NovelToon NovelToon

Pangeran Yang Hilang

BAB 1 AWAL PENGEMBARAAN

Malam telah menyelubungi persada dengan hamparan kegelapan. Meski langit bertaburan bintang, namun tidak sanggup menyingkirkan kelamnya malam. Sedihnya lagi langit kelam itu tanpa bulan bergelayut.

Di suatu hamparan air yang cukup luas tampak tersamar sebuah rakit kecil yang terus bergerak pelan terbawa angin malam yang dingin. Juga rakit kecil itu terus bergoyang terombang-ambing di tengah hamparan air yang luas ini.

Di atas rakit itu ternyata terdapat sesosok kecil yang tengah duduk melutut. Sesekali kepalanya berputar mengitari sekelilingnya. Namun sepasang matanya yang hitam kelam hanya mendapati melulu hamparan air. Entah dia ini sudah berada di laut atau masih mengambang di atas sungai. Dia sendiri belum tahu.

Sosok kecil itu yang ternyata seorang bocah lelaki berumur sepuluh tahun sejak pagi tadi berada di atas rakitnya ini. Namun sampai malam tiba begini dia belum juga melihat kapal. Meskipun itu kapal kecil. Niatnya sebenarnya, ketika menemukan kapal, dia ingin menumpanginya yang nantinya akan membawanya ke daratan. Namun itu hanyalah sebatas keinginannya saja. Karena sampai saat ini satu biji kapal pun dia belum temukan.

Bocah kecil itu sebenarnya baru saja tadi pagi meninggalkan tempat persembunyiannya selama lima tahun ini. Yah, dia harus bersembunyi agar nyawa cuma satu-satunya di badan bisa selamat dari orang-orang yang akan membunuhnya. Kalau mengingat kisah kelamnya pada lima tahun yang lalu sungguh mengerikan sekaligus menyedihkan. Sepanjang hidupnya terus berlari dan berlari demi menyelamatkan hidupnya.

Terbayang lagi dalam ingatannya tentang bibinya yang merawatnya sejak kecil. Wanita yang sudah dia anggap ibu itu harus mati demi menyelamatkannya. Setelah itu dia lagi terus berlari dan berlari, cuma seorang diri dari kejaran para tentara kerajaan yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia juga dapat ditemukan oleh para pengejarnya dan hampir mati di ujung pedang mereka.

Kalau mau dipikir secara akal sehat bocah kecil ini seharusnya sudah mati. Bayangkan saja dalam larinya itu dari para pengejarnya tanpa sengaja dia jatuh ke dalam jurang yang maha dalam. Namun ternyata Yang Maha Kuasa masih menghendaki agar dia hidup.

Seorang lelaki tua yang diketahui siluman putih yang berhati baik menyelamatkannya. Dan selama lima tahun ini membimbingnya mempelajari ilmu pengobatan, ilmu kebatinan, dan ilmu bela diri serta kedigdayaan.

★☆★☆

Tidak lama setelah bocah lelaki itu termenung, sepasang matanya seketika menangkap sesosok hitam. Sosok hitam itu berada di samping kirinya dan masih tampak jauh. Segera dia berdiri dan terus mengamati secara cermat apakah sosok hitam itu. Sosok hitam itu tampak bergerak dan menuju ke arah mana dia berada. Setelah satu penanakan nasi dia menunggu....

"Kapal besar," desisnya bagai berbisik.

Wajahnya yang terselubung duka langsung sumringah begitu mengetahui kalau sosok hitam itu ternyata adalah kapal besar. Segera dia mengambil tas belakangnya yang terbuat dari kulit yang ada di depannya. Lalu disampirkan di belakang punggungnya. Sementara kapal besar itu terus bergerak ke arahnya.

Dia terus mengamati kapal besar itu berjalan. Dan tanpa terasa kapal besar itu tinggal sepuluh tombak lagi sampai ke tempatnya. Dengan jarak itu dia sudah bisa memperkirakan kalau kapal besar itu tidak sampai menabraknya. Dan berat dugaannya kapal besar itu bakal melintas di depannya.

Dan benar saja, kapal besar yang laksana gunung berjalan itu tidak sampai menabraknya. Meski begitu dia sedikit takut juga. Masalahnya kapal itu melintas di depannya cuma dua tombak jaraknya. Namun dia tidak mau terlalu memikirkan hal itu. Di benaknya sekarang bagaimana agar dia bisa naik ke atas kapal besar itu. Masalahnya kapal itu cukup tinggi. Takutnya dengan sekali lompatan dia belum bisa menjangkau pinggir kapal besar itu.

Kemudian, tanpa banyak pikir dia mengambil dua potongan kulit kayu di atas rakit kecilnya. Lalu satu potong kulit kayu dilemparkan ke udara ke arah kapal besar itu. Hampir bersamaan dia melesat ke udara dengan menggunakan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.

Tak

Kaki kirinya berpijak ke potongan kayu itu dan semakin melambungkan tubuh kecilnya ke udara. Dan....

Tap

Kedua tangannya berhasil menangkap tali besar yang terajut bagai jala yang menempel hampir di sepanjang badan kapal. Untuk sejenak dia berdiam dulu mengumpulkan nyawanya yang hampir terlepas. Jantungnya berdegup kencang bagai berlari ratusan tombak. Wajahnya yang masih tampak imut namun tampan masih pucat. Masalahnya ini pengalaman pertama baginya. Dan dia juga tidak menyangka bakal berhasil naik ke kapal ini dengan cara unik seperti ini.

Setelah perasaannya sudah membaik, dia mengamati dulu keadaan. Mana tahu ada orang yang melihat perbuatan nekadnya ini. Dan dia ketahui pula ternyata dia berada nyaris di belakang kapal. Setelah dirasa aman, perlahan dia merayap ke atas yang tak sampai satu tombak lagi mencapai pinggiran kapal. Namun baru saja kepalanya menyembul ke atas, bertepatan dengan dua orang lelaki dewasa mendongak ke bawah.

"Haaah!"

"Wuaahhh!"

Terang saja bocah lelaki itu terkejut bukan main dan langsung menarik kepalanya ke bawah. Lebih terkejut lagi dua lelaki dewasa itu. Mereka tidak menyangka sampai ada kepala menyembul tiba-tiba. Sampai-sampai mereka terlonjak tiga langkah ke belakang saking terkejutnya. Jantung mereka hampir copot dibuatnya. Dan salah seorang di antara mereka mau lari. Tapi temannya langsung mencegatnya.

"Kenapa kau menahanku?" sengit lelaki berkumis tebal itu jengkel. "Apa kau mau dimakan hantu laut?"

"Itu bukan hantu," sanggah temannya, "itu manusia, tepatnya seorang bocah."

"Bocah?!" kejut si kumis tebal heran. "Apa kau yakin?"

"Untuk membuktikannya sebaiknya kita melihatnya."

"Ah, kamu saja yang menengoknya, aku tidak mau."

"Dasar penakut!" sungut temannya itu.

Lalu dia dengan berani mendekat ke pinggir kapal, lalu menengok ke bawah. Dan mendapati bocah yang dilihat tadi masih bergelantungan di tali rajutan.

"Hei, Bocah! Apa yang kau lakukan di situ?" bentaknya garang. "Apa kau mau bunuh diri?"

Bocah lelaki itu segera menengok ke atas dengan wajah takut-takut. Lalu dia menjawab pertanyaan orang itu dengan sedikit terbatah-batah, "Ma... maaf, Paman aman.... Sa... saya tergelincir tadi, dan hampir terjatuh...."

Jelas sekali bocah lelaki itu berbohong. Tapi sepertinya lelaki dewasa itu mempercayainya. Dan segera menyuruh bocah itu naik. Tanpa pikir panjang bocah lelaki itu naik ke atas yang dibantu oleh lelaki dewasa itu. Setelah bocah lelaki itu berada di atas kapal, baru si kumis tebal tadi berani mendekat.

"Kamu ini! Aku kira kamu hantu laut," omel si kumis tebal begitu sampai di depan si bocah. "Bikin kaget saja. Kalau kamu sampai jatuh di laut, terus mati, kami juga yang susah. Orang tuamu pasti bakal menuntut pada juragan kami karena ada salah satu penumpang yang meninggal karena kecelakaan."

"Sudah, kamu tidak usah mengomelinya," tegur temannya. "Apa kamu tidak lihat mukanya itu masih pucat karena ketakutan."

Lalu lelaki dewasa itu memandang si bocah lagi dan berkata penuh nasehat, "Lain kali kamu hati-hati, jangan sembarangan berkeliaran. Atau sebaiknya kamu kembali ke kamarmu dan tidur. Karena ini sudah larut malam."

"Baik, Paman," ucap bocah lelaki itu penuh kesopanan. "Sekali lagi saya minta maaf telah merepotkan paman berdua."

"Ya tidak mengapa," kata lelaki dewasa itu seraya mengelus-elus kepala bocah lelaki itu.

Kemudian dia meninggalkan si bocah begitu saja yang diikuti oleh si kumis. Dan tak lama terdengar mereka saling bercakap-cakap. Sementara bocah lelaki itu, sejenak memperhatikan dua orang dewasa itu beberapa saat. Lalu beralih menatap ke hampar laut yang terselubung kegelapan.

Malam ini awal kisah hidupnya dalam mengembara di dunia yang kejam ini. Yah, awal pengembaraan dalam melakoni takdirnya sendiri, seorang diri....

★☆★☆

Bocah lelaki bertas kulit cukup besar itu terus melangkah menyusuri geladak kapal yang cukup luas ini. Tanpa sengaja dia mendengar percakapan empat orang bapak-bapak yang tengah membicarakan tentang seseorang yang sakit. Dari percakapan mereka itu si bocah sudah bisa menyimpulkan seseorang yang dibicarakan itu penyakitnya apa dan kebetulan dia membawa obatnya yang ada di tasnya. Tanpa banyak pikir dia segera menghampiri bapak-bapak itu, terus menyapa dengan sopan.

"Maaf, Tuan-tuan."

Empat orang lelaki yang hampir seumuran itu seketika menghentikan percakapan, terus menoleh ke bocah lelaki itu dengan sedikit keheranan. Lalu salah seorang di antara mereka menanggapi sapaan si bocah.

"Ada apa, Nak?"

"Maaf, Tuan, kalau saya lancang," sahut si bocah dengan penuh kesopanan. "Saya tadi sempat mendengar percakapan tuan-tuan tentang seseorang yang sakit. Apa bisa saya diantarkan ke orang yang sakit itu?"

"Memangnya kamu mau apa, Nak?" tanya orang tua yang tadi bernada heran.

"Jangan bilang kamu mau mengobatinya," kata temannya yang duduk di ujung kiri seolah menebak. Batinnya tidak yakin kalau bocah kecil ini mengerti ilmu pengobatan.

"Kebetulan saya sedikit tahu ilmu pengobatan," sahut si bocah berusaha meyakinkan empat orang tua itu dengan sikap sopannya. "Dan saya tahu penyakit yang diderita oleh juragan kalian. Kebetulan saya bawa obatnya."

"Jangan main-main kamu, Nak!" berang orang yang duduk di pinggir tadi sambil berdiri. Emosinya sepertinya sudah mencapai ubun-ubunnya. "Penyakit yang diderita juragan terbilang langka. Bocah sepertimu mau berlagak menyembuhkan. Apa kamu meledek kami hah?!"

"Maaf, Pak, penyakit juragan bapak salah satu penyakit berbahaya," ucap bocah lelaki itu lagi masih berusaha meyakinkan. Meski dengan mimik ketakutan akibat kemarahan si bapak. "Kalau tidak cepat diobati bisa menyebabkan kematian."

Terang saja empat orang bapak itu terkejut bukan main. Sampai-sampai tiga orang lainnya yang belum berdiri langsung terlonjak bangun. Dan bapak yang sudah emosi tadi bertambah berang dan hendak mendamprat bocah itu lagi. Namun segera dicegah oleh bapak yang pertama bicara tadi. Lalu tanpa banyak pikir dia langsung meraih tangan si bocah untuk dibawa ke kamar juragannya.

★☆★☆

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan cukup keras dari luar di sebuah kabin cukup luas. Seorang wanita yang masih tampak muda berwajah cantik, tadinya menatap murung suaminya yang terbaring diam di tempat tidur, segera menatap ke arah pintu yang diketuk. Dua orang gadis pelayan yang duduk terkantuk-kantuk di lantai kabin agak terkejut akibat suara ketukan itu dan langsung menoleh ke arah pintu.

"Coba kamu buka pintunya, Karina!" perintah nyai muda itu kepada salah seorang pelayannya.

"Baik, Nyonya."

Pelayan muda yang bernama Karina langsung berdiri dan menuju ke arah pintu. Setelah selesai membuka pintu, lalu dia berbicara dengan bapak-bapak yang ada di depan pintu kabin.

"Ada apa, Pak?"

"Tolong beritahu Nyonya kalau ada tabib yang hendak mengobati Juragan," kata bapak yang mengantar si bocah tadi yang kini berdiri di sampingnya. Sementara tiga orang temannya berdiri di belakang.

"Suruh masuk saja, Pak!" pinta nyonya muda itu yang rupanya mendengar ucapan bapak tadi.

Begitu bocah lelaki itu di suruh masuk nyai muda langsung terkejut heran sambil menatapnya lekat. Pikirnya tabib yang hendak mengobati suaminya adalah seorang tabib yang sudah tua atau setidaknya seorang yang sudah dewasa. Namun yang dilihatnya ini adalah seorang anak kecil yang masih bau kencur. Apakah dia bisa?

Sementara si bocah itu begitu masuk ruangan terus mengamati seorang lelaki umur empat puluhan yang terbaring diam di tempat tidur dengan wajah pucat. Matanya terpejam rapat. Bocah itu tahu kalau lelaki itu tengah pingsan.

"Apa kamu yang hendak mengobati suami saya, Nak?" tanya nyonya muda itu bernada ragu sambil terus menatap si bocah. "Kamu tidak sedang bergurau 'kan?"

"Maaf, Nyonya, bisa tunjukkan letak luka yang diderita suami Nyonya?" pinta si bocah seolah tak menggubris keheranan nyai muda itu.

"Luka?" kejut nyonya muda itu tambah heran. "Apa kamu yakin suami saya menjadi kaku begini hanya karena luka kecil?"

"Maaf, Nyonya, suami Nyonya harus cepat diobati. Keadaannya sudah hampir mencapai kritis."

Mendengar itu si nyonya muda langsung tercengang. Wajah cantiknya langsung pucat. Tanpa pikir panjang segera dia singkap selimut yang menutupi bagian kaki suaminya dan menunjukkan luka di kaki. Si bocah segera mengamati luka gores sedikit menganga sepanjang hampir satu jari yang ada di betis luar sebelah kanan. Posisi luka itu mendatar.

Setelah memeriksa nadi si juragan, bocah itu meminta dipersiapkan barang perlengkapan yang dia sebutkan. Tanpa banyak pikir si nyonya muda langsung memerintahkan dua pelayannya mempersiapkannya.

Kurang lebih hampir dua penanakkan nasi bocah lelaki itu mengurus si juragan. Membersihkan luka dengan air hangat. Lalu membersihkan lagi dengan cairan coklat yang dicampurkan air. Menaburi luka dengan bubuk kering. Terus membalutnya dengan kain bersih.

Sedangkan si nyonya muda selama pengobatan terus memperhatikan cara bocah itu bekerja. Hatinya langsung berdecak kagum melihat cara kerja bocah itu yang penuh ketelitian, ketenangan, ketelatenan. Dia tidak menyangka bocah yang masih seusia ini dapat mengerjakan suatu pekerjaan layaknya dia sudah ahli. Padahal dia masih kecil. Dia menyesal kini karena sempat meragukan bocah itu.

★☆★☆★

KETERANGAN KATA ASING

Satu tombak \= kurang lebih tiga setengah meter

Satu penanakkan nasi \= sekitar 30 menit

BAB 2 BERTEMU GADIS KECIL NAN RUSUH

Setelah bocah itu memasukkan obat penurun panas dan obat luka dalam ke dalam mulut sang juragan, barulah juragan itu dibaringkan kembali. Tentunya dibantu oleh si nyonya muda.

Sebelumnya si bocah cukup kesulitan juga memasukkan kedua obat pil itu ke dalam mulut sang juragan. Masalahnya kedua rahangnya seakan terkunci dan mulutnya terus terkatup, susah dibuka. Namun setelah bocah lelaki itu memberikan beberapa totokan di kedua pangkal rahangnya, barulah mulut juragan itu terbuka. Dan kedua pil obat itu dimasukkan oleh bocah itu.

Setelah dirasa pekerjaannya selesai, dan salah seorang pelayan memberikannya kursi, barulah bocah itu duduk dan berkata penuh kesopanan dan tata krama.

"Maaf, Nyonya, kalau tadi saya sempat mengabaikan Nyonya. Soalnya tadi saya sedikit panik. Masalahnya juragan harus cepat diberikan pertolongan. Saya takut nanti terlambat bisa mengakibatkan hal yang fatal."

"Ah, tidak mengapa, Nak," kata nyonya muda itu sambil tersenyum ramah. "Saya juga minta maaf, sempat meragukanmu tadi. Oh iya, sebenarnya suami saya sakit apa, Nak? Tadi sore tiba-tiba langsung lemas dan pingsan. Tiba-tiba badannya kaku dan tidak sadar hingga sekarang."

"Juragan sebenarnya terkena penyakit 'Kejang Kaku'. Penyakit ini diakibatkan oleh luka yang diderita juragan," jelas bocah itu. "Luka itu bukan luka biasa, Nyonya, meski kecil. Karena di dalam luka itu terkandung kuman berbahaya yang bisa menyebabkan kematian. Luka itu akibat dari goresan benda tajam yang mengandung karat. Nah di dalam karat itu terkandung kuman berbahaya."

"Suami saya bisa sembuh 'kan, Nak?" tanya nyonya muda itu amat berharap.

"Kita doakan saja, Nyonya, semoga juragan tidak apa-apa. Menurut pemerikasaan saya tadi juragan tidak sampai mengalami kritis. Apalagi lukanya itu belum ada setengah hari. Besar kemungkinan juragan bisa sembuh. Saya tadi memberikan obat dengan takaran tinggi. Hasilnya bisa dilihat dengan cepat."

Mendengar ucapan anak lelaki itu, nyonya muda sedikit banyak merasa lega. Meski dia tidak terlalu paham dengan penyakit yang disebut anak itu, tapi dia cukup besar menaruh harapan kalau anak itu bisa menyembuhkan suaminya. Kini dia tidak bertanya apa-apa lagi kepada anak itu. Dia mulai fokus lagi mengamati keadaan suaminya sembari berdoa semoga suaminya baik-baik saja.

Bersamaan dengan itu kesunyian langsung menyergap kamar ini. Hanya deru ombak lautan lamat-lamat terdengar. Sesekali bocah itu menengok ke luar jendela yang hanya didapati hamparan kegelapan. Lalu kembali mengamati keadaan sang juragan. Sementara dua pelayan tadi sudah sejak tadi duduk di tempatnya sambil terkantuk-kantuk.

Setelah beberapa saat berlalu, bocah lelaki itu memeriksa nadi juragan itu. Beberapa helaan nafas kemudian, tampak bibirnya yang agak kemerahan menarik senyum agak lebar. Senyum kepuasan atas hasil kerjanya sebagai tabib pertama kali. Apalagi langsung mengatasi penyakit yang berbahaya. Dan nyonya muda itu langsung memperhatikan senyum bocah itu.

"Bagaimana, Nak?" tanya nyonya muda itu penuh harap.

"Obat yang saya berikan tadi sudah bereaksi dengan baik," sahut bocah itu masih tersenyum. "Semoga juragan bisa lekas sembuh. Setidaknya bangun dari pingsannya."

"Oh ya, Nyonya, mungkin saya tinggal sebentar," kata bocah itu seraya bangkit dari kursinya. "Kalau ada apa-apa dengan juragan, cari saja saya di geladak kapal. Besok pagi saya kesini lagi untuk memberikan obat lagi."

"Ya, Nak, terimakasih. Eh, bayarannya bagaimana?"

"Nanti dulu, Nyonya. Saya 'kan kesini lagi besok pagi."

"Oh iya."

★☆★☆

Langit begitu cerah di pagi ini, nyaris tak ada awan yang bergantung. Matahari yang menyebarkan senyum hangat penuh kelembutan sudah menanjak ke cakrawala satu tombak. Sementara kapal besar itu terus saja melaju membelah lautan yang maha luas ini.

Sepanjang penglihatan hanya hamparan laut yang terlihat. Belum ada tanda-tanda kalau daratan bakal tampak. Entah kapan kapal besar ini tiba di daratan, sepertinya masih sangat lama.

Sementara itu, di sebuah kabin cukup luas dan mewah tampak seorang gadis kecil terbaring di tempat tidur. Wajahnya cantik tapi tampak pucat. Seperti mengidap suatu penyakit. Duduk di dekatnya di samping kiri tempat tidur seorang gadis kecil pula. Wajahnya juga cantik, sama cantik dengan gadis kecil yang terbaring itu tapi dengan rupa yang berbeda.

"Tahu tidak, Nona, tadi aku sempat mendengar kalau juragan yang kemarin terjatuh pingsang di geladak depan kini sudah sembuh," ungkap gadis kecil yang yang duduk di samping tempat tidur. Dia berpakaian ringkas lengan panjang agak ketat warna muda tua. Rambutnya yang panjang sepundak dikuncir bagai ekor kuda.

"Memang ada tabib di kapal ini, Kak Aliesha?" tanggap si nona kecil yang terbaring yang masih berpakaian tidur.

"Sepertinya begitu, Nona. Buktinya juragan kaya itu sembuh. Berarti ada tabib 'kan?" kata gadis kecil yang ternyata bernama Aliesha, lengkapnya Jessica Aliesha. Ucapan Aliesha ini tentu mengandung maksud.

"Apa kamu pikir penyakitku ini bisa disembuhkan oleh tabib itu?" tebak si nona kecil yang mengetahui maksud Aliesha.

"Nona Aneska. Apa salahnya kita coba. Janganlah putus asa," Alisha tetap memberi semangat nonanya itu.

"Hhh... entahlah. Sudah banyak tabib yang mencoba menyembuhkan penyakitku, tapi semuanya sia-sia," desah nona kecil yang ternyata bernama Aneska bernada masygul. Nama lengkapnya Lavina Aneska.

"Sekarang kamu tenang saja di sini. Aku akan mencari tabib itu dan mengajaknya ke sini."

"Tidak usah, Kak Aliesha," tolak Lavina Aneska. "Hasilnya pasti sama saja...."

Jessica Aliesha segera bangkit dari kursi dan berniat untuk mencari tabib itu meski Lavina Aneska tidak setuju. Sebelum dia beranjak pergi, dia menoleh dulu pada nonanya itu dan berkata, "aku akan berbuat apapun agar kamu sembuh. Makanya kamu harus semangat untuk sembuh."

"Kak Aliesha...."

Setelah memberitahukan kepada empat pelayan yang ada di kamar ini juga, Jessica Aliesha segera meninggalkan kamar ini yang diikuti oleh pandangan Aneska yang sebenarnya masih tidak setuju. Dia sudah hampir berputus asa kalau penyakitnya ini bakalan sembuh. Tabib yang terakhir mengobatinya hanya bisa menekan penyebaran racun di dalam tubuhnya dan menghilangkan rasa sakit yang dia derita. Belum bisa menyembuhkan penyakitnya yang katanya terbilang langka.

★☆★☆

Ternyata tidak susah bagi Aliesha mencari tabib yang telah menyembuhkan juragan kaya itu. Setelah menanyakan ciri-ciri si tabib, dia tidak menyangka kalau si tabib masih seorang bocah seusianya.

Setelah menemukan dimana bocah itu berada segera timbul keraguan di dalam hatinya apakah dia mampu menyembuhkan Putri Lavina Aneska?

Penyakit yang diderita juragan kaya dengan nonanya amat jauh berbeda. Penyakit juragan kaya bukan karena racun, sedangkan penyakit Aneska karena racun.

Cukup lama dia memikirkan hal itu sambil memandang si tabib yang ternyata berada di buritan. Bocah lelaki itu tampak tengah duduk mencangkung di atas bangku cukup lebar sambil memandang lautan luas. Tangan kirinya memegang bungkusan kue kering, sedangkan tangan kanannya menyuap kue itu ke mulutnya.

"Apa salahnya dicoba," gumamnya seolah memutuskan.

"Tapi alangkah baiknya aku jahili dulu anak ini," gumamnya sambil tersenyum aneh.

Segera dia mendekati bocah itu sambil melangkah pelan-pelan. Ilmu meringankan tubuhnya digunakan agar suara langkahnya tidak terdengar. Dia semakin percaya diri manakala si bocah belum menyadari kehadirannya. Apalagi posisi bocah itu membelakanginya.

Begitu dia sudah amat dekat di belakang bocah itu, langsung saja kedua tangan Alisha menyentak pundak bocah lelaki itu sambil berseru cukup keras, tapi sungguh mengagetkan.

"Hiyaaa...!"

"Huuuaaa...!"

Bocah itu langsung terkejut tidak tanggung-tanggung. Tubuhnya langsung jatuh dan terguling di geladak kapal. Sedangkan bungkusan kue di tangan kirinya dengan amat malang terlontar ke udara dan terus jatuh ke laut. Sungguh menyedihkan!

Sedangkan Aliesha dengan usahanya yang berhasil itu langsung tertawa terpingkal-pingkal bagai habis menonton lawakan. Sungguh menyebalkan!

Sementara si bocah yang tidak merasakan sakit yang berarti di tubuhnya segera bangun. Terus melangkah ke pinggir kapal dan menengok ke bawah, mana tahu kuenya tadi sempat terhenti di udara dan terus diambilnya kembali. Tapi kenyataannya kuenya itu, bayangannya pun sudah tak ada sama sekali.

Kemudian dia cepat menoleh ke Aliesha yang masih tertawa terbahak-bahak. Terus ditatapnya gadis itu dengan tajam dengan mimik wajah yang menguarkan kemarahan.

Tapi itu cuma beberapa saat saja. Setelah itu mimik wajah tampannya kembali seperti biasa, wajah yang penuh duka. Seolah dia tidak tersinggung dengan keusilan Alisha.

"Berhentilah tertawa, Nona, nanti kamu tersedak," ujar si bocah mengingatkan sambil melangkah mengambil tas besarnya yang disimpan di samping bangku yang diduduki tadi.

Mendengar suara bocah itu, seketika Aliesha langsung diam, berhenti tertawa. Sepasang matanya yang indah langsung menatap bocah itu dengan penuh keheranan. Siapa bocah ini? Diusili malah tidak menunjukkan ketersinggungan apalagi marah. Yang nyata-nyatanya perbuatannya tadi itu jelas membuat hati panas.

"Hei, tunggu!" cegatnya ketika bocah itu melangkah hendak meninggalkannya.

Bocah lelaki itu segera berhenti melangkah, tapi tidak menoleh. Terus menanggapi ucapan gadis kecil itu. Suaranya terdenar datar dan dingin. "Hati-hati dengan orang asing, Nona. Kita tidak saling kenal."

"Aku ada perlu denganmu," kata Aliesha sambil menghampiri bocah lelaki itu tanpa perduli dengan ucapan si bocah.

"Oh, ada perlu apa ya?" tanya bocah itu masih bernada datar, masih tanpa menoleh.

Bukannya menjawab pertanyaan orang, Aliesha langsung meraih pundak bocah itu, terus memutar badan si bocah agar menghadapnya. Lalu berucap dengan suara ketus, "kalau bicara dengan orang itu saling berhadapan, bukannya memunggungi, Bocah Tengik!"

"Katakan saja cepat, Nona, ada perlu apa?" suara si bocah masih terdengar dingin.

"Beberapa hari ini kepalaku sering pusing dan badanku lemas, sering mual, bahkan muntah-muntah," ungkap Alisha jelas berbohong. Tapi nadanya sudah agak lembut. "Bisakah kamu menyebutkan aku sakit apa dan menyembuhkannya?"

Bocah itu tidak langsung menanggapi keluhan ngawur Aliesha. Sejenak dia menatap wajah cantik Aliesha, tepatnya mengamati dengan teliti. Tapi ditatap sedemikian itu membuat Aliesha tercekat. Jantungnya berdebar cukup kencang. Ada desiran harus dirasakan di dalam hatinya.

"Ke... kenapa kamu malah menatapku?" ketus Aliesha tapi dengan agak salah tingkah. Wajahnya langsung melengos ke lain arah.

Lagi-lagi bocah itu tidak menanggapi. Dia malah meraih tangan kanan Aliesha, hendak memeriksa nadinya. Tapi ditanggapi lain oleh Alisha dan langsung menarik kasar tangannya itu.

"Kamu mau apa, Bocah Tengik?" berangnya bernada ketus sambil menatap tajam si bocah.

"Bisakah Nona tenang barang sejenak?" si bocah masih bersikap sabar atas tingkah gadis rusuh ini. "Saya hendak memeriksa nadi Nona demi kepastian atas keluhan yang Nona ajukan."

"Ya sudah, nih periksa!"

Dengan segera Aliesha menganjurkan tangan kanannya ke bocah itu. Terus tangan kiri si bocah meraihnya dan siap memeriksa nadinya. Tapi....

"Tangannya dibuat lemas saja, Nona, jangan dibuat kaku!"

Aliesha langsung mendelik mendengar ucapan dingin itu. Tapi dia mengikuti juga permintaan si bocah. Dan tak lama, bocah itu telah diam dalam memeriksa nadinya. Sedangkan Aliesha sempat melirik ke wajah tampan si bocah yang kebetulan tidak memandangnya.

Melihat wajah dingin tapi tenang itu membuat bibir manisnya menarik sedikit senyum. Entah apa arti senyum manis itu, dia sendiri yang tahu.

★☆★☆

"Bagaimana?" tanya Aliesha masih ketus setelah bocah itu selesai memeriksa nadinya.

"Keluhan Nona itu adalah gejala atau kondisi wanita yang positif hamil...."

"Apa...?"

Plaaak!!!

Terang saja Aliesha dibuat tercengang bukan main mendengar ucapan bocah itu. Entah sadar atau tidak telapak tangan kirinya terangkat dan langsung menampar pipi kanan si bocah dengan telak, keras dan pedas. Sehingga wajah tampan nan imut si bocah terputar ke kiri. Dan juga terjajar ke samping kiri satu langkah. Si bocah cuma mengeluh pelan, padahal tamparan itu pastilah sakit.

Menyadari tindakan brutalnya itu, Aliesha langsung menyesal. Tidak menyangka sampai bisa berbuat kelewat batas pada si bocah. Matanya langsung menatap sendu pada bocah lelaki itu.

Apalagi melihat di pipi kanan bocah itu telah tercetak jemari tangannya yang kecil. Dia baru sadar kalau dia punya ilmu bela diri yang tentu sudah memiliki tenaga dalam yang cukup kuat dan terlatih.

Dia tadi begitu kaget atas jawaban bocah itu. Sungguh tak disangka keluhan main-mainnya itu yang dia tidak tahu sama sekali, ternyata adalah kondisi wanita hamil. Padahal dia sendiri tidak hamil. Niatnya cuma mengetes tingkat ketabiban bocah lelaki itu. Sungguh kasihan.

"Saya belum selesai bicara, Nona," masih bersikap sabar bocah itu berbicara meski bernada dingin. "Kenapa sudah diberi upah?"

"Oh, ma... maaf, maaf, a...aku tidak sengaja menamparmu," ucap Aliesha terbatah-batah. "Soalnya tadi aku kaget atas jawabanmu. Sungguh, pertanyaanku tadi itu cuma main-main saja. Aku tidak hamil kok, sungguh."

"Nona memang tidak hamil, kenapa mesti panik?" kata si bocah. "Saya juga tahu tadi kalau pertanyaan Nona tadi itu cuma pertanyaan bohongan."

"Sudahlah, sekarang aku serius," kata Aliesha akhirnya mengutarakan maksud utamanya. "Nonaku sedang sakit, bisakah kamu menyembuhkannya?"

"Saya harus periksa dulu keadaannya, baru saya bisa memastikan apakah bisa menyembuhkan atau tidak."

"Ayo, aku antar kamu ke kamarnya," ajak Aliesha seraya meraih tangan kiri bocah itu, laku membawanya berjalan bersama.

"Saya bisa jalan sendiri, Nona, tidak perlu ditarik layaknya kambing," protes bocah itu.

"Alaaah, sudah, tidak usah bawel!"

★☆★☆★

BAB 3 MEMERIKSA PENYAKIT PUTRI ANESKA

Aliesha dan bocah tabib itu telah sampai di depan pintu masuk kabin yang ditempati Lavina Aneska. Dua orang pengawal yang berpakaian biasa yang menjaga pintu langsung berdiri begitu Jessica Aliesha datang. Baru saja dia hendak mengetuk pintu, pengawal sebelah kanan menegurnya dengan sikap hormat.

"Maaf, Nona Jessica. Siapakah yang Nona bawa ini?"

"Bocah Tengik ini teman aku," sahut Aliesha menjelaskan. "Tenang saja, dia tidak bakalan merusuh. Aku yang akan cekik lehernya kalau berani macam-macam di kamar Nona Aneska."

Mendengar ucapan Aliesha, bocah lelaki itu seketika menatap Aliesha dengan tatapan ngeri. Tanpa sadar tangan kirinya mengelus pelan lehernya. Terus dia berucap dengan suara dinginnya.

"Saya diajak ke sini cuma mau dibunuh apa mau mengobati orang sakit?"

"Mau dibunuh kalau kamu macam-macam!" sungut Aliesha bernada ketus.

"Maaf, Nona Jessica, inikah tabib yang katanya telah menyembuhkan juragan kaya itu?" tanya pengawal itu bernada heran, tapi dengan sikap hormat.

Baru saja Aliesha hendak menjawab pertanyaan pengawal itu, Aneska sudah memanggil dari dalam kamar.

"Kak Aliesha!"

"Ya, tunggu, Nona!"

"Paman pengawal, aku masuk dulu. Itu Tuan Putri sudah memanggil."

"Oh, silahkan, Nona!"

Setelah pintu kabin dibuka pengawal itu, barulah Aliesha masuk. Tak lupa dia menarik tangan bocah itu untuk diajak masuk pula. Sementara Aneska kini sudah duduk bersandar di dinding kamar bagian kepala tempat tidur sambil membaca buku tebal. Posisinya berada agak di tepi sebelah kanan tempat tidur, searah pintu masuk. Begitu menyadari Aliesha dan bocah itu sudah masuk, dia langsung menoleh dan menatap bocah itu dengan sinis. Lalu menatap ke arah pintu masuk seakan mencari seseorang.

"Mana tabib yang katanya kamu mau bawa ke sini, Kak Aliesha?" sungut Aneska. "Malah kamu membawa Tikus Kecil kesini."

"Ini tabibnya, Nona," kata Aliesha sambil menunjuk bocah itu yang berdiri di samping kirinya agak ke belakang.

Aneska kembali menatap sinis pada si bocah dengan keheranan. Dia tidak menyangka kalau tabib yang telah menyembuhkan juragan kaya ternyata masih bocah begini. Apakah Aliesha cuma bercanda? Sementara si bocah yang ditatap juga menatap Aneska, tepatnya mengamati raut wajah dan mata Aneska.

"Tikus Kecil ini yang kamu bilang tabib?" tanya Aneska keheranan. "Kamu tidak sedang bercanda 'kan, Kak?"

"Aku tidak bercanda," kata Aliesha meyakinkan. "Dia ini memang tabibnya."

"Tapi rasanya aku tidak yakin kalau Tikus Kecil ini bakalan menyembuhkan penyakitku," ungkap Aneska sangsi. "Masalahnya, penyakitku ini sudah ditangani oleh banyak tabib, bahkan terkenal."

"Nona, apa salahnya kita coba," Aliesha masih membujuk. "Lagipula aku sudah mengujinya. Menurutku dia sudah masuk kategori tabib."

"Hhh.... Terserah kamulah," Aneska akhirnya pasrah juga.

"Hei, Bocah Tengik! Lekas periksa Nona Aneska!" perintah Alisha cepat.

"Nona Jessica," kata bocah itu menyebut nama depan Aliesha. "Kalau Tuan Putri tidak percaya saya untuk mengobati penyakitnya, tidak usah dipaksakan."

"Panggil aku Aliesha, bukan Jessica," tegur Aliesha meralat panggilan bocah itu padanya.

"Biasanya orang itu dipanggil nama depannya," sanggah bocah itu berpendapat.

"Kamu mau mulai bertengkar lagi hah?" sungut Aliesha mulai emosi lagi. "Sekarang, cepat periksa Nona Aneska!"

"Baik."

Akhirnya bocah itu mengalah lagi, daripada urusan berkepanjangan. Setelah urusannya selesai disini, dia ingin cepat-cepat pergi. Tidak ingin berlama-lama. Dari pengamatannya tadi, dia sudah bisa meraba penyakit apa yang diderita Tuan Putri Kecil ini.

★☆★☆

Setelah meletakkan tasnya di atas kursi tak jauh dari tempat tidur, bocah lelaki itu akan segera memulai pekerjaannya. Tapi sebelumnya dia melakukan penghormatan dulu kepada Aneska. Tangan kanannya diletakkan di dadanya, tangan kiri di belakang, terus kepala berikut badannya tertunduk sedikit. Lalu berkata seolah meminta perijinan.

"Tuan Putri Aneska, ijinkan saya memeriksa keadaan Tuan Putri dulu."

Diperlakukan sedemikan sopan dan hormatnya begitu, gadis siapa yang tidak tersanjung. Termasuk Aneska ini. Dia langsung terkesan akan kesopanan bocah ini. Meskipun sebenarnya dia tidak terlalu menuntup setiap orang untuk terlalu resmi dalam menghormatinya sebagai Tuan Putri.

"Kalau kamu mau periksa, periksa saja," kata Aneska ketus seolah tidak mau menunjukkan kalau dia terkesan dan tersanjung atas penghormatan bocah itu. "Tidak usah pakai hormat-hormat segala."

"Baik, Tuan Putri."

"Kamu cukup memanggilku Aneska saja, tidak perlu pakai embel-embel Tuan Putri segala," anjur Aneska masih ketus.

"Tapi, Tuan Putri, permintaan Tuan Putri itu sudah melanggar etika," sanggah si bocah dengan lembut tapi masih bersuara dingin.

"Kenapa kamu itu begitu keras kepala hah?" sungut Aneska tambah ketus. "Hal seperti itu saja kamu sudah ajak berdebat. Tinggal turuti saja kenapa?"

"Baik, Tuan... eh Nona Aneska."

"Ya, sudah, silahkan kamu periksa keadaanku!"

Karena Aneska duduk agak ke tepi tempat tidur, maka tidak perlu bocah itu naik ke tempat tidur. Sejenak dia memeriksa denyut nadi Aneska. Sedangkan Aliesha sudah mengambil tempat di sebelah kiri Aneska di atas kasur.

Setelah memeriksa nadi Aneska, bocah tabib itu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis kecil berpakaian tebal dan berbulu itu, dan berhenti berjarak kurang dari dua jengkal, terus mengamati sepasang mata dan bibir si gadis kecil dengan teliti.

Tapi perbuatan bocah itu membawa perasaan lain bagi Aneska. Melihat wajah tampan si bocah begitu dekat, merasakan tatapan mata si bocah yang hitam kelam, membuat perasaan Aneska bergetar. Jantung berdegup cukup kentang. Terasa ada desiran halus di dalam relung hati. Entah perasaan gila apa yang dirasakannya ini, dia sendiri tidak tahu.

"Kenapa kamu malah menatapku seperti itu?" ketus Aneska dengan agak gugup.

"Jangan bergerak dulu, Nona Aneska!" cegah si bocah sambil cepat menahan pipi kiri Aneska yang hendak melengos dengan tangan kanannya.

"Apa yang kamu lakukan?"

Plaaak!

Dengan telak telapak tangan kanan Aneska menampar pipi kiri bocah itu. Meski tidak terlalu keras dan tidak sampai meninggalkan bekas, tapi cukup panas. Lebih daripada itu si bocah sudah dua kali kena tampar hari ini. Hati siapa yang tidak geram kalau begitu. Tapi bocah itu sudah pandai menekan perasaannya agar tidak emosi.

"Saya sedang memeriksa keadaan Nona," kata bocah tabib itu dengan menekan suaranya yang hasilnya bernada dingin. "Mestinya Nona memahaminya. Tapi kenapa Nona tidak bisa bekerja sama?"

"Tapi kenapa kamu harus menatapku begitu lama?" ketus Aneska masih tidak terima.

"Itu bagian dari pemeriksaan, Nona," ungkap si bocah.

Lalu Aneska menoleh ke Aliesha yang tampak tersenyum-senyum. Kini wajah gadis itu melengos ke arah lain saat tahu Aneska menoleh ke arahnya.

"Kenapa kamu senyum-senyum, Kak Aliesha?" tegur Aneska kesal. "Apa kamu senang Tikus Kecil ini mempermainkan aku?"

"Dia tidak mempermainkanmu, Nona," kata Aliesha sambil menahan senyumnya. "Seperti katanya tadi itu bagian dari pemeriksaan."

Lalu Aneska menoleh dan menatap tajam pada bocah tabib itu dan berkata sinis bercampur ketus, "Apa memegang pipiku bagian dari pemeriksaan?"

"Kalau Nona tidak bergerak, itu tidak akan terjadi," kata bocah itu membela diri.

"Alasan! Sekarang, apa kamu sudah selesai memeriksa keadaan penyakitku?" tanya Aneska masih ketus.

"Nona terkena 'Racun Es Merah'," jelas si bocah.

★☆★☆

Baik Aneska maupun Aliesha tidak paham nama penyakit yang diderita Aneska. Mereka juga tidak pernah mendengar dari tabib-tabib yang mengobati Aneska menyebut nama itu. Setiap kali Aneska maupun Aliesha bertanya kepada tabib-tabib itu, selalu dijawab tidak apa-apa, racunnya bisa disembuhkan. Aneska juga bertanya kepada ayahandanya, tidak dijawab pula. Seakan mereka itu menyembunyikan sesuatu darinya.

Namun baik Aneska maupun Aliesha tidak mau tahu apa itu 'Racun Es Merah'. Yang mereka mau tahu apakah dapat disembuhkan atau tidak.

"Apa kamu bisa menyembuhkan racun itu?" tanya Aliesha langsung.

"Sebelum saya jawab apa saya bisa meminta sesuatu?" tanya si bocah yang kini sudah duduk di kursi.

"Kamu itu baru juga kerja setengah sudah minta upah," sungut Aneska yang sepertinya salah tanggap.

"Apa yang kamu minta?" tanya Aliesha yang sedikit mengerti maksud pertanyaan bocah lelaki itu.

"Bisakah kita kerjasama dalam proses penyembuhan?"

"Coba kamu terangkan maksudmu apa sebenarnya?" kata Aliesha yang masih agak bingung.

"Saya bisa lihat kaki Nona Aneska dulu?" tanya bocah itu seakan tak menggubris pertanyaan Aliesha.

Tanpa berlama-lama Aliesha langsung menyingkap sedikit selimut yang membungkus kaki Aneska, terus membuka kedua kaos kakinya. Sedangkan bocah itu segera mendekat, dan terus mengamati kedua kaki Aneska tanpa menyentuh. Setelah bocah itu merasa cukup, Aliesha mengenakan lagi kedua kaos kaki Aneska dan membentangkan lagi selimut yang tadi disingkap sedikit.

"Racun itu sudah menyebar ke seluruh peredaran darah," terang bocah tabib itu setelah kembali duduk di kursinya, "dan sudah mencapai setengah dari proses pembekuan darah. Sehingga proses penyembuhannya tidak cukup hanya menelan pil obat saja, melainkan harus disalurkan energi inti panas dan energi inti penyembuh ke seluruh peredaran darah."

"Ya sudah, lakukan saja," kata Aneska tanpa mau banyak pikir.

"Saya harus menyalurkan dua energi itu melalui punggung Nona tanpa penghalang kain."

"Maksudmu tanpa pakai baju begitu?" tanya Aneska tercengang.

"Mungkin seperti itu," kata bocah lelaki itu seakan tidak tega berterus terang.

"Ah, tidak! Tidak mau!" tolak Aneska langsung. "Enak saja kamu mau menyentuh tubuhku."

"Huh, paling itu akal-akalanmu saja, Bocah Tengik," tuduh Aliesha bernada sinis.

"Tidak ada untungnya saya mempermainkan kalian. Apa yang saya ucapkan adalah fakta, bukan kebohongan."

"Apa tidak ada cara lain," kata Aliesha mencoba menawar. "Misalnya dengan meminum pil secara rutin. Atau boleh menyalurkan kedua energi itu, tapi dengan tanpa melepas baju. Apa bisa?"

"Seperti yang saya sudah katakan tadi, penyembuhan ini tidak cukup hanya minum pil obat saja meski secara rutin. Lagipula, energi inti panas dan energi inti penyembuh yang saya miliki belum mencapai taraf sempurna, masih setengah. Kalau saya paksakan, bukan saja proses penyembuhan tidak lancar, bahkan tidak berhasil. Sedangkan saya sudah kehabisan tenaga, bahkan bisa mati."

Aliesha tercenung sejenak memikirkan semua keterangan bocah itu. Aneska pun sepertinya juga demikian. Tapi dia sepertinya masih belum menyetujui proses penyembuhan yang dimaukan bocah itu.

★☆★☆

"Nona Aneska! Sekarang apakah semakin sering demam?" tanya bocah itu tiba-tiba di saat kedua gadis itu masih tercenung.

"Ya, bahkan beberapa kali demam tinggi," Aliesha yang menyahut.

"Tiap berapa hari Nona Aneska menggigil hebat?" tanyanya lagi. "Tiap empat hari atau tiga hari?"

"Tiap tiga hari," sahut Aliesha lagi kaget juga, kok bocah itu menebak nyaris tepat?

"Berarti sekarang dalam sehari menggigil dua kali."

"Kok kamu bisa menebak dengan tepat?" Aliesha tambah tercengang heran. Dan Aneska juga demikian.

"Saya bukan menebak, tapi kepastiannya memang begitu."

Aliesha dan Aneska hanya bisa saling memandang. Mereka tidak menyangka pengetahuan bocah itu dalam ilmu ketabiban sudah begitu jauh. Padahal usianya tidak jauh dari mereka. Lebih tidak menyangka lagi bocah itu telah mengetahui penyakit Aliesha secara rinci.

"Kalau mau diibaratkan angka dari satu sampai tiga," terang bocah tabib tanpa diminta, "penyakit Nona ini sudah mencapai angka dua. Dan proses dari angka dua ke angka tiga tidak berlangsung lama."

"...paling tidak Nona menggigil hebat tiap dalam tiga hari cuma tinggal satu bulan lagi," lanjutnya. "Setelah itu selama dua bulan Nona menggigil tiap dua hari, dan dalam sehari Nona menggigil tiga kali. Setelah itu Nona menggigil setiap hari dan sebanyak empat kali...."

Bukan hanya Aneska dan Aliesha yang makin tercengang mendengar penjelasan bocah lelaki itu. Empat orang pelayan yang duduk bersimpuh di lantai kabin pun tidak kalah tercengangnya. Lebih-lebih lagi seorang pelayan berusia empat puluhan. Sedari tadi dia menatap Aneska dengan tatap sendu.

Dia dan tiga pelayan lainnya sudah melihat sendiri bagaimana menderitanya Tuan Putri mereka ketiga menggigil. Harus memakai pakaian tebal tiap hari. Dan tidak bisa berlama-lama berada di luar ruangan.

"Ah, kamu cuma menakut-nakuti aku saja 'kan?" kata Aneska asal saja demi mengatasi kekalutannya.

Bocah lelaki itu tidak menanggapi. Dia berdiri dari kursi setelah meraih tasnya yang tadi di samping kursi sebelah kanan. Setelah itu dia berkata bernada datar.

"Nona sudah bisa menghitung 'kan berapa lama lagi Nona akan hidup?"

Setelah itu dia melangkah sambil menyampirkan tas di belakang punggungnya, siap meninggalkan ruangan ini.

"Kamu mau kemana?" tanya Aliesha yang sebenarnya hendak menahan kepergian bocah itu.

"Bukankah Nona Aneska tidak mau diobati?" bocah itu terus berjalan. "Jadi, buat apa saya berlama-lama di sini?"

"Aku bukannya tidak mau diobati, tapi... Hu hu hu...," kata Aneska dengan suara tercekat. Setelah itu tangisnya langsung meledak, air matanya langsung tertumpah begitu saja. Kesedihan mendalam langsung menderanya, membayangkan berapa lama lagi dia akan bertahan hidup. Dan Aliesha langsung memeluk bahunya dengan erat. Matanya juga tampak berkaca-kaca, tapi belum sampai menangis.

Namun sepertinya si bocah tidak terpengaruh akan tangisan Aneska yang begitu memilukan, terus saja melangkah tanpa henti, diiringi oleh tatapan Aneska yang masih berderai air mata. Diiringi tatapan Aliesha yang berkaca-kaca yang sepertinya menyiratkan pelarangan bocah tabib itu untuk pergi. Tapi kenapa dia seakan tidak bisa mencegahnya? Dia juga tidak mengerti.

★☆★☆★

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!