NovelToon NovelToon

Kisah Cinta Haifa

1. Kedatangan Bi Nani

Pada suatu sore rumah Haifa kedatangan tamu, yaitu Bibinya yang bekerja di Jakarta. Bibinya yang bernama Nani bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah salah satu pengusaha di Jakarta. Suaminya yang bernama Diman juga bekerja di rumah pengusaha itu sebagai supir pribadi. Bi Nani dan Mang Diman diberi libur selama tiga hari oleh majikannya setiap dua atau tiga bulan sekali untuk pulang kampung. Sepengetahuan Haifa, Bibinya baru datang dua minggu yang lalu Bibinya pulang kampung, namun sekarang ia sudah pulang kampung lagi.

Ada apa, ya? tanya Haifa di dalam hati.

Kecurigaan Haifa akhir terjawab.

 “Ibu Deswita sedang mencari menantu untuk putra sulungnya yang sedang sakit jantung,” kata Bi Nani ketika datang berkunjung ke rumah.

“Ia meninginkan yang menjadi menantunya adalah perempuan sholeha dan keturunan yang baik-baik. Tidak masalah walaupun berasal dari golongan ekonomi bawah. Yang penting perempuan itu bisa mendampingi Den Wisnu dengan baik.”

“Bagaimana menurutmu, Haifah?” tanya Bi Nani.

Haifah mengerutkan keningnya ketika Bibinya bertanya kepadanya.

“Maksud Bibi apa?” tanya Haifah tidak mengerti.

Bi Nani menghela nafas.

“Bibi ingin kamu yang menikah dengan Den Wisnu,” jawab Bi Nani.

“Den Wisnu orangnya baik, sopan dan ramah. Ia juga rajin sholat dan pandai mengaji. Ia tidak pernah bersikap semena-mena dengan semua asisten rumah tangga di rumahnya. Jika ia ingin diambilkan sesuatu ia akan memintanya dengan sopan.”

“ia bekerja di perusahaan milik ayahnya. Perusahaan Pak Broto mengalami kemajuan semenjak Den Wisnu ikut bergabung di perusahaan itu. Pokoknya Den Wisnu calon suami idaman,” kata Bi Nani.

“Kalau Bibi punya anak perempuan, mungkin sudah Bibi kenalkan kepada Den Wisnu,” lanjut Bi Nani.

Haifa tidak mengerti mengapa laki-laki seperti Wisnu tidak bisa mencari istri. Mengapa harus Bi Nani yang sibuk mencarikan istri untuk Den Wisnu? tanya Haifa di dalam hati.

“Apa Den Wisnu tidak bisa cari calon istri sendiri? Apalagi dia anak orang kaya pasti banyak perempuan yang ingin menjadi istrinya,” tanya Haifah.

“Banyak perempuan yang mendekati Den Wisnu karena ketampanannya dan kekayaannya. Namun Den Wisnu tidak memberi hati kepada perempuan-perempuan itu, ia hanya menganggap mereka sebagai teman tidak lebih dari itu,” jawab Bi Nani.

“Kalau Den Wisnu tidak tertarik dengan teman-temannya, apalagi dengan Haifa yang cuma gadis desa cuma tamatan SMA,” kata Haifa.

“Kamu belum ketemu dengan Den Wisnu sudah pesimis duluan. Harus optimis, dong!” seru Bi Nani.

Ibu Euis yang dari tadi hanya menjadi pendengar langsung menengahi Bi Nani yang begitu menggebu mempromosikan Wisnu kepada Haifa.

“Sudahlah, Nan. Haifa tidak akan tertarik dengan Den Wisnu. Haifa sudah punya pacar,” sahut Ibu Euis, Mamahnya Haifa.

Bi Nani menoleh ke Ibu Euis.

“Siapa?” tanya Ibu Nani.

“Syaiful, anak RW sebelah,” jawab Ibu Euis.

“Baik nggak orangnya?” tanya Bi Nani.

“Anaknya baik, sopan lagi. Dia kerja di minimarket Indojuni,” jawab Ibu Euis.

“Ih…Mamah, Aa Syaiful bukan pacar Haifah,” Haifah protes.

“Kalau bukan pacar kamu, terus kenapa dia sering datang ke sini?” tanya Ibu Euis.

“Haifah cuma menganggap dia teman, nggak lebih dari teman,” jawab Haifah.

“Kalau kamu tidak punya pacar berarti kamu mau dikenalkan dengan Den Wisnu?” tanya Bi Nani.

“Kalau kamu menikah dengan Den Wisnu, semua kebutuhan keluarga akan dicukupi oleh Den Wisnu,” kata Bi Nani.

Mendengar perkataan Bibinya Haifa langsung diam. Haifa sekarang ini membutuhkan uang untuk biaya sekolah adiknya. Penghasilan Bapaknya sebagai karyawan di sebuah pabrik hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari. Sedangkan Haifah belum mendapatkan pekerjaan walaupun ia sudah melamar kemana-mana namun masih belum ada panggilan.

Haruskah aku menikah dengan Den Wisnu? tanya Haifa pada dirinya sendiri.

“Bi, boleh Haifa lihat foto Den Wisnu?” tanya Haifa.

“Boleh,” jawab Bi Nani.

Bi Nani mengambil ponselnya dari dalam tas, lalu ia mencari menscroll ponselnya.

“Ini,” Bi Nani memberikan ponselnya ke Haifa.

Haifa memandangi foto pemuda yang terpampang di ponsel Ibu Nani. Seorang pemuda tampan yang sedang tersenyum dengan manis. Namun wajah pemuda itu terlihat tidak segar, wajahnya terlihat pucat. Mungkin karena penyakit jantung yang di derita pemuda itu.

“Usianya berapa tahun, Bi?’ tanya Haifa.

“Tiga puluh tujuh tahun,” jawab Bi Nani.

“Sudah tua atuh, Nan,” Sahut Ibu Euis.

“Kalau di Jakarta mah, usia segitu wajar belum menikah. Kebanyakan mereka harus hidup mapan dulu baru menikah,” jawab Bi Nani.

“Tidak seperti di kampung, masih pengangguran tapi sudah menikah. Akhirnya jadi beban orang tuanya,” lanjut Bi Nani.

Haifa mengembalikan kembali ponsel Bi Nani.

“Haifa pikir-pikir dulu, Bi,” kata Haifa.

“Iya nggak apa-apa. Bibi di sini sampai lusa. Kalau kamu mau ikut ke Jakarta bisa bareng dengan Bibi,” kata Bi Nani.

“Nanti kamu pura-pura mau mencari kerja di Jakarta,” kata Bi Nani.

“Den Wisnu tidak tau menahu soal Ibu Deswita sedang mencarikan jodoh untuknya,” lanjut Bi Nani.

“Nanti Bibi yang bilang ke Ibu Deswita kalau kamu datang ke Jakarta untuk dikenalkan ke Den Wisnu.”

“Sudah sore, Bibi pulang dulu.” Bi Nani bangun dari tempat sofa.

Haifa menghampiri Bibinya.

“Iya, Bi.” Haifa mencium tangan Bi Nani.

Bi Nani menghampiri Ibu Euis.

“Ceu, Nani pulang dulu, ya. Besok Nani ke sini lagi,” pamit Bi Nani.

“Iya,” jawab Ibu Euis.

“Assalamualaikum,” ucap Bi Nani.

“Waalaikumsalam,” ucap Ibu Euis dan Haifa berbarengan.

Bi Nani keluar dari rumah Ibu Euis.

2. Ikut ke Jakarta.

Malam harinya Ibu Euis menceritakan kepada suaminya tentang niat Bi Nani yang ingin menjodohkan Haifa dengan Wisnu anak majikannya.

Pak Yayat menghela nafas lalu mengalihkan pandangannya kepada Haifa.

“Kamu mau dijodohkan dengan Den Wisnu?” tanya Pak Yayat.

“Ya, nggak lah, Pak. Haifa kan belum kenal dengan Den Wisnu. Haifa belum tau orangnya seperti apa? dan sifatnya bagaimana?” jawab Haifa.

“Lagipula Den Wisnu punya penyakit jantung. Nanti kalau dia meninggal Haifa bagaimana?” kata Haifa.

“Haifa maut, jodoh dan rejeki sudah ada yang ngatur. Kita tidak tau kapan maut akan menjemput kita. Kalau kamu menikah dengan Syaiful tidak ada jaminan ia akan berumur panjang. Bisa saja setelah kalian menikah Syaiful tabrakan lalu meninggal,” jawab Ibu Euis.

“Kok Mamah ngomongnya begitu, sih? Doain yang enggak-enggak,” protes Haifa.

“Bukan doain yang enggak-enggak. Maksud Mamah walaupun kamu menikah dengan orang yang sehat sekalipun belum tentu ada jaminan dia berumur panjang. Jangan suka menganggap remeh orang lain!” kata Ibu Euis.

Melihat mulai ada ketegangan antara Ibu Euis dan Haifah, Pak Yayat menengahi.

“Sudah! Daripada penasaran lebih baik Haifa ikut Bi Nani ke Jakarta. Siapa tau di sana bisa mendapatkan pekerjaan sekalian melihat Den Wisnu dari dekat. Jadi Haifa bisa menilai Den Wisnu itu seperti apa?”  kata Pak Yayat.

“Nah, bener apa kata Bapakmu. Kan nggak ada salahnya kamu kenalan dengan Den Wisnu, siapa tau dia jatuh cinta padamu,” sahut Ibu Euis.

“Tapi harus dibarengi dengan sholat istikharah, minta petunjuk apakah pilihanmu benar atau tidak,” kata Pak Yayat.

Haifa berpikir sejenak.

Haruskan aku ke Jakarta untuk menemuinya? Tanya Haifah di dalam hati.

.

.

.

Haifa akhirnya membulatkan tekadnya untuk ikut bersama dengan Bibi dan Pamannya ke Jakarta. Siapa tau di  Jakarta Haifa bisa mendapatkan pekerjaan.

Mereka berangkat dari Sumedang sebelum adzan subuh dengan menggunakan mobil milik majikannya. Majikan Bi Nani selalu meminjamkan mobilnya ketika Bi Nani dan Mang Diman pulang ke kampung. Mereka sampai di Jakarta pukul sepuluh pagi.

Mobil yang di kendarai Mang Diman memasuki sebuah rumah yang besar, megah dan mewah. Halaman rumah itu cukup luas. Haifa terkagum-kagum memandangi rumah itu dari dalam mobil. Hingga tak terasa mobil yang di kendarai Mang Diman berhenti di depan garasi.

“Ayo, Fa kita turun,” ajak Bi Nani.

Bi Nani turun dari mobil. Haifa juga ikut turun dari mobil.

“Tasnya dibawa turun, Fa!” seru Bi Nani.

Haifa mengikuti perintah Bi Nani. Bi Nani masuk ke dalam rumah melalui garasi mobil, Haifa mengikuti dari belakang.

“Tasnya taruh di sini dulu, Fa. Nanti sore kalau pekerjaan Bibi sudah selesai kita baru pulang ke rumah Bibi,” kata Bi Nani sambil menyimpan barang-barangnya di lorong sebelah dapur.

Haifa menaruh barang bawaannya di dekat barang-barang milik Bibinya.

“Ayo ikut Bibi, kita ketemu dengan Ibu Deswita dulu.” Bi Nani menarik tangan Haifa.

Haifa mengikuti Bibinya dari belakang.Bi Nani masuk ke dalam rumah menuju ke ruang keluarga. Kemudian Bi Nani mendekati wanita lanjut usia yang sedang menonton televisi.

“Assalamuaikum,” ucap Bi Nani.

Wanita itu menoleh ke arah Bi Nani.

“Waalaikumsalam. Sudah pulang Bi?” tanya Ibu Deswita.

“Sudah, Bu,” jawab Bi Nani.

Wanita itu melihat ke arah Haifa yang berdiri di belakang Bibinya.

“Itu siapa, Bi?” tanya Ibu Deswita sambil menunjuk ke arah Haifa.

“Ini keponakan saya, Bu. Namanya Haifa. Dia sedang mencari pekerjaan, Bu,” jawab Bi Nani.

Ibu Deswita memperhatikan Haifa mulai dari atas sampai ke bawah. Haifa menggunakan kemeja lengan panjang dan celana jeans serta kerudung segi empat yang kedua ujungnya dibiarkan memanjang untuk menutupi dadanya.

Wajahnya hanya diberi sentuhan bedak tipis-tipis. Bibirnya tidak menggunakan liptik sama sekali. Penampilan Haifa benar-benar sederhana.

“Cantik,” puji Ibu Deswita.

“Berapa usianya?” tanya Ibu Deswita.

“Delapan belas tahun, Bu. Baru lulus SMA,” jawab Bi Nani.

“Masih muda juga, ya,” kata Ibu Deswita.

“Haifa mau kerja apa?” tanya Ibu Deswita.

“Apa saja, Bu. Yang penting halal,” jawab Haifa.

“Sebelum kami mendapatkan pekerjaan. Kamu kerja di sini dulu aja, bantu-bantu Bibimu dan asisten rumah tangga yang lainnya,” kata Ibu Deswita.

“Mau, nggak?” tanya Ibu Deswita.

“Mau, Bu,” jawab Haifa.

“Syukurlah kalau kau mau,” ucap Ibu Deswita.

“Bi Nani, tolong antar Haifa ke kamarnya, ya!” seru Ibu Deswita.

“Baik, Bu.” Bi Nanipun mengajak Haifa ke kamarnya.

Haifa membawa tasnya yang ia taruh di lorong dekat dapur, Setelah itu Bi Nani mengajak Haifa ke kamar khusus para asisten rumah tangga yang berada di samping dapur.

“Kamu tidur di sini. Kalau kamu ikut tidur di rumah Bibi nanti kalau tiba-tiba Ibu Deswita membutuhkanmu bagaimana?” kata Bi Nani menjelaskan kepada Haifa.

“Nggak apa-apa kok, Bi,” kata Haifa.

“Bi Nani!” panggil Ibu Deswita.

“Ya, Bu,” jawab Bi Nani ketika Bi Nani keluar dari kamar Haifa ternyata Ibu Deswita menongolkan kepalanya dari dapur.

“Bi Nani ajak Haifanya ke sini!” seru Ibu Deswita dari pintu dapur.

“Baik, Bu.”

Bi Nani masuk kembali ke kamar Haifa.

“Fa, disuruh Ibu Deswita ke dapur!” seru Bi Nani.

Haifapun mengikuti Bi Nani ke dapur. Di dapur ada Ibu Deswita yang sedang menyusun rantang di atas meja.

“Mulai hari ini pekerjaanmu mengantarkan makan siang Wisnu dan Pak Broto ke kantor, kecuali kalau mereka ada tamu atau makan siang dengan tamu atau ada rapat tidak usah diantarkan makanan,” kata Ibu Deswita.

“Baik, Bu,” jawab Haifa.

“Dan tolong pastikan anak saya Wisnu sudah meminum obatnya,” kata Ibu Deswita.

“Baik, Bu,” jawab Haifa lagi.

“Sekarang kamu masuk-masukkan makanannya ke dalam rantang!” kata Ibu Deswita.

“Baik, Bu.” Haifa mulai memasukkan lauk pauk ke dalam rantang yang sudah disediakan Ibu Deswita.

Setelah makan siang untuk Pak Broto dan Wisnu sudah siap, Haifapun bersiap-siap untuk ke kantor.

“Makanan untuk suami saya kamu berikan saja ke sekretarisnya. Makanan untuk Wisnu kamu harus mengantarkannya sampai ke ruangan Wisnu dan pastikan dia memakan makan siangnya dan meminum obatnya! Mengerti kamu?” kata Ibu Deswita.

“Ya, Bu. Saya mengerti,” jawab Haifa.

“Ya, sudah sekarang kamu berangkat ke kantor diantar Mang Diman!” seru Ibu Deswita.

“Baik, Bu.” Haifapun membawa kedua rantang tersebut ke depan rumah.

3. Kantor Wisnu.

Mang Diman menurunkan Haifa di depan lobby kantor.

“Mang, bagaimana ini? Haifa harus bilang apa kepada mereka?” tanya Haifa yang kebingungan melihat kantor Pak Broto dan kantor Wisnu yang cukup besar.

“Bilang saja kamu disuruh Ibu Deswita mengantarkan makanan untuk Pak Broto dan Den Wisnu,” jawab Mang Diman.

“Bilang juga kalau kamu itu asisten rumah tangga baru, jadi belum tahu ruangan Pak Broto dan Wisnu,” kata Mang Diman lagi.

“Baik, Mang, " jawab Haifa.

Haifa pun turun dari mobil lalu masuk ke dalam gedung. Lobby kantor nampak sepi, tidak ada tamu yang sedang menunggu. Seorang petugas resepsionis menegurnya.

“Mau ketemu siapa, Dik?” tanya Ira petugas resepsionis.

Haifa mendekati Ira yang sedang duduk di meja resepsionis.

“Saya disuruh Ibu Deswita mengantarkan makanan untuk Den Wisnu dan Pak Broto,” jawab Haifa.

“Oh…biasanya diatar oleh supir, tapi sekarang diantar asisten rumah tangga,” kata Ira.

Haifa hanya tersenyum menanggapinya.

“Sebentar, ya.”

Ira mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tiba-tiba Ira tersenyum. Ira melambaikan tangannya kepada seseorang.

“Zul….Zulkifli!” Ira memanggil seseorang.

Seorang laki-laki muda berpakaian office boy datang menghampiri Ira.

“Ada apa, Mbak?” tanya Zulkifli.

“Tolong antarkan rantang makanan ke Pak Broto dan Pak Wisnu,” jawab Ira.

Zulkifli beralih ke Haifa.

“Sini Mbak, biar saya yang antarkan rantangnya,” kata Zulkifli kepada Haifa.

“Jangan, Mas! Saya disuruh Ibu Deswita mengantar sampai ke ruangan Pak Broto dan Den Wisnu,” ujar Haifa.

“Sama saja, Zulkifli juga mengantar sampai ke ruangan Pak Broto dan Pak Wisnu. Nggak kemana-mana dulu kok,” sahut Ira.

“Beda, Mbak. Karena saya harus memastikan Den Wisnu memakan makanannya,” jawab Haifa.

“Ribet amat, sih. Memangnya makanannya tidak enak, ya? Sampai harus dipastikan dimakan atau tidak,” ujar Ira.

“Saya tidak tau, Mbak. Soalnya bukan Bi Nani yang memasak. Biasanya Bi Nani yang memasak makanan untuk Pak Broto dan Den Wisnu,” jawab Haifa.

“Lagi pula nggak ribet, kok. Mbak Ira dan Mas Zulkifli tinggal beritahu dimana ruangan Pak Broto dan Den Wisnu. Biar saya yang ke sana sendiri,” kata Haifah.

Ira menghela nafas, percuma melawan Haifa, karena bagaimanapun juga Haifa menjalankan perintah Ibu Deswita yaitu istri bosnya.

“Ya sudah, biar Zulkifli yang mengantarkanmu ke ruangan Pak Broto dan Pak Wisnu,” kata Ira dengan mengalah.

“Zul, anterin dia ke ruangan Pak Broto dan Pak Wisnu,” kata Ira.

“Siap, Mbak,” jawab Zulfikli.

“Ayo Mbak, ikuti saya.” Zulfikli berjalan menuju ke liff.

Haifa pun mengikuti Zulfikli menuju ke liff.

“Mau diantar ke ruangan siapa dulu?” tanya Zulfikli yang sudah siap-siap hendak memencet tombol floor.

“Ke ruangan Pak Broto dulu,” jawab Haifa.

Zulfikli memencet angka tujuh lalu liff pun bergerak ke atas. Akhirnya mereka sampai ke lantai tujuh. Zulfikli dan Haifa keluar dari liff. Lantai tujuh cukup luas karena tidak banyak ruangan hanya ada dua ruangan yaitu ruang rapat dan ruang pimpinan. Suasananya juga sepi tidak seperti di lantai dasar yang sedikit ramai. Mungkin karena di lantai tujuh ruangan khusus pimpinan jadi jarang orang yang datang ke lantai tujuh.

Zulkifli menghampiri seorang wanita cantik yang sedang duduk di depan meja kerja.

“Mbak Maya, ini ada yang mengantarkan makan Pak Broto,” kata Zulfikli kepada wanita itu.

“Oh, taruh di sini saja! Nanti saya antar ke Bapak, soalnya Bapak sedang menerima telepon,” kata Maya.

Haifa menaruh rantang makanan untuk Pak Broto di atas meja kerja Maya.

“Titip ya, Mbak,” kata Haifa kepada Maya.

“Iya,” jawab Maya.

“Sekarang kita ke ruangan Pak Wisnu,” kata Zulfikli.

“Sebetulnya ruangan Pak Wisnu hanya turun satu lantai, tapi kita turunnya naik liff saja,” kata Zulkifli ketika menuju ke liff.

“Kenapa tidak turun lewat tangga saja? Tanggung cuma turun satu lantai saja,” tanya Haifa.

“Nggak apa-apa, mumpung liffnya kosong,” jawab Zulfikli.

Zulfikli memencet tombol masuk liff dan liff pun langsung terbuka.

“Tuh benarkan apa kata saya, liffnya kosong. Buktinya liff masih di sini belum ada yang menggunakan lagi,” kata Zulfikli.

Mereka pun masuk ke dalam liff dan liff pun bergerak turun ke lantai enam. Setelah sampai di lantai enam pintu liff pun terbuka. Di lantai enam ruangannya cukup banyak, ini terlihat dari banyak pintu di ruangan itu dan ada satu meja di depan ruangan, mungkin itu meja para sekretaris.

Zulfikli mengajak Haifa ke suatu ruangan yang berada di ujung lantai ini. Zulfikli menghampiri seorang wanita yang duduk di meja yang berada di depan ruangan itu.

“Mbak Rita, Pak Wisnu ada?” tanya Zufikli.

“Ada, kenapa gitu?” tanya Rita.

“Ini ada asisten rumah tangga yang di suruh Ibu Deswita untuk mengantarkan makan,” jawab Zulfikli.

“Oh..ya sudah simpan saja di meja. Nanti saya berikan ke Pak Wisnu,” kata Rita.

“Saya harus mengantarkan langsung ke Den Wisnu dan harus memastikan kalau Den Wisnu memakannya atau tidak,” kata Haifa.

Mendengar perkataan Haifa, Rita kaget. Tidak biasanya Ibu Deswita menyuruh seperti itu. Biasanya juga supir Ibu Deswita hanya mengantarkan makanan sampai di meja Rita tak perlu diantar sampai ke ruangan Pak Wisnu.

“Sebentar saya lihat dulu, Pak Wisnu sibuk atau tidak.” Rita berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan menuju ke ruangan Wisnu.

Rita mengetuk pintu ruangan Wisnu.

“Masuk.” Terdengar sura Wisnu dari dalam ruangan.

Rita membuka pintu ruangan Wisnu.

“Pak ada asisten rumah tangga yang di suruh Ibu Deswita untuk mengantarkan makanan,” kata Rita.

Wisnu yang sedang sibuk dengan laptopnya lalu mengalihkan pandangannya ke Rita.

“Suruh dia masuk!” seru Wisnu.

“Dik, disuruh masuk sama Pak Wisnu,” kata Rita kepada Haifa.

“Mas Zulfikli, terima kasih sudah mengantarkan saya,” ucap Haifa.

“Sama-sama, Mbak,” jawab Zulfikli.

Haifa pun masuk ke dalam ruangan Wisnu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!