NovelToon NovelToon

Nanny And Duda

Bab 1. Salah Paham

Pada sebuah jalan, terlihat seorang gadis muda yang usia dia sekitar sembilan belas tahunan. Dari penampilan dia, dia kelihatan baru datang dari kampung ke kota untuk mencari pekerjaan. Dia melamar dari sebuah rumah ke rumah yang lain. Nama dia adalah Nadilla Putri yang biasa disapa dengan sebutan Dilla.

Dilla dengan pakaian yang lusuh dan berbekal sebuah tas kecil yang berada di tangan mencoba mengadu nasib di kota. Di kampung halaman hanya terdapat pekerjaan kasar dan cukup memakan tenaga dengan gaji yang tidak seberapa. Oleh karena itu, Dilla lebih memilih mencoba mencari pekerjaan di kota.

Dilla hanyalah anak yatim piatu yang dirawat oleh paman dan bibi dari pihak sang ayah. Dilla yang sejak berusia lima tahun sudah dirawat oleh paman dan bibi. Saat Dilla masih berusia lima tahun dia kehilangan kedua orang tua. Orang tua Dilla meninggal karena mengalami sebuah kecelakaan bus.

Pada saat kecelakaan berlangsung, Dilla tidak ikut kedua orang tua karena dia dititipkan sama paman dan bibi. Orang tua Dilla menitipkan Dilla karena Dilla lagi demam, sehingga tidak memungkinkan untuk membawa Dilla serta. Orang tua Dilla langsung meninggal di tempat bersama dengan penumpang yang lain. Ada juga beberapa orang yang masih selamat tapi terluka cukup parah.

Paman dan bibi Dilla yang pada saat itu juga belum dikarunia seorang anak pun. Sehingga mereka tidak merasa keberatan dengan ada Dilla di dalam keluarga kecil mereka. Mereka dengan sepenuh hati menjaga dan merawat Dilla. Kebetulan juga hanya mereka sanak saudara dari orang tua Dilla.

Orang tua Dilla bukanlah orang yang berada, sehingga mereka tidak meninggalkan banyak warisan untuk masa depan Dilla. Mereka hanya mempunyai beberapa gram emas. Emas-emas tersebut sudah dipakai untuk pemakaman orang tua Dilla dan juga biaya masuk sekolah Dilla pada saat itu.

Paman dan bibi Dilla juga bukan orang berada, sama seperti kedua orang tua Dilla. Mereka hanyalah petani kecil yang mengelola sepetak tanah warisan dari kakek Dilla. Karena penghasilan dari sepetak tanah itu jauh dari kata cukup untuk menghidupi mereka berlima, maka paman dan bibi Dilla juga ikut bekerja sebagai buruh kasar di kampung sebelah untuk mencukupi kebutuhan sehari hari mereka.

Paman dan bibi Dilla sangat baik kepada Dilla. Mereka menganggap Dilla sebagai anak kandung mereka sendiri walaupun sudah mempunyai anak kandung. Tidak pernah membedakan mana anak kandung dan yang bukan. Paman dan bibi Dilla memiliki dua orang anak kandung, keduanya laki-laki. Anak yang pertama bernama Budi, Budi sudah menduduki kelas satu SMP dan berusia tiga belas tahun. Anak kedua bernama Yudi yang sudah menginjak kelas tiga SD dan berusia sembilan tahun.

Ok, kembali kepada saat sekarang ini.

Dilla dengan pantang menyerah terus menanyakan dari satu rumah ke rumah lain. Siapa tau nanti ada lowongan kerja yang bisa dia dapatkan.

"Assalamu'alaikum Pak," sapa Dilla.

Dilla menyapa bapak satpam di sebuah rumah yang elit. Dari raut wajah bapak tersebut, bapak tersebut berusia sekitar empat puluh dua tahun.

"Wa'alaikumsalam Dik. Adik siapa ya," sahut dan tanya satpam itu.

"Saya Dilla, Pak. Saya kemari itu untuk...."

Belum selesai Dilla menjawab pertanyaan pak satpam tersebut, tiba-tiba muncul seorang ibu-ibu dari dalam rumah dan segera menarik tangan Dilla. Sepertinya ibu itu adalah pembantu di rumah ini. Ibu itu dari usia tidak lebih dari enam puluh tahun, tapi dari segi tenaga sekitar tiga puluh tahun, sangat kuat. Seperti ibu-ibu yang ingin merebut barang diskonan.

"Kamu ini bagaimana, sih, jam segini baru sampai. Katanya dari tempat penyediaan pembantu profesional. Tapi telat begini. Lain kali kalau datang itu yang on time. Di sini kita mulai kerja dari jam tujuh pagi, tahu tidak. Ini kamu jam sepuluh baru sampai bla bla bla...," ujar pembantu itu.

Pembantu itu terus bicara tanpa berhenti dan terus menarik tangan Dilla. Pembantu itu menarik Dilla sampai masuk ke dalam rumah tersebut. Sang satpam yang melihat pun sudah terbiasa melihat dan hanya geleng-geleng kepala. Pak satpam sudah tahu kalau pembantu itu suka sekali bicara panjang lebar.

"Tapi Bi...," ujar Dilla.

Dilla ingin memotong ucapan pembantu itu, tapi....

"Tidak ada tapi-tapian. Sekarang ini baju kamu. Kamu bisa ganti baju di belakang sana. Kamar kamu yang paling sudut ya. Terus kamu bersihkan semua ruangan ini sampai bersih. Kamu sapu, lap dan pel setiap sudut. Jangan sampai ada debu setitik pun. Kamu mengerti?" tanya pembantu itu.

Dilla yang tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya hanya menganggukkan kepala saja. Pembantu tersebut mendorong Dilla ke arah kamar yang ditunjuk.

'Lumayan lah dapat kerja. Daripada tidak ada kerja sama sekali,' batin Dilla.

Dilla menuju ke belakang, ke tempat yang ditunjukkan untuk berganti baju.

Dilla memasuki kamar tersebut. Kamar ini adalah kamar pembantu, tapi lebih bagus daripada kamar yang ada rumahnya, kamar yang berada di kampung. Dilla tidak mau berlama-lama, Dilla segera meletakkan tas lusuh dia dan segera menggantikan baju dengan pemberian pembantu yang tadi.

Setelah Dilla mengganti baju, Dilla segera pergi bersih-bersih, mulai dari menyapu, mengelap perabotan yang ada di sana serta mengepel juga. Tidak ada satu tempat pun yang Dilla lewatkan. Dilla tidak mungkin menolak kesempatan emas itu. Dilla bekerja dengan penuh hati-hati dan teliti. Dilla tidak mau melewatkan satu debu pun.

'Lumayan lumayan lumayan. Kayaknya itu pembantu salah orang deh. Hehe..., pembantu dari penyediaan pembantu profesional apaan coba. Wong aku baru sampai kemarin, mana mungkin aku kenal tempat seperti itu. Mudah-mudahan saja orang yang kerja beneran di sini mengundurkan diri. Kan aku tidak capek lagi cari kerja. Ini mah rejeki nomplok, mana mungkin Dilla tolak, hem hem hem,' batin Dilla sambil mengelap perabotan.

Tidak terasa Dilla sudah bekerja sekitar dua jam. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Biasanya jam seperti itu sudah mulai memasak untuk makan siang.

"Siapa kamu?" tanya Rita sang nyonya rumah.

Rita atau dengan nama lengkap Rita Suherman, istri dari Aditya Suherman. Orang yang memiliki banyak usaha di berbagai bidang, sang pengusaha Konglomerat nomor satu di Asia ini. Rita berusia sekitar lima puluh tiga tahun, hampir seusia dengan almarhum ibu Dilla.

"Saya Dilla Nyonya," sahut Dilla sambil tersenyum.

'Kayaknya ini yang punya rumah nih.'

Rita memperhatikan ke sekeliling ruangan yang sudah dibersihkan dengan kinclong. Perabotan juga sudah bersih dan ditata dengan rapi.

"Bi..., Bi Imah...," panggil Rita kepada pembantu yang sudah bekerja lama sama dia.

"Iya Nyonya, ada apa Nyonya, apa ada yang bisa Bi Imah bantu," jawab bi Imah.

Bi Imah adalah orang yang ternyata menyeret Dilla tadi.

"Apa dia pembantu yang dari penyediaan pembantu profesional yang kita hubungi kemarin itu?" tanya Rita.

"Iya Nyonya, apa Nyonya tidak puas dengan perkerjaan dia. Atau ada yang salah dari dia, biar saya yang urus Nyonya. Nyonya tenang saja, kalau ada Bi Imah semua pasti beres. Nyonya tidak perlu turun tangan langsung, biar Bi Imah yang atasi semua," ujar bi Imah.

Sang nyonya langsung mengangkat tangan di depan muka bi Imah. Tanda menyuruh bi Imah berhenti bicara. Rita memijit kepala yang terasa pusing karena bi Imah kalau bicara tidak pernah ingat rem.

'Untung kerjanya beres, kalau tidak sudah aku pecat dari dulu,' batin Rita.

"Udah lanjut saja kerjanya. Saya mau ke kamar dulu," ujar Rita.

"Baik Nyonya, terima kasih," ucap Dilla dan bi Imah secara bersamaan.

'Alhamdulillah tidak jadi  diusir,' ujar Dilla bersyukur.

Sebelum mereka semua melangkah jauh dari tempat tadi, datanglah pak Tono, satpam yang berada di depan gerbang tadi. Pak Tono tidak datang sendirian, tapi di samping dia ada seorang gadis muda juga. Usia gadis itu sekitar dua puluh lima tahun. Dari penampilan dia, dia merupakan orang yang sangat suka kerapian dan juga berwibawa.

Kira-kira ada apa ya dengan kedatangan pak Tono bersama gadis itu?

Bersambung...

Jangan lupa like, kasih saran dan kritikan. Terima kasih.

Bab 2. Dapat Kerja

Sebelum mereka melangkah jauh dari tempat tadi datanglah pak Tono, satpam yang berada di depan gerbang tadi.

"Maaf Nyonya, ini ada yang ingin ketemu sama Nyonya," kata pak Tono.

"Siapa ya?" tanya Rita.

"Saya Mina Marlina Nyonya. Pembantu dari penyediaan pembantu profesional," kata Mina dengan senyum canggung.

Rita dan bi Imah seketika langsung menoleh ke arah Dilla. Dilla yang tidak tau situasi hanya bisa celingak-celingukan saja.

"Lalu?" tanya Rita lagi.

"Maaf atas keterlambatan saya Nyonya. Tadi ada hal yang harus diurus dulu. Saya janji jika ke depan saya tidak akan mengulangi lagi," sesal Mina.

'Jadi ini pembantu yang sebenarnya yang mau direkrut. Gimana ini, masak belum kerja sehari sudah mau dipecat saja. Adik tidak ridho bang.'

Bi Imah yang ingin menjawab langsung dihentikan oleh Rita.

"Kamu tau jam berapa sekarang?" tanya Rita.

"Emm tau Nyonya," dengan sedikit gugup Mina mencoba menjawab dengan lancar.

'Coba saja semalam aku tidak bergadang buat nonton drama korea. Pasti tidak akan telat bangun. Alamat ini bisa dipecat sebelum gajian, padahal kan lumayan uangnya bisa buat beli tiket ke korea. Lihat Oppa Oppa tampan, hufff...,' batin Mina sambil mendumel menyalahkan diri sendiri karena kesiangan bangun.

Dilla yang mendengar percakapan itu, hati dia jadi dag dig dug menunggu keputusan calon Nyonyanya.

"Jam berapa janjian datang ke sini?" tanya Rita lagi.

"Jam tujuh Nyonya."

"Ini sudah jam berapa?"

"Jam dua belas lewat Nyonya," jawab Mina sambil melihat jam di pergelangan tangan.

"Sekarang kamu pulang saja. Saya tidak suka sama orang yang tidak telaten. Di sini sudah ada yang bisa gantikan kamu," ujar Rita sambil melirik Dilla yang di samping bi Imah.

Mina yang melihat sang calon Nyonya melirik ke arah seorang, dia juga ikutan melihat.

'siapa dia? apa dia yang bakal gantikan aku kerja di sini ya.'

'Alhamdulillah tidak jadi dipecat. Paman, bibi, Dilla tidak jadi dipecat. Dilla akhirnya dapat kerja. Untung saja itu calon pembantu telat datang. Maafkan Dilla ya Mbak. Dilla juga butuh kerja. Dilla butuh uang,' batin Dilla karena merasa beruntung tadi dia sempat mampir ke rumah ini.

'Tak apalah sekali-kali senang di atas derita orang lain. Salah sendiri telat datang, rejeki seperti ini mana mungkin aku tolak.'

Dilla tetap diam melihat sang Nyonya yang mulai marah.

"Tapi Nyonya...," Mina mau membantah agar tidak dipecat.

"Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu bawa tas kamu dan keluar dari rumah ini. Pak Tono, bawa orang ini keluar, jangan biarkan dia masuk lagi. Saya tidak mau ada orang asing di sini," suruh Rita kepada pak Tono.

Pak Tono segera membawa Mina keluar dari rumah. Mina yang memang merasa dia yang bersalah maka dia keluar tanpa protes lagi.

'Bye bye Oppa Oppa tampan. Sepertinya kita tunda dulu jumpa ya. Jangan rindu Mina dulu. Mina belum ada uang buat ke sana.'

Mina meratapi nasib dia yang gagal ketemu Oppa Oppa Korea.

Beberapa saat kemudian setelah pak Tono dan Mina keluar, Rita kembali memfokuskan diri pada Dilla.

"Kamu kerja yang benar. Saya tidak mau tau, pokoknya tidak boleh ada kekurangan sedikit pun," ujar Rita memperingati.

'Saya hanya manusia biasa Nyonya. Banyak kekurangan tidak ada kelebihan.'

"Iya Nyonya, saya akan melakukan semuanya semampu saya. Terima kasih banyak atas kesempatan yang telah Nyonya berikan kepada saya," ujar Dilla sopan.

"Hem."

Rita mengangguk kepala sekilas, kemudian dia segera pergi ke lantai atas. Rita mau menemui anaknya. Setelah kepergian Nyonya Rita, bi Imah langsung melihat ke arah Dilla.

"Jadi kamu bukan pembantu dari tempat penyediaan pembantu profesional itu?" tanya bi Imah.

"Bukan Bi," jawab Dilla sambil geleng-geleng kepala.

Tangan Dilla dari tadi masih memengang perlengkapan pembersihan. Bi Imah melihat Dilla dari atas sampai bawah, maksudnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Sudah ayo kita ke dapur bantu Bi Imah bersih-bersih. Untung kerjamu bagus, jadi bisa di terima kamu. Coba kalau kamu ceroboh dan tidak telaten, sudah dipecat tadi, digantikan sama yang pembantu tadi," nyerocos bi Imah.

"Iya Bi, terima kasih," ucap Dilla sambil tersenyum manis ke arah bi Imah.

"Kalau gitu saya duluan ya Bi. Mau bereskan barang ini dulu," pamit Dilla.

"Iya."

Bi Imah dan Dilla melanjutkan pekerjaan mereka.

Tugas utama Dilla di rumah ini adalah membersihkan ruangan yang ada di rumah besar ini. Walaupun rumahnya besar, sang Nyonya tidak suka banyak orang di rumah. Bukan karena pelit, tetapi kurang nyaman saja. Walaupun pekerjaan Dilla banyak tapi sesuai dengan gaji yang akan ia terima.

Pekerja di rumah itu ada beberapa orang. Pertama ada bi Imah yang bertugas mengurus dapur dan belanja. Kedua ada pak Tono sebagai satpam yang menjaga gerbang dan keamanan rumah. Ketiga ada pak Kasmin sebagai tukang kebun yang berusia sekitar 40 tahun. Kemudian ada Mbak Sinta sebagai baby sitter yang merawat kedua tuan muda.

Dengan Dilla di sana sekarang, maka yang bekerja di rumah tersebut sudah ada lima pekerja.

***

Setelah selesai menyimpan perlengkapan bersih-bersih, Dilla segera pergi ke dapur.

"Bi apa yang bisa Dilla bantu?" tanya Dilla.

"Memang tugas kamu sudah selesai," ujar bi Imah sambil mencuci tangan.

"Udah Bi," jawab Dilla.

"Kalau sudah sini bantu Bi Imah masak. Kamu cuci sayur dulu, sebentar lagi sudah waktunya makan siang."

"Baik Bi," jawab Dilla dengan senang hati melakukannya.

"Ternyata kamu pandai juga ya bersihkan sayurnya," puji bi Imah.

"Terima kasih Bi atas pujiannya. Di kampung Dilla biasanya juga sering bantu paman dan bibi. Jadi soal memasak sering Dilla yang urus," kata Dilla.

"Jadi kamu bisa masak juga ya?"

"Bisa Bi, Dilla bisa masak bebebepa jenis makanan dan juga kue."

"Kalau gitu sini kamu bantuin Bi Imah masak. Biar Bi imah yang siapkan bahan makanan yang lain."

"Baik Bi."

Akhirnya sejam kemudian makan siang sudah siap disajikan di atas meja.

Di rumah ini makanan majikan sama pembantu makanannya sama. Makan juga di waktu yang sama. Bedanya, majikan dan pembantu memiliki meja tersendiri. Para pembantu makanan disajikan di meja makan dekat dapur tanpa harus menunggu majikan selesai makan terlebih dahulu. Sedangkan majikan di meja khusus.

Para pembantu di sini bagaikan keluarga sendiri. Tidak pernah membeda-bedakan, hanya Sinta saja sifatnya yang sedikit judes. Setelah selesai makan Dilla juga ikut membantu membereskan piring yang kotor.

"Aduh Dilla biar Bibi aja yang bersihkan, sekarang kamu istirahat saja. Tadi kamu juga sudah membantu Bi Imah," kata bi Imah tidak enak.

"Tidak apa-apa Bi, Dilla senang membantu. Lagian Dilla masih muda, masih banyak tenaga," Dilla mengabaikan bi Imah dan melanjutkan mencuci piring yang kotor.

"Senangnya jika punya teman kerja seperti kamu Dilla. Bi Imah jadi ada kawan di sini. Walaupun si Sinta lebih lama di sini, tapi dia tidak pernah mau bantu Bi Imah," curhat bi Imah.

Dilla hanya tersenyum menangkapi bi Imah yang mulai mode curhat.

Bersambung...

Bab 3. Tuan Muda Rio

Tanpa terasa waktu terus berjalan, sekarang Dilla sudah bekerja selama lebih dari sebulan. Dilla pun telah mendapatkan gaji pertama. Menurut Dilla gaji yang dia terima sangat besar, dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan gaji sebanyak itu.

Sebagian dari gaji Dilla, dia sisihkan untuk dikirim ke paman dan bibi. Padahal paman dan bibi sudah mengingatkan agar uang gaji Dilla biar Dilla yang simpan dulu. Tapi Dilla tetap kekeh kirim sebagian uang ke kampung. Dan sebagian uang lagi dia tabung sendiri untuk keperluan sehari-hari.

Seperti hari biasa Dilla mulai membersikan ruangan dari menyapu, mengelap dan mengepel. Bahkan jika pekerjaan Dilla sudah selesai, maka dengan suka rela Dilla akan membantu bi Imah di dapur.

"Uwahhh... uwahhh... uwahhh...."

Tiba-tiba Dilla mendengar suara tangisan balita dari ruang sebelah. Suara tangisan tersebut sangat keras. Dilla yang sedang mengepel merasa kasihan.

'Kasihan sekali dedek bayinya, kencang sekali menangis.'

Dilla segera menuju ke ruang tersebut setelah dia menyelesaikan pekerjaan sendiri.

Dilla melihat di sana ada sang baby sitter yang sedang main HP, sedangkan balita tersebut menangis di atas karpet dengan mainan yang berhamburan disekitar balita itu. Baby sitter sama sekali tidak terganggu.

"Uwahhh... uwahhh... uwahhh...."

"Mbak Sinta, itu Tuan Muda kenapa menangis?" tanya Dilla.

"Tu anak memang cengeng. Setiap hari kerjaan dia menangis terus. Capek aku diemin tapi tidak diam-diam juga tu bocah," jawab Sinta cuek.

"Kan kasihan kalau dibiarkan Mbak. Nanti dia bisa sakit Mbak," ujar Dilla kasihan.

"Kamu urus saja urusan kamu sendiri. Ini urusan aku bukan urusan kamu. Jangan sok ngatur kamu. Kalau kamu mau, kamu aja yang diemin dia. Pusing kepala aku urusin dia. Aku lagi sibuk," ujar Sinta.

Sinta masih main HP sambil sekali melirik ke arah Dilla dan Mario Suherman.

Mario Suherman adalah cucu kedua dari Rita. Mario atau yang akrab dipanggil dengan sebutan Rio. Rio adalah balita yang berusia dua setengah tahun. Rio sebenarnya bukan tipe anak yang cepat menangis.

'Kalau tidak mau urus ngapain juga jadi baby sitter. Sayang sekali Tuan Muda sudah menangis dari tadi.'

Dilla yang pada dasarnya suka sama anak kecil dan sering bermain dengan adik sepupu maka segera mengendong tuan muda tanpa canggung.

Di kampung yang merawat Budi dan Yudi adalah Dilla saat paman dan bibi pergi bekerja. Sehingga Budi dan Yudi pun lebih lengket sama Dilla dibandingkan sama orang tuanya. Saat Dilla pergi ke kota pun, mereka menangis dengan keras karena tidak rela Dilla meninggalkan mereka. Padahal mereka sudah cukup besar.

"Uwahhh... uwahhh... uwahhh...."

Rio masih menangis di dalam gendongan Dilla.

"Aduh Tuan Muda kenapa menangis emmm. Anak laki-laki tidak boleh nangis. Nanti tampannya bisa hilang dan tidak imut lagi," ujar Dilla.

Dilla mencoba menghibur Rio, perlahan namun pasti suara tangisan Rio mulai mereda sedikit demi sedikit.

"Cup cup cup sayang, sudah ya. Jangan menangis lagi, masak anak genteng ini menangis. Tuh ingusnya sudah ke mana-mana, jadi jelekkan," kata Dilla lagi.

Dilla segera mengambil tissue yang ada di atas meja. Dilla tanpa jijik langsung mengelap ingus yang ada di hidung anak majikannya. Setelah itu, tissue tersebut Dilla buang ke tong sampah yang ada di pojok ruangan.

Rio hanya memperhatikan orang yang mengendongnya dengan seksama.

"Anak pintar, anak pintar," puji Dilla sambil tersenyum lembut.

Rio yang merasa nyaman dalam gendongan memeluk leher Dilla. Rio meletakkan kepala di bahu Dilla, tidak lupa kedua tangan yang melingkari leher Dilla. Tangisan Rio pun benar-benar sudah berhenti. Rio bersikap manja.

Sinta yang melihat tuan muda sudah berhenti menangis melirik sejenak.

'Diam juga tu bocah."

Kemudian Sinta lanjut main HP sambil selojoran di sofa.

"Mbak Sinta, ini Tuan Muda sudah makan siang apa belum?" tanya Dilla.

"Tuh makanannya," jawab Sinta cuek dengan mengangkat dagu sebagai petunjuk.

Makanan Rio belum tersentuh sedikitpun, masih utuh di tempatnya.

'Lah ini anak orang tidak dikasih makan sampai jam segini. Pantesan tuan muda menangis. Aku saja yang sudah gede juga lapar kalau tidak dikasih makan.'

"Tuan Muda makan dulu ya, kalau tidak nanti bisa sakit," kata Dilla dengan lembut.

Dilla masih dengan mengendong Rio dengan sekali-kali mengayunkan badan ke kiri dan ke kanan.

Rio melihat sejenak ke arah Dilla, kemudian dia mengangguk kepala penanda mau makan.

Dilla langsung mengambil jatah makan siang Rio dan mengajak dia duduk di karpet yang ada di depan TV. Rio masih betah di pangkuan Dilla.

"Ayo buka mulutnya sayang aaa...," kata Dilla dengan membuka mulut sendiri sebesar-besarnya, berharap tuan muda mengikuti untuk membuka mulut.

Rio yang lihat pun ikut membuka mulut. Seketika makanan langsung masuk ke dalam mulut Rio.

"Hup, gimana enak?" tanya Dilla.

Dilla menunggu reaksi Rio. Rio hanya menganggukkan kepala saja, dengan mata fokus pada wajah Dilla.

Dilla sudah tau walaupun Rio sudah berumur dua tahun lebih, dia masih belum bisa berbicara sampai sekarang. Tetapi Rio bisa memahami apa yang orang lain katakan. Jadi Dilla maklumi saja, mungkin belum saatnya Rio mau berbicara.

Rio walaupun masih kecil tapi sudah pandai, mengikuti gen keturunan.

"Anak pintar," kata Dilla sambil mengusap-usap kepala Rio.

Akhirnya makan siang Rio sudah habis. Mbak Sinta masih tenang serta main HP tanpa peduli sedikit pun tentang makan siang Rio.

Setelah selesai makan, Dilla mengajak Rio main keluar sebentar. Karena tidak baik habis makan langsung tidur.

"Mbak Sinta, ini Tuan Muda sudah tidur," ujar Dilla.

"Sana bawa masuk saja ke kamar dia. Saya mau ke kamar saya sendiri," tanpa menunggu respon Dilla, Sinta pergi segera ke kamar sendiri.

"Iya Mbak."

'Uhhh... lucu sekali anak orang. Coba anak sendiri pasti seneng bener m punya anak yang ganteng. Gemesin dan lucu gini uhhh.'

Dilla menggeleng-geleng kepala karena berharap yang bukan bukan. Langkah Dilla tetap menuju ke kamar Rio yang ada di lantai dua.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang dari tadi mengawasi mereka di balik pintu.

Kira-kira siapakah yang memperhatikan mereka?

***

Dilla dengan hati-hati meletakkan Rio di atas kasur agar tidak mengganggu Rio sehingga bisa menyebabkan Rio terbangun.

"Tidur yang nyenyak ya sayang, cup cup cup," ucap Dilla sambil mengecup kepala Rio.

Dilla sudah kebiasaan mencium kening adik-adiknya saat mengajak mereka tidur. Dilla juga tidak lupa menarik selimut agar Rio tidak kedinginan.

Setelah menarik selimut untuk Rio, Dilla ingin keluar dari kamar anak majikannya tersebut. Tetapi saat dia ingin keluar, ada seseorang yang memperhatikan dan mempelototi Dilla dengan tajam.

Siapakah orang yang lagi memelototi Dilla, apakah termasuk dengan orang yang tadi?

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!