NovelToon NovelToon

Eternal De Amor

Chapter 1

Pria bersetelan jas rapi itu menyusuri lahan baru yang akan ia gunakan sebagai tempat proyeknya yang baru. Mata elangnya memindai segala penjuru untuk memastikan tempat yang kali ini ia kunjungi cocok atau tidak untuk proyeknya.

Tempat ini sejuk, masih asri, meskipun akan membangun proyeknya di sini, pria itu berjanji untuk tidak menghilangkan ke asri-an dari tempat ini.

“Bagaimana Pak Adnan?” Adnan menoleh pada sekertaris pribadinya, Rudi.

“Segera urus perijinannya serta pastikan semuanya berjalan sesuai rencana awal” ucap Adnan dengan tegas, Rudi hanya mengangguk sopan, bekerja selama bertahun-tahun dengan Adnan membuat Rudi selalu tau apa yang atasannya inginkan.

Adnan menghembuskan nafasnya lega, tender besar ini adalah incarannya sejak lama, karena keuntungan besar pasti akan ia dapatkan melalui proyek ini.

Dalam hati Adnan juga bersyukur karena yang memenangkan tender ini adalah pihaknya, karena dapat di pastikan, rivalnya tidak akan mau repot-repot memikirkan nasib orang yang tinggal di sekitar sini dengan memberi uang ganti yang murah.

Itulah dunia bisnis yang dahulu di kenalkan sang Papa pada Adnan, satu dari ribuan kenangan yang akan selalu teringat sampai kapanpun.

Mencari untung boleh, tapi jangan merugikan orang lain! Prinsip itu yang selalu ia pegang hingga saat ini.

mengingat itu membuat Adnan mendadak murung, ia merindukan kedua orangtuanya.

“Andi! Berhenti!” teriak seorang gadis membuat atensi Adnan teralih ke sumber suara.

“Kak Anum, Andi gak mau di suntik” sekilas Adnan mendadak tau apa masalah dua orang itu, sekaligus nama gadis cantik yang tanpa sadar memaku pandangan hanya untuknya.

Untuk gadis berjilbab merah muda yang sedang berkacak pinggang namun wajahnya tetap teduh.

“Disuntik itu gak sakit lhoo, kakak juga pernah di suntik, dan lihat, kakak masih sehat hingga sekarang” Anum itu memutar badan dengan merentangkan tangannya untuk meyakinkan anak kecil dihadapannya.

“Tapi, di suntik itu sakit kak, adik Andi saja menangis, Andi tidak mau disuntik ya kak” ucap Andi setengah memelas, Anum tersenyum seraya berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang anak.

“Nggak kok, disuntik itu kayak di gigit semut, adik Andi menangis karena belum pernah digigit semut” Adnan masih bertahan disana, tanpa memperdulikan Rudi yang mulai keheranan dengan atasannya itu, biasanya Adnan tidak akan mau membuang waktu untuk hal remeh, apalagi hanya untuk menonton kejadian konyol dihadapan mereka.

“Tapi digigit semut kan juga sakit kak” Anum menghela nafas lelah, ia buntu dan tak tau harus mengatakan apa untuk membujuk anak ini.

Adnan merasa kehilangan kontrol dirinya saat memutuskan untuk berjalan mendekati mereka berdua.

“Nama kamu Andi kan?” dia orang itu menatap Adnan heran, namun anak kecil yang masih ketakutan itu mengangguk pelan, sekaligus membuat Anum menyadari bahwa ada orang lain diantara mereka entah sejak kapan.

“Nah, Andi, di suntik itu memang sakit, namun itu untuk kebaikan Andi” Adnan tau ini tidak mudah, tapi Adnan tidak akan menyerah sebelum mendapat apa yang ia inginkan.

“Begini saja, Kakak akan menemani Andi saat disuntik, jadi Andi tak perlu takut lagi, setuju?” anak kecil itu hanya diam, wajahnya memerah, seperti akan menangis.

“Jika itu rasanya sakit sekali, kamu bisa mencubit tangan kakak untuk menyalurkan rasa sakitnya” tawar Adnan membuat wajah Andi berbinar senang.

“Nama kakak siapa?”

“Panggil saja kak Adnan” Andi mengangguk senang.

“Ayo Kak Anum dan Kak Adnan, Andi mau di suntik, tapi janji ya Andi boleh cubit kak Adnan kalau Andi kesakitan?” Anum terkekeh melihat itu, sedang Adnan hanya bisa menggelengkan kepalanya, ternyata anak ini butuh seseorang untuk di cubit.

‘ada-ada saja’ batin Adnan.

“Iya Kakak janji”

“Dimana lokasi imunisasinya?” Adnan bertanya pada Anum yang sejak tadi diam saat ia berusaha membujuk Andi.

“Di sana” Adnan mengikuti arah jemari Anum yang menunjuk sebuah gang kecil tak jauh dari lahan proyek barunya.

“Baiklah, ayo!” Adnan menggendong badan mungil Andi diikuti Anum dan Rudi.

Sesampainya mereka di tempat yang dituju, Andi segera mendapat giliran untuk imunisasi karena semua anak sudah selesai, hanya tinggal Andi saja.

Saat akan di suntik, Adnan memangku Andi, kemudian mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya bicara banyak hal. Hingga saat jarum suntik itu dicabut, Andi tetap nyaman bercerita pada Adnan.

“Andi..” panggil Anum dengan lembut.

“Sebentar kak, Andi belum selesai cerita” semua orang yang ada di sana tertawa kecil melihat tingkah lucu Andi.

“Andi, kamu sudah selesai di suntik!" seru salah satu bidan yang bertugas membuat Andi menghentikan ceritanya.

“Suntiknya sudah beneran ibu bidan?” bidan itu mengangguk sembari tertawa pelan.

“Katanya tadi takut, sekarang malah ke-enakan, Andi di suntik lagi saja ya?” goda bidan itu membuat Andi sontak melompat tanpa mau berterimakasih dan kembali bermain dengan teman-temannya.

Adnan tertawa melihat tingkah lucu anak itu, tiba-tiba ia teringat masa kecilnya dulu, merasa tak percaya bahwa ia bisa melihat cerminan Adnan kecil yang sangat sulit ketika periksa ke dokter.

“Terimakasih, berkat Mas, Andi mau disuntik” suara lembut itu mengalihkan pandangan Adnan kepada Anum yang sudah berdiri di sampingnya.

“Sama-sama, nama saya Adnan” Adnan mengulurkan tangannya untuk berkenalan, sedangkan wanita dihadapannya ini hanya menangkupkan tangan di depan dadanya sendiri.

“Saya Anum, Mas” dengan canggung Adnan menarik tangannya kembali.

“Kalau boleh tau, ini bangunan apa?” rasa penasaran itu akhirnya mencuat dari benak Adnan.

“Ini rumah singgah, untuk sumber pendidikan anak-anak yang tidak bersekolah, Mas” jelas Anum.

“Kamu guru di sini?” Anum tersenyum lembut, lalu mengangguk.

“Siapa yang menggaji tenaga pendidik di sini?” tanya Adnan penasaran.

“Kami tidak di gaji, namanya saja rumah singgah Mas, semua murid di sini tidak di pungut biaya sekolah sedikitpun” jelas Anum yang membuat Adnan menaikkan kedua alisnya terkejut.

“Semua anak di sini tidak bisa mengenyam pendidikan karena kendala biaya Mas, karena itulah saya dan teman-teman yang lain mendirikan rumah singgah ini, agar semua anak bisa mengenyam pendidikan yang setara” tambah Anum yang semakin membuat Adnan terpukau dengan gadis di hadapannya ini, jarang sekali ada orang yang mau bekerja cuma-cuma tanpa di gaji sepeserpun seperti Anum.

“Pak, Maaf, 15 menit lagi kita ada rapat dengan para investor” Adnan yang sebelumnya ingin berbicara banyak dengan Anum harus mengurungkan niatnya.

“Baiklah, saya harus pergi, tolong sampaikan salam saya pada Andi dan yang lainnya ya” Anum yang sedari tadi menunduk hanya mengangguk pelan. Setelah Adnan pergi, Anum yang sedari tadi menunduk, mengangkat wajahnya dan memandang punggung tegap yang perlahan menjauh hingga hilang di belokan gang.

TBC

Chapter 2

Hari telah berganti hari, Adnan kembali disibukkan dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Malam ini pun ia harus rela pulang terlambat dari biasanya untuk menyelesaikan pekerjaan.

Adnan yang perlahan memejamkan mata harus terkejut karena supirnya, Pak Ahmad, tiba-tiba mengerem mendadak.

“Ada apa Pak?” Pak Ahmad menoleh ke belakang dengan ketakutan. Itu semakin membuat Adnan bingung. Segera ia melihat ke depan, ada seorang wanita yang menghalangi jalan mobilnya.

“Bapak tunggu disini, biar saya yang turun” Pak Ahmad hanya menggeleng pelan dan semakin ketakutan.

“Ja-jangan Pak, bagaimana jika itu hantu atau begal, ini berbahaya” cegah Pak Ahmad, namun Adnan tidak menghiraukan perkataan itu dan langsung membuka pintu mobil lalu turun.

Perlahan Adnan berjalan sembari mengamati sekitar, Adnan mengamati sekitar, tidak ada siapapun selain gadis yang masih merentangkan tangannya sembari menutup mata.

“Hei kembali!!” teriak salah satu pria berpawakan tinggi besar menghampiri gadis yang kini membuka matanya menangis dengan badan bergetar ketakutan.

Adnan tidak asing dengan wajah itu, memorinya langsung mengingatkannya pada gadis rumah singgah yang namanya..

“Anum?!” pekik Adnan bahagia telah mengingat nama itu.

“Tolong saya Mas, mereka hendak berbuat jahat kepada saya” adu Anum dengan suara ketakutan.

Tanpa diminta Adnan seketika ingin melindungi gadis di hadapannya.

Saat tangan pria itu akan meraih lengan Anum, Adnan terlebih dahulu menariknya dan memposisikan dirinya di depan Anum.

“Hei Bung! Jangan ikut campur, serahkan gadis itu, lalu kamu bisa pergi” rahang Adnan mengeras, ia tetap berdiri kokoh dalam pendiriannya melindungi Anum.

“Sebaiknya anda yang pergi, dia bersama saya sekarang” pria asing itu menatap Adnan tak suka.

“Baiklah kalau kamu menantang” tanpa basa basi pria itu langsung menghajar Adnan dengan serangan bertubi-tubi, Anum yang berada di balik Adnan hanya bisa menutup matanya, ia tak suka perkelahian.

Adnan bisa memukul mundur lawannya dengan mudah berkat karate yang dikuasainya, pria yang tadinya sombong dan menantang Adnan tadi mundur teratur kemudian berlari dengan cepat.

Anum, terus menutup matanya, hingga sebuah tepukan di bahu membuatnya terkejut dan membuka mata seketika.

Ada luka juga lebam di wajah rupawan penolongnya membuat Anum meringis seketika.

Rasa bersalah itu memenuhi rongga dada Anum membuatnya tak punya muka untuk bertatap dengan Adnan.

“Mas terluka karena saya, maafkan saya ya mas” Adnan tersenyum, meski ia sempat lupa tapi ia yakin bahwa Anum lah yang melupakannya.

"Kamu tidak ingat siapa saya Anum?" mendengar itu Anum terdiam ia juga baru sadar bahwa pria ini mengenalnya, dengan lamat-lamat Anum menatap wajah tampan itu mengumpulkan ingatannya.

Di tatap seperti itu Adnan terkekeh, membuat Anum sadar.

"Astaghfirullah, maaf" ucap Anum seraya kembali menunduk.

Satu sikap yang sangat anggun dan sangat jarang dilakukan wanita jaman sekarang saat melihat Adnan.

“Tidak apa, mari masuk, ijinkan saya mengantar kamu” suara tegas itu menggugah Anum untuk menatap si pembicara, hanya senyum yang ia dapatkan lalu Anum kembali menunduk.

“Ayo Anum, ini sudah semakin malam, kamu mau pria tadi kembali datang dengan membawa teman-temannya yang entah berapa jumlahnya?” ucap Adnan setengah menakut-nakuti Anum, juga agar dapat sedikit waktu untuk bersama.

“Tapi Mas..”

“Tenang saja, saya tidak akan macam-macam dengan kamu, dan kita tidak hanya berdua, ada sopir saya di dalam mobil” dengan tetap menunduk Anum mengangguk, dan mengikuti Adnan yang terlebih dahulu membukakan pintu untuknya.

"Saya Adnan, kejadian suntik menyuntik beberapa hari lalu, ingat?" ucap Adnan mencoba mengingatkan, Anum membelalakkan matanya, membuatnya tampak lucu.

"Mas Adnan, iya saya ingat sekarang, maaf kan saya mas, saya lupa"

"Santai saja Anum"

“Siapa orang tadi Anum? Kenapa mereka mengejarmu?” tanya Adnan penasaran setelah mobilnya kembali melaju.

“Itu preman dekat kampung kami Mas, mereka ingin..” is akan lolos dari bibir Anum yang tak bisa menyelesaikan kata-katanya.

“Tidak apa kamu sudah aman, kamu bisa bercerita jika kamu ingin” Anum hanya diam.

“Bos mereka mau menjadikan saya sebagai istri ke- empatnya, Mas” jawab Anum yang membuat Adnan menganga tak percaya.

Suasana menjadi hening, Adnan yang tak tau harus berkata apa, Anum-pun sama.

“Kamu mau saya antar kemana Anum?”

“Kita ke rumah sakit depan dulu ya Mas” Adnan hanya mengangguk dan memerintahkan pak Ahmad untuk berhenti di rumah sakit depan.

“Mas ikut saya sebentar ya, saya mohon” paksa Anum saat mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di pekarangan rumah sakit yang Anum maksud.

Adnan yang tidak tega melihat kondisi Anum langsung mengiyakan permintaanya, mungkin Anum membutuhkan pertolongan lain darinya.

“Loh, Anum?! Kamu disini?” Adnan hanya mengikuti kemana langkah Anum pergi ikut terdiam saat suara itu menginterupsi langkah mereka.

”Husna, syukurlah kita bertemu disini, tolong aku, rawat mas Adnan” Husna yang mendengar nama Asing langsung menyadari adanya seorang pria yang berada di belakang sahabatnya ini.

Husna langsung menarik Anum untuk mendekat dan berbisik “Dia siapa Anum? dan kenapa kamu masih berada di luar semalam ini? Ibu pasti akan khawatir mencarimu” Anum baru teringat tentang Ibunya.

“Aku tadi di culik Pak Adi, lalu mas Adnan menolongku” jelas Anum singkat, Husna yang sebenarnya ada tugas hanya bisa memberikan sekotak P3K dan berpesan pada Anum agar segera pulang, tak lupa ia juga berterima kasih pada Adnan karena sudah menolong sahabatnya.

Adnan memperhatikan wajah cantik itu dengan seksama, kini mereka berada di sebuah taman, Anum dengan telaten merawat luka yang menurut Adnan itu bukan masalah besar baginya.

Dada Adnan berdesir saat untuk pertama kalinya tangan lembut Anum tak sengaja menyentuh ujung bibirnya.

Kontak fisik pertama mereka yang tidak Anum sadari karena terlalu fokus dengan hutang budi yang ia emban.

“Sekali lagi maafkan saya, ya mas?” Adnan memalingkan wajahnya salah tingkah, saat Anum mendongak.

“Sama-sama” Anum hanya tersenyum. Lesung pipit yang ada di pipi Anum semakin membuatnya terlihat cantik, Adnan terpesona akan itu.

“Terimakasih telah merawat lukaku ya Anum” Anum yang sedang membereskan peralatan P3K yang di berikan Husna hanya mengangguk pelan.

“Bagaimana keadaan rumah singgah? Bagaimana kabar Andi dan yang lainnya?” tanya Adnan berturut-turut yang memecah keheningan mereka, Anum terperangah saat Adnan menanyakan semua itu, pikirnya orang seperti Adnan tidak akan mau repot-repot bertanya hal yang remeh seperti itu.

Tapi Anum salah, Adnan adalah sebuah pengecualian, dengan wajah berbinar Anum menceritakan kejadian-kejadian lucu yang terjadi di sana, menceritakan tentang Andi, dan segala hal yang menurut Anum menarik untuk di ceritakan pada Adnan yang sudah baik dengannya.

Adnan pun dengan senang hati mendengarkan semua cerita Anum hingga ia lupa dengan rasa lelah di badannya yang sejak tadi sudah meronta ingin segera di istirahatkan.

Mereka berdua melupakan waktu yang terus berjalan tanpa mereka sadari.

“Jika Mas ada waktu, datanglah ke rumah singgah, anak-anak pasti senang ada relawan baru yang datang dan meluangkan waktu untuk mereka” Adnan mengangguk.

Dalam hati, ia berjanji akan datang ke rumah singgah untuk memenuhi undangan dari Anum ini.

TBC

Chapter 3

Semenjak malam itu, Adnan dan Anum bertambah dekat, Adnan selalu menyempatkan datang ke rumah singgah tempat Anum menghabiskan waktu.

Adnan mengambil peran disaat senggangnya untuk menjadi guru olahraga bagi anak-anak yang belajar di rumah singgah itu.

Peluh Adnan bercucuran, terik matahari membakar tubuh Adnan hingga membuatnya mengeluarkan keringat yang banyak.

Saat Adnan sibuk mengusap keringatnya, ada air mineral yang terulur padanya.

“Diminum mas” Adnan merasa diperhatikan oleh Anum.

“Terimakasih” Anum hanya mengangguk lalu duduk berjarak dari Adnan.

“Anak-anak disini lucu ya, Anum?” tambah Adnan yang ikut duduk, Anum hanya menoleh sekilas, kemudian kembali memandang ke depan.

“Mas, belum tau saja, mereka juga bisa jadi monster kecil kalau sedang badmood” tutur Anum sembari menatap Adnan sekilas, Adnan terkekeh mendengar itu.

“Tapi saya perhatikan, kamu sangat menyukai anak-anak, benar Anum?” perempuan berhijab merah itu hanya mengangguk dengan wajah yang berbinar.

“Hanya mereka yang memiliki hati bersih tanpa cacat, tanpa kepura-puraan, semua yang mereka lakukan dan katakan murni dari hati” Adnan diam, mengamati lawan bicaranya dengan seksama.

“Lalu, adakah alasan bagi saya untuk tidak menyukai mereka, Mas?” Adnan menggeleng, ia masih terkesima dengan penuturan sederhana Anum.

“Dunia ini kacau karena pola pikir orang yang berpikiran sempit, Mas. Bahkan saking sempitnya, mereka menganggap anak kecil sebagai manusia yang rumit” pandangan Anum menerawang ke depan. Memang benar, ada orang yang berpikiran seperti itu. Stigma itu salah dan harus diluruskan.

“Jikapun mereka hadir dikondisi yang tidak tepat, seperti hasil berzina dan semacamnya, mengapa mereka yang harus jadi korban? Bukankah mereka juga tidak bisa memilih akan dilahirkan dalam kondisi seperti apa?” meski samar Adnan bisa menangkap getaran amarah dan kekecewaan dari perkataan Anum saat ini.

“Mas tau? Ada banyak sekali kasus aborsi dan penelantaran anak di dunia ini, alasan mereka karena tidak siap bahkan karena faktor ekonomi” siapa yang tidak tau? Bahkan itu sudah menjadi rahasia umum yang hampir dianggap wajar. Tapi Adnan diam saja, ia ingin tau isi kepala Anum, ingin tau cara pandang perempuan ini terhadap sesuatu.

“Orang seperti itu menyedihkan Mas, hidupnya hanya seputar dunia, hingga ia lupa bahwa setiap yang bernyawa sudah di jamin rezekinya oleh Allah SWT, mereka seakan lupa bahwa setiap yang terjadi dalam hidup adalah rencana-Nya” Adnan termenung, sekaligus tertampar karena seringnya tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan padanya.

“Itukah alasanmu untuk menjadi seorang guru, Anum?” kali Ini Anum hanya menggeleng pelan.

“Saya ingin menjadi sumber pendidikan pertama bagi anak-anak saya kelak, layaknya seorang ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anaknya, saya menginginkan itu” Adnan tak bisa berhenti memandangi wajah teduh di hadapannya yang semakin membuatnya terpukau dengan tutur kata lembutnya.

“Saya ingin, Anak-anak saya berpikiran luas dan bijaksana, oleh karenanya, saya ingin membimbing mereka dengan tangan saya sendiri” Anum mengangkat kedua tangannya, kemudian menjatuhkannya kembali dalam pangkuan, dan kembali menerawang ke depan.

‘Cita-cita yang mulia’ batin Adnan.

“Anum?!” kedua manusia yang sedari tadi asik menikmati semilir angin bersama itu menoleh ke sumber suara. Itu, Husna.

“Eh, ada mas Adnan lagi, tho” sapanya pada Adnan sambil menyikut lengan sahabatnya berniat menggoda.

“Iya, saya sekarang sering mampir, tidak apa kan Husna?” Husna yang berdiri di dekat Anum hanya bisa tertawa geli.

“Oh tidak apa-apa Mas, apalagi jika kesini untuk menemani Anum mengajar anak-anak bersama, itu sangat saya anjurkan” kini giliran Anum yang menginjak kaki temannya dengan sengaja.

“Aduhh, eh, ini kaki aku sakit Anum?!” Adnan mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk memudarkan tawanya, melihat Anum yang tersipu sembari menahan kesal pada sahabatnya sendiri itu terlihat lucu.

“Kak Husna, kaki Adit luka karena habis jatuh dari tangga” adu salah satu anak murid. Ketiga manusia dewasa itu langsung berdiri tegap sembari bersiap untuk menghampiri anak yang katanya terluka itu.

“Eittsss, udah, kalian disini aja, ngobrol, dan untuk Anum, temenin Mas-nya aja, urusan mengobati itu bidangku” ucap Husna yang masih menghalangi mereka yang hendak pergi menolong Adit.

Adnan dan Anum saling pandang, namun segera mengalihkan pandangan mereka dengan salah tingkah.

“Udah ya, bye, Mas Adnan nitip Anum ya, kalau dia, jutek cium saja pucuk kepalanya, Insya Allah akan kembali jinak” setelah mengatakan itu Husna langsung berlari untuk menghindari amukan Anum.

Adnan kembali duduk di tempatnya, melihat Anum yang malu padanya sekaligus kembali kesal pada Husna.

“Mas, maafkan perkataan Husna ya, dia memang usil sekali” Anum menggelengkan kepalanya, merasa sangat kesal pada Husna sekarang.

“Tidak papa, saya tidak tersinggung, justru sedikit terhibur dengan kehadiran Husna, sampaikan terimakasih saya padanya nanti, ya” Kini Anum terkekeh kemudian mengangguk singkat mendengar respon Adnan yang mati-matian untuk bersikap biasa.

“Kalau Mas, boleh tau pekerjaannya apa? Dari tadi aku mulu yang bercerita” Adnan sedikit berbinar saat Anum mulai bertanya tentang dirinya.

“Aku hanya bekerja seperti manusia lainnya kok Anum”

Anum memandang Adnan dengan senyum mengejek, dari tampilan dan yang Anum tau bahwa Adnan sampai memiliki sopir dan asisten rasanya mustahil jika ia hanya seorang pekerja pada umumnya.

“Kenapa responmu seperti tidak percaya?”

“Tidak, baiklah berarti Mas pekerja yang istimewa ya?”

Adnan mengernyit heran, bingung dengan apa yang dimaksud oleh wanita dihadapannya ini.

“Iya, apa aku salah, jika mas hanya pekerja biasa dan memiliki seorang sopir dan asisten itu artinya Mas pekerja istimewa kan?”

Adnan tertawa, ternyata itu maksudnya, ia ketahuan berbohong.

“Itu semua hanya titipan Anum, sejatinya aku tetap sama dengan semua orang, hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa, begitu kata pujangga” ucap Adnan yang sudah mulai lepas bercanda.

Tawa Anum meledak begitu saja mendengar kalimat bersajak itu.

Meski masih dalam batas normal, tapi mampu menciptakan desiran aneh yang dirasakan Adnan, seperti ada ribuan beban yang terangkat, sejenak Adnan terlupa akan semua hal yang sebelum ini membuat kepalanya hampir meledak.

Saat sadar diamati begitu dalam oleh lawan bicaranya, tawa Anum terhenti, berganti dengan salah tingkah yang tak bisa dikendalikan.

“Jangan lihat begitu, aku malu”

Adnan memalingkan muka kemana saja, berusaha untuk tidak lagi membuat Anum malu karena sikapnya.

Sebenarnya ia juga malu karena tertangkap basah memandangi wajah teduh Anum lama, tapi apa yang bisa Adnan lakukan, wajah itu selalu membuat pandangannya selalu terkunci, selalu ingin menatapnya lagi dan lagi.

Adnan kebingungan dengan perasaannya kali ini, juga tubuhnya yang tak lagi bisa dikendalikan olehnya.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!