NovelToon NovelToon

Nafkah Batin Untuk Sepupu Istriku

Pernikahan Kedua

"Apa kita harus melakukan ini?" tanya Nana, saat ia sudah memakai pakaian pengantin.

"Menurutmu bagaimana? Apa kita harus melakukan zina agar kita leluasa berhubungan?" tukasku sambil merapikan jas hitamku.

Hari ini, aku akan mempersunting Nana menjadi istriku. Lebih tepatnya istri keduaku tanpa memberitahu Yani, istri pertamaku.

Alasan aku ingin menikahinya adalah ingin memberikan nafkah batin untuk Nana yang jarang didapati oleh suaminya sendiri, karena suaminya merantau bekerja di Kalimantan dan setahun sekali dia pulang.

Bisa dibilang ini adalah pernikahan kedua kami tanpa memberitahu keluarga kita masing-masing. Seandainya jika aku mengutarakan niatku untuk menikahi Nana, pihak keluarga dan Yani pasti tidak akan menyetujuinya karena Nana sudah bersuami. Terlebih Nana adalah sepupu istri pertamaku. Padahal niat baikku itu adalah hanya memberikan nafkah batin untuk Nana saja yang jarang didapatkan dari suaminya.

Aku kasihan melihat Nana yang selalu seperti orang tertekan dan pusing menghadapi segala sesuatu. Entahlah aku juga tidak tahu kenapa ia seperti itu, dan mungkin itu semua karena pekerjaannya yang sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja di kantor balai desa.

Aku dan Nana akhir-akhir ini dekat seperti orang pacaran karena melihat sifat Nana yang begitu manja terhadapku. Berawal dari ia yang sering curhat perihal masalahnya hingga obrolan kami menuju ke pembahasan ***. Dari situlah aku mengerti jika Nana seperti membutuhkan nafkah batin yang jarang diperoleh dari Dana, suaminya. Entah darimana aku kepikiran untuk menikahi Nana supaya ia mendapatkan apa yang ia peroleh nanti. Maka dari itu aku mengajaknya untuk menikah secara siri supaya aku bisa memberikan ia nafkah batin tanpa harus melakukan hal zina.

"Ayo, kita sudah ditunggu oleh Pak penghulu di depan," sentak Muhlis yang baru saja masuk ke kamar.

Kami bertiga berjalan keluar menghampiri penghulu dan juga beberapa orang yang akan menjadi saksi pernikahanku.

"Sudah siap?" tanya beliau saat aku dan Nana duduk dihadapannya.

"Sudah, Pak." Walaupun ini bukan pernikahan pertamaku, tetap saja aku masih gugup untuk melakukannya. Terlebih lagi pernikahan kedua kami tanpa dihadiri oleh sanak saudara, kecuali Muhlis yang menjadi wali untuk Nana.

Sebenarnya orangtua Nana masih ada. Namun, kami tak berani mengajak mereka dan menjadikannya wali untuk Nana karena pernikahan ini pasti akan ditentang oleh mereka.

"Baiklah, saya nikahkan engkau saudara Herman Abdullah bin Harin dengan saudari Nana Anindya Putri binti Hidrullah dengan mas kawin ... dibayar tunai."

Aku menarik napas. "Saya terima nikahnya Nana Anindya Putri binti Hidrullah dengan mas kawin ... dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi?"

"Sah!"

"Alhamdulillah ...."

Kami berdoa setelah pengucapan ijab kabul berjalan dengan lancar. Aku menoleh menghadap Nana dan ia langsung meraih tanganku untuk diciuminya. Kini Nana sudah menjadi istriku. Aku tak perlu takut lagi untuk menjalin hubungan dengannya karena kami sudah sah secara agama.

\=\=\=

"Ingat janji kalian kalau jika semuanya ini terbongkar, jangan pernah melibatkan aku!" ucap Muhlis saat kami berdua di berada di depan kamar pengantin.

"Tenang saja, aku tidak akan melibatkanmu ataupun menyebut namamu jika semua ini terbongkar," ucapku meyakinkan dia.

"Ingat janjimu, Her!" Muhlis berlalu meninggalkan aku di depan pintu kamar.

Sejujurnya aku juga merasa cemas jika suatu saat nanti pernikahan keduaku dengan Nana akan diketahui oleh pihak keluarga. Apalagi aku dan Nana tinggal di pelosok kampung. Jika semuanya terbongkar, siap-siap saja aku dan Nana akan menjadi buah bibir di sana hingga sampai ke kampung-kampung sebelah.

Namun, aku menepis semua pikiran itu terlebih dahulu karena ini malam pertamaku dengan Nana. Hal yang mungkin ditunggu-tunggu oleh Nana.

Aku membuka pintu kamar dan memasukinya, memperlihatkan istriku keduaku yang kini sedang bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponselnya. Kini Nana sudah berganti pakaian dan hanya memakai lingerie berwarna merah muda hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Tanpa sadar aku menelan air ludahku sendiri.

Diumurnya yang sudah berkepala tiga, body Nana benar-benar masih terlihat ramping. Kulitnya yang putih dan tubuhnya yang langsing membuatku tak sabar untuk segera menyatukan tubuh kami. Berbeda sekali dengan Yani, istri pertamaku. Walaupun wajah Yani lebih unggul daripada Nana, tapi body Yani terlihat gemuk tanpa perubahan dari tahun ke tahun.

Dari dulu setelah melahirkan anak bungsu kami, bobot Yani perlahan mulai meningkat. Yani tak pernah berkeinginan mengkuruskan badannya karena dia bilang jika orang gemuk itu pertanda orang sehat.

Aku memang tak mempermasalahkannya. Tapi makin lama aku juga membandingkan tubuh Yani dengan tubuh-tubuh wanita lainnya yang terlihat ramping. Bagaimana aku membayangkan ketika di ranjang dengan tubuh Yani yang terlihat ramping.

"Pak, kamu kenapa berdiri di depan pintu?"

Aku tersadar dari lamunanku setelah mendengar teguran Nana. Aku melihat Nana yang masih bersandar di kepala ranjang tak bergerak sedikitpun. Aku hanya tersenyum lalu mulai melepas jas hitam yang aku kenakan dan menggantungnya di belakang pintu.

"Kamu sudah mandi?" tanyaku.

"Sudah, barusan tadi."

Aku melihat rambut Nana yang masih terlihat basah. Aku mulai mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.

Setelah beberapa menit, aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian santai sambil membawa pakaian pengantinku. Aku melirik ke arah Nana yang kini sedang menelpon seseorang. Dari arah pembicaraannya aku bisa tahu kalau ia tengah berbicara pada anaknya.

"Ya, nanti Mama akan pulang besok lusa. Jaga adik-adikmu, minta tolong ke nenek kalau butuh apa-apa. Yasudah, assalamualaikum."

"Dinda?" tanyaku setelah Nana mengakhiri panggilannya sambil menghampirinya. Dinda itu adalah anak pertama Nana yang berusia 14 tahun sama seperti putriku, Nadia.

"Iya."

Aku perlahan duduk di tepi ranjang dengan keadaan bisa terbilang gugup. Aku melirik Nana yang mulai memainkan ponselnya. Namun, raut wajahnya kelihatan terlihat tegang dan gugup. Apakah Nana juga sama sepertiku?

Aku berinisiatif mendekat kearahnya dan bersandar juga di kepala ranjang di samping Nana. Aku mulai merangkulnya hingga Nana kini mulai menyimpan ponselnya. Ia mulai menatapku dengan malu-malu.

Oh Tuhan! Sepertinya aku sudah mulai tak sabar!

Aku mendekati wajahnya hingga napas kami saling menerpa di wajah kami.

"Bolehkah?" bisikku meminta izin. Aku perlu meminta izin padanya terlebih dahulu takut ia menolak tak ingin disentuh dulu.

Nana mengangguk malu-malu pertanda mengizinkanku menikmati tubuhnya. Aku tersenyum tipis dan mulai menyatukan bibirku pada bibirnya.

Kami berdua terhanyut dalam gairah yang meletup-letup malam ini. Malam pertama ini, aku benar-benar tak menyangka bahwa Nana seagresif ini ketika di ranjang. Mungkin karena hasrat yang ia pendam selama ini akhirnya terbayar melalui diriku. Mungkin karena Dana yang pulang setahun sekali mengakibatkan Nana haus akan sentuhan dan belaian dari pria.

Ahh!!

Oh Tuhan, sepertinya aku tak akan menyesal menikahi Nana yang sudah membuatku bergelora.

Nana Ketagihan

Sudah tiga hari aku berada di kota bersama Nana ditemani Muhlis. Aku sengaja menyuruh Muhlis l menemani kami di kota untuk berjaga-jaga saja supaya orang di kampung tidak dibuat curiga saat aku pulang bersama Nana selama tiga hari. Pasti aku dan Nana akan menjadi bahan gosipan ibu-ibu hingga sampai ke telinga Yani, walaupun Yani sendiri orangnya tak begitu percaya selagi ada bukti akurat.

Selama tiga hari kami disini, aku dan Nana menikmati waktu berdua kami di kota tanpa perlu khawatir ketahuan oleh keluarga maupun tetangga. Sebenarnya ada beberapa sanak saudara yang tinggal di kota, tapi aku sengaja memilih daerah yang sedikit lebih jauh dari mereka supaya lebih aman saat aku bersama Nana keluar bersama.

Setelah keluar dari penginapan pada pukul tiga sore hari, kami bertiga langsung pergi meninggalkan kota bersiap kembali ke halaman kampung kami yang berjarak cukup jauh.

Dengan menggunakan mobil pribadiku, aku menyusuri jalanan yang masuk ke arah perkampungan yang rumahnya rata-rata disini itu rumah panggung.

"Pak, kita mampir dulu ya ke penjual bakso. Buat anak-anak," ucap Nana di sampingku.

Aku hanya mengangguk dan mengendarai mobil dengan kecepatan pelan akibat jalan yang kulalui ada yang jelek, sekalian melihat-lihat di pinggir jalan siapa tau ada penjual gerai bakso di sekitar sini.

"Kau mau apa, Lis?" tanyaku pada Muhlis di belakang. Kulihat dari spion, Muhlis sedang sibuk bermain ponsel daripada menemani kami berbicara. Tumben, biasanya dia yang paling banyak bicara dan selalu membuat topik. Namun, kenapa dia mendadak diam seperti ini?

"Tidak usah. Aku cuma mau sampai di rumah sebelum Maghrib," balasnya tapi tetap pandangannya tak beralih dari ponselnya.

"Diam aja dari tadi, Lis. Gak kayak biasanya," pancingku.

"Gak lagi mood untuk bicara dulu."

Aku tak bertanya lagi dan kembali fokus mencari gerai bakso di pinggir jalan. Apa karena Muhlis terlibat dalam pernikahan keduaku, dia mendadak jadi diam seperti ini?

Ah, aku tidak peduli. Lagipula aku telah memberinya beberapa uang untuk menjadi wali Nana di pernikahan kedua kami. Saat mengetahui Muhlis membutuhkan uang untuk membayar hutangnya, aku mengajukan persyaratan padanya untuk menjadi wali pernikahan kedua Nana sekaligus tutup mulut.

Muhlis sempat menolak waktu itu dan mengatakan padaku bahwa aku dan Nana ini sudah gila. Namun, aku terus membujuknya untuk ikut dan memberikan sejumlah uang tambahan supaya dia mau menjadi wali Nana.

Sebenarnya Nana ini masih punya saudara laki-laki dan beberapa keluarga lainnya. Namun, aku lebih percaya kepada Muhlis, karena aku tau wataknya dia yang tak terlalu ikut campur dalam urusan orang dan bisa dipercaya dalam menjaga rahasia.

Setelah 30 menit perjalanan, akhirnya kami sudah tiba di area perkampungan kami yang penduduknya sekarang lebih maju. Jika kalian menganggap perkampungan ini itu masih seperti suasana kampung pada zaman dulu, kalian salah. Kampung ini sekarang sudah lebih maju akibat teknologi yang sudah merambat ke kampung ini.

Berawal dari anak-anak KKN terdahulu yang membangun kampung ini lebih maju, akhirnya pak kepala desa membuat inisiatif untuk membangun kampung ini seperti layaknya di kota. Kami pun para warga tentu menyetujuinya dan bergotong royong untuk membangun kampung ini supaya lebih maju dengan teknologi. Namun, tetap suasana perkampungan di desa ini harus tetap di jaga.

"Aku turun di depan saja," cetus Muhlis setelah kami hampir tiba disebuah perempatan jalan. Aku tak berkomentar apapun dan menuruti permintaannya.

"Ingat ya sama janji kalian!" ucapnya setelah ia turun dari mobil lalu berjalan menjauh.

Aku tak menanggapinya dan melajukan mobilku kembali dengan pelan karena sedikit lagi kami telah sampai di rumah.

"Muhlis kayak takut banget kalau kita bocor melibatkan dia," ucap Nana.

"Ya begitulah. Mungkin dia nggak mau namanya dijadikan bahan omongan orang-orang."

Aku menurunkan Nana di depan gang rumahnya. Rumah Nana hanya berjarak beberapa cm dari jalanan poros. Aku tak perlu lagi repot-repot memasukkan mobil ke dalam dan mengantarkannya.

"Ingat ya, jaga rahasia kita," ucapku sebelum Nana turun.

"Pasti."

"Kalau mau minta 'itu' lagi, kabarin saja ya, Na," ucapku menggodanya.

Nana tersenyum malu lalu keluar dari mobil. Dilihat suasana sore seperti ini, sudah banyak orang yang bersantai di luar rumah. Dari orang-orang yang mengobrol dengan tetangga mereka, sampai anak-anak yang bermain di sore hari.

Aku tak perlu takut mengantar Nana barusan, karena tanggapan mereka aku dan Nana satu keluarga dari pihak istri pertamaku. Lagipula orang-orang disini tidak akan berpikiran negatif tentangku apalagi Nana karena kami dikenal baik di masyarakat sini.

Aku menjalankan kembali mobilku dan memarkirkannya di depan rumah sederhana keluargaku.

Jarak rumahku dan rumah Nana begitu berdekatan. Hanya dibatasi dua rumah saja. Ini menguntungkan buatku karena aku begitu mudahnya datang ke rumah istri keduaku tanpa perlu memakai kendaraan.

"Assalamualaikum!" salamku setelah didepan pintu yang terbuka melihat ketiga anakku yang sedang menonton televisi.

"Waalaikumsalam!"

Anak-anak langsung menghampiriku dan takjim pada ayahnya.

"Ayah beli apaan?" tanya Arham, anak bungsuku.

"Lihat saja sendiri." Aku memberikan oleh-olehku yang sempat aku beli di kota kepada mereka.

Arham dan putri keduaku, Citra langsung mengambil cepat bungkusan plastik dan membukanya. Sedangkan Nadia, anak sulungku hanya duduk saja sambil memperhatikan kedua adiknya membuka makanan dan kue yang kubeli.

"Mama mana?" tanyaku pada Nadia.

"Ada tuh di dapur."

Aku langsung ke arah dapur dan melihat Yani sedang memasak untuk makan malam.

"Sudah selesai?" tanya Yani sambil memasak. Maksud dia bertanya seperti itu adalah apakah pekerjaanku sudah selesai.

"Ya, pekerjaan sudah beres."

"Bapak beli apaan buat anak-anak?"

"Cuma bakso sama beberapa kue."

Aku berbalik sambil membuka kemejaku lalu berjalan ke kamar. Namun, aku menghentikan langkahku karena ponselku tiba-tiba bergetar pertanda ada pesan masuk di saku celana.

^^^Nana^^^

^^^[Nanti malam ke rumahku ya?]^^^

Aku menyeringit bingung. Kenapa Nana memintaku datang ke rumahnya malam ini?

[Kenapa?]

^^^Nana^^^

^^^[Kangen.]^^^

[Lah? Baru beberapa menit pisah masa udah kangen?]

^^^Nana^^^

^^^[Ish! Pokoknya malam ini datang! Aku mau lagi.]^^^

[Hahaha ... mau apa?]

^^^Nana^^^

^^^[Sudahlah kalau tidak mau datang kesini!]^^^

Yah, di cemberut ternyata, hahaha. Pasti dia ingin minta 'itu' lagi padaku. Aku berjalan ke kamar supaya enak untuk berbalasan pesan dengannya.

[Jam berapa? Anak-anakmu bagaimana?]

^^^Nana^^^

^^^[Dinda tidur di rumah neneknya. Kalau urusan Dio sama Ari itu urusan gampang.]^^^

[Oke, tapi jam berapa?]

^^^Nana^^^

^^^[Jam 11]^^^

[Oke.]

Aku tersenyum sambil perasaanku mulai tak sabar untuk menantikan malam nanti. Pasti Nana ingin minta nafkah batin lagi dariku. Namun, bukannya sebelum pergi kami sempat melakukannya terlebih dahulu. Tapi sekarang kenapa dia minta lagi?

Ah, mungkin karena keperkasaanku di ranjang, hingga membuat Nana ingin minta lagi dariku. Duh, aku jadi gak sabar!

Nafsu Mengalahkan Akal Sehat

Nana POV

Aku tak menyangka jika sekarang aku telah menjadi istri kedua dari suami sepupuku sendiri. Entahlah kemana akal sehatku berada hingga dengan bodohnya menerima pinangan Bang Herman, terlebih aku ini sudah bersuami.

Kami sengaja tidak memberitahu pihak keluarga kami tentang pernikahan kedua ini karena tentunya niat kami pasti di tolak dengan keras oleh mereka. Hanya Bang Muhlis saja yang dijadikan wali supaya pernikahan ini berjalan lancar di depan Pak penghulu. Itupun kami paksa supaya dia mau ikut dengan kami setelah diiming-imingi uang bayaran.

Sebelumnya aku sempat ragu untuk menikah dengan Bang Herman. Akan tetapi Bang Herman meyakinkanku jika ia hanya ingin membantu meringankan bebanku saja. Bahkan Bang Herman sudah mempersiapkan semua di kota dengan penghulu dan beberapa saksi di sana. Bang Herman bilang aku tak boleh memberitahu statusku yang masih bersuami terhadap pak penghulu dan para saksi. Aku menanyakannya tentang hal itu tapi Bang Herman hanya menjawab supaya pernikahan kami berjalan dengan lancar. Ia takut jika timbul perdebatan saat aku membongkar status pernikahanku.

Awal dari semua ini ialah saat aku yang intens berkirim pesan pada Bang Herman hingga kami saling curhat-curhatan tentang masalah kami. Intensitas pertemuan kami pun juga saling cerita dan berkeluh-kesah tentang hari-hari kami. Namun, aku tidak tahu jika pesan yang dikirim Bang Herman akan merambat ke hal-hal mesum. Bukannya menghindar tapi aku malah menanggapinya hingga membuat tubuhku merasa panas dingin akibat pembahasan kami itu.

Aku yang sudah ditinggal Bang Dana yang bekerja di Kalimantan hanya bisa menahan dan meratapi nasibku yang jauh dari suamiku. Ada yang bilang jika istri ataupun suami yang jarang mendapatkan nafkah batin dari pasangannya, akan mengalami pusing-pusing hingga stress. Entah itu benar adanya tapi aku mengalaminya selama jauh dari Bang Dana. Apalagi ditambah pekerjaan dan urusan ibu rumah tangga membuat kepalaku terasa ingin pecah dibuatnya.

Aku pun sempat menceritakan hal ini kepada Bang Herman ingin mencari tahu apakah dia ada solusi untuk menghadapi masalah yang kualami ini. Tentunya ia hanya memberi saran supaya aku rehat sejenak dan tak boleh memikirkan apapun. Akan tetapi itu tetap saja aku sering mengalami pusing dan stress yang berkepanjangan. Dan aku menceritakan itu semua pada Bang Herman. Namun, yang membuatku terkejut adalah ia mengajakku untuk menikah dengan tujuan hanya ingin memberikan nafkah batinnya padaku. Bang Herman tahu jika aku sudah lama tak mendapat nafkah batin dari Bang Dana. Maka hal itulah dia mengajakku untuk menikah.

Aku sempat menolak keras dan menganggap Bang Herman ini sudah gila. Bisa-bisanya dia mengajakku menikah disaat aku ini masih berstatus suami orang. Tunggu aku cerai dulu dengan Bang Dana baru aku bisa menikah dengan Bang Herman. Itu yang aku tahu jika istri ingin menikah lagi. Lagipula Bang Herman ini adalah suaminya Yani. Bisa perang dingin dengan Yani dan keluarganya jika aku menjadi istri keduanya Bang Herman. Apalagi apa kata tetangga jika aku menjadi istri kedua. Ibu-ibu disini 'kan mulutnya pada tajam-tajam.

Namun, entah kenapa gairahku ini semakin lama semakin mengalahkan akal sehatku hingga membuatku menerima ajakan Bang Herman untuk menikah. Ya benar, setelah aku memikirkan jangka panjang dan bujuk rayu terus-menerus dari Bang Herman, akhirnya aku terima pinangannya itu dan melakukan pernikahan kami secara sembunyi-sembunyi di kota. Seandainya jika Bang Dana tidak pergi jauh, aku tidak akan mengambil tindakan bodoh seperti ini hanya untuk memperoleh nafkah batin dari Bang Herman.

Sempat kepikiran untuk menyusul ke Kalimantan dan tinggal dengan suamiku di sana. Akan tetapi aku memikirkan ketiga anakku dan juga orangtuaku disini. Jika aku membawa anak-anak, aku perlu memerlukan tempat tinggal yang layak untuk mereka disana.

Tempat tinggal Bang Dana di sana hanya sebuah petak kos-kosan saja. Bang Dana hanya menyewa satu kamar untuk tempat dirinya tinggal. Jika aku pergi ke sana, bagaimana nasib ketiga anakku yang harus berhimpitan saat tidur. Belum lagi-lagi barang-barang keperluan mereka yang membuat kamar kos Bang Dana begitu sempit. Kasihan anak-anak dan suamiku jika harus berhimpitan saat tidur.

Lalu bagaimana dengan orangtuaku. Aku tak apa-apa meninggalkan mereka disini, tapi tetap saja membuatku tak tega meninggalkannya. Walaupun ada adikku laki-laki Risky yang berusia 16 tahun, tetap saja aku masih tak tenang meninggalkan kedua orangtuaku. Cukup kakakku saja yang perempuan meninggalkan mereka karena dia harus ikut dengan suaminya merantau bekerja, sedangkan anak-anaknya dititipkan disini pada ibu dan bapak.

Bisa saja aku ikut menitipkan anak-anakku pada ibu dan bapak sama seperti kakakku. Namun, bukankah itu sama saja menambah beban mereka? Aku tidak ingin membuat ibu dan bapak kerepotan mengurusi cucu-cucunya, sedangkan orangtuanya sibuk mencari nafkah di pulau seberang. Umur mereka sudah terlihat tua harus mengurus banyak cucu-cucunya, walaupun aku yakin mereka sanggup. Akan tetapi apa kata orang-orang jika aku juga ikut menitipkan anak-anak pada orangtuaku.

Maka dari itulah aku memutuskan untuk memilih akal nafsuku daripada akal sehatku. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus melampiaskan hasratku ini setelah ditinggal suami dan hanya Bang Hermanlah yang menawarkan bantuan untuk memberikan nafkah batinnya padaku. Urusan ketahuan atau hati, itu urusan belakangan. Yang terpenting aku dan Bang Herman bisa menikah secepatnya.

Saat sebelum waktu kami menikah pun, aku sempat mengutarakan keraguanku kepada Bang Herman, apakah pernikahan ini sah-sah saja? Apakah hukumnya boleh menikahkan wanita yang sudah bersuami? Namun, Bang Herman meyakinkan jika pernikahan ini bakalan sah-sah saja jika semua persiapan pernikahan sudah tersedia semuanya.

Aku yang tak tahu apa-apa hanya bisa mengikutinya saja tak bertanya lagi padanya. Aku hanya berdoa semoga jalan yang aku pilih ini tidak akan berimbas pada nasib burukku kedepannya.

...\=\=\=...

Pikiranku begitu tenang sekarang. Jiwaku begitu segar setelah aku menikah dengan Bang Herman. Kata Bang Herman, jika aku menginginkan nafkah batin lagi darinya, aku harus mengabarinya dan menentukan waktu yang pas agar kami bisa bebas melakukannya. Tentu saja ditempat yang aman saat melakukannya yaitu di rumahku pada malam hari saat anak-anak sudah terlelap.

Aku menjalani statusku yang mempunyai dua suami. Bang Dana yang menafkahiku secara lahir, sedangkan Bang Herman yang menafkahiku secara batin. Entah sampai kapan aku menjalani semuanya ini. Asal semuanya tidak terbongkar, semuanya akan baik-baik saja.

Namun, ada yang mengganjal di pikiranku tentang hal ini, yaitu bagaimana reaksi Bang Dana nanti jika aku sudah menikah lagi? Apakah Bang Dana juga sama sepertiku yang tak bisa menahan hasratnya? Apakah dia selingkuh disana?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!