"Hana! Dasi yang kemarin aku beli di mana kamu menyimpannya?"
"Ada di laci! Dekat dasi warna navy garis coklat!"
Sembari menggerutu lelaki yang bernama Bagas itu mengacak-acak isi laci, karena di matanya semua dasi itu sama dan dasi yang dia inginkan tak kunjung dia temukan.
"Hana! Tolong bantu aku! Aku akan terlambat jika begini!" teriaknya lagi.
Tak lama wanita yang dari tadi dia panggil dengan nama Hana pun mendekat. Dia adalah seorang wanita berpostur tubuh gempal dengan rambut yang diikat cepol.
Bergegas didekatinya sang suami yang masih mengacak-acak isi laci. Kendatipun agak terkejut melihat keadaan kamar yang sudah berantakan, Hana tetap mengulas senyuman, lantas mendekati Bagas yang masih mencari keberadaan dasinya.
"Mana dasinya, Hana? Aku sudah terlambat," gurutu Bagas lagi. Wajahnya yang tampan dan memesona terlihat cemberut. Melihat itu Hana hanya mengukir senyum sambil mendekat ke arah sang suami.
Hanya dengan satu gerakan tangan saja, dasi yang Bagas inginkan sudah ada di depan mata.
"Ini kan dasinya?" tanya Hana, Hana Prameswari nama lengkapnya, wanita berusia dua puluh enam tahun itu tersenyum sembari menyodorkan benda yang dicari-cari oleh sang suami.
Sayangnya, alih-alih mengucapkan terima kasih Bagas justru memberinya dengkusan, lantas mengambil dengan cepat dan berdiri di depan cermin.
Dari cermin itu dia bisa melihat sang istri yang sudah menemaninya empat tahun belakangan ini membereskan semua kekacauan yang sudah dia perbuat. Melihat itu bukannya mengucapkan terima kasih, Bagas justru menunjuk dan mengatakan bahwa di bawah ranjang ada satu dasi yang teronggok di sana. Dia mengatakannya juga dengan nada ketus, seolah Hana adalah seorang pembantu yang tidak perlu dia jaga perasaannya.
"Mau aku bantu?" tawar Hana ketika selesai memunguti dasi yang berceceran. Tak lupa sebuah senyum manis dia ukir untuk sang suami tercinta. Lagi-lagi niat baiknya tak disambut baik. Bagas malah memberinya pelototan tajam.
"Tidak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri. Lagi pula aku sudah telat dan itu gara-gara kamu. Memangnya kamu dari mana? Kenapa lama sekali?' Bagas berkata sembari mencari jas, setelahnya memasangkan ke badannya yang proporsional. Dada bidang, bahu tegap dan otot yang menonjol.
"Aku sedang memasak di dapur," balas Hana.
"Kamu itu apa tidak bisa bekerja lebih cepat?Yang kamu lakukan hanya masak, makan dan masak lagi. Apa tidak bisa melakukan pekerjaan lain?"
"Seperti apa?" balas Hana sekenanya. "Bukankah kamu sendiri yang meminta aku berhenti dari pekerjaan dan menjadi istrimu. Kamu sendiri yang meminta aku hanya mengurusi kebutuhanmu. Dan makan bukankah suatu keharusan?" lanjut Hana dengan nada tetap terdengar lembut dan bercanda.
Akan tetapi tidak bagi Bagas. Dia mendengar semacam ada ketidakrelaan di sana. Karena kesal, pria itu pun berbalik.
"Jadi kamu tidak ikhlas keluar dari pekerjaanmu dan menjadi istriku, begitu?" ketusnya.
"Bukan begitu, Mas. Aku mencintaimu. Tentu saja aku ikhlas mengurusmu, hanya saja ...."
"Sudahlah," pungkas Bagas tanpa peduli hati istrinya. "Jangan banyak alasan. Ambilkan sepatu!"
Lagi, Hana melakukan apa yang diperintahkan sang suami. Dia menuju rak dan setelahnya berjongkok memasangkan sepatu untuk Bagas. Sementara itu, Bagas sibuk bermain dengan gawainya saja.
"Mas, tadi aku mendapat telepon dari Ayah. Katanya dia akan melamar Tante Tantri. Kamu sediakan waktu, ya. Acaranya minggu depan," tutur Hana.
Bagas spontan menghentikan kegiatannya menatap layar ponsel. Dia melihat istrinya yang berjongkok sedang mendongak. Melihat penampakan Hana dengan posisi sangat dekat membuatnya semakin muak. Wajah istrinya sudah membulat bak bakpao. Juga, ada beberapa jerawat yang tumbuh di dekat hidung dan dagu.
Bagas menghela napas. Dia membuang muka lalu mengepal tangannya. Tak pernah terbayangkan olehnya kalau perubahan Hana sangat drastis.
Dulu, Hana memiliki tubuh langsing, semampai dan kulit putih bersih. Senyum Hana menawan yang selalu saja membuat hatinya berdesir hangat. Karena itulah dia jatuh cinta dan meminang Hana yang kala itu bekerja di bidang perbankkan.
Tak menyangka hanya dalam waktu empat tahun pernikahan mereka, Hana sudah bertransformasi menjadi badak. Kenyataan itu membuatnya kesal, rasa cintanya perlahan terkikis dari hari ke hari.
"Baiklah, aku akan menyiapkan waktu. Tapi Hana, bisa tidak kamu diet? Kuruskan sedikit badanmu," ucap Bagas. Agak lembut kali ini.
"Memangnya kenapa dengan badanku?" balas. Hana, dia yang sudah selesai mengikat tali sepatu pun berdiri, setelah itu merentangkan tangan. Wanita yang masih memakai daster itu berputar satu kali, kebetulan di sampingnya adalah cermin yang digunakan Bagas untuk melihat penampilannya tadi.
"Aku rasa tidak ada masalah dengan tubuhku. Bukankah kata orang berisi setelah menikah itu menandakan kalau hidupnya bahagia?" seloroh Hana disusul kedipan mata genit.
Bagas yang melihat itu berdecak saja. "Jangan mengada-ada! Orang gemuk itu identik dengan penyakit dan aku tidak ingin kamu terkena penyakit."
Sebenarnya itu hanyalah kebohongan. Sebenarnya Bagas malu. Ia malu memiliki istri gendut seperti Hana. Malu membayangkan cibiran rekan kantornya yang mengatakan istrinya itu seperti seekor badak. Tentulah dia tidak mau jika hal itu sampai terjadi. Bukankah yang menikah dengan badak adalah sejenis badak juga.
"Aku bahagia dengan bentuk badanku sekarang. Jadi apa ada yang salah? Pernah dengar pepatah tidak, jadikan makan itu obat dan jangan jadikan obat itu makanan. Makanya aku senang makan. Makan memberi kesehatan," seloroh Hana lagi.
Bagas berdecak, dia berdiri di belakang Hana yang masih mematut diri sambil tersenyum di depan cermin. Sumpah, dia gemas dengan istrinya. Ditegur bukannya mengintrospeksi diri malah cengengesan bangga.
"Kenapa menatap begitu? Apa aku terlihat cantik?" oceh Hana lagi.
Bagas serasa ingin muntah. Dia kesal, tingkat kepercayaan diri istrinya itu sepertinya sudah terlalu tinggi, mendarah daging dan tidak bisa diobati.
"Apa karena dulu dia cantik, dan sekarang beranggapan kalau dirinya itu masih cantik dan seksi?" batin Bagas, setelannya menggeleng pelan.
"Sudahlah. Aku berangkat," kata Bagas lalu pergi sambil menenteng tas kerjanya menuju pintu.
"Lah, tidak sarapan dulu?" Hana mengekor di belakang.
"Tidak perlu. Aku ada pertemuan penting," balas Bagas.
Namun, tiba-tiba lelaki itu membalik badan. Dia tatap istrinya yang masih saja tersenyum bahagia.
"Bulan depan akan ada acara malam keakraban di kantor, aku harap kamu bisa mengurangi sedikit berat badanmu."
Namun, bukannya mengiakan Hana justru tersenyum makin lebar, setelahnya melambai tangan melepas kepergian suaminya.
Begitulah kegiatan Hana setiap pagi, dia bangun untuk melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Memasak meski kadang sang suami juga tidak mau sarapan. Hana sempat berpikir mungkinkah karena belum adanya anak di antara mereka membuat Bagas sedikit berubah, tapi dia memilih untuk mengesampingkan pikiran itu. Hana lebih berpikir karena mungkin suaminya sibuk, Bagas baru saja naik jabatan, dan sebagai pria baik yang bertanggungjawab Bagas pasti ingin melakukan yang terbaik untuk perusahaan, jadi Hana memilih mendukung sang suami dan membiarkan Bagas bertindak senyamannya.
_
_
_
...HALO 🥰 this is NaMa...
...Terima kasih buat yang udah mampir dan klik novel ini....
...Untuk pembaca baru terima kasih udah mau add favorite 😍...
...Untuk MAHAHIYA yang nggak mau lulus² kuliahnya 🤭 Terima kasih selalu dukung Na...
...FYI novel ini kemarin ikut lomba WANITA MANDIRI tapi belum berkesempatan menang....
...baca juga novel Na lainnya, yang akan membuat kalian membengek sampai nirwana #elah....
...cari aja di profil Na : BUKAN KONTRAK PERNIKAHAN dan PERNIKAHAN SIMBIOSIS...
(Kalau nggak ngakak dijamin uang nggak kembali)
...LOL...
...Aku sayang kalian ...
...love you to the moon and never back...
Satu Minggu kemudian, acara lamaranan ayah Hana dan wanita yang dikenalnya beberapa bulan belakang ini pun selesai digelar. Sepasang sejoli yang sudah lanjut usia itu telah usai bertukar cincin. Sekarang saatnya mereka menikmati pesta perayaan di kediaman Arman yang tak lain tak bukan adalah Ayah Hana. Di sana, di rumah dua lantai itu beberapa tamu sudah hadir. Mereka mengucapkan selamat pada Arman dan Tantri yang menurut rencana akan melangsungkan pernikahan bulan depan.
"Ayah, apa Ayah sebahagia itu?" oceh Hana. Dia yang memakai gaun besar tersenyum jail pada sang ayah yang sedari tadi memperhatikan Tantri. Calon ibu tirinya itu memang tampak cantik dan bersahaja ketika menyapa para tamu undangan.
"Tentu saja, Hana. Ayah bahagia bisa mendapatkan cinta di umur senja. Bertemu dengannya itu anugerah. Ayah yakin, setelah menikah nanti hidup ayah akan lebih berwarna," balas Arman disertai kekehan kecil.
Begitupun Hana, raut bahagia terpancar dari wajahnya. Melihat sang ayah tertawa, menyisakan bahagia juga di hatinya. Sang ayah yang dia punya kini akan menjemput bahagia. Sebagai anak tentulah dia cukup mengaminkan dan merestui. Lagi pula baginya, Tantri itu sosok ibu tiri yang baik. Dia sudah beberapa kali bertemu dan cocok dengannya. Tantri terlihat supel, tidak kaku dan ya, dia yakin pasti bisa mewarnai hari tua sang ayah yang sudah lama menduda.
"Oh iya Ayah, bukankah kata Ayah Bunga akan datang malam ini?" tanya Hana. Matanya yang cantik melihat sekitar. Dia belum pernah bertemu Bunga, Bunga Tantria nama lengkapnya. Bunga adalah anak Tantri dari suami terdahulu. Usianya lebih muda dua tahun dari Hana.
"Mungkin sebentar lagi," sahut Arman.
Hana pun manggut-manggut, dia menyesap lagi air soda dalam gelas lalu melihat sekitar. Tampak sang suami mendekat dengan wajah agak ditekuk. Namun, ketika berhadapan dengan mertua, senyum pun segera Bagas ukir di wajahnya.
"Bagaimana pestanya, Gas?" tanya Arman.
"Luar biasa. Aku menikmatinya," balas Bagas yang sebenarnya adalah dusta. Bagaimana mungkin dia bisa menikmati pesta yang kebanyakan tamu undangannya adalah lansia. Dekorasi, musik dan lain-lain juga membosankan menurut Bagas. Tema zaman dulu tak cocok dengannya.
"Ayah dan calon ibu tiri Hana yang meminta konsep ini. Bagus kan? Kami merasa kembali muda," oceh Arman lagi. Lelaki berusia lima puluh lima tahun itu semakin terlihat bahagia ketika mendapati sang bidadari mendekat sembari tersenyum ramah.
"Yah, jaga ekspresi. Masih sebulan lagi," sindir Hana yang seketika dibalas dengan tawa. Semuanya tampak bahagia kecuali Bagas. dia bosan dan ingin segera pulang.
Namun sorot mata bosan Bagas sirna ketika melihat seorang gadis masuk dengan langkah gemulai. Langkah yang entah kenapa membuatnya sedikit terkesima dengan jantung yang yang tak berdetak normal seperti semula.
"Bunga!" Tantri langsung mendekat, setelahnya menghamburkan diri ke tubuh seorang gadis muda cantik berambut lurus sepunggung itu. Gadis muda itu terlihat sangat cantik dengan senyum merekah. Keduanya pun berjalan mendekat ke arah Arman, Hana dan juga Bagas.
"Perkenalkan ini Bunga. Anak yang sering aku ceritakan ke kamu." Senyum Tantri merekah lebar yang dibalas Arman dengan anggukan. Lelaki itu pun memeluk hangat sang calon anak tiri.
"Selamat datang, Bunga. Semoga betah di sini. Ini rumah kamu juga," tutur Arman. Dia menyanggupi permintaan Tantri yang menginginkan Bunga tinggal bersama mereka setelah menikah nanti.
"Iya, Om. Terima kasih banyak," balas Bunga. wajahnya yang memang ayu ketika tersenyum memancarkan aura tersendiri.
"Ini, kenalkan anak saya namanya Hana dan itu suaminya Bagas," tutur Arman yang dibalas Bunga, Hana dan Bagas dengan senyuman. Mereka saling bersalaman. Hanya saja ada yang aneh di sini, beberapa kali Bunga kedapatan melirik Bagas.
"Bunga, apa suamiku terlihat mirip aktor?" seloroh Hana yang tak sengaja melihat gelagat aneh Bunga.
"Iya Kak. Suami kakak tampan seperti aktor," balas Bunga yang membuat Bagas kembali merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Sudah lama dia tidak dipuji wanita secantik itu.
***
Dua bulan setelah acara lamaran ayahnya dan Tantri. Hana merasa ada yang aneh dengan gelagat Bagas. Suaminya itu memang cuek, hanya saja semakin kesini semakin mencurigakan. Bagas jarang pulang, jika ditelepon jarang diangkat, dan juga jika ditanya akan menjawab dengan nada sedikit ketus.
Akan tetapi karena rasa cintanya pada Bagas, Hana pun mengesampingkan kecurigaan itu dan masih menjalani perannya sebagai istri yang baik dan penurut. Dia melakukan semuanya dengan hati gembira.
Namun, kebahagiaan itu sirna ketika mendapati ada yang mengganjal. Pagi itu dia menatap sedikit tak percaya kemeja kerja Bagas. Ada yang aneh menurut Hana.
Tak ingin berspekulasi, Hana pun segera menghampiri sang suami yang sedang membaca koran di teras rumah, kebetulan hari ini adalah hari Minggu dan sang suami baru saja bangun tidur.
"Sayang, kemeja kamu kenapa?" tanya Hana sembari mendekat. Dia menenteng kemeja di tangan dan memperlihatkannya ke sang suami.
"Memangnya ada apa dengan kemeja itu?" tanya Bagas balik. Air mukanya sedikit pucat. Bergegas dia ambil kemeja dari tangan Hana, lantas memeriksa. Sepanjang pengamatan menurutnya tidak ada yang aneh di kemeja itu.
"Tidak ada yang aneh. Kamu ini kurang kerjaan atau bagaimana? Kemeja kotor saja jadi pembahasan. Aneh kamu," ketus Bagas, setelah itu kembali menatap koran yang tadi di abaca.
"Aku tidak aneh, Mas. Ini ...." Hana menunjuk satu buah kancing yang berderet di kemeja itu. Sekilas tak ada yang salah, semuanya sama, mulai dari benang serta warna kancingnya. Sama-sama putih.
"Ini tidak ada yang salah. Ayo jelaskan, di mana salahnya?" Bagas terlihat sewot.
"Ini jari telunjuk Hana tertuju ke kancing deretan dua paling bawah. "Motif kancing ini beda. Aku tidak punya kancing model ini."
Bagas tampak gelisah. Beberapa kali dia menelan saliva. Tentulah gelagat itu semakin memantik rasa penasaran Hana. Nyalang dia menatap Bagas yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek.
"Ayo katakan, siapa yang menjahit ini untukmu. Apa kamu selingkuh di belakangku?"
Tuduhan Hana sangat beralasan. Dia adalah sosok wanita yang jeli dalam hal apa pun, dan motif kancing di kemeja suaminya itu benar-benar berbeda.
Sayangnya Bagas terus berkelit dan menampik, kalau kancing baju itu memang sudah begitu saat dibeli. Hana tak bisa membahasnya karena memang tidak ada bukti.
Dari sana kecurigaan Hana bermula, dan setelahnya terus saja menemukan keganjilan-keganjilan lain. Mereka jarang melakukan hubungan layaknya pasangan suami istri. Bagas juga jarang mengomel dan selalu tersenyum jika sendiri. Ketika ditanya, suaminya hanya mengatakan tidak ada apa-apa. Jika, Hana masih bertanya, maka Bagas akan mulai marah dan memilih pergi dari rumah.
Yang lebih kentara adalah ponsel Bagas yang kini diberi sandi padahal dulunya tidak. Hana mencintai sang suami, selama menikah tak pernah sekali pun dia mengecek ponsel suaminya itu. Perubahan Bagas membuat Hana berpikir, mungkinkah pria itu memiliki wanita idaman lain.
Begitulah hari-hari Hana lalui, belakangan ini dia hidup dalam kegelisahan dibayang-bayangi pelakor. Semua itu terjadi tepat setelah pernikahan sang ayah. Tak ingin terjerumus ke dalam rasa curiga, Hana pun menyusun sebuah rencana.
"Sayang, aku berangkat, ya. Aku berangkatnya naik taksi. Capek nyetir sendiri," tutur Hana. Dia yang sudah rapi menghampiri Bagas yang sedang duduk di balkon. Suaminya itu sedang cekikikan sembari memegang ponsel.
"Aku tidak perlu ikut, 'kan?" tanya Bagas. Dia bersikap tenang saat melihat Hana di depan.
"Soalnya aku lelah sekali. Ingin istirahat hari ini," lanjutnya yang dibalas Hana dengan senyuman kecil.
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Lagi pula ini acara perempuan dan tidak nyaman jika ada laki-laki," balas Hana. Dia melirik ponsel Bagas yang bergetar. "Kamu berbalas pesan sama siapa?"
"Sama penanggung jawab tender." Bagas menjawab singkat, setelah itu menyipitkan mata. "Jangan tanya lagi siapa namanya, atau tender apa karena percuma, aku jelaskan pun kamu tidak akan paham."
Mata Hana membulat. Diberi ucapan ketus seperti itu menyisakan sakit juga di hatinya. Dulu, dia tidak akan mempermasalahkan karena berpikir suaminya memang begitu. Bicara blak-blakan bertanda nyaman dan sayang. Akan tetapi, setelah insiden kancing baju, dia mulai sensitif.
Hana menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Semua itu dia lakukan demi menentramkan hati yang mulai tak karuan.
"Kenapa diam?" ketus Bagas yang keheranan melihat Hana melamun kala mereka bersitatap.
Hana pun menggelengkan kepala. Lengkungan kecil menghiasi bibirnya yang ranum. "Tidak. Aku tidak akan bertanya. Ya sudah, aku pergi. Makan siang sudah aku siapkan di meja."
Seperti hari-hari lainnya. Jika keluar Hana akan mencium punggung tangan Bagas. Atau paling tidak izin via pesan. Baginya, izin suami sangat penting agar bisa melakukan kegiatan di luar dengan tenang. Namun, kini setiap kali pergi dia malah membawa sejuta kegundahan.
Setelah berpamitan, Hana pun masuk ke taksi pesanan yang sudah menunggu meski matanya masih menatap ke arah Bagas yang semakin mencurigakan.
"Ke mana tujuan kita, Bu?" tanya si sopir.
"Jalan dulu, Pak. Nanti akan saya tunjukkan arahnya."
Meski bingung, sang sopir pun melakukan apa yang di perintahkan. Hanya saja lelaki paruh baya itu berakhir mengernyitkan dahi ketika disuruh memutari komplek lalu kembali tak jauh dari rumah Hana.
"Bu?"
"Kita tunggu sebentar, Pak," potong Hana. Air matanya menetes. Tak luput pandangannya dari rumah sendiri yang masih tertutup, bangunan dua lantai yang menjadi saksi betapa bahagia pernikahannya bersama Bagas. Sekarang, kebahagiaan itu perlahan memudar digantikan dengan sikap abai Bagas yang kian hari kian parah.
Tak berselang lama, Bagas keluar dengan pakaian rapi, terlihat juga memainkan kunci di tangannya. Wajah pria itu menunjukkan kebahagiaan, tapi malah membuat hati Hana merasa nyeri. Tadi Bagas mengatakan lelah dan hanya ingin menghabiskan hari Minggu dengan bermalas-malasan. Namun kini ….
Hana menghapus air matanya yang terlanjur menetes. "Tolong ikuti mobil itu, Pak."
Perjalanan pun dimulai. Selama mengikuti Bagas, Hana bagai berada di bibir tebing. Air matanya terus saja mengalir karena pikiran buruk tentang pelakor merajalela di kepala. Dia ingin menampik, baginya Bagas adalah suami setia. Suami penuh cinta yang tidak mungkin berkhianat, tetapi setelah memikirkan dan mengingat keanehan pria itu belakangan ini, dia pun menelan ludah yang terasa pahit.
"Bagaimana jika Bagas benar-benar selingkuh? Harus bagaimana aku menghadapinya? Harus bagaimana aku bertindak? Haruskah memaki mereka? Ataukah bermain elegan dengan memberi wanita itu hukuman? Ataukah, melepaskan Bagas?" batin Hana bergejolak makin hebat. Cepat dia hapus air mata yang tak hentinya menetes.
"Tidak. Mungkin aku hanya berprasangka. Mungkin saja dia bertemu rekan bisnis?" batin Hana lagi.
Nyatanya, bukan mendapat ketenangan dia justru semakin gelisah karena sang suami memasuki parkiran sebuah restoran. Kenyataan lain juga membuatnya terbeku beberapa detik.
Hana terdiam, netranya yang bening semakin memanas ketika melihat ada seorang wanita menunggu suaminya di depan. Wanita yang sangat dikenalnya.
"Bunga ...."
Hana tergugu. Hatinya bagai dihantam palu tak kasat mata. Tak menyangka jika Bagas berani berkhianat dan parahnya melakukan dengan Bunga-adik tirinya. Hana merasa ditusuk dua orang sekaligus dalam satu waktu. Sakit, sesak dan engap begitu yang dia rasakan.
Tangan Hana yang gemetar sudah memegang handle pintu, hendak keluar dari dalam taksi tetapi urung ketika melihat Bunga dan Bagas bergandengan tangan. Keberanian untuk melabrak pun menciut. Apalagi melihat betapa besarnya senyum Bagas ketika menatap Bunga. Ulasan bibir yang rasanya sudah lama tidak dia lihat.
"Kalian ... tega sekali kalian seperti ini."
Hana meraung dan mengabaikan tatapan sopir serta pikiran pria paruh baya itu. Dia hanya menumpahkan kesal dengan menangis dan mengutuk Bagas. Dia terus menunduk menekuri kaki sendiri serta meratapi nasib diselingkuhi. Rasa cintanya pada Bagas amat besar dan dia tidak rela kehilangan.
Setelah puas menangis, Hana pun memutuskan menunggu. Dia akan memaafkan Bagas kali ini. Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua, begitu pikirnya hingga satu jam pun berlalu dan Bagas keluar dengan wajah semringah. Lelakinya itu pergi tanpa sang adik tiri.
Mendapati hal itu, Hana pun bergegas turun dari taksi. Ia sengaja menghadang Bunga yang baru keluar dari restoran. Terlihat kentara kalau adik tiri yang merangkap menjadi selingkuhan itu sedang tidak nyaman karena kehadirannya yang tiba-tiba.
"K-kak Hana?" Lisan Bunga terbata, celingukan dia melihat sekitar. Takut kalau Hana tahu tentang hubungannya dengan Bagas.
"Tinggalkan Bagas dan aku akan memaafkanmu," tagas Hana. Netranya yang biasa teduh berubah drastis kali ini.
Alih-alih malu, Bunga justru tertawa. Gelagat itu membuat emosi Hana membuncah. Tanpa pikir panjang dia layangkan tangan ke pipi Bunga yang mulus.
"Jauhi Bagas!" sentak Hana lagi.
"Kalau aku tidak mau?" balas Bunga yang benar-benar diluar prediksinya.
"Kamu ...."
"Kami saling mencintai. Yang seharusnya pergi itu kamu. Kamu benalu."
"Bunga!" teriak Hana. Darahnya mendidih sampai ke Ubun-ubun. "Jangan kurang ajar. Aku kakak kamu dan Bagas itu suamiku."
"Tapi Bagas sudah melakukan itu denganku. Bahkan, dia memujaku. Memperlakukanku dengan manis. Sedangkan kamu, apa pernah dia mengatakan mencintaimu? Apa pernah dia memelukmu? Atau paling tidak, pernahkah kamu melihatnya tertawa melihat mukamu itu?"
Hana terdiam. Sebagai seorang istri sah harga dirinya terluka karena perkataan Bunga. Ya karena Bagas sudah tak pernah lagi seperti itu. Bahkan saat berhubungan suami istri suaminya itu kerap kali meninggalkannya bahkan sebelum memulainya.
"Jadi Hana, tau dirilah. Harusnya kamu yang pergi. Kamu harus mengaca! Lihat betapa buruknya bentuk tubuhmu itu. Paham!"
Tanpa sungkan, Bunga pun mendorong bahu Hana, lantas masuk ke mobilnya dengan gaya angkuh. Sebelum pergi dia juga sempat memberikan seringai jahat.
Hana yang melihat perangai Bunga terbelalak. Tak menyangka dia kalau Bunga yang cantik dan terlihat baik ternyata licik.
"Tidak, aku tidak boleh biarkan ini terjadi. Bunga harus disadarkan. Dia masih muda dan barangkali hanya khilaf saja," gumam Hana. Cepat dia hapus jejak kesedihan lalu kembali ke taksi. Dia meminta di antar ke kediaman ayahnya dan berencana mengadukan ini ke Tantri-ibu tirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!