Hari ini adalah hari pertama Devan Artama menjabat sebagai Presdir. Ia tersenyum di depan cermin menatap dirinya yang gagah. Ia menaiki mobil mewah hadiah dari sang nenek setahun yang lalu. Dengan gesit, ia menyusuri jalan ibukota menuju kantornya sambil menikmati musik.
Sementara itu di gedung Arta Fashion, para karyawan bersiap menyambut Presdir mereka yang baru. Mereka sibuk berbenah diri dan ruang kerja masing-masing. Atasan mereka kali ini sangat berbeda. Beliau penyuka kebersihan dan tak bisa bersentuhan langsung dengan orang lain.
"Cepat kalian bersihkan seluruh gedung ini Presdir akan datang!" perintah Hilman, Sekretaris Presdir pada petugas kebersihan.
"Baik, Tuan!" Jawab sepuluh orang petugas kebersihan gedung serempak.
"Hilman, apa kita perlu memanggil petugas kebersihan dari luar untuk membantu mereka?" Tanya Tia, seorang manager bagian karyawan.
"Boleh juga, dia akan tiba dua jam lagi," jawab Hilman.
Tia pun menelepon layanan kebersihan online, beberapa menit kemudian beberapa orang petugas kebersihan datang.
Seluruh ruangan di bersihkan, diberikan pengharum ruangan dan tak ada sampah yang menumpuk di dalam tong sampah.
Semua memperhatikan pakaian yang mereka pakai dan berdiri dengan sikap yang sempurna.
Mereka semua menyambutnya dari pintu masuk gedung.
Tak lama kemudian, seorang pria muda berusia 27 tahun turun dari mobil mewah. Memakai jas dan tampak begitu rapi.
"Selamat datang, Tuan!" Sapa Hilman di samping pintu mobil.
"Ya."
Pria itu berjalan memasuki gedung. Seluruh karyawan, menundukkan sedikit kepalanya memberikan hormat.
"Saya tak mau ada sampah berserakan di lantai gedung ini," ucapnya pada Hilman yang berada disampingnya sambil berjalan menuju ruangan kerjanya dan melirik ke kanan dan kirinya.
"Baik, Tuan!"
"Tapi kenapa itu masih ada daun yang jatuh di lantai?" tunjuknya pada sebuah pot bunga yang berada di dekat pintu lift. Dengan gerakan cepat, Hilman memungutnya dan mengantonginya.
"Jangan sampai itu terjadi lagi," Devan mengingatkan.
"Baik, Tuan!"
Pria itu memasuki ruangan kerja miliknya, ia menempelkan ujung jari telunjuknya di meja kerjanya lalu mengangkatnya dan melihatnya.
"Saya ingin yang melayani ku tiap pagi membuat kopi dan teh itu, kau!" Tunjuknya pada Hilman. "Saya tak mau ada orang lain yang masuk di sini kecuali kau," lanjutnya lagi.
"Sa..saya, Tuan!" jawabnya gugup.
"Iya."
"Apalagi tugas yang harus saya lakukan, Tuan?"
"Itu saja dulu, mungkin nanti akan ada tambahan," jawabnya.
"Kalau saya boleh tahu anda suka teh dengan gula sedikit atau sedang?"
"Tanpa gula," jawabnya.
"Baik, Tuan."
"Pastikan tidak ada sembarangan orang yang masuk ke sini," ucapnya lagi.
"Baik, Tuan!"
Suara ketukan pintu terdengar dari luar.
"Temui dan tanyakan keperluannya, jika hanya tanda tangan. Kau saja yang bawa ke sini," titahnya.
"Baik, Tuan!" Hilman pun membukakan pintu. "Ada apa?" Tanyanya.
"Saya hanya ingin mengantarkan ini, Tuan!" Menunjukkan beberapa berkas.
"Biar saya saja yang memberikannya," ucap Hilman.
"Baiklah," karyawan pria itu pun menyodorkannya padanya.
Hilman pun membawa berkas itu dan menyerahkannya pada Presdir baru. "Mereka minta tanda tangan anda, Tuan!"
Dengan duduk santai di kursi kerjanya, Presdir baru berkata, "Silahkan dibaca!"
"Hah!"
"Kenapa?"
"Ti.. tidak, Tuan. Saya akan membacanya," jawab Hilman.
"Baca dengan teliti menurutmu bisa diterima dan tidak merugikan perusahaan, saya akan tanda tangani," ucapnya.
"Tapi, Tuan. Anda 'kan pimpinan saya," Hilman memberikan alasan.
"Kau sekretaris ku, jadi ikutin saja perintah saya!"
"Baiklah, Tuan!" Hilman membaca berkas itu dengan malas.
Sementara Presdir sibuk dengan ponselnya.
Setengah jam kemudian, Hilman memberikan berkas tersebut kepada Presdir. "Ini, Tuan!"
"Bagaimana?"
"Apa yang bagaimana, Tuan?" tanyanya bingung.
"Apa saya harus menandatangani itu?"
"Hmmm..maaf Tuan saya tidak bisa memberikan keputusan," jawab Hilman.
"Apa kau tidak membacanya?" sentaknya.
"Baca, Tuan."
"Cepat berikan keputusan!"
"Tapi, Tuan?"
"Kau ingin dipecat?" Ancam Presdir.
"Tidak mau, Tuan!" jawabnya dengan suara ketakutan.
"Kalau begitu katakan ya atau tidak?"
"Ya, Tuan!" Jawab Hilman.
"Baiklah, saya akan tanda tangan. Tapi ingat kalau ini merugikan perusahaan, gajimu akan dipotong," ucapnya.
"Astaga mimpi apa aku semalam," batin Hilman. Ia mengambil tisu dan mengelap keringatnya.
Sepulang dari kantor, Devan mengendarai mobilnya sendiri tanpa sopir sama seperti saat ia pergi.
Jabatan ini sebenarnya terlalu cepat diberikan Oma kepadanya, ia tak bisa membantahnya. Padahal ia masih harus banyak belajar berbisnis.
Diperjalanan pulang ia terjebak macet, lalu ia membuka kaca mobil dan bertanya pada pejalan kaki yang melintas. "Ada apa 'ya? Kenapa bisa macet?"
"Di depan ada artis, Tuan!"
"Oh, begitu ya. Memang mereka lagi syuting?"
"Iya, Tuan."
"Terima kasih, Pak!"
"Sama-sama, Tuan."
Ia pun memutar balik arah, mencari jalan pintas untuk sampai ke rumah.
Sesampainya di rumah, Oma Fera menghampirinya. "Devan, bagaimana hari ini?"
"Baik, Oma!"
"Mengapa kamu memberikan tugas Hilman memeriksa berkas-berkas itu?"
"Hilman sudah bekerja di perusahaan Oma selama tujuh tahun, dia orang yang jujur dan bisa diandalkan. Jadi Devan ingin memberikan dia sedikit tantangan saja," jawabnya.
"Tugas dulu yang Oma lakukan, sekarang menjadi tugasmu," jelas Fera.
"Iya, Oma. Devan akan menjalankan perusahaan dengan baik," ucapnya.
"Orang tuamu pasti bangga padamu," tutur Fera.
*
Sementara itu, seorang wanita muda baru saja menyelesaikan syutingnya. Dia adalah Clarissa Ayumi, artis yang sedang naik daun. Memiliki kemampuan akting yang bagus dan pintar.
Ia beristirahat di mobil dan meminta asisten pribadinya untuk memijit kakinya. "Ya, ampun syuting kali ini sungguh sangat melelahkan," ucapnya.
"Namanya juga kerja!" celetuk Tina, asisten Clarissa.
"Iya, tapi tidak seperti tadi. Berkerumun dengan warga, mana mereka minta tanda tangan dan foto. Syuting jadi terganggu begini," protes Clarissa pada manajernya.
"Kita tidak bisa protes, semua mereka yang mengatur," ucap Yuna, manajer Clarissa.
"Berapa adegan lagi yang harus diselesaikan?" Tanya Clarissa pada Yuna.
"Dua," jawabnya. Akhirnya syuting selanjutnya dilakukan hingga tengah malam.
Clarissa memasuki apartemennya dengan mata yang sudah lelah, ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang tanpa membersihkan wajahnya.
Yuna yang masuk ke dalam kamar, terkejut melihat Clarissa tidur dengan riasan masih menempel di wajah. "Rissa, bangun!"
"Ada apa?" Tanyanya dengan mata terpejam.
"Kenapa kau tidak membersihkan wajahmu?" tanya Yuna.
"Aku sangat mengantuk," jawabnya.
Yuna menarik tangan Clarissa untuk bangun. "Bersihkan dulu wajahmu!"
"Besok saja," ucapnya.
"Kau tahu 'kan akibatnya jika wajah tidak dirawat?"
"Iya, aku tahu." Clarissa berjalan dengan langkah gontai ke kamar mandi membersihkan wajahnya dan mengganti pakaiannya. Setelah itu ia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan tidur.
...----------------...
Pagi ini ia tidak ada pekerjaan, Clarissa bisa lebih santai dan menikmati waktu sendiri tanpa kedua temannya yang selalu disampingnya.
Kedua temannya itu pagi ini juga menikmati waktunya masing-masing bersama dengan orang tercinta.
"Pagi ini sungguh menyenangkan, aku bisa keliling kota," gumamnya sambil mengemudi mobilnya.
Karena begitu senangnya, ia bernyanyi lagu bahagia. Tanpa ia sadari mobilnya menyenggol pengendara yang lain di persimpangan jalan. Ia pun menghentikan laju kendaraannya.
Pengemudi mobil itu pun turun mengetuk kaca jendela mobil Clarissa.
Clarissa pun turun, ia memperhatikan pria yang mengetuk kaca mobilnya itu sambil menyemprotkan telapak tangannya dengan cairan.
"Kau harus bertanggung jawab!" Ucap Devan.
"Tanggung jawab apa?"
"Lihat mobilku!" Tunjuknya ke arah mobil berwarna hitam.
"Maaf saya tidak sengaja!"
"Karena kau, aku jadi terlambat ke kantor," ucap Devan.
"Kau mau minta berapa?"
"Separuh dari harga mobilku," jawab Devan.
"Kau mau minta berapa?" tanya Clarissa dengan sombong.
"Separuh dari harga mobilku," jawab Devan.
"Kau gila, ya!" Ucap Clarissa terkejut mendengar permintaan pria yang ada dihadapannya. "Kau ini ingin memeras?" Ia tak mau menggantinya.
"Ini tak sebanding atas waktuku yang terbuang karena kelalaianmu, Nona!"
"Aku tetap tidak ingin mengganti dengan harga segitu!" Clarissa tetap bersikeras. "Oh, atau jangan-jangan anda ini cuma sopir atau asisten pribadi orang kaya," tebaknya.
"Kau bilang aku sopir!" Devan mulai kesal.
"Iya."
"Tunggu di sini, aku akan mengambil kartu namaku," Devan berjalan ke mobilnya.
Melihat kesempatan, Clarissa masuk ke dalam mobil dan melarikan diri.
"Awas saja kalau kita berjumpa lagi," ucap Devan kesal menatap mobil Clarissa dari jauh.
*
Pagi ini adalah rapat pertama Devan. Oma Fera juga hadir untuk memastikan cucunya itu dapat memberikan keputusan yang tepat dan bijak.
"Untuk memajukan perusahaan fashion ini, kita harus mengadakan pergelaran busana," ucap salah satu karyawan.
"Itu artinya kita harus menyewa beberapa model untuk peragaan ini?" Tanya Devan
"Iya, Tuan."
"Perusahaan kita cukup terkenal, tuk apa lagi peragaan busana seperti itu," tolaknya.
"Tuan, pesaing kita banyak. Mereka juga menawarkan produk dengan harga murah, iklan mereka juga cukup kencang. Hampir semua media sosial, cetak dan elektronik ada produknya," jelas karyawan tersebut.
"Tapi saya mau kita membuat promosi dengan harga minim tapi mampu meledakkan produk kita," ucap Devan.
"Tapi bagaimana bisa, Tuan?"
"Kalian yang harus berpikir!" Jawab Devan.
"Bagaimana Nyonya Fera, apa anda bisa memberikan kami saran?" Tanya manajer marketing pada Oma Fera.
"Saya memberikan keputusan kepada dia," jawab Oma Fera melirik cucunya sambil tersenyum.
"Rapat selesai!" Ucap Devan.
Seluruh staf meninggalkan ruang rapat. Kini hanya tinggal Oma Fera dan Devan.
"Devan, pengeluaran untuk iklan itu sangat besar. Mereka yang sudah mengeluarkan biaya banyak terkadang hasilnya tidak memuaskan, bagaimana kalau hanya mengeluarkan biaya kecil?" Tanya Oma Fera.
"Oma tenang saja, serahkan semua pada Devan," jawabnya.
...----------------...
Esok paginya rapat kembali di lakukan, namun kali ini Oma Fera tidak mengikutinya.
"Bagaimana apa kalian sudah ada solusinya?"
tanya Devan.
"Kami memiliki rekomendasi beberapa model dan artis, mereka memiliki banyak penggemar dan karirnya cukup baik. Tak ada citra negatif yang melekat," ujar salah satu karyawan Devan.
Karyawan tersebut menunjukkan tiga artis dan menjelaskan beberapa prestasinya di dunia hiburan, kini giliran artis ke empat yang akan dijelaskan.
"Saya mau dia saja!" Ucap Devan dengan cepat. "Akhirnya aku menemukanmu!" batinnya puas.
"Namanya Clarissa Ayumi, Tuan!"
"Saya tidak mau tahu siapa namanya, yang penting dia yang akan menjadi model produk kita," pinta Devan.
"Tapi, Tuan. Clarissa artis pendatang baru, popularitas dia tak sebaik dengan ketiga artis lainnya," jelasnya.
"Saya tetap mau dia, hubungi manajernya!" Titahnya. "Jika mereka mau, segera pertemukan saya dengan dia!" Lanjutnya lagi.
"Baik, Tuan!" Ucapnya.
"Rapat selesai!" Devan berdiri dan meninggalkan ruangan.
Sementara itu beberapa karyawan masih di ruang rapat membicarakan tentang artis yang akan menjadi model di perusahaan tempat mereka bekerja.
"Bukankah ibu Clarissa juga artis?"
"Iya, yang disebut pernah merebut suami orang."
"Itu artis penggemarnya cukup banyak, iklannya juga banyak di media sosialnya."
"Tapi dia pernah terlibat perseteruan dengan sesama artis."
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa Tuan Devan ingin berjumpa dengan itu artis. Tidak biasanya seorang Presdir turun langsung."
"Biasanya akan menyuruh bawahannya menangani kontrak."
"Aku juga heran."
Vani yang menjelaskan tentang artis merasa sangat menyesal, harusnya ia tak mencantumkan nama Clarissa dia berharap Nadin yang akan menjadi model karena ia begitu mengidolakan wanita itu.
"Harusnya Nadin yang dipilih Tuan Devan, kenapa dia memilih Clarissa padahal aku belum menjelaskan secara detail tentang prestasinya," ucapnya tertunduk lemas.
"Mungkin belum rejeki dia, kau yang sabar. Tapi kita harus tetap semangat untuk proyek ini. Semoga saja Clarissa mampu membuat produk kita laris dipasaran dan tentunya bonus akan mengalir ke kita," ujar Hilman memberikan semangat.
"Ya, semoga saja!" Ucapnya lirih.
*
Menjelang sore hari, Vani akhirnya bisa bertemu dengan Clarissa sekaligus manajernya di sebuah kafe.
"Selamat sore, Nona!" sapa Vani.
"Sore juga," ucap Yuna dan Clarissa.
"Sebelumnya saya sudah berbicara pada Nona Yuna lewat telepon. Jika saya dari Arta Fashion ingin menawarkan kerja sama kepada anda, Nona Clarissa," jelasnya.
"Saya setuju saja, secara Arta Fashion adalah salah satu merk pakaian terkenal di negara ini," ujar Clarissa.
"Apa Nona Clarissa bersedia?" tanya Vani.
"Saya bersedia," jawab Clarissa.
"Baiklah kalau begitu, masalah kontrak kita bicarakan selanjutnya di kantor dengan Presdir kami," ujar Vani.
"Presdir?" tanya Yuna.
"Iya, beliau ingin bertemu langsung dengan Nona Clarissa untuk membicarakan kontrak kerja sama ini," jawab Vani.
"Baiklah," ucap Yuna semangat. "Kapan kami akan berjumpa dengan dia?" tanyanya lagi.
"Nanti saya akan kabari," jawab Vani. "Kalau begitu saya permisi," pamitnya pulang dan ia bersalaman dengan Yuna dan Clarissa.
"Ini kesempatan bagus bagi kita, Presdir menyukaimu sampai ia ingin bertemu denganmu secara langsung," ucap Yuna.
"Apa kau bilang menyukai? Bagaimana kalau Presdir itu pria tua yang genit atau pria beristri yang hobi berselingkuh?" Clarissa bergidik ngeri.
"Kau jangan bicara seperti itu, aku dengar sekarang perusahaan itu dipegang oleh cucunya," tutur Yuna.
"Jika cucunya sudah tua, bagaimana?"
"Tidaklah mungkin, kabar yang beredar dia masih muda dan tampan," jawab Yuna sambil senyum-senyum sendiri.
"Tampan? Benarkah?" tanya Clarissa.
Yuna mengangguk semangat.
"Kalau begitu, kita akan temui dia. Semoga saja tebakanmu itu benar," ucap Clarissa tersenyum.
...----------------...
"Clarissa cepat!" teriak Yuna memanggil dari arah dalam mobil.
"Iya, sebentar!" ucap Clarissa.
"Kau lama sekali, Presdir tidak suka menunggu!" ujar Yuna. Tadi malam Vani menelepon dirinya dan mengatakan jika pimpinannya ingin bertemu pada pukul 10 pagi dan tidak ada kata telat.
"Aku harus tampil cantik, kau bilang Presdir orangnya tampan," ucap Clarissa sambil memperbaiki riasan wajahnya.
"Kau mau dia membatalkan kontrak kerja karena keterlambatan kita?" tanya Yuna sambil menyetir.
"Ya, tidak mau."
*
Gedung Arta Fashion
"Selamat pagi!" sapa Vani pada kedua wanita itu.
"Pagi juga," sapa keduanya.
"Mari saya antar," Vani mengantar keduanya menuju ruangan khusus tamu Presdir. "Nanti beliau yang akan jelaskan kontraknya," ucap Vani. Setelah mengantar Clarissa dan Yuna ia pun kembali mengerjakan pekerjaannya
"Apa kau tidak aneh, tak pernah seorang bos besar yang langsung menjelaskan kontrak pekerjaan?" Clarissa mulai curiga.
"Mungkin dia berbeda," jawab Yuna.
"Jadi untuk apa memperkerjakan orang lain, jika dia harus turun tangan juga?"
"Entahlah, kita lihat saja nanti. Kalau tidak sesuai dengan harapan, kita harus segera membatalkannya," jawab Yuna lagi.
Pintu ruangan terbuka, seorang pria dengan gagah menyapa kedua wanita yang menjadi tamunya. "Selamat pagi!"
"Pagi, Tuan," sapa Yuna kembali.
Clarissa mendelikkan matanya. "Pa..pagi juga, Tuan!"
"Pa..pagi juga, Tuan!" Clarissa segera menundukkan pandangannya.
"Apakah Vani sudah menjelaskannya?" tanya Devan sambil melirik Clarissa.
"Nona Vani hanya menjelaskan tema produk saja, Tuan." Jawab Yuna dengan sedikit gugup.
"Masalah honor?" tanya Devan kembali.
"Belum, Tuan!" jawab Yuna.
Devan menyodorkan berkas berisi kontrak pekerjaan pada Yuna. Tak lama setelah membaca keduanya, menaikkan pandangannya menatap pria yang ada dihadapan mereka.
"Tuan, ini tidak salah? Bagaimana mungkin artis saya menerima honor semurah ini?" tanya Yuna.
"Tanyakan saja pada artis anda?" Devan bersikap santai.
"Memangnya salah artis saya apa, Tuan?" tanya Yuna.
"Coba jelaskan Nona Clarissa Ayumi!" pintanya.
"Maafkan saya, Tuan. Pagi itu tidak bermaksud melarikan diri," ucap Clarissa masih tertunduk.
"Rissa, apa yang telah kau lakukan padanya?" bisik Yuna di telinga artisnya itu sekaligus temannya.
Clarissa mengangkat wajahnya, "Tapi Tuan tidak bisa seenaknya saja memberikan saya honor rendah!"
"Kau mau masalah kemarin, saya bawa ke jalur hukum?" tanya Devan.
"Silahkan, tidak takut. Saya tidak mau bekerja sama dengan anda!" jawab Clarissa dengan tegas.
"Kau yakin?" Devan tetap tenang.
"Anda tidak memiliki bukti," jawab Clarissa.
"Aku memiliki rekaman CCTV saat kejadian itu," ucap Devan. "Kau mau karirmu hancur karena masalah ini?" tanya Devan kembali.
"Maafkan artis saya, Tuan!" ucap Yuna.
"Saya akan memaafkan dia dengan syarat tanda tangani kontrak itu!" ujar Devan.
"Cepat tanda tangan, kau mau dia membawamu ke jalur hukum!" ucap Yuna pelan.
"Baiklah," Clarissa pun menandatanganinya dengan terpaksa. Devan menarik sudut bibirnya.
Setelah di tandatangani oleh Clarissa, manajernya menyodorkannya pada Devan namun ditolak pria itu.
"Letakkan saja di situ!" tunjuknya ke arah meja, ia lalu berdiri begitu juga diikuti oleh Yuna dan Clarissa. "Biar karyawan saya yang membawanya," ucapnya lagi.
Yuna menyodorkan tangannya untuk bersalaman, namun Devan enggan menyambutnya. Pria itu malah bergegas pergi.
Sebelumnya...
"Tuan, Nona Yuna dan Nona Clarissa sudah datang!" ucap Hilman.
"Saya akan menemui mereka."
Hilman mengerakkan sedikit kepalanya menunduk, kemudian ia pamit keluar.
"Kau takkan bisa lari lagi, aku akan membuatmu membayar ganti rugi," gumam Devan tersenyum puas.
Ia pun pergi menemui kedua wanita yang telah menunggunya itu.
Saat pintu terbuka Clarissa tampak kaget melihat sosok yang ada didepannya.
*
*
"Rissa, kenapa kau bisa sebodoh ini?" omel Yuna pada sahabatnya itu saat perjalanan pulang menuju apartemennya.
"Saat itu aku bingung, dia memaksaku mengganti sebanyak separuh harga mobilnya," jawab Clarissa frustrasi. "Kau tahu harganya itu sebesar gaji ku sebulan," lanjutnya.
"Kenapa tidak kau ganti saja?"
"Aku pikir tidak bertemu dia lagi," jawab Clarissa lesu.
"Sekarang kau harus menerima pekerjaan ini selama setahun dengan upah sebulan bekerja, ini sangat jelas merugikan kita," keluh Yuna.
"Ya, harus bagaimana lagi?" Clarissa menyebikkan bibirnya.
...----------------...
Dua hari kemudian, pemotretan pun dilakukan di dalam gedung Arta Fashion. Akan ada empat pakaian yang akan di kenakan Clarissa.
Hilman masuk ke dalam ruangan kerja Devan memberi tahu jika pemotretan perdana Clarissa segera dimulai.
Devan dan Hilman pun ikut melihat proses pemotretan. Clarissa yang sedang berias, hatinya langsung berubah menjadi kesal melihat kedatangan Devan.
Ia pun meminta Yuna mengatakan pada Vani untuk menyuruh Devan pergi.
"Dia Presdir di sini, kita tak bisa mengusirnya," ucap Yuna berbisik menekankan kata-katanya.
"Aku tak suka dia di sini, merusak hatiku saja!" ucapnya.
"Baiklah, aku akan katakan!" Yuna pun menghampiri Vani. Awalnya wanita itu menolaknya setelah dijelaskan ia pun mau menerimanya.
Vani pun berbicara pada Devan menyampaikan keinginan Clarissa. Akhirnya pria itu pergi meninggalkan studio.
Devan kembali ke ruangan dengan hati kesal. Ia duduk di kursi kerjanya sambil mengepalkan tangannya. "Seenaknya saja mengusirku, dia pikir siapa? Baru juga artis baru sudah sombong!" gumamnya geram.
Dua jam kemudian pemotretan selesai dilakukan, Clarissa begitu senang ia bisa segera pergi dari gedung Arta Fashion.
"Yuna, Tina aku menunggu di mobil!" ucap Clarissa ia membawa tas kecil miliknya berjalan dengan cepat, itu ia lakukan agar tak bertemu dengan Devan.
Hilman datang menghampiri Yuna. "Nona, Tuan Devan meminta besok siang dilakukan syuting di area pusat perbelanjaan Mall Cahaya."
"Bukankah jadwal itu dua hari lagi, Tuan? Clarissa harus mengisi acara di stasiun televisi," jelas Yuna.
"Tuan Devan yang memintanya," jawab Hilman.
"Baiklah, saya akan atur jadwalnya!" ucap Yuna.
"Itu tidak sesuai dengan kontrak," celetuk Tina saat Hilman sudah meninggalkan studio.
"Entahlah aku pun juga bingung dengan Presdir satu itu," tutur Yuna.
"Kenapa kalian bisa menerima tawaran ini?" tanya Tina.
"Ceritanya hanya Clarissa yang tahu," jawabnya.
Malam harinya di kediaman keluarga Artama. Makan malam seperti biasa dilakukan oleh cucu dan nenek. Tak ada obrolan serius ketika menikmati hidangan.
Selesai makan, Oma Fera bertanya, "Apakah produk kita memakai Clarissa Ayumi?"
"Iya, Oma."
"Apa tidak ada artis lain selain dia?"
"Banyak, Oma. Tapi dia salah satu artis yang sedang naik daun, penggemarnya cukup banyak," Devan memberi alasan kedua. Karena tujuan utama dia mengontrak Clarissa untuk memberi pelajaran pada wanita itu.
"Oma tidak menyukai dia!"
"Kita tidak bisa memutuskan kontrak pekerjaan dengan dia," jelas Devan.
"Apa kau tidak tahu kalau ibunya itu perebut suami orang?"
"Devan tahu, Hilman telah menjelaskan semuanya," jawabnya.
"Oma takut itu akan mempengaruhi produk yang kita tawarkan," ucap Oma Fera.
"Oma tidak perlu takut, kalau itu terjadi tidak mungkin banyak produk yang ditawarkan padanya," ujar Devan.
"Semoga saja produk kita laris di pasaran," harap Oma Fera. "Satu lagi, Oma tak mau kau jatuh cinta padanya," ucapnya mengingatkan.
"Wanita itu bukan seleraku, Oma."
Sementara itu, Clarissa lagi pusing memikirkan jadwalnya yang tiba-tiba berubah. "Bagaimana mungkin kita bisa tepat waktu datang ke Mall Cahaya?"
"Aku sudah meminta Hilman untuk mengundurkan jadwalnya tapi Tuan Devan menolaknya," jelas Yuna.
"Acara di televisi jam berapa?" tanya Clarissa pada Yuna.
"Jam sebelas siang dan akan selesai penayangan pukul dua belas siang," jawab Yuna.
"Apa waktu sejam kita bisa tepat waktu datang?" Clarissa bertanya lagi.
"Aku tidak tahu, kita akan usahakan," jawab Yuna lagi.
"Jadwal selanjutnya?"
"Wawancara di perusahaan majalah Cantik pukul tiga siang," jawab Yuna.
"Ya, ampun. Bagaimana bisa mengaturnya? Syuting tak cukup waktu sejam atau dua jam," ucap Clarissa.
"Sebenarnya kau ada masalah apa dengan bos besar itu?" tanya Tina yang dari tadi hanya duduk sebagai pendengar.
"Seminggu yang lalu aku tak sengaja menyenggol mobilnya, ia meminta ganti rugi. Tapi aku malah memilih kabur," jelas Clarissa.
"Lalu kenapa kau tidak menggantinya?" tanya Tina kembali.
Clarissa pun menjelaskan secara rinci inti masalah yang ia hadapi hingga dirinya harus terjerat dengan kontrak yang menyedihkan.
"Aku harus menemuinya besok pagi," ujar Clarissa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!