"Arya... Kamu.... Kamu selingkuh dengan Anggi, adikku?" tanyaku setelah kesadaranku mulai pulih dan mampu berbicara. Kue yang kupegang sejak tadi sudah terjatuh di lantai. Aku begitu lemas, bahkan disenggol sedikit saja mungkin akan jatuh.
Arya memakai celana boxer miliknya dan berjalan mendekatiku. Wajahnya tak menampakkan penyesalan sama sekali.
"Anggi memang pacar gue! Justru lo yang bukan siapa-siapa gue! Memangnya gue pernah bilang kalau kita pacaran? Lo aja yang bodoh dan kepedean menganggap gue pacar lo!" ujar Arya dengan pedas.
Tes.... Air mata kembali menetes dan membasahi wajahku. Rasanya sakit sekali. Kenapa Arya tega berkata semenyakitkan itu padaku.
Anggi yang sudah lengkap memakai pakaian miliknya berjalan menghampiri Arya dan memeluk pinggangnya dengan mesra. Arya pun membalas pelukan Anggi. Mereka berdua saling menatap dengan pandangan penuh cinta. Arya bahkan mencium bibir Anggi dengan mesra untuk menunjukkan padaku kalau mereka adalah sepasang kekasih yang penuh cinta.
Tes... air mataku tak kuat untuk tidak menetes. Tega sekali mereka padaku...
"Arya, selama ini... Selama ini kita memang dekat. Aku menganggap kita sudah lebih dari sekedar teman! Aku bahkan sudah banyak berkorban selama ini buat kamu, Ya!" ujarku dengan suara bergetar, sekuat tenaga menahan tangisku agar tidak semakin kencang. Hatiku rasanya ingin berteriak menyuarakan rasa sakit yang begitu mendera.
"Siapa yang suruh? Gue enggak pernah nyuruh lo! Itu sih inisiatif lo sendiri. Lo yang udah kegeeran dan membelikan gue segala macem. Lo pikir cinta itu bisa dibeli? Gue sejak awal hanya mencintai Anggi. Gue baik sama lo, karena menganggap lo kakaknya Anggi. Tapi kok muka kalian beda jauh ya?" ujar Arya dengan pedasnya.
Arya menatap Anggi kembali dengan penuh cinta. Memegang dagunya dan mencium lembut bibir Anggi, hal yang tak pernah Arya lakukan padaku. "Yang satu cantik!" Arya mencium pipi Anggi dengan mesra lalu menatapku seakan melihat seekor kecoa yang menjijikkan. "Yang satu jelek, cupu, lepek dan.... iyuuuhhh... Enggak terawat!"
Jeger....
Aku tak percaya mendengar Arya mengataiku seperti itu. Kata-katanya begitu membekas di hatiku, membuat luka yang amat dalam dan tak berdasar.
"Lo sadar enggak sih kalau lo tuh jelek? Satu kampus juga tau kalau lo tuh cupu dan jadul! Itu baju jaman kapan yang lo pake? Baju emak lo yang udah mati, masih aja lo pake! Terus satu lagi, saat lo deket-deket sama gue, rambut lo yang lepek itu bikin gue geli. Kayak orang enggak pernah keramas aja sampai lepek banget rambut lo kayak gitu! Iyuuuuhhhh!" Arya bergidik geli sambil melihatku.
Bahkan Mamaku pun kamu bawa-bawa. Apa salah kalau aku memakai baju peninggalan Mama? Hiks... "Kamu jahat, Ya!" akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku setelah menangis sesegukan. "Setelah apa yang aku lakukan buat kamu, begini cara kamu membalas aku?! Aku bersumpah Ya, kelak kalian akan mendapatkan balasan atas apa yang sudah kalian lakukan padaku!"
"Oh ya? Lo ngaca sana! Udah jelek sok ngutuk orang lagi lo! Muka lo tuh yang kena kutuk! Kalau lo secantik gue juga belum tentu lo bisa dapetin Arya! Jangan kepedean jadi orang jelek!" Anggi menambahkan lagi luka hatiku menjadi lebih sakit lagi.
Tak ingatkah Anggi kalau aku banyak berjasa padanya. Aku yang mencucikan mobilnya, aku mengalah dan memberikan payung milikku hanya agar Anggi tak kehujanan, kubiarkan semua keinginan Anggi dipenuhi. Tapi kini? Anggi malah berselingkuh dan ikut menghinaku.
"Kalian akan menyesal!" ujarku yang berbalik badan lalu pergi sambil menangis.
Ternyata keributan kami membuat penghuni kostan lain keluar dan menonton apa yang sedang terjadi. Aku dipermalukan di depan banyak orang, sementara Arya dan Anggi yang jelas-jelas sudah berzinah malah bersikap seperti bak orang paling benar.
Aku berlari menerobos kerumunan penonton. Aku terus berlari sampai depan jalan dan memberhentikan sebuah taksi. Bukannya menyebutkan alamat yang kutuju, aku malah terus menangis.
"Neng, mau kemana?" tanya Bapak supir dengan sabar. Ia tak tega melihatku yang menangis lirih tersebut. Suara tangisku sungguh memilukan siapapun yang mendengarnya.
"Ke Jembatan Cinta, Pak!" hanya tempat itu yang ada dalam pikirku.
"Jembatan Cinta?" meski agak ragu, namun supir itu tetap mengantarkan penumpangnya ke tempat yang dituju.
Saat aku membayar ongkos taksi, Bapak supir memberikanku sebuah permen. "Ini buat kamu, Neng. Semoga takdir buruk kamu hilang dan berganti menjadi takdir manis seperti permen ini."
Meski agak bingung, aku menerima permen tersebut dan mengucap terima kasih.
Aku berjalan menuju jembatan cinta yang kebetulan sore itu agak sepi. Hanya ada seorang gadis yang sedang menangis sambil melihat kertas di tangannya.
Gadis itu adalah Agni, aku mengenalnya. Ia adalah seorang selebgram cantik yang biasa membuat konten tentang make-up dan banyak mengedukasi pengetahuan yang Ia miliki. Sedang apa dia di Jembatan Cinta?
Aku hanya melirik sekilas ke arah Agni lalu aku berjalan menuju sisi sebelah Agni. Jarak kami mungkin hanya dua meter jauhnya.
Aku kembali mengingat pengkhianatan kekasihku dan adik tiriku. Kata-kata hinaan mereka begitu menusuk hatiku. Apakah aku salah kalau aku dilahirkan menjadi jelek? Apa aku salah kalau aku tak memperdulikan penampilanku seperti yang lain?
Apakah karena alasan itu aku berhak untuk dihina? Aku manusia bukan hewan menjijikkan seperti pandangan kalian!
Huaaaa..... Aku menangis meluapkan kesedihanku. Air sungai di bawah sana seakan memanggilku untuk terjun dan melupakan kesedihanku dengan melompat turun. Aku membuka tanganku dan melihat permen yang diberikan oleh Bapak supir taksi tadi. Tak ada merk. Hanya bungkus plastik pink polos.
Aku membuka plastik permen dan memakannya. "Setidaknya aku harus makan yang manis sebelum aku menghilang dari dunia ini."
****
POV Author
Di sisi lain, Agni juga merogoh kantong sakunya dan mengambil permen yang sama dengan milik Lara. Ia mendapatkannya dari supir taksi yang mengantarkan Agni dari rumah sakit sampai ke Jembatan Cinta. Supir taksi yang sama dengan yang mengantarkan Lara. Ia membuka plastiknya dan memakan permen miliknya. "Semoga aku masih bisa hidup di dunia ini, meski ragaku sudah tak ada lagi."
Agni menengok ke sebelah saat kemasan permen milik Lara terbang ke arahnya. Disana Ia melihat Lara sedang memanjat pembatas jembatan.
"Mau apa gadis itu?" Agni berlari ke arah Lara. Agni sudah berpikiran jelek saja tentang Lara.
Lara sudah bersiap hendak melompat ketika tangan Agni terjulur menangkapnya.
"Mau apa kamu? Jangan nekat Jangan bertindak gila!" teriak Agni sambil menahan tubuh Lara.
"Tak ada gunanya aku hidup di dunia ini! Dunia ini bukan untuk orang jelek seperti aku!" ujar Lara.
Lara lalu melepas satu pegangan tangannya.
"Jangan!" teriak Agni.
Lara dan Agni saling berpegangan tangan. Agni yang fisiknya lemah tak kuat menahan bobot Lara. Keduanya lalu jatuh ke dalam sungai.
Byuuuuurrrrr
Blup...blup....blup...
Lara yang tak bisa berenang mulai merasakan air sungai memasuki paru-parunya. Ia pasrah. Ia tak mau lagi berada di dunia ini lebih lama lagi.
Agni yang pandai berenang menarik tubuh Lara ke tepi. Sekuat tenaga Ia menyelamatkan Lara dengan tubuh rapuh dan sisa-sisa kekuatan yang Ia miliki. Agni membawa tubuh Lara ke tepian sungai.
Saat Agni ingin berdiri, Ia tergelincir batu dan jatuh kembali ke sungai. Sebuah kayu besar tiba-tiba menghantam kepalanya. Agni tak sadarkan diri dan pingsan lalu mulai terseret aliran arus sungai.
Warga yang melihat ada dua orang yang melompat dari atas jembatan pun geger. Mereka mendapati Lara yang pingsan karena banyak menghirup air sungai.
Lima ratus meter dari tempat Lara, mereka menemukan Agni, yang tersangkut di bebatuan. Keduanya dibawa ke rumah sakit terdekat.
Lara berhasil selamat, namun Agni tak tertolong. Agni meninggal saat menyelamatkan Lara. Umurnya bahkan lebih cepat dari perkiraan dokter. Tak ada yang tahu tentang ajal seseorang.
Papa Handaka datang dengan wajah sedih setelah mendapat kabar kalau Putrinya ditemukan warga di sungai dan kini ada di rumah sakit terdekat. Ia terpukul melihat putri kandungnya dalam kondisi lemah. Untunglah Lara selamat, jika Lara tak selamat, maka Papa Handaka akan menyalahkan dirinya seumur hidup.
...Selebgram cantik dan penuh talenta, Agni ditemukan meninggal dunia di sungai. Saksi mata mengatakan kalau Agni mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari Jembatan Cinta. Apa penyebabnya? Depresikah?...
Meninggalnya Agni membuat geger dunia maya. Agni yang terkenal memiliki jutaan followers mendapat banyak ucapan berbela sungkawa. Mereka menyayangkan keputusan Agni yang ingin mengakhiri hidupnya.
Mereka berpikir Agni bunuh diri, padahal Agni meninggal karena menyelamatkan nyawa Lara. Tak ada yang tahu, hanya Lara seorang yang mengetahuinya. Lara baru terbangun dari komanya sebulan kemudian, setelah berita kematian Agni mereda.
POV Author End
****
Ayo dukung karya aku dengan like, komen, ⭐⭐⭐⭐⭐ dan add favorit ya. Maacih 😘😘😘
Flashback
Pagi ini matahari masih malu-malu beranjak dari peraduannya. Udara masih sejuk dan bagi sebagian orang pagi adalah awal hari yang baik.
Ya, hanya untuk sebagian orang saja. Yang lainnya gimana? Ada juga yang bernasib sial seperti aku...
Byuuuuurrrr!!!!
Aku terbangun dan langsung duduk tegak saat segelas air dingin mengguyur wajahku. Hidungku terasa pedas dan telingaku sepertinya kemasukan air. Aku memiringkan telingaku agar air yang masuk bisa keluar.
Aku tak berani memarahi yang menyiramku dengan air. Aku sudah tau siapa orangnya. Wajah galak Tante Sofie, Mama tiriku langsung membuat kemarahan dalam diriku berubah menjadi ketakutan dalam sekejap.
"Saya udah teriak-teriak dari tadi di bawah! Saya suruh kamu bangun eh kamu malah enak-enakkan disini! Kamu pikir kamu tuan putri apa?!" maki Tante Sofie di pagi yang cerah ini.
"Ma... Maaf Tante. Lara enggak dengar! Lara lelah sekali kemarin habis sidang skripsi." jawabku dengan suara gugup dan mendecit pelan. Aku sangat takut kalau Tante Sofie marah. Lebih baik minta maaf agar kemarahannya reda.
"Saya enggak peduli! Cepat bangun dan kamu cuci mobilnya Anggi! Mau pergi dia! Tante enggak mau kalau Anggi pergi dengan mobil yang kotor!" bruk... sebuah lap kotor dilemparkan ke wajahku. "Kalau belum bersih, kamu enggak boleh sarapan!"
Tante Sofie lalu pergi sambil membanting pintu kamarku dengan kencang. Membuatku harus menenangkan debaran jantungku karena kaget. Lagi dan lagi Ia memperlakukanku seenaknya.
"Pasti tak ada Papa, makanya Tante berulah pagi-pagi!" gerutuku. Kupandangi lap kotor yang tadi dilempar ke mukaku. Andai aku berani melawannya... Sayangnya, aku terlalu pengecut untuk melawan semua ketidakadilan ini.
Namaku Lara Handaka. Aku adalah putri seorang pengusaha kaya raya bernama Handaka Prabumulya, pemilik Handaka Group. Setelah Mamaku meninggal, Papaku memutuskan untuk menikah lagi dengan Tante Sofie yang sudah memiliki putri yang sebaya usianya denganku, namanya Anggi yang kini memiliki nama Handaka di belakang namanya.
Awalnya Anggi dan Tante Sofie bersikap baik padaku, mereka sangat perhatian dan bersikap hangat makanya aku setuju dan mengijinkan Papa untuk menikah lagi. Sayang, sikap manis mereka hanya topeng belaka. Bak kisah bawang merah dan bawang putih, aku harus menerima takdir diperlakukan tak adil di rumahku sendiri.
Tante Sofie mengancamku, jika aku tak mau menjadi anak manis yang menuruti setiap perintahnya maka Ia akan menghancurkan Papaku bagaimanapun caranya. Aku tak punya keberanian untuk melawan. Aku terlahir menjadi seorang pengecut, aku terlalu takut Papaku akan terluka. Aku tak mau kehilangan lagi satu-satunya orang tua yang masih kumiliki.
Jadilah aku diperlakukan semena-mena oleh mereka, apalagi kalau Papa sedang tak ada di rumah. Aku tak menangis, sudah biasa diperlakukan bak kacung kampret membuat air mataku kering rasanya.
Aku mengambil lap kotor dan memandangi seprai dan bed cover yang basah karena air yang diguyur ke wajahku. Semoga nanti kering, kalau minta ganti seprai maka akan kena omel lagi, doaku dalam hati.
Aku pun pergi ke garasi mobil. Disana nampak mobil merah maroon milik Anggi yang harus aku cuci. Kemarin pergi kemana sih Anggi sampai mobilnya sekotor ini? Banyak lumpur yang harus aku bersihkan.
"Non Lara mau apa?" tanya Bi Ida yang melihatku menuangkan sabun di ember berisi air.
"Mau nyuci mobil Anggi, Bi!" jawabku.
"Waduh! Kok Non Lara yang nyuci? Biar Bibi saja, Non!" Bi Ida tak enak hati, majikannya disuruh mencuci mobil bukan dirinya.
"Biar saya saja, Bi. Nanti kita berdua kena omel. Bibi masuk ke dalam kamar saya saja! Tolong jemur bed cover saya yang basah ketumpahan air ya, Bi!" pintaku
Bi Ida menurut, Ia tahu kalau Ia membantu malah akan menjadi bumerang untukku nantinya.
Aku mencuci mobil Anggi, yang tak pernah mengucap kata terima kasih sama sekali atas jasaku yang sudah membuat mobilnya bersih lagi. Anggi langsung pergi, dan membanting pintu mobil dengan kencang di depanku. Aku hanya bisa mengelus dada melihat kelakuannya yang makin semena-mena saja.
Aku membenarkan kacamata berbingkai besar milikku. Agak kotor karena saat menyikat ban tadi kena kecipratan. Selesai dengan tugas mencuci mobil, aku lalu masuk ke dalam kamar.
Tante Sofie tadi sudah pergi ke arisan dan berkumpul dengan geng sosialitanya. Aku teringat kalau hari ini aku akan memberi kejutan pada Arya Prabakesa, kekasih hatiku tercinta. Aku harus bersiap-siap.
Aku pun mandi dan memakai blouse lengan balon berwarna orange yang aku padukan dengan celana jeans model cutbray. Sehabis mengeringkan rambut, aku mengoleskan minyak rambut agar rambutku selalu rapi.
Sudah tentu memakai minyak rambut malah membuat rambutku yang dikepang satu ke belakang makin terlihat lepek. Orang mungkin mengira aku belum keramas karena rambutku yang lepek. Tak apalah, yang penting rambutku rapi tak ada anak rambut yang keluar-keluar saat diterpa angin.
Kacamata yang kotor tadi aku bersihkan dan kupakai di wajahku yang nampak agak kusam karena sehari-hari bekerja sampingan di toko kue. Tak ada sedikit pun make up yang menghiasi wajahku. Polos. Hanya bedak bayi yang seharga sepuluh ribu, itu pun tak habis selama 3 bulan kupakai.
Aku memang kurang memperdulikan penampilan. Uang jajanku selama ini diatur oleh Tante Sofie, hanya cukup untuk naik angkot dan membeli makan siang di kantin. Tak ada uang tambahan untuk ke salon atau untuk sekedar membeli buku.
Aku tak pernah mengeluh. Aku memutuskan mencari pekerjaan sampingan agar bisa membiayai kebutuhanku dan juga membiayai hidup Arya kekasihku.
Arya adalah seorang mahasiswa yang merantau dari kampung. Arya mendapat beasiswa karena kepintarannya. Orangtuanya hanyalah petani yang masih harus membiayai adik-adiknya sekolah, tak bisa banyak memberikan uang untuk biaya hidup Arya di Jakarta.
Berkat uang hasil bekerja di toko roti, aku bisa membiayai kostan Arya setiap bulan. Uang kiriman dari orangtua Arya dipakai untuk makan sehari-hari dan membeli peralatan kuliah.
Tak hanya itu, uang saku milikku pun aku pakai untuk mentraktir Arya. Aku memilih membawa bekal dari rumah hanya agar Arya bisa beli makan di kantin. Kasihan Ia jika harus menahan lapar karena tak punya uang untuk makan.
Ya, cintaku terhadap Arya memang cinta buta. Arya adalah ketua senat mahasiswa. Kemampuannya berbicara membuatnya banyak digandrungi para mahasiswi. Memiliki Arya sebagai kekasih adalah kebanggaan terbesar dalam hidupku.
Aku teringat saat pertama kali berkenalan ketika kami sedang OSPEK, Arya langsung bersikap baik padaku. Arya begitu perhatian dan hubungan kami menjadi lebih dekat dalam waktu singkat.
Kemarin kami sudah sidang skripsi bareng, sebentar lagi kami akan wisuda. Akhirnya aku bisa membantu Arya sampai Ia lulus. Tak sia-sia aku bekerja di toko roti selama ini. Arya pasti akan sangat mencintaiku.
Aku mampir dahulu ke toko kue untuk membeli kue kesukaan Arya. Brownies yang kupilih karena bisa awet di kostan Arya yang tak ada lemari es-nya.
Aku berjalan dengan langkah riang. Selesai sudah aku membantu membiayai Arya. Setelah wisuda nanti aku akan meminta Papa untuk memberikan Arya pekerjaan di perusahaan. Arya harus belajar mengenai perusahaan karena kelak Ia yang akan memimpin perusahaan jika kami sudah menikah. Nanti aku akan dipanggil Nyonya Arya Prabakesa. Ah... senangnya!
Aku senyum-senyum sendiri jadinya. Tak peduli kalau sejak tadi aku jadi bahan perhatian penumpang angkot yang lain.
Aku memberhentikan angkot di dekat kostan Arya. Kostan ini bebas keluar masuk laki-laki maupun perempuan. Arya yang meminta kost disana karena jabatannya sebagai ketua senat, kadang meeting diadakan di kostan miliknya. Ia tak suka dengan kostan yang banyak aturan. Aku menurut saja. Aku percaya dengan apa yang Arya katakan.
Aku masuk ke dalam pekarangan rumah kost. Aku heran kenapa ada mobil milik Anggi yang tadi pagi kucuci di pekarangan kost Arya?
Tak mau berburuk sangka, aku pun pergi ke kamar Arya. Senyum di wajahku terus mengembang bersama hatiku yang bahagia.
Aku pun sampai di depan kamar Arya yang terletak di lantai dua paling ujung. Aku mengatur nafasku agar lebih tenang. Surprise kali ini pokoknya harus berhasil.
Aku mengangkat kotak kue agak tinggi dan secara mendadak aku membuka pintu kamar Arya.
"Surpriseeeee!!!!"
Senyum di wajahku menghilang. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Di dalam kamar Arya, aku melihat Anggi adik tiriku.
Anggi terlihat tanpa busana, Anggi sedang berada diatas tubuh Arya sambil mendes*h bersama. Mereka yang kaget dengan kedatanganku, menghentikan perbuatan menjijikkan mereka dan dengan tergesa-gesa segera memakai pakaiannya yang bertebaran di lantai.
Aku masih terpaku di depan kamar. Tak percaya dengan apa yang sudah aku lihat. Apa yang sudah Arya dan Anggi lakukan?
Butiran air mataku mulai berderai turun tanpa dikomando. Aku merasa hatiku sangat sakit. Cintaku yang tulus telah dikhianati. Mengapa Arya begitu tega padaku? Mengapa cintaku tak ada artinya sama sekali di mata Arya?
****
Rasanya aku sudah tertidur sangat lama. Sudah waktunya aku untuk terbangun. Kubuka mataku perlahan, membiasakan diri saat cahaya terang menyilaukan menerpa mataku. Aku agak bingung mendapati diriku berada di ruangan yang serba putih. Apakah aku sudah meninggal? Apakah aku sudah di surga? Tapi surga tak akan menerima manusia yang meninggal karena bunuh diri, lalu dimana aku?
Bau disinfektan dan suara dokter yang memanggil namaku membuatku tersadar kalau aku ada di rumah sakit. Aku belum meninggal. Aku masih hidup!
"Lara? Kamu bisa mendengar Papa?" tanya Papa dengan suaranya yang bergetar karena air mata.
Aku hanya bisa menjawab "Iya." dengan lemah.
Dokter pun mulai memeriksa keadaanku. Aku perlahan mulai mengingat kejadian saat Arya mengkhianatiku sampai aku nekat bunuh diri. Aku teringat akan luka dan dendam dalam hatiku yang membara.
Papa begitu senang saat mendapati putri kandungnya telah sadar. Ia memelukku dengan penuh rasa kasih sayang, membuatku merasa bersalah karena menyia-nyiakan hidupku hanya demi laki-laki sialan itu.
Aku menghapus air mataku dan baru menyadari kalau sejak tadi aku tak memakai kacamataku. Aku merasa ada yang lain dalam diriku. Kenapa aku bisa melihat dengan jelas? Saat Papa memberikan kacamata milikku yang sudah diperbaiki, aku justru tak memerlukan kacamata itu lagi.
Ajaib sekali, seakan air sungai mampu membuat mata minusku sembuh dalam sekejap. Aku mampu melihat jelas tanpa bantuan kacamata. Padahal seharusnya aku harus melakukan operasi lasik kalau mau menurunkan minus di mataku.
Tunggu, air sungai? Aku ingat kalau aku bunuh diri. Bagaimana dengan cewek yang memegang tanganku? Ia sudah menyelamatkanku, bagaimana nasibnya kini?
Aku pun bertanya pada Papa bagaimana kabar Agni, selebgram cantik yang berjasa menyelamatkanku. Aku ingin berterima kasih namun Papa bilang Agni sudah meninggal. Ia meninggal karena menyelamatkan nyawaku?
Aku begitu terpukul saat mendengarnya. Jadi, aku sudah membuat orang lain meninggal karena menolongku? Kenapa hidupku begini? Kenapa aku menjadi orang yang sangat jahat?!
Aku menangis menyesali perbuatanku. Kenapa aku harus membuat orang lain meninggal? Harusnya aku saja yang mati! Aku! Manusia paling lemah dan tak berguna di muka bumi ini!
Papa yang panik melihatku begitu shock dan menangis histeris lalu memanggil dokter, aku lalu diberi suntikan obat penenang dan jatuh tertidur. Saat aku tertidur, aku melihat beberapa penggalan cerita ada dalam mimpiku. Aku bermimpi kalau aku adalah seorang selebgram. Aku bermimpi kalau aku bisa sehat dan berlari bebas.
Lalu aku terbangun. Aku sadar, itu bukan mimpiku. Apakah itu mimpi Agni? Kenapa aku bisa bermimpi menjadi Agni?
Aku merasa amat berhutang budi pada Agni. Sepulang dari rumah sakit, aku minta Papa mengantarkanku ke kuburan Agni. Disana aku meminta maaf pada Agni dan menangis penuh penyesalan.
Papa lalu mengajakku pulang. Aku merasa bersalah dan merasa sakit hati. Aku tak mau melihat Tante Sofie yang terus berpura-pura baik padaku hanya untuk mencari muka depan Papa. Aku juga tak mau bertemu dengan Anggi yang sudah menjahatiku!
Papa tak tahu kalau perselingkuhan Anggi dan Arya yang membuatku sampai nekat bunuh diri. Papa yang semula begitu cuek padaku dan lebih mementingkan perusahaan kini sangat memperhatikanku.
Setiap malam aku mulai bermimpi aneh lagi. Aku malam ini kembali bermimpi menjadi selebgram. Bisa berbicara di depan kamera dengan penuh percaya diri dan aku terbangun dengan hati senang.
"Lara, makanlah Nak. Kamu harus makan agar kuat dan sembuh." ujar Papa.
Aku menatap makanan yang Papa bawakan. Kuat? Ya, Papa benar. Aku harus kuat untuk membalas semua dendamku!
"Papa suapin kamu ya, Nak!" ujar Papa dengan penuh kasih.
"Ehem!" terdengar suara Tante Sofie. "Biar Mama saja Pa yang suapin Lara." ujar Tante Sofie, yang lagi-lagi mencari perhatian di depan Papa.
"Jangan! Papa saja!" entah keberanian dari mana yang datang dalam diriku, aku kini berani menolak permintaan Tante Sofie, di depan Papa lagi! Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya.
"Kasihan Papa kamu, Ra. Biar Tante saja ya yang suapin!" Tante Sofie mulai berakting seakan aku adalah anak yang Ia sayang, padahal justru dialah yang selama ini mendzholimiku. Lupa kalau Ia pernah melempari mukaku dengan lap kotor?
"Papa saja yang suapin, atau Lara tak mau makan!" wow, aku bahkan mengancam Tante Sofie! Hebat sekali aku!
"Sudah, biar aku saja!" ujar Papa mengambil makanan dari tangan istrinya. "Makan yang banyak ya, Sayang!"
Tante Sofie merasa dipermalukan di depan suaminya oleh aku si Cupu. Ia mengepalkan tangannya menahan amarah dan keluar dari kamarku.
Aku tersenyum senang. Kenapa tidak sejak dulu saja aku melawan Tante Sofie dan Anggi? Kenapa aku harus diam saja melihat mereka memperlakukanku dengan semena-mena?
Papa menyuapiku sambil menatapku dengan sedih. Papa pikir aku masih bersedih atas meninggalnya Agni, aku justru memikirkan nasib Papa. Aku tak mau Tante Sofie menjahati Papa, satu-satunya orang tua yang aku miliki.
"Kamu tau Sayang, kadang takdir itu memang kejam. Tapi tahukah kamu, kenapa kamu selamat dan anak itu tidak?" tanya Papa. Aku menggelengkan kepalaku.
"Meski Ia selamat pun usianya tak akan lama. Ia menderita kanker darah stadium 4 yang membuat hidupnya tak akan lama lagi. Keputusannya untuk menyelamatkanmu adalah amal ibadah yang Ia lakukan di saat-saat terakhir hidupnya. Yang perlu kamu lakukan bukanlah meratapi keadaan. Bukan murung dan menyia-nyiakan kesempatan yang Ia berikan. Kamu justru harus membuktikan pada Agni kalau kesempatan hidup yang Ia berikan, akan kamu manfaatkan sebaik-baiknya. Tunjukkan pada Agni kalau kamu layak dapat kesempatan itu!"
Ya, Papa benar. Agni memberiku kesempatan kedua dan aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang Ia berikan. Aku harus kuat dan membalas Anggi. Aku juga harus bisa melindungi Papa dari niat jahat Tante Sofie.
"Pa, Lara boleh minta sesuatu?" tanyaku.
"Tentu. Kamu mau minta apa?" tanya Papa Handaka. Aku punya permintaan berarti ada semangat hidup kembali. Ini yang Papa inginkan dalam diriku.
Untuk menjalankan semua rencanaku, aku butuh modal. "Lara mau minta uang sama Papa. Lara juga mau minta mobil yang lebih bagus dari Anggi."
Papa mengernyitkan keningnya. Putrinya yang sederhana meminta uang dan mobil? Tak biasanya aku bersikap seperti ini. "Buat apa Sayang?"
"Lara mau menikmati hidup, Pa. Bolehkan?"
Papa lalu tersenyum. Ia senang semangat hidupku sudah kembali. "Tentu saja boleh. Semua harta Papa toh pada akhirnya untuk kamu seorang, Sayang!"
Papa mengeluarkan kartu ATM miliknya. "Pin-nya adalah tanggal lahir kamu. Pakailah! Papa tau kamu akan bijak memakainya. Kalau mobil, Papa akan menyuruh sekretaris Papa membawakan untuk kamu. Mau mobil apa?"
"Ferrari!"
Papa Handaka sangat terkejut. "Wow! Ferrari?"
"Boleh kan, Pa?"
"Tentu... Tentu, Sayang! Tentu! Asalkan kamu bahagia, Papa akan bahagia!"
Aku memeluk Papa dengan penuh kasih. Dalam hatiku bertekad akan melindungi Papa dan menghancurkan orang-orang yang sudah menyakitiku. "Makasih, Pa. Papa jangan khawatir, Lara akan menggunakan kepercayaan yang Papa berikan dengan sebaik-baiknya!"
****
Aku membuka isi lemari bajuku. "Wah, kenapa isi bajuku isinya culun semua? Harus aku modif nih!"
Aku teringat mimpiku tentang menjadi selebgram. Kuambil Hp miliknya dan mulai merekam saat aku memodif pakaian jadulku.
"Hi Cantik! Aku Lara Handaka akan mendokumentasikan make over diriku dari yang cupu ini menjadi keren. Hari ini aku akan memodif pakaian jadul yang aku punya! Ikutin aku terus ya!" Aku tak menyangka kalau sekarang aku bisa berbicara lancar seperti seorang selebgram yang terbiasa berbicara di depan kamera. Padahal biasanya aku pemalu dan mudah gugup.
Dengan kamera yang tetap menyala, aku mengambil sebuah blouse dengan lengan balon khas tahun 70an. Aku memiliki beberapa baju dengan gaya yang sama, maklum semuanya adalah peninggalan saat Mamaku masih hidup dulu.
Aku mengambil gunting dan memotong lengan baju tersebut menjadi baju tanpa lengan alias lekbong yang terlihat jauh lebih modis.
Aku memeriksa celana di lemari bajuku. Celana cutbray yang biasa aku kenakan pun kena rombak. Aku menggunting celana itu sampai paha. Aku lalu memakai celana beserta blouse tanpa lengan yang sudah aku modif. Hasilnya sangat keren ternyata di tubuhku. Wow, aku benar-benar punya kemampuan lain dalam diriku!
"Gimana? Lebih keren kan? Gaya seperti ini bisa kalian pakai saat hangout dengan teman-teman kalian! Udah enggak jadul lagi kan? Masih penasaran kan ingin lihat perubahan aku selanjutnya? Pantengin aku terus ya!" aku bicara lagi di depan kamera.
Kutaruh kamera menghadap ke arah kaca. Rambutku sangat lepek karena selalu memakai minyak rambut. "Gaya begini udah enggak oke nih, Cantik! Aku ubah sedikit ya!"
Aku mengambil video saat aku masuk ke kamar mandi dan mencuci rambutku dengan shampoo. Setelah itu kukeringkan dengan hair dryer dan rambut panjangku aku ikat kuda.
"Ini lebih baik ya, Cantik! Setidaknya untuk sementara!" Kamera pun aku pindahkan ke depan cermin. Aku akan membuat konten tentang make up sederhana.
Kunyalakan lagi kamera dan menampilkan wajahku saat aku make-up dengan alat seadanya. Memakai lipbalm dan melihat wajahku yang sudah lebih baik.
"Gimana penampilanku? Lebih baik bukan? Penasaran dengan penampilan aku berikutnya? Yuk ikutin terus Kisah Lara Handaka ya.... Bye-bye Cantik! Muachhh!" Aku mengakhiri videonya setelah memberikan kissbye. Semua ini akan aku edit dan nanti akan aku upload di sosial media milikku dan Youtube tentunya.
Entah kenapa aku merasa senang memvideokan diriku sendiri. Aku merasa apa yang aku lakukan akan menginspirasi orang lain. Agar tak ada lagi gadis cupu yang dihina dan dikhianati hanya karena penampilan, seperti yang aku rasakan.
Aku menaruh Hp milikku saat Bibi mengetuk pintu kamar dan memberitahu kalau sekarang sudah waktunya makan siang. Aku pun turun ke bawah dan menuju ruang makan. Sudah ada Anggi, Tante Sofie dan Papa tentunya. Semua terkejut melihat penampilan baruku.
"Bi, mau jusnya!" tanpa menunggu jawaban bibi, kuambil jus di nampan yang bibi bawa.
"Itu jus gue!" teriak Anggi, tak terima dengan apa yang aku lakukan.
"Anggi! Kan kamu bisa minta Bibi lagi!" Tante Sofie memarahi Anggi karena sudah berteriak di depan suaminya.
"Enggak usah Tante. Lara akan kembalikan. Belum Lara minum kok!" Aku pun berjalan mendekat, lalu aku berakting seakan ada sesuatu di lantai yang membuat aku hampir jatuh lalu...
Byur....
Jus di tanganku aku tumpahkan semua di wajah Anggi.
"Ya ampun Anggi! Maaf ya... Maaf... Aku tak sengaja!" aku memasang wajah bersalah.
"Tak apa, Ra. Biar Anggi nanti bersihkan!" lagi-lagi Tante Sofie bukan membela anaknya malah mencari muka depan suaminya.
"Maaf ya Tante. Tadi Lara mau kepeleset, tangan Lara belum kuat untuk menahan jusnya. Maklum, habis sakit Lara belum pulih benar!" alasanku terdengar begitu meyakinkan.
Anggi hanya bengong melihat kemampuan aktingku. Mamanya pun tak membelanya. Ia pasti tau kalau sejak tadi aku berbohong dan kini Ia yang jadi korbannya!
Papa lalu mendekatiku yang masih memasang wajah pura-pura menyesal. "Enggak apa-apa kok, Sayang! Kamu baru sembuh. Enggak apa-apa. Anggi enggak marah kok sama kamu. Ayo kita makan!"
Papa menuntunku sampai aku duduk di kursi makan, Papa lalu bicara pada Anggi yang sangat kesal karena wajahnya basah namun tak boleh menampakkan kekesalannya. "Kamu ganti baju dulu sana, Gi!"
Dengan kesal Anggi meninggalkan ruang makan dengan wajah dan rambut yang basah dengan jus yang kutumpahkan. Sama seperti Mamanya menyiramku waktu itu. Aku tersenyum dalam hati. "Ini baru awal. Aku akan berubah dan akan membalas semua perbuatan kalian padaku! Lihat saja nanti!"
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!