin mereka. Sehingga, Herald dan Hendra harus menekan perasaan pribadi demi kebaikan seluruh kerajaan.

"Kutanya sekali lagi! Apa maksudmu dengan ingin turun tahta?'" Ayahnya menatap Heru dengan tajam.

"Maafkan aku Ayah. Sebenarnya aku ingin sekali melihat dunia luar." Heru tidak sanggup menatap mata ayahnya karena merasa bersalah dengan ucapannya yang tidak bertanggung jawab.

"Heru! Apa kau sadar dengan posisimu saat ini?" Ayahnya menatap Heru sambil sedikit memiringkan kepala. Tatapan itu terasa sangat mengintimidasi.

Heru hanya bisa terdiam mendengar ucapan ayahnya. Ia sadar betul bahwa keputusannya sangat egois. Sebagai seorang raja, ia harus lebih mementingkan kerajaan dan seluruh rakyatnya dari pada perasaan pribadi. Tapi, rasa penasarannya seolah mengalahkan itu semua. Sehingga, ia sampai tidak bisa berfikir jernih layaknya seorang raja.

"Haah ...." Raja Hidan menghela nafas sembari memegangi kepala karena merasa tidak tega melihat wajah putra sulungnya yang terlihat sangat tertekan. "Baiklah, aku akan mengizinkanmu untuk pergi melihat dunia luar!"

"Heh, benarkah?" Heru pun akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap mata sang ayah.

"Tapi, kau hanya punya waktu 2 tahun untuk memuaskan segala rasa penasaranmu! Setelah itu, kau harus kembali menjabat sebagai raja dan menghilangkan seluruh keigintahuanmu tentang dunia luar!" imbuh ayahnya karena tidak bisa melarang anaknya untuk pergi.

"Baiklah, Ayah!" Heru pun menundukkan kepala sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada ayahnya.

"Heh? Kenapa ayah mengizinkannya?" gumam Hendra dalam hati karena merasa heran dengan keputusan ayahnya.

Selama ratusan generasi, kerajaan Pandora telah terisolasi dari dunia luar karena suatu alasan. Dan alasan itu juga terus diturunkan dari generasi ke generasi di keluarga kerajaan sebagai suatu tradisi.

Raja Hidan yang telah mengetahui tentang rahasia itu, lebih memilih menurunkannya kepada putra keduanya karena dirasa bahwa Hendra lebih cocok untuk mengetahui rahasia itu demi terus menjaga tradisi. Raja Hidan tidak menurunkan rahasia itu kepada putra sulungnya yang merupakan raja Pandora saat ini karena telah memahami sifat dan karakter Heru dengan baik. Sehingga, ia merasa bahwa putra sulungnya tidak cocok mengetahui rahasia itu karena beberapa alasan.

***

Ruang kerja Raja Hidan.

"Ayah, kenapa kau mengijinkan Kakak pergi?" Hendra berdiri di depan ayahnya yang sedang sibuk membaca laporan di meja kerja.

"Menurutku, ini adalah saat yang tepat untuk kakakmu mengetahui fakta dunia yang sebenarnya." Raja Hidan melepas kacamatanya dan meletakkan kertas laporan itu sambil mengalihkan pandangannya ke arah Hendra.

"Ayah sudah memikirkannya sejak lama. Suatu saat nanti, kakakmu pasti akan tau tentang rahasia yang telah di turunkan di setiap generasi keluarga kerajaan. Ayah berfikir akan lebih baik jika kakakmu mengetahui fakta itu dengan mata kepalanya sendiri agar tidak salah faham." Raja Hidan berbicara kepada Hendra sambil berdiri di samping jendela besar di sisi ruangan.

"Jadi Ayah berniat membiarkan Kakak mengetahui itu semua dengan cara membiarkannya menjelajah dunia? Tapi, bukankah itu sangat berbahaya!" Hendra berusaha mengorek informasi lebih jauh tentang keputusan ayahnya.

"Tidak ada pilihan lain! Jika kakakmu mengetahui rahasia itu tanpa mengetahui faktanya, maka ia pasti akan memiliki kesimpulan yang keliru. Jadi, ini adalah keputusan terbaik yang bisa ayah ambil." Raja Hidan memandang putra keduanya dengan tatapan hangat sambil membayangkan wajah Heru.

Hendra pun akhirnya sedikit memahami keputusan ayahnya karena ia telah mengetahui rahasia yang di maksud.

"Lalu, bagaimana dengan para orang asing itu?" tanya Hendra.

"Kita tidak bisa membiarkan informasi tentang Pandora tersebar ke seluruh dunia."

"Baik, Ayah."

***

Keesokan harinya, Mantan Raja Hidan memanggil 10 prajurit terkuat kerajaan untuk datang ke aula istana. Ke-10 prajurit itu dikenal sebagai 10 pilar kerajaan. Kekuatan masing-masing dari mereka bisa disetarakan dengan ratusan atau bahkan ribuan prajurit kelas atas.

Mereka adalah Hans Lord of Pain, Andi The Shadow Lord, Alvin The Mighty, Barel All Rounded, Indra The Mist Lord, Gary The Killer, Selena The Savior, Luci Lord of Poison, Vian The Giant Killer, dan Jacob Lord of Despair

"Aku memanggil kalian semua untuk mengawal Heru!" ucap Mantan Raja Hidan.

"Mengawal Raja Heru? Apa Anda bercanda, Yang Mulia?" sahut Vian The Giant Killer.

"Mungkin terdengar aneh. Tapi aku ingin kalian tetap melakukannya."

"Memangnya kenapa Anda meminta kami mengawal Raja Heru?" sahut Selena The Savior.

"Aku tidak ingin Heru mengacau saat sedang berada di daratan lain."

"??!!"

Semua orang di sana terkejut mendengar ucapan Manta Raja mereka. Bagaimana tidak, sejauh yang mereka tau, Heru sangat cerdas dan penuh perhitungan, walaupun kadang bertindak bodoh. Mereka merasa mustahil Heru akan mengacau di daratan lain.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Hans Lord of Pain.

"Pastikan agar informasi tentang kerajaan tidak tersebar." Mantan Raja Hidan menatap tajam ke-10 prajurit.

"Jadi, Anda meminta kami untuk melenyapkan semua orang yang mengetahui informasi tentang kerajaan? Lalu bagaimana dengan orang-orang itu?" tanya Jacob Lord of Despair.

"Lenyapkan mereka saat sampai ke tempat tujuan," jawab Mantan Raja Hidan.

"Baik, Yang Mulia," jawab ke-10 prajurit itu.

Vol 1. Bab 2 - Menyelamatkan Wanita yang Disiksa

Sudah 3 hari sejak kami berangkat dari desa Alpen menuju kota Albon.

Saat ini, kami tengah beristirahat di sebuah hutan belantara.

"Rudi, jangan biarkan dia lolos!" teriak Akito sambil berlarian menggiring ayam hutan menuju ke arahku.

Aku melebarkan tangan dan kaki untuk bersiap menangkap ayam hutan yang mengarah padaku.

Plok!

Aku berhasil menangkap ayam hutan itu. Kemudian mengangkatnya sambil mengatakan, "Yeah, ayam bakar!"

"Yeah!" Akito juga ikut senang karenanya.

Kami melompat kegirangan karena berhasil menangkap ayam hutan.

Kami berencana memasak ayam itu untuk makan malam.

"Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari, akhirnya kita bisa makan enak!" kataku sambil mengepalkan kedua tanganya sembari menghadap langit.

"Oh, Tuhan ... terimakasih!" Akito meniru poseku sembari berlinang air mata.

Aku bertugas mengumpulkan kayu bakar. Sedangkan Akito bertugas meracik bumbu.

Setelah selesai mempersiapkan semuanya, kami mulai membakar ayam itu. Kemudian memakannya saat ayam itu telah matang.

Kami makan dengan lahap seperti orang yang belum makan selama berhari-hari. Setelah kenyang menyantap ayam bakar, kami berdua langsung beristirahat.

4 hari telah berlalu sejak kami berangkat dari desa Alpen.

Seharusnya, hanya tersisa 1 atau 2 hari lagi untuk sampai di kota Albon. Akan tetapi, di tengah perjalanan, aku mendengar suara wanita yang sedang menjerit kesakitan.

Aku pun melihat sekeliling untuk memastikan hal tersebut. Tapi, aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.

Saat ini, aku tengah berada di hutan belantara. Jadi, aku tidak boleh lengah dan harus selalu waspada. Karena ancaman bisa datang kapan saja dan dari mana saja.

"Kau kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Akito yang tampak sedikit cemas dan bingung.

"Entahlah ... aku mendengar suara yang mencurigakan," jawabku sambil melihat sekitar.

Aku berusaha melupakan jeritan itu dan kembali melanjutkan perjalanan. Tapi, tidak lama berselang, jeritan yang sama kembali terdengar.

Tanpa aba-aba, aku langsung berlari sekuat tenaga menuju arah jeritan tersebut.

"Hoi, Rudi!"

Akito cukup kaget saat melihat Rudi yang tiba-tiba berlari kencang ke suatu tempat. Melihat hal itu, Akito ikut berlari mengikuti Rudi dari belakang.

Aku akhirnya sampai di sebuah bangunan terbengkalai di tengah hutan.

Bangunan itu tampak seperti gudang yang tidak digunakan untuk waktu yang sangat lama. Banyak rumput-rumput liar yang menjalar di setiap sisi bagunan itu.

Aku kemudian mengintip ke dalam bangunan melalui lubang kecil yang berada di salah satu sisi bagunan itu.

Setelah melihat ke dalam bangunan itu, ekspresiku seketika berubah. Mataku mulai menyipit dan urat di kepalaku mulai menojol, itu adalah sebuah ekspresi kemarahan.

Aku langsung menghancurkan tembok di depanku untuk membuka jalan.

Akito cukup kaget karena melihat sahabatnya yang tiba-tiba memghancurkan tembok bangunan itu.

"Hoi, apa yang se ...." Akito ingin menayakan alasan kenapa Rudi tiba-tiba bertingkah aneh. Tapi, setelah melihat ke dalam bangunan itu, ia mengurungkan niatnya.

Kemarahan mereka memuncak setelah melihat seorang wanita yang sedang disiksa oleh 2 perempuan dan 6 laki-laki.

Wanita itu mengeluarkan banyak darah dari kepalanya karena terus disiksa oleh beberapa orang.

Tubuh wanita itu tel*nj*ng bulat, mulutnya disumbat kain, dan air matanya mengalir deras dari kedua kelopak matanya.

Wanita itu menatap Rudi dan Akito dengan tatapan tersirat, seolah sedang meminta untuk diselamatkan.

Tanpa pikir panjang, aku pun melesat dengan kecepatan tinggi ke arah salah satu pelaku untuk menghancurkan lengan pelaku itu.

Kratak! (Suara tulang hancur).

Pelaku itu terdiam sesaat karena syok. Ia baru menyadari bahwa lengannya telah hancur setelah beberapa saat kemudian.

"Argh!" Pelaku itu menjerit sangat keras karena rasa sakit akibat tangannya yang patah.

Aku kemudian mengendong wanita yang telah disiksa menjauh dari sana.

Setelah dilihat dari dekat, tubuh wanita itu sangat menggoda. Eh bukan, maksudnya, tubuh wanita itu penuh dengan luka lebam akibat dipukuli. Kulitnya tampak membiru. Dan di beberapa bagian, tampak bekas luka sayatan benda tajam.

Aku pun melepas bajuku untuk menutupi tubuh wanita yang sedang tel*nj*ng bulat tersebut.

"Akito, tolong jaga dia sebentar."

Aku kemudian melangkah maju dengan ekspresi marah. Sedangkan, Akito duduk di dekat wanita itu untuk menjaganya.

7 orang yang ada di hadapanku mulai bersiap memasang kuda-kuda bertarung.

3 orang pelaku kemudian mulai menyerangku dari 3 sisi berbeda.

Aku bisa menghindari serangan ketiga pelaku itu dengan sangat mudah.

Kratak! Kratak! Kratak! (Suara tulang hancur).

Aku memukul kaki dan tangan ketiga pelaku itu hingga membuat tulang mereka hancur.

"Argh!"

Ketiga pelaku itu menjerit kesakitan.

"To-tolong ... tolong ampuni Kami."

Sedangkan 4 sisanya, mulai memohon ampun sambil gemetar ketakutan.

Mereka berusaha melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, aku tidak membiarkan satu pelaku pun lolos dari sana.

Dengan kecepatan secepat kilat, aku melesat ke arah keempat pelaku yang tersisa, dan menghancurkan lengan dan kaki mereka.

"Argh!"

Suara jerit kesakitan terdengar dari 8 pelaku itu.

"Kenapa kau melakukan ini kepada kami?" tanya salah satu pelaku yang tanganya hancur.

"Harusnya aku yang bertanya. Kenapa kalian menyiksa wanita itu dengan kejam?" tanyaku sembari memberikan tatapan tajam.

"Kami hanya diperintah untuk menyiksanya," jawab lirih pelaku itu lagi.

Aku pun tidak memperdulikan semua ocehan para pelaku itu setelah mendengar jawaba mereka.

Aku kemudian meninggalkan para pelaku itu dan berjalan mendekat ke arah Akito.

"Akito ... apa aku sudah keterlaluan?" tanyaku dengan nada lirih.

"Jika kau tidak melakukanya, maka aku yang akan melakukanya. Jadi, jangan merasa bersalah, Sobat. Mereka memang layak dihukum," jawab Akito.

Itu bukan pertama kalinya aku melukai manusia. Tapi, untuk pertama kalinya, aku merasakan perasaan bersalah yang amat besar.

"Tolong bunuh saja aku," ucap wanita yang sudah kuselamatkan, dengan air mata tak terbendung memohon untuk segera dibunuh.

"Apa maksudmu?" Aku menanggapi ucapan wanita itu dengan perasaan bingung.

"Saat ini, kau sudah baik-baik saja. Jadi, tenanglah," imbuhku yang berusaha menenangkan wanita itu.

Wanita itu masih terus menangis. Kemudian berkata, "Aku tidak punya siapa pun. Hal seperti ini pasti akan terjadi lagi. Aku sudah tidak mau disiksa terus menerus. Jadi, kumohon ... bunuh saja aku."

Dengan peradaan marah, aku mengatakan, "Jika kau ingin mati, maka bunuh dirimu sendiri! Kenapa kau memintaku melakukanya?"

"Aku tidak berani melakukanya," jawab wanita itu sembari menundukkan kepala dan berlinang air mata.

"Itu berarti kau masih ingin hidup. Jadi, berhenti berfikir konyol dan lanjutkan hidupmu dengan baik!" Aku menanggapi ucapan wanita itu dengan perasaan kesal.

Aku pun memberikan semua sisa uang yang kumiliki dan mengantar wanita itu ke desa terdekat.

Sesampainya di desa terdekat, wanita itu menundukkan kepalanya untuk berterima kasih.

Aku dan Akito kemudian kembali melanjutkan perjalanan kami ke kota Albon.

Setelah melewati perjalanan panjang selama 8 hari, kami berdua akhirnya sampai di kota Albon.

Perjalanan kami harus molor karena banyak hal tak terduga di sepanjang perjalanan.

Sesampainya di kota Albon, kami berdua sangat terkejut saat pertama kali melihat kota Albon yang begitu luar biasa.

Banyak bangunan megah berjejer rapi sejauh mata memandang. Orang-orang di sana juga terlihat berpakaian rapi dan mahal. Mereka semua terlihat asik berlalu lalang di tengah kota.

"Fouyoo ... kota ini benar-benar luar biasa."

"Kota ini jauh lebih baik dari dugaanku."

Kami benar benar terpukai dengan keindahan kota Albon.

"Oi, Akito. Apa kau tau di mana markas kelompok Foxie?" tanyaku sambil berjalan menelusuri kota.

"Hmm ... entahlah," jawab Akito yang berjalan di sampingku.

"Heh? Jadi kau tidak tau? Lalu kenapa kau menargetkan mereka kalau tidak tau di mana markasnya?"

"Kenapa kau malah menyalahkanku? Bukankah kau juga setuju dengan ideku?"

"Haah ... lupakan saja. Kalau begitu, ayo cari di mana markas mereka."

"Seharusnya tidak sulit mencarinya."

Itulah yang dikatakan Akito. Tapi, setelah 3 jam mencari, mereka tidak kunjung menemukan markas kelompok yang mereka cari.

"Di mana sebenarnya mereka bersembunyi?" Aku mulai putus asa karena tidak kunjung mendapat petunjuk sama sekali.

"Haah ...." Akito hanya bisa menghela nafas.

"Oi, Akito! Cepat tanya seseorang! Kalau begini terus, kita tidak akan menemukan markas mereka."

"Kau saja yang bertanya! Kenapa malah menyuruhku?"

"Bukankah ini idemu, hah?"

"Itu memang ideku! Tapi, kau juga setuju, kan?"

Kami berdua akhirnya terlibat perkelahian kecil di tengah kota. Akibat perkelahian itu, orang-orang di sekitar mulai memperhatikan kami.

"Apa yang mereka lakukan?"

"Mama, ada orang aneh!"

"Jangan dilihat, Sayang." Sambil menutup mata anaknya.

Karena banyak orang yang mulai memperhatikan, kami berdua langsung menghentikan perkelahian dan pergi dari sana agar tidak semakin malu.

Kami kembali melanjutkan pencarian sambil terus mengerutu.

"Gara-gara ulahmu, kita dianggap orang aneh."

"Itu ulahmu sendiri!"

"Apa katamu, hah?"

"Ngajak ribut lagi, hah?"

Kami berdua saling beradu kepala.

"Cih ...."

Kami menggerutu di saat yang sama dengan gerakan yang sama pula (gerakan memalingkan wajah).

Kami melanjutkan pencarian dan berjalan menelusuri kota sambil mengalihkan pandangan satu sama lain.

Setelah 5 jam mencari, kami akhirnya menyerah dan memutuskan untuk bertanya pada warga sekitar.

"Permisi, apa kau tau di mana markas kelompok Foxie?" tanyaku kepada seorang gadis cantik yang kutemui.

"Markas kelompok Foxie? Maaf, aku tidak tau," jawab gadis itu.

Kami terus bertanya kepada setiap orang yang kami temui. Dari 30 orang yang kami tanya, semuanya mengatakan jawaban yang sama, yaitu tidak tau.

"Kenapa tidak ada satu pun yang tau di mana markas kelompok Foxie? Oi, Akito! Apa kau tidak salah informasi? Jangan-jangan, kelompok yang kita cari tidak ada di kota ini?"

"Hmm ... entahlah. Jika diingat-ingat lagi, berita tentang kelompok Foxie diedarkan sekitar 10 hari yang lalu. Mungkin saja, mereka sudah pergi dari kota ini."

"Apa! Kau benar-benar membuatku marah! Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"

"Apa boleh buat? Foxie adalah satu-satunya kelompok terdekat yang kuketahui. Kau tau sendiri, kan? Kalau desa kita sangat minim informasi?"

"Aku tau itu! Tapi, kenapa kau baru mengatakannya sekarang? Kita sudah jauh-jauh ke sini tapi tidak mendapat apapun! Kalau begini, kita mau makan apa? Kita bahkan tidak punya uang sepeser pun untuk sekedar membeli minum!"

"Setidaknya, kita bisa mencari kelompok yang lebih kecil untuk mendapat uang."

"Jangan bercanda!"

Karena tidak kunjung menemukan markas Foxie, kami pun memutuskan untuk menargetkan kelompok-kelompok kecil yang ada di kota Albon.

Tapi sebelum itu, kami harus menundanya sementara waktu karena kelehan setelah perjalanan panjang dan seharian mencari markas kelompok Foxie ke sana ke mari.

Kami pun mulai berkeliling ke setiap sudut kota untuk mencari penginapan termurah. Akan tetapi, tidak ada satu pun penginapan yang bisa kami sewa karena harga penginapan termurah berkisar 100 gale per malam. Sedangkan, uang yang kami miliki hanya tersisa 50 gale saja.

Dengan perasaan terpaksa, kami harus mencari bangunan tak terpakai untuk beristirahat. Karena jika tidak, kami harus tidur di pinggir jalan.

"Kita harus tidur di sini?" tanyaku yang tengah berdiri di depan bangunan kumuh tak berpenghuni di pinggiran kota Albon.

"Mau bagaimana lagi ... kau memberikan semua uang kita kepada wanita yang tidak dikenal. Jadi, kita tidak punya cukup uang untuk tidur di penginapan," jawab Akito dengan wajah pasrah.

Mereka harus tinggal sementara di sebuah bangunan terbengkalai karena tidak punya cukup uang untuk menyewa penginapan.

Atap bangunan itu sudah hancur, dindingnya mulai keropos, dan lantainya tampak sangat kotor.

"Kenapa harus begini!"

Aku berteriak keras karena kesal. Sedangkan Akito hanya memasang wajah pasrah sembari menghela nafas.

Vol 1. Bab 3 - Perebutan Kekuasaan di Berlin, Ibukota Roland

Di salah satu sudut kota, kelompok Picky Men sedang gempar karena mereka diserang secara tiba-tiba.

"Kelompok kita diserang, Bos!" ucap salah satu bawahan kelompok Picky Men.

"Siapa yang menyerang kita? Borm Head, Minor, atau Six Yoru?" tanya sang pemimpin kelompok Picky Men.

Pemimpin kelompok Picky Men sangat terkejut saat mendengar kelompoknya diserang tiba-tiba.

"Bukan! Yang menyerang kita hanya dua orang!" jawab si bawahan.

"Heh?" Pemimpin kelompok Picky Men kebingungan mendengar ucapan bawahannya.

"Dari mana dua orang itu berasal? Apa mereka dari kelompok kuat? Tidak mungkin. Aku tidak pernah berurusan dengan kelompok kuat manapun." Pemimpin kelompok Picky Men berusaha berfikir untuk mengatasi hal itu.

Duar!

"Argh! Tolong!"

Kekacauan di luar ruangan terdengar jelas dari tempat pemimpin kelompok Picky Men berada.

"Apa yang harus kita lakukan, Bos?" tanya si bawahan.

"Diamlah! Aku sedang berfikir!" bentak sang pemimpin.

"Baik, Bos!" sahut si bawahan.

Kekacauan semakin parah. Sedangkan pemimpin kelompok Picky Men hanya bisa terdiam mendengar semua kekacauan itu. Karena ia tidak tau harus berbuat apa.

Tidak lama berselang, orang yang telah meratakan kelompok Picky Men akhirnya sampai di ruangan tempat sang pemimpin kelompok itu berada.

"Apa kau pemimpinnya?" tanya orang yang sudah meratakan sebagian markas kelompok itu.

Ternyata, orang yang sudah meratakan kelompok Picky Men hanyalah bocah berumur 18 tahun.

"Siapa kau? Kenapa kau melakukan ini?" tanya sang pemimpin kelompok sambil menodongkan pedang kepada bocah itu.

"Aku? Oh, maafkan aku. Namaku Rudi. Aku adalah orang yang akan melampaui para Kaisar. Aku datang ke sini untuk mengalahkan kalian!"

"Melampaui para Kaisar? Hahahaha! Jangan membuatku tertawa! Bagaimana mungkin bocah sepertimu sanggup melakukan itu? Apa kau tidak tau seberapa menakutkannya orang-orang yang saat ini duduk di singgasana Kaisar? Mereka yang berada di tahta Kaisar bahkan tidak sanggup mengalahkan satu sama lain! Bagaimana bocah sepertimu sanggup bersaing dengan mereka?" ejek sang pemimpin kelompok Picky Men.

Frezee!

Seluruh ruangan itu langsung membeku seketika.

Itu adalah kemampuan spesial yang Rudi miliki, kemampuan membekukan segalanya.

"Aku tidak perduli sekuat apapun mereka. Aku pasti akan melakukannya!" kataku sambil berjalan menjauh.

Dengan tubuh dan nafas dingin, Rudi pergi meninggalkan tubuh sang pemimpin kelompok Picky Men yang telah berubah menjadi patung es begitu saja.

"Apa kau sudah selesai?" tanya Akito yang sudah selesai membereskan para keroco.

"Ya, ayo ke kelompok selanjutnya," jawabku dengan wajah serius.

Aku pun berjalan meninggalkan markas kelompok Picky men dengan santai sambil sesekali menggerakan jariku.

Gelar kaisar adalah sesuatu yang sangat diimpikan setiap orang. Hanya yang terkuat dari yang terkuat, penguasa dari segala penguasa, raja dari segala raja yang akan diakui sebagai seorang Kaisar.

Rudi bukan mengincar gelar Kaisar, tapi melampauinya. Mencapai titik tertinggi di mana tidak ada seorang pun yang layak disejajarkan dengannya.

Hari itu, aku dan Akito berhasil menumbangkan 4 kelompok kecil yang kami temui di kota Albon.

.

.

Keesokan harinya, aku dan Akito sedang berada di sebuah penginapan di pinggiran kota Albon.

"Oi, Akito. Kelompok mana lagi yang harus kita tantang? Sangat membosankan jika harus melawan kelompok-kelompok lemah. Lagi pula, uang yang kita dapat juga tidak seberapa," kataku sambil memakan camilan.

Dari penyerangan 4 kelompok sebelumnya, kami hanya mendapatkan 600 gale. Itu adalah jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan usahanya.

Sebagai perbandingan, harga seporsi makanan standar di suatu kota berkisar 5 - 10 gale.

"Aku tidak tau harus menantang kelompok mana lagi. Bagaimana kalau kita taklukkan kota ini? Kita bisa mendapat banyak uang dari sana," ucap Akito.

"Itu ide menarik ... apa kau ingin aku bilang begitu? Jangan bodoh! Menaklukkan kota sama saja dengan mendeklarasikan perang!" bentakku.

"Ya, ya ... Aku hanya bercanda," balas Akito.

"Kita harus segera pergi ke kota yang lebih besar untuk menemukan lawan yang lebih menantang. Oi, bagaimana kalau kita menantang All Stars?" tanyaku.

"Haaahahahahahaha! Ide bagus ... jika kau ingin mati cepat," jawab Akito.

"Haaaah! Aku benar-benar tidak tau harus menantang kelompok mana lagi." Aku benar-benar frustasi karena keterbatasan informasi yang kumiliki.

"Yah, kita masih punya 500 gale. Setidaknya, itu cukup untuk beberapa hari ke depan. Jadi, ayo sedikit bersantai sambil memikirkan langkah selanjutnya. Prioritas kita adalah mencari anggota dan membangun kelompok kuat. Setelah itu, waktunya untuk megincar para Kaisar," ucap Akito.

Karena dirasa tidak ada kelompok yang menarik, kami berdua mulai pergi meninggalkan kota Albon. Tujuan kami berikutnya adalah kota Berlin, Ibukota Negara Roland.

Berlin adalah Ibukota Negara Roland. Berbeda dengan Albon, Berlin memiliki wilayah yang jauh lebih luas dan maju. Orang-orang yang tinggal di sana didominasi kaum kelas atas, atau sering disebut sebagai kaum bangsawan.

Perjalanan dari Albon ke Berlin memakan waktu sekitar 1 hari dengan menggunakan bus antar kota. Tapi, karena tidak mau mengeluarkan banyak uang, mereka lebih memilih untuk berlari, hitung-hitung sebagai latihan.

Saat perjalanan menuju Berlin, mereka menyempatkan untuk beristirahat di sebuah rumah makan yang berada di desa sekitaran Berlin.

"Huah ... makanan di sini benar-benar nikmat." Aku merasa sangat puas dengan rasa makanan di sana.

"Aku setuju denganmu." Begitu pula dengan Akito.

Saat kami sedang asik makan, kami tidak sengaja mendengar pembicaraan beberapa orang di meja sebelah.

"Hei, apa kau sudah dengar? Katanya kelompok Hendri berhasil mengalahkan kelompok Ciel."

"Ya, kudengar mereka sekarang menjadi kelompok paling berpengaruh di ibukota."

"Lalu, bagaimana dengan kelompok Gary? Bukankah mereka masih memegang pengaruh yang lebih besar?"

"Jangan bodoh! Karena kejatuhan kelompok Ciel, kelompok Hendri sekarang memegang kekuasaan yang lebih besar dari pada kelompok Gary."

"Kupikir, kejatuhan kelompok Ciel benar-benar membawa perbedaan besar di peta kekuasaan ketiganya."

"Ya, setelah bertahun-tahun ketiganya berkuasa di ibukota, akhirnya keseimbangan itu mulai goyah."

"Lalu, apa yang akan dilakukan kelompok Gary? Jika mereka membiarkan kelompok Hendri begitu saja, bisa-bisa mereka juga akan dijatuhkan."

"Hmm ... mungkin mereka sengaja diam."

"Jika mereka sengaja diam, bukankah itu sangat merugikan?

"Apa kau lupa soal jendral besar yang baru? Kudengar, kemampuannya benar-benar tidak bisa diremehkan. Mungkin saja, kelompok Gary tidak terlalu agresif karena tidak ingin terlalu menarik perhatian pihak militer."

"Yah, bisa jadi begitu. Menurut informasi yang kudengar, jendral besar yang baru telah menangkap banyak kelompok kuat di seluruh negeri."

"Apa jendral besar yang baru benar-benar sekuat itu?"

"Banyak yang mengatakan kalau dia ada di Top 1 Persen Elit Dunia."

"Benarkah? Bukankah itu sangat luar biasa?"

"Haaahahahahahaha! Aku benar-benar tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi ke depannya."

Setelah mendengar obrolan sekumpulan orang di meja sebelah, aki dan Akito mulai menguntai senyum tipis.

"Oi, Apa kau dengar itu?" tanyaku pada Akito.

"Ya, sepertinya ibukota adalah medan tempur yang menarik," jawab Akito.

"Apa jadinya kalau tiba-tiba ada kelompok yang tidak dikenal bisa menjatuhkan kelompok-kelompok itu?" tanyaku dengan senyum tipis.

"Haaahahahahahaha! Mungkin orang-orang akan terkejut setengah mati," jawab Akito.

"Haaahahahahahaha! Aku juga berfikir begitu. Ayo kita kejutkan orang-orang dengan debut kelompok kita," ucapku.

"Bukankah kita sudah debut di Albon?" tanya Akito.

"Jangan bodoh! Albon tidak dihitung," jawabku jengkel.

Rudi dan Akito telah menentukan tujuan mereka. Mereka ingin ikut dalam perang yang memperebutkan peta kekuasaan di Ibukota Negara Roland untuk menunjukkan kemampuan kelompok mereka pada dunia.

Puas beristirahat, mereka pun mulai melanjutkan perjalanan ke Berlin, Ibukota Negara Roland.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!