Sherin Mumtaza.
Terasa denyut nyeri menjalar di dada, tatkala mendengar apa yang diucapkan suaminya.
Sekian detik Sherin menundukkan wajah, dan sekian detik pula wajah cantik itu kembali mendongak, lalu menyapu pandang pada Alarick disertai senyuman. Dan dengan tenangnya, ia mengatakan, "Ya, Mas. Aku paham."
"Aku paham atas apapun nanti yang kau pilih, dan aku menghargai, Mas. Setidaknya aku tau, bahwa kau sudah berusaha. Tapi memang ada hal-hal yang berada di luar batas kemampuan kita sebagai manusia."
Wanita itu sudah tiba pada titik pasrah, akan bagaimana nanti nasib rumah tangganya. Bukan karena sudah merasa lelah berusaha dan berdoa. Tapi karena sadar, bahwa ada sesuatu yang tak dapat digenggam, seberapa pun kuatnya kita berusaha untuk menggapai, jika memang tiada Takdir yang Tertulis dari Sang Maha Rahman.
Sherin juga menyadari sekarang. Lebih dari dua puluh tahun, Alarick merawat kenangan Kanaya dalam hidupnya--menjaga dan melestarikannya--mana mungkin Sherin yang hadir dalam dua tahun ini, mampu menghapus apalagi menggantikan.
Tidak apa-apa melepas sesuatu yang sudah kita genggam, jika memang tidak diperuntukkan. Yang perlu dilakukan sekarang adalah berusaha menerima dan mengiklashkan.
Alarick William.
Kanaya, adalah nama wanita masa lalu Alarick--menurut penilaian sebagian orang--tapi bagi laki-laki itu sendiri, Kanaya tidak berada di suatu masa di mana pun. Masa lalu atau masa depan. Karena nama wanita itu akan terus ada sampai kapan pun. Mungkin sampai Alarick tak lagi diberi kekuatan untuk dapat mengingatnya.
"Sebelum aku bercerita kepadamu tentang Kanaya, terlebih dahulu aku minta maaf, Sherin. Maaf jika pada akhirnya, aku tetap tak bisa menghapus nama Kanaya dari sini!" tunjuk Alarick ke dadanya sendiri.
Baginya, Kanaya adalah lantunan kata yang belum selesai ia baca, dan baris syair yang belum tuntas dipahami maknanya. Tapi segala hal tentang Kanaya sudah berubah menjadi kenangan saja. Karenanya, Alarick mempersembahkan waktu dalam setiap hari-harinya untuk merawat kenangan itu. Namun nyatanya, seberapa pun lamanya waktu, tetap tak pernah bisa merangkum semuanya.
Quinsha Daneen.
"Insya Allah, saya baik-baik saja. Justru saya tidak baik-baik saja, jika ..."
Gadis cantik itu memutus ucapannya begitu saja. Karena tersadar, kalau kalimat selanjutnya, tak pantas lagi diucapkan.
"Jika apa?" tanya Arfan
Quinsha menggeleng pelan.
"Bicarakan saja pada saya, jika itu tentang saya, beritau saya!" tuntut Arfan, yang kelihatannya teramat penasaran pada kalimat lanjutan dari Quinsha yang diputus begitu saja.
"Semua kata yang ingin saya sampaikan pada, Akhi, sudah terhapus semuanya. Sekarang yang ingin saya katakan hanya, Terima kasih untuk bantuannya," pungkas Quinsha dan segera memutar tumitnya untuk kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda.
Jangan tanyakan kenapa, jika ada air mata yang mengiringi di setiap langkah. Jangan tanyakan pula, jika ada rasa perih yang menghunjam di jiwa.
Di saat "ketidak mungkinan" menjadi jawaban, dan "berhenti berharap" menjadi keputusan, Alam seakan masih memberikan kesempatan.
Se-sakit ini rasanya mencintai sendirian. Se-sakit ini rasanya berusaha untuk melupakan rasa cinta yang sudah lama tertanam. Tak hanya cukup diceritakan dengan kata-kata dan air mata. Tapi Dunia, seakan masih mengajaknya bercanda.
Rafardhan Malik.
“Ada hal apa kamu menemui saya?” tanya Quinsha, begitu keduanya telah berada di luar kantor. Gadis itu memang mengajak Rafardhan berbicara di luar saja, supaya lebih leluasa.
“Ada satu hal yang membawa langkah kaki saya kemari,” sahut Rafardhan puitis. Dasar artis.
“Tujuannya?”
“Menemui kamu.”
“Untuk?”
“Sedang saya pikirkan.” Rafardhan melemparkan senyum, Quinsha cepat mengalihkan pandangan. Berdiri dekat dengan pemuda itu sungguh membuat spot jantung. Bukan hanya karena kawatir akan teriakan histeris para penggemarnya dari kalangan siswi Nada Hikam yang akan berakhir dengan Quinsha diinterogasi seperti beberapa waktu silam. Tapi juga karena senyumannya—yang kalau boleh jujur—sangat mematikan.
Kegelisahan Quinsha justru menjadi pemandangan unik tersendiri bagi Rafaradhan, hingga ia masih bermain kata sebelum menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuannya.
“Maaf, kemarin gak bisa datang,” ucap Rafardhan. Meski sangat ingin menikmati pemandangan itu lebih lanjut, tapi waktu yang diberikan Adam sudah hampir habis. Lelaki ganteng itu harus menepati janjinya untuk kembali ke lokasi tepat waktu. Kalau tidak, ceramah berdurasi sangat panjang akan diberikan sang manajer kepadanya.
“itu saja?” sambut Quinsha, tersirat ketakramahan di balik pertanyaannya.
Rafardhan tersenyum tipis—meski tipis tapi pesonanya selangit. “Pasti sangat tidak nyaman ya,” tebaknya.
“Lebih tidak nyaman lagi, apa yang saya dapatkan di sana,” tandas Quinsha.
“Saya tau.”
“Kamu tau, apa yang terjadi di kafe itu kemarin?” kini Quinsha menatap Rafardhan penuh tanya.
Pemuda tampan itu mengangguk. “Mau saya kasih tau, gimana caranya menghadapi pertanyaan seperti itu?” tawar Rafardhan.
“Apa?” tanya Quinsha singkat.
“Diiyakan saja!”
Quinsha tersenyum mencebik “Bukan kebiasaan saya, mengakui sesuatu yang tidak sebenarnya.”
“Oh begitu ya. Kalau begitu kita jadikan saja semua itu sebagai kebenaran yang sebenarnya.”
Astaga, pemuda tampan itu mengucapkan hal tersebut dengan sangat santai, wajah tampannya begitu tenang tanpa beban. Dan senyumnya itu, jika saja yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Lila atau Risma, pasti mereka sudah mengusap dada karena debaran jantung yang berpacu dua kali lipat dari biasanya.
Sayangnya, yang berdiri di depan Rafardhan adalah Quinsha. Gadis yang hanya terpesona pada senyuman dari Bayhaki Arfan saja—walau sebenarnya jantungnya berdetak juga melihat pesona senyum Rafardhan—tapi gadis itu enggan mengakuinya. Quinsha menanggapi ucapan Rafardhan singkat saja. “Jangan bercanda!”
“Saya tidak sedang bercanda,” sahut Rafardhan.
“Saya minta kamu menglarifikasi pemberitaan yang ada tentang kamu dan saya.” Dari pada menanggapi ucapan Rafardhan yang tak masuk akal—menurut Quinsha—gadis itu segera mengalihkan pembicaraan. “Itu tujuan saya meminta bertemu,” imbuhnya.
“Kita bicarakan hal itu lebih lanjut, sekarang saya harus pergi,” kilah Rafardhan yang segera menutupi kembali wajahnya dengan dengan masker.
“Apa maksudnya? Kamu tinggal mengiyakan saja, tak perlu ada pembicaraan lanjutan, karena hanya itu yang ingin saya sampaikan,” sembur Quinsha dengan tatapan tajam.
“Saya tidak ingin membicarakan itu sekarang,” tolak Rafardhan.
“Kenapa?”
“Agar saya punya alasan untuk bertemu denganmu, atau agar kamu punya alasan untuk meminta bertemu dengan saya,” sahut Rafardhan yang pasti dengan senyuman, hal itu terlihat dari garis di bawah sepasang matanya yang tertarik, karena bibir merahnya—yang entah itu warna merah alami atau karena pewarna—sudah tertutup masker sebagaimana awal datangnya.
******
Assalamu alaikum semuanya..
masih ingat padaku? Aku datang membawa cerita baru, tentang dua orang sahabatnya Aura Aneshka.
Masih ingat dengan Aura? tentu saja, Aura istrinya Aresh. Siapa lagi?
Semoga kalian suka ya dengan ceritanya.
Aura dan Aresh akan hadir juga di sini lho.
Nah untuk teman-teman yang belum baca kisah Aura dan Aresh, Di sarankan untuk baca dulu judul CINTAKU TERHALANG TAHTAMU. kemudian lanjut pada cerita ini.
TERNYATA, SAHABATKU MERTUAKU, ya, supaya lebih paham isi ceritanya.
Dah lah..
selamat membaca. Eh tentu saja jangan lupa selalu dukungannya ya..
salam penuh cinta.
NAJWA AINI.
Hari sudah merambah sore. Sudah pukul 16:30, pantas kalau ponselnya tidak berhenti berbunyi. Ada beberapa pesan masuk dari Sherin yang menanyakan keberadaannya. Karena ia memang sudah terlambat satu setengah jam dari jadwal yang dijanjikan.
Kalau saja, hatinya cukup kuat, perasaannya cukup tegar—ketika mendengar kabar Arfan bertunangan—Quinsha tak perlu menghabiskan waktu lebih satu jam, untuk terdiam tanpa kata, lalu menangis tanpa suara dan berakhir dengan malas beranjak seakan tubuh tanpa tenaga.
Langkahnya tergesa menuju tempat parkir. Sudah terbayang betapa kusutnya wajah sang sopir. Karena Ia juga menjadi korban kegalauan hati Quinsha Daneen. Harus menunggu berlama-lama di dalam, atau di samping mobil. Sedangkan sang anak majikan masih menepi dari keramaian dan menangis sendirian.
Meresahkan.
Terdengar suara gaduh, tapi, tidak hiraukan. Terlihat kilatan cahaya, juga tak ia pedulikan. Tatapannya tengah fokus pada pak Dimas, yang berdiri di samping mobilnya dengan wajah cemas. “Pak Dimas!” panggil Quinsha dalam jarak tak begitu dekat.
“Masya Allah, Neng.” pria baya itu terlihat begitu lega, melihat Quinsha yang dari tadi ditunggu, melangkah tergesa ke arahnya.
“Neng, kemana saja? Neng baik-baik saja ‘kan?”
“Iya, Pak. Alhamdulillah.”
Quinsha menampilkan senyum di bibirnya. Senyuman yang indah itu, ia harap akan mampu menghapus jejak-jejak air mata di wajahnya. “kita langsung pulang, Pak!” ajak Quinsha. Membuat pak Dimas menghentikan atensinya yang sedang menatap wajah cantik itu dengan seksama.
Bagaimana tidak, kulit putih bersih Quinsha tak dapat menyamarkan adanya warna merah di hidung, dan sembab di kedua matanya, sisa-sisa aliran deras beberapa waktu sebelumnya. Namun, ajakan Quinsha segera menyadarkan pak Dimas untuk segera membukakan pintu buat sang nona.
“Gak usah, Pak! Saya sendiri saja,” cegah Quinsha.
Pak Dimas mengangguk dan memilih segera masuk ke mobil, lalu duduk di tempat seharusnya, yaitu sebagai sopir. Quinsha pun bergegas membuka pintu, namun belum sampai tangannya meraih handle, tubuhnya terhempas dengan cepat menubruk body mobil karena sebuah dorongan dari seseorang yang entah disengaja atau tidak. “Argh! “ gadis itu mengerang tertahan.
Dari pada melihat siapa yang telah melakukan atraksi tak terduga, dan telah menjadikan dirinya sebagai korban di sana, Quinsha memilih mengusap kepalanya yang mendadak pening dan seakan berputar saja. Terasa ada satu tangan yang memegang tangannya dan membantunya berdiri tegak. Lalu ada satu tangan lagi yang mengusap kepalanya yang tertutup hijab. “Sorri, sorry maaf, maaf saya gak sengaja.” Suara seorang laki-laki dengan napas memburu seakan tengah dikejar sesuatu.
Quinsha segera membuka mata, dan sepasang netra itu hampir membulat sempurna, tatkala melihat seraut wajah tampan berada sangat dekat dengan wajahnya. Quinsha cepat menepikan tubuh untuk menjauh. Dan sepasang matanya terpejam rapat, tatkala kilatan cahaya beberapa kali berkelebat.
“masuk mobil!” perintah laki-laki itu dengan suara datar, tapi di wajahnya terselip sebuah senyuman yang mengarah pada Quinsha.
“Hah?” Quinsha terlonjak heran dengan satu perintah yang menurutnya aneh itu. Aneh karena tidak terdapat kesesuaian. Wajah lelaki itu menampilkan senyuman lembut tapi tatapan matanya mengintimidasi Quinsha agar mematuhi perintahnya.
“Masuk ke mobil, sekarang!” laki-laki itu mengulang perintahnya dengan menambah penekanan kata.
“Apa maksudnya?” Quinsha tentu saja heran. Merasa tak kenal dengan laki-laki yang pasti sudah menubruknya dan membuat kepalanya berkelana dan berkeliling. Bukannya meminta maaf, lelaki muda itu malah memberinya perintah. Apa mungkin Quinsha sedang berusaha di culik sekarang?
“Selamatkan dirimu! Masuk mobil sekarang!” lelaki itu kembali memberi perintah dengan nada bicara lebih garang. Tapi sungguh berbeda dengan ekspresi wajah yang ditampilkan. Di wajah itu malah tetap memperlihatkan senyuman. Apa lelaki ini sedang bermain seni peran? Lalu kenapa melibatkan Quinsha Daneen tanpa pemberitahuan?
Kembali kilatan cahaya menerpa keduanya. Lelaki itu berdecak kesal, karena sikap wanita di depannya yang sama sekali tak menunjukkan kepahaman. Ia segera membuka pintu mobil, dan menarik tangan Quinsha dengan setengah memaksa, membawa wanita itu masuk ke mobilnya.
“Ada apa, Neng? Dia siapa?” tanya pak Dimas dari depan dengan mimik heran, melihat Quinsha masuk mobil tak sendirian, tapi ada seorang pemuda ganteng bersamanya, duduk di samping Quinsha dan menutup pintu mobil dengan cepat.
“Jalankan mobilnya, Pak!” Pemuda tampan itu memberi titah pada Pak Dimas yang masih melongo keheranan. “saya temannya dia!” Tuturnya lagi dengan memberi isyarat mata pada Quinsha. Wanita itu sendiri tak hiraukan ucapan si pemuda. Ia sedang menatap keluar jendela mobilnya. Di sana terlihat beberapa orang yang coba mendekati mobil yang di naikinya tersebut dengan membawa kamera.
Kamera? Dan Quinsha baru sadar, kalau kilatan cahaya berkelebat dari tadi yang menimpa dirinya itu adalah jepretan kamera. Bukan fenomena alam seperti yang dipikirkannya. Mereka adalah para pemburu warta. Lalu siapa yang sedang mereka kejar untuk didapatkan beritanya? Apakah pemuda di sampingnya sekarang? Siapakah dia, kenapa dia dikejar-kejar oleh wartawan? Apakah dia seorang buronan?
Pikiran yang berkonotasi negatif itu langsung mendominasi kepala Quinsha. Ini mungkin akibat pening yang masih terasa di sana. Sehingga mengesampingkan sikap untuk tak mudah berburuk sangka pada orang lain. Quinsha juga tak sempat berpikir, kalau yang biasa mengejar-ngejar buronan itu bukan para wartawan, tapi petugas kepolisian.
Sepasang mata Quinsha kini mengamati wajah laki-laki yang duduk tak jauh di sampingnya. Wajah itu sangat tampan menawan. Setiap guratan di sana begitu sempurna bak pahatan patung dewa. Kulitnya yang putih bersih sangat terlihat terawat dan terjaga. Dan wajah tampan ini, terasa sangat familier sekali. Tapi ingatan Quinsha menolak untuk mencari, karena pertanyaan pak Dimas yang menginterupsi.
“Kita akan kemana, Neng?” mobil telah cukup jauh meninggalkan halaman pusat perbelanjaan di mana huru-hara itu terjadi. Pak Dimas bukannya tak tahu, kalau tugasnya adalah membawa sang nona pulang kembali. Tapi karena sekarang Quinsha tak sendiri, membuat Pak Dimas merasa harus menanyakannya lagi.
“Ke Hotel Aston, Pak.” Yang menjawab adalah pemuda tampan itu, dan bukan Quinsha, membuat pak Dimas menoleh sesaat dan menatap sang nona.
“Yang bisa memberi perintah di sini, itu saya,” ujar Quinsha dengan tegas. Tatapannya tajam mengarah pada lawan bicaranya. Rasa tidak suka tergambar jelas dari sana.
“Saya tau,” jawab singkat pemuda tampan itu sambil menatap jam tangannya. Sebuah jam tangan merek ternama melingkar apik di sana. “saya akan ganti rugi semuanya,” ucapnya lagi.
“Maksudnya?”
“Saya akan bayar.”
“Ini bukan taksi.”
Pemuda itu mengangguk. Sepertinya ia berada dalam posisi malas berdebat. Kini ia meraih gawai dari saku bajunya. Sebuah IPhone canggih keluaran terbaru. “saya akan bayar lebih dari hanya sekedar ongkos taksi,” ujarnya seraya jemarinya lincah menari di atas layar iPhone yang canggih.
“Termasuk waktu saya, Anda bisa menggantinya?”
Laki-laki itu menoleh sekejap, menarik napas siap memberi jawab. Tapi sayangnya Quinsha tak memiliki kesempatan untuk mendengarkan jawabannya. Karena ponsel canggih lelaki itu memperdengarkan suaranya.
“Raf, kamu di mana?” pertanyaan seorang pria dari seberang sana, yang cukup di dengar juga oleh Quinsha. Itu suara Mas Adam, orang pertama yang pasti akan mencari pemuda itu, bila tahu ia tak ada. Dan sekaligus orang pertama yang ingin dihindari, tiap kali ia ingin mendapatkan privasinya.
“Di jalan,” sahut lelaki itu sambil menghembus napasnya pelan.
“Jalan mana?”
“Gue gak tau juga ini jalan apa, Mas.”
“Dari mana saja, bersama siapa kamu? Kenapa keluar tidak pamit padaku?” pertanyaan bernada kesal dan gemas di saat yang bersamaan terlontar dari Mas Adam. Sudah bukan hal baru kalau ia bertanya dengan model menginterogasi seperti ini. Dibandingkan menjadi seorang manajer artis, Mas Adam sepertinya lebih cocok menjadi anggota badan inteligen saja. Karena setiap pertanyaannya yang tak selesai sebelum sampai pada akar-akarnya. Dan tak berhenti sebelum mendapatkan semua jawabannya.
“Gak cukup, dengan tau gue baik-baik saja, Mas?” lelaki itu sepertinya masih dalam mode malas meladeni pertanyaan Mas Adam.
“Oke. Gue jemput lu. Di jalan mana?”
“Gak usah. Bentar juga nyampek.” Dan ia segera memutus teleponnya dengan cepat. Lalu menoleh pada gadis cantik berhijab di sebelahnya. “Mau ganti rugi dengan cara apa? Sebutin saja! Saya penuhin,” ujarnya. Menyambung ucapan yang sempat terputus barusan.
Quinsha memutar bola matanya malas. 'Sombong sekali orang ini' Pikirnya. Tapi mendapatkan tantangan seperti ini, bukan Quinsha namanya kalau tidak meladeni. “Balikin waktu saya yang sudah terbuang, karena harus mengantar kamu.”
Laki-laki tampan itu terdiam. Memang tak ada keterkejutan di wajahnya, tapi Quinsha tahu, kalau permintaan itu adalah satu hal yang tak diduganya. Pandai sekali ia menyembunyikan keterkejutan. Lelaki itu pasti lihai bermain ekspresi, mungkin ia tipikal orang yang ikut kursus kepribadian. Atau, hal seperti ini memang adalah bagian dari lakon yang memang harus selalu ia perankan.
Diam-diam, Quinsha bersorak dalam hati. Hampir saja kalimat bernada cibiran akan ia keluarkan. Tapi ucapan laki-laki itu membuat niatnya diurungkan.
“Oke.” Satu kata saja yang ia ucapkan dan kini giliran Quinsha yang terdiam.
Berani juga orang ini, bagaimana bisa ia mengembalikan waktu yang sudah terlewati.
“Caranya?” Quinsha tak dapat menahan dirinya untuk tak bertanya.
“Kita lihat saja, nanti.” Ia memberikan jawaban santai dan penuh percaya diri.
Mobil mulai menapaki area parkir hotel Aston, tepat seperti apa yang diminta oleh lelaki itu. Lelaki sangat tampan yang menjadi penumpang dadakan, dan membuat mobil pribadi ayah Quinsha beralih fungsi jadi mobil angkutan.
Sekitar dua puluh menit—sejak keduanya mengakhiri percakapan—Quinsha senantiasa mengarahkan pandangan ke samping, dengan kekesalan yang masih tersimpan. Tapi mau bagaimana lagi, membantu orang yang membutuhkan adalah bagian dari tuntunan. Walaupun pria yang duduk di sampingnya saat ini, sangat tidak layak untuk di golongkan pada jajaran orang-orang yang patut menerima bantuan.
“Terima kasih, Pak.” Pemuda tampan itu berkata pada Pak Dimas ketika mobil telah berhenti. Pak Dimas hanya mengangguk canggung. Setelah mendapat respon demikian, pamuda itu kemudian menoleh pada Quinsha. “mbak ... ee maaf.” ia meralat panggilannya dengan cepat. “ukhti berhijab,” ucapnya. Sepertinya panggilan ini yang ia anggap pantas untuk disematkan pada Quinsha.
Dan benar saja, karena sebutan demikian, Quinsha menggiring kepala dari arah pandangannya semula. Mata indahnya menatap laki-laki —yang ia pastikan kalau lebih muda darinya itu--namun, tak ada kata yang terucap dari Quinsha.
“Ini kartu nama saya!” pemuda itu memberikan sebuah kartu nama yang diterima oleh Quinsha dengan begitu saja, tanpa melihat apalagi membacanya.
“Hubungi saya! Bila kamu sudah menemukan cara apa yang pantas untuk saya mengganti rugi waktumu yang terbuang, karena masih mengantar saya.” Tanpa membiarkan Quinsha menjawab apa yang dikatakannya, lelaki itu segera turun dari mobil sambil menutupi wajah dengan masker dan berjalan menunduk memasuki lobi hotel. Terlihat seorang pria berbadan tinggi besar dengan perut yang sedikit maju ke depan, tergopoh menyambutnya dari kejauhan.
“Jalan Pak!” titah Quinsha pada pak Dimas yang juga masih memperhatikan pemuda itu sebagaimana dirinya. Satu keinginannya sekarang, adalah cepat sampai di tempat tujuan. Karena tak ingin membuat ibunya cemas, sebab sampai saat ini ia belum pulang. Belum lagi janjinya pada Sherin yang sepertinya tak bisa lagi dilaksanakan.
“Dia temannya, ya Neng?” tanya pak Dimas dari depan. Quinsha tak segera menjawab, dalam dirinya masih sibuk menimbang-nimbang, apakah akan jujur atau mengalihkan pembicaraan.
Sebagaimana muslimah berhijab yang lain, Quinsha dikenal oleh pak Dimas sebagai wanita yang hampir tak mempunyai teman pria—terkecuali sama-sama pengajar di yayasan—bila kini Quinsha mengakui kalau lelaki itu adalah temannya, pak Dimas pasti tak akan selesai dengan satu pertanyaan. Apalagi bila hal ini sampai pada ibunya, bisa dipastikan kalau Quinsha akan didudukkan di kursi sudut ruangan dan sesi interogasi dimulai.
“Iya, Pak,” jawab Quisha singkat. Dan sesaat kemudian ia menyesali jawabannya sendiri yang malah tak sesuai dengan apa yang direncanakan.
“Siapa namanya, Neng?”
Nah, benar seperti dugaan Quinsha, Pak Dimas tidak selesai hanya dengan satu pertanyaan saja. Lagi-lagi Quinsha tak segera menjawab, karena memang tidak tahu siapa nama lelaki muda yang sangat tampan tersebut. Tapi saat itulah ia teringat sesuatu. Kartu nama yang masih ada dalam genggaman tangannya.
“Rafardhan Malik.” Quinsha menyebut satu nama yang tertera di sana.
“Namanya bagus sekali,” puji pak Dimas. Sementara di belakang, Quinsha malah bergumam. “Rafardhan Malik.” Ingatannya seperti mulai berfungsi sekarang, tatkala menyebut satu nama itu dan mengingat penampakan pemuda tampan yang lebih dari 30 menit duduk tak jauh di sampingnya.
Rafardhan Malik, adalah artis muda yang sangat terkenal. Ia memulai debut kariernya sebagai model, dan lalu merambah pada dunia seni peran. Namanya di ranah selebritas terhitung cepat menanjak karena memang didukung penampakannya yang rupawan dan aktingnya yang sangat mumpuni dan natural.
Belakangan ini namanya kian melambung saat menjadi tokoh utama dalam sebuah web series yang diadopsi dari sebuah novel Best seller—karya seorang novelis kenamaan negeri ini—yang sedang tayang sekarang. Perannya sebagai tokoh utama, putra pemilik pesantren, kian mendongkrak namanya dengan citra yang sangat baik di mata publik dan terutama para penggemar.
Pantas ia tadi dikejar-kejar oleh wartawan, banyak jepretan kamera yang diarahkan padanya, dan bukan tak mungkin kalau Quinsha juga terekam kamera para pemburu warta itu.
Quinsha menepuk jidatnya sendiri, tatkala baru menyadari itu semua, di saat sosok Rafardhan sudah keluar dari mobilnya. 'Ini pasti karena di kepalaku hanya ada Arfan saja' Batin Quinsha seiring helaan napasnya. 'Tapi kalaupun aku tau dari tadi, kalau dia artis, aku mau apa? Mau minta tanda tangan? Enggak' Quinsha jadi menggeleng sendiri dan memutuskan untuk tak lagi memikirkan hal itu, seraya menyimpan kartu nama Rafardhan itu dalam tas nya.
Sudah lewat jam sebelas, sepasang matanya masih enggan terpejam. Hadap kiri, hadap kanan sudah dilakoninya lebih dari setengah jam. Tapi satu kata sederhana yang ingin diraihnya sekarang yaitu ‘tidur’ belum bisa ia dapatkan. Lelah dengan posisinya yang tak jua memberikan rasa nyaman, Quinsha segera duduk menyandar di kepala ranjang.
'Untuk apa? untuk apa memikirkan seseorang yang bukan untukmu? Untuk apa?' Tangan Quinsha menunjuk-nunjuk jidatnya sendiri dengan raut wajah kesal. Sesaat kemudian ia meraih ponsel di atas nakas dan menggulir tombol hijau. Memeriksa pesan di grup WA yang hanya beranggotakan tiga orang. Quinsha Daneen, sherin mumtaza, dan Aura Aneshka. Tiga serangkai alumnus pesantren Darul-Falah yang kini sudah menjalani kehidupannya masing-masing.
Selamat tidur, adik-adik cantikku, semoga malam-mu berkah, dan mimpimu indah, seindah harapan yang dirangkum dalam doa. Amiin.
Itu kalimat pesan dari Sherin—yang usianya memang di atas Quinsha dan Aura— walaupun hanya selisih hitungan bulan saja. Pesan yang dikirim dari setengah jam lalu itu belum mendapat tanggapan. Quinsha segera mengetikkan kalimat balasan.
Quinsha:
Belum tidur, Nyonya?
Tak sampai dua menit terlihat Sherin membalas pesan.
Sherin:
Belum. Kau sendiri kenapa jam segini masih terjaga?
Quinsha:
Lagi musuhan.
Sherin:
Sama?
Quinsha:
Rasa kantuk.
Sherin:
Awas saja, kalau aku ketemu dia besok. Akan aku buat perhitungan.
Quinsha:
Siapa?
Sherin:
Yang telah membuatmu bermusuhan dengan rasa kantuk.
Quinsha:
Aku gak tau harus bilang apa.
Sherin:
Sabar ya, Allah tak menjawab doamu untuk hal ini. Tapi Allah pasti akan menjawab dengan hal yang lainnya. Yang pasti itu lebih indah dan lebih baik untukmu.
Quinsha:
Amin, makasih ya. Aku jadi ingin nangis.
Kata siapa, cinta dalam diam itu selalu berakhir dengan dimenangkan. Kata siapa, menikung namanya di sepertiga malam yang akhir itu, akan mengantarkan pada didapatkannya label halal. Itu pasti suara hati Quinsha Daneen, sekarang.
Berapa lama waktu yang telah ia lewatkan dengan hanya setia pada satu nama, tanpa berani mengungkapkan, tanpa berani memperlihatkan. Nyatanya, ia kalah pada ketentuan yang sudah digariskan Tuhan. Akhirnya, Satu nama yang telah ditulis di Lauh Mahfudz-lah, yang tampil sebagai pemenang.
Bukan hanya hitungan bulan, Quinsha memendam cinta dalam diam pada seorang Bayhaqi Arfan. Sesama alumnus Darul-Falah yang sekarang juga menjadi pengajar di yayasan Nada Hikam—tempat Quinsha mengajar. Sekian lama ia pendam rasa yang hanya diutarakan dalam Doa. Dia menolak banyak nama, karena telah terpaut pada satu nama. Hingga pun kedua sahabatnya sama-sama telah membina rumah tangga, Quinsha masih setia dengan kesendiriannya dan kesetiaannya pada satu nama.
Dan kini doanya terjawab tapi dengan cara yang berbeda. Bayhaqi Arfan telah memilih seseorang untuk sehidup se-Syurga dalam Keridhoan-Nya. Quinsha tak hanya merasakan kecewa, tapi juga patah di dasar jiwa.
Sherin:
Kamu pasti kuat. Kamu pasti bisa.
Quinsha:
Insya Allah.
Setiap doa pasti diijabah. Itu janji Allah. Tapi dengan cara apa Allah menjawab Doa itu, semuanya, adalah keputusan Allah. Dan seperti inilah cara Allah menjawab Doa dari Quinsha. Pasti, karena Arfan bukan lelaki yang tertulis untuk menjadi imam seorang Quinsha Daneen. Bukan lelaki terbaik yang ditentukan untuknya. Dalam lubuk hati Quinsha, ia sangat menyadari hal tersebut.
Namun memang, tak serta merta tangisannya langsung berubah jadi senyum apalagi tawa. Rasa kecewanya pun tak segera tersulap jadi bahagia. Ia masih membutuhkan fase untuk dilalui menuju pada kesadaran dan keikhlasan diri. Dan terkadang fase tersebut berupa tanjakan curam dan tikungan tajam, yang tak hanya dibutuhkan tetesan keringat, tapi juga darah dan air mata.
Quinsha:
Tidurlah Nyonya! Sudah malam.
Sherin:
Tidurlah duluan! Aku sedang menunggu tuan.
QUinsha:
Jam segini, dia belum datang? Kebiasaan.
Dan Sherin hanya mengetikkan emoji tersenyum saja menanggapi kalimat Quinsha.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!