Lagi. Entah ke berapa kalinya dengan ini. Tapi, aku masih saja mengatakan hal konyol pada lelaki yang singgah di
hati. Sangat sesak rasanya jika dipendam. Mungkin kepercayaan diri yang cukup tinggi membuatku melakukan hal itu. Salahkah jika perempuan menembak kaum adam duluan?
“Aku menyukaimu.” Kata-kata itu spontan keluar dari mulutku sembari memberikan kotak berukuran sedang. Cowok itu benar-benar memikat hati. Aku tak sanggup menahan lagi untuk tidak menembaknya.
Pria blesteran Jepang, berkulit putih dan bertubuh tinggi itu menatapku datar. Kemudian menaikkan salah satu sudut bibirnya ke atas. “Terima kasih,” ucapnya sambil mengambil kotak yang ada di tanganku. Dan membisikkan sesuatu.
“Kenapa ... kenapa!?” Mataku memerah—membendung—mau pecah. Semua mata tertuju ke arahku. Bisik-bisik terdengar—makin gaduh.
“Dasar tak tahu diri ... tak bercermin ....”
Kata-kata itu membuat tubuhku semakin lemas. Padangan mereka seakan meremehkan, menginjak-injak harga diriku.
“Kasihan, Miss Ball ditolak lagi. Hahaha ...,” sorak mereka.
Tidak bolehkah wanita sepertiku jatuh cinta? Kenapa mereka memperlakukanku seperti sampah? Menjadikanku bahan ejekan.
Di mata mereka, aku bagaikan seorang ‘putri buruk rupa’ mendambakan seorang pangeran. Ya, hanya sebuah dongeng. Dongeng yang tak pernah menjadi kenyataan. Fatamorgana membuatku buta fakta.
Sadar. Aku tidak secantik Karissa, gadis populer di sekolah ini. Dia adalah sahabatku. Tubuhnya langsing bak biola. Kulitnya putih mulus bersinar, bagai sang dewi turun dari langit. Kau tahu? Rissa-lah yang mengenalkanku pada lelaki itu, lokal delapan-tiga. Kelas sebelah.
“Menyedihkan! Hahaha ..., kau dengar tadi? Miss Ball nembak Shiro.”
“Hei! Kalian tidak boleh seperti itu. Bagaimanapun juga, Dorin teman kita.”
Ternyata gosip itu menyebar dengan cepat. Aku berjalan melewati koridor sekolah. Tersenyum hambar. Menelan pahit kenyataan. Bukan hanya cantik, tapi Karissa juga baik. Tidak memandang seseorang dari penampilan luar. Aku mengagumi gadis itu dari kelas tujuh sampai sekarang.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Rissa menghampiri.
Aku mengangguk lemah. Menatap Rissa sekilas kemudian kembali menatap ke bawah sembari melangkah menuju kelas. Aku benar-benar terlihat menyedihkan dan memalukan.
Terkadang, aku pernah berpikir untuk menjadi seperti dirinya. Bertubuh langsing dan dikagumi para cowok-cowok
tampan.
“Dorin, bersemangatlah! Shiro bukan satu-satunya lelaki di dunia ini,” kata-katanya berusaha menyemangati sambil
melangkah di sampingku.
Aku tersenyum teduh. Ya, Rissa memang benar. Shiro—si kucing itu, dia pikir dialah satu-satunya cowok terkeren di dunia ini, ha? Lebih banyak yang lebih keren daripada dia. Tu-tunggu, sepertinya bulan lalu, aku juga pernah berpikiran seperti ini.
“Dorin!” Rissa mengambil cokelat yang ada di tanganku. Tingkat stres lumayan tinggi membuat mulutku tak berhenti makan. Entahlah. Tapi, aku belum merasa kenyang. Ingin makan lagi dan lagi.
“Rissa, kembalikan!” Rebutku menjangkau tangan sahabatku itu, dia mengangkatnya tinggi-tinggi. Memindahkan dengan licah dari tangan satu ke tangan lainnya. Aku sungguh kehabisan napas dengan berat badan yang super wow karena melompat untuk meraih benda itu. Entahlah, mungkin kau akan berpikir ini bukan lompatan mengingat hanya tubuhku saja yang bergoyang, kedua kakiku masih menapak di tanah. Sial! Terkadang kelebihan berat badan sangat menjengkelkan.
Menyebalkan. Gadis itu kabur, berlari menghindariku. Mengelilingi kelas. Dengan berat badan segini, aku tak sanggup mengejarnya. Badannya yang langsing terlihat seperti kapas, terbang ke sana ke mari. Membuatku semakin iri.
Napasku tersengal-sengal sambil menyentuh meja, menahan tubuhku agar tetap bisa berdiri kokoh.
“Maaf.” Gadis itu mengembalikan cokelatku. Mungkin dia merasa kasihan melihat tampangku yang hampir mati karena seperti kehilangan obat candu. Aku cemberut sembari mengambil benda kesukaanku itu. Ya, aku tahu niat Rissa baik. Dia selalu bilang, ‘kalau kamu mau kurus, jaga pola makanmu, Dorin!’.
***
Aku memonyongkan bibir, mungkin tak terlalu jelas runcingnya karena bibirku yang kecil tenggelam oleh pipi yang bulat seperti bakpao. Kembali kumasukkan cermin kecil ke dalam saku rok. Mataku menatap lurus pada pintu kelas. Laki-laki tinggi berkulit sawo matang berambut cepak memasuki kelas.
“Apa lo ditolak lagi, Miss Ball?!” teriaknya hingga semua mata tertuju ke arahku kembali. Sial! Aku tahu Shiro sekelas dengannya. Aku juga pernah menembak cowok itu di kelas tujuh dulu.
“Bukan urusanmu!” Aku mengigit wafer dengan kasar sambil meraba-raba ke kolong meja. Kehadiran Fandy mungkin akan membuatku semakin stres.
Syukurlah, persediaan masih ada. Senyumku masih menemukan dua bungkus wafer di kolong meja.
“Fan, sudahlah,” keluh Rissa kasihan melihatku.
“Baiklah honey,” colek cowok itu pada dagu Rissa.
Dulu, aku sempat terkejut dan marah. Tepatnya setahun lalu setelah ditolak Fandy. Sehari kemudian, itu cowok telah jadian dengan Karissa, sahabatku. Tiga hari dua malam memikirkan ... kenapa sahabat sendiri mengkhianatiku?
Berubah? Tentu saja sikapku berubah drastis padanya. Kau tahu? Rissa membuntutiku ke mana pergi. Menanyai apa yang terjadi.
Tak bergeming. Aku terus melarikan diri ketika bertemu dengannya. Dan dia pun datang ke rumah, menjelaskan semua, bahwasanya dia tidak tahu apa-apa kalau kita menyukai orang yang sama. Lebih tepatnya, aku menyukai Fandy semenjak Sekola Dasar. Karissa bilang, dia akan putus dengan Fandy jika diriku bisa memaafkannya. Dan kembali seperti dulu, menjadi sahabat terbaiknya. Tidak. aku tidak tega merusak kebahagiaan gadis sebaik Rissa. Sekarang aku tahu, wajar saja Fandy memilih Rissa dijadikan pacar. Toh, kenyataannya dia begitu sempurna. Baik dalam hal fisik maupun hati.
“Dor yang sabar, yah!” Cowok itu menepuk bahuku cukup keras. Terdengar seperti pukulan gendang. Kemudian dia terkekeh.
Aku mengangguk pelan setelah terbangun dari lamunan sesaat. Dari dulu aku sudah sabar, Fan!
Aku melirik Rissa yang mencubit perut Fandy dengan kesal.
“Aa-aahh, my honey, sakit tahu!” rengek Fandy manja membalas cubitan Rissa di hidung. Tuh anak sok unyu banget. Jujur, memang unyu sih. Makanya aku suka dia dari dulu.
Sial! Umpatku dalam hati. Mereka malah mesra-mesraan di depanku. Mereka lupa apa aku baru saja patah hati?
“Haaah ....” Aku membuang napas, melihat kekanakannya mereka. Bukan berarti sikapku sudah dewasa. Di rumah, aku sangat dimanja. Bahkan sangat, sangat, dan sangat.
“Miss Ball, maaf, ya!” elus Fandy merasa bersalah melihat bahuku yang masih kuelus.
Kembali termenung. Menatap kosong ke papan tulis. Aku sudah memaafkan Fandy juga. Sudah lama. Tidak mungkin aku musuhan dengan pacar sahabatku. Meski terkadang ngeselin minta ampun, sama seperti teman selokalnya, Vino Virgo.
***
Aku merenung diri di toilet sekolah. Duduk di kloset. Jam pelajaran terakhir masih berlanjut. Hanya menunggu detik-detik pulang. Di kelas sangat membosankan apalagi disuruh bikin tugas. Yang ada, anak-anak pada ribut, ngecontek, main, dan berlarian dalam kelas, melempar diriku dengan remukkan kertas, dan pada menggosip ...
“Coba lu terka, si Dorin ukurannya berapa?” gosip anak cowok duduk di pojok bagian belakang yang suaranya bisa kedengaran. Kemudian mereka tertawa serempak.
Kampret bangat nih, lokal. Gak bisa liat aku tenang bentar apa? Baru diputusin juga! Gerutuku dalam hati mengumpat mereka satu per satu.
Aku menendang meja lalu keluar kelas. Dan di sinilah diriku sekarang. Menenangkan diri di dalam toilet.
Prooot!
Prooot!
Spontan aku menutup hidung. Berdecak kesal, “Siapa sih, ngebom segitu amat?!” Lirikku pada dinding sebelah kiri. Asal muasal suara itu. Aku pikir di sini tempat yang tenang dan damai. Ternyata ...
“Iuuhh, Miss Ball, lu boker apa ngebom sekolah kita? Hahaha,” celetuk sekelompok cewek melihatku barusan keluar dari tempat perenungan.
“Bu-bukan aku, dia tuh!” tunjukku pada gadis yang barusan keluar.
“Enak aja lo!” sangkalnya. Tapi wajahnya memerah.
“Alesan ajo lu Miss Ball!”
Sekumpulan cewek itu lebih percaya pada gadis ramping itu daripada diriku, hikhs. Asal kalian tahu, berbadan besar kentutnya belum tentu besar juga. Percuma saja memberi penjelasan, aku tetap disalahkan.
Namaku Dorin Tanea, empat belas tahun, kelas delapan, semester dua. Miss Ball atau Miss Bulat. Panggilan anak-anak di sekolah. Biasa. Tak ambil hati, karena sudah terbiasa dengan kata-kata itu karena memang kenyataannya, semua badanku ditutupi lemak. Dan, persis seperti bola.
Terkadang, aku juga marah. Selain dipanggil Miss Ball, cowok-cowok yang usil di sekolah memanggilku gorila atau kingkong. Perkataan mereka menyayat hati, terlebih lagi Vino. Tidak terima, aku menancapkan ujung pena di telapak tangannya. Saking kesalnya dibilang anak pungut. Berdarah? Tentu saja. Dia berteriak kesakitan. Gegara itulah aku di skor selama tiga hari.
Vino Virgo. Tetangga sebelah. Cowok super ngeselin. Untung gak sekelas. Hah, bagaikan neraka jika bertemu
dengannya. Tidak di sekolah, di rumah, dia selalu mengejekku. Apalagi jendela kamar kami saling berhadapan. Sama-sama di lantai dua.
***
Satu hari yang lalu di sekolah ...
Sekelompok pemuda tampan duduk di depan kelas, Shiro, Fandy, dan juga Vino. Mereka tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang diceritakan. Wajah Shiro yang putih memerah sampai ke telinga. Dia tidak berhenti tertawa sembari memegang perut dan memukul paha.
“Vangke lu!” teriak Shiro membungkam mulut Vino.
Aku mencuri-curi pandang ke arah mereka. Dua di antaranya pernah aku tembak dan ditolak di tempat. Ngenes, bukan?
Setelah dipikir-pikir dan dihitung, mungkin sudah sepuluh orang cowok yang kutembak dari kelas tujuh dulu hingga sekarang, menginjak kelas delapan. Ditolak
semua. Mungkin, aku bisa masuk rekor muri. Menembak cowok dan ditolak di tempat. Benar-benar sad-moment.
Vino? Tidak! Aku tidak suka dengannya. Lagi pula aku tidak tertarik menembak itu cowok. Cakep sih, tapi gak ada feeling ke dia. Jujur, benci banget sama itu bocah satu. Dia memanggilku kingkong, kalau gak gorila. Nyesek apa coba dikatain kek gitu.
“Ada gorila lepas, tuh!”
Aku membalikkan badan. Ngernyitin alis. Memang super kampret nih, bocah satu.
Dua temannya lain tertawa. Feeling-ku mengatakan, sedari tadi mereka pasti membicarakan diriku. Apalagi dua hari lalu aku nembak Shiro. Gosip masih panas berembus. Gegara Vino, aku dibilang kingkong jones sama anak-anak.
“Apa lu?” Kakiku melangkah ke arah mereka.
“Kong, andaikan lu kek emak lu. Pasti
banyak yang naksir. Gak jones lagi, hahaha,” kekeh Vino memegang perut dengan tangan kanan.
Aku melirik Fandy yang menyikut Vino yang mungkin mengisyaratkan ‘Vin udah brenti, kasihan. Ntar gue dilapor ke my honey’.
“Apaan sih lu, Fan. Emang emaknya cantik, bohay lagi,” ucap Vino menoleh ke Fandy. Kemudian kembali menatapku. “Jangan-jangan lu anak pungut ya, Kong?” sambungnya membuatku mendidih.
Shiro diam menatapku, begitu juga Fandy. Aku tahu dia takut sama Rissa. Kalau ketahuan gangguin aku, bisa-bisa Fandy dibegal ceweknya.
Vino benar-benar sudah keterlaluan bercandanya—kelewat batas. Geram, aku mengeluarkan pena dari saku baju. Membuka tutupnya dengan mulut. Fiuhh, melempar tutup pena—mengenai hidung Shiro yang mancung. Salah target, gumamku dalam hati. Padahal berharap yang kena Si Fandy.
Aku kembali menatap Vino garang. Mengangkat tangan—menggenggam pena erat. Seolah-olah itu adalah pisau. Aku menancapkan ujung pena pada telapak tangannya. Dia berteriak histeris. Niatnya sih, ingin menancapkan pada bola matanya, tapi itu terlalu ekstrim. Tidak berani. Hanya ada dalam pikiranku saja.
Oh! Anak baik sepertiku ternoda oleh cowok ini. Dulunya aku tidak bar-bar seperti ini. Pendiam, menerima olokan mereka dengan mulut bungkam. Sesuai perkembangan zaman yang di kelilingi makhluk-makhluk bejat. Aku mulai berubah. Mana ada orang yang selalu tahan dengan tekanan, cemooh, dan hinaan. Anak kucing pun mempunyai kuku untuk mencakar, anak harimau pun mempunyai taring untuk menggigit.
Kembali ke masa sekarang. Mengingat trio serigala membuatku semakin stres. Aku bangkit dari tempat tidur. Menatap diri di cermin. Begitu banyak lemak yang menempel rata di permukaan tubuh.
Kalau loe dah kurus, loe boleh nembak gue lagi.
Aku tercenung. Bisikan Shiro masih terngiang.
“Dorin, makan dulu,” kata Mama memasuki kamarku sembari membawa nampan.
Terpaksa. Karena takut Mama marah, hari ini aku pura-pura sakit. Tapi, Mama meragukanku, dia bilang badanku tidak panas. Aku pura-pura batuk, lemas, berakting meyakinkan. Akhirnya hari ini diizinkan tidak pergi sekolah.
Hmmm, entahlah dengan Vino. Kalau dia beritahu mamanya insiden kemarin, bisa gawat. Leherku bisa dibegal. Berharap Tante Mona, mamanya Vino gak marah sama aku.
“Uhuk ... uhuk! Ya, Ma. Tarok aja di sana,” ucapku lemas kembali ke ranjang.
“Tadi Mama ke rumah Tante Mona.”
Dug!
Dadaku mendesir.
Apa Mama bertemu Vino? Apa dia beritahu sebenarnya? Masa sih? Kalau iya, pasti
wajah Mama udah berubah.
“Terus?” tanyaku penasaran.
“Makanan ini, Tante Mona yang ngasih. Katanya, moga Dorin cepet sembuh”
Aku tersenyum. Tante Mona memang baik, beda jauh sama anaknya yang resek. “Tenang Ma. Nih, makanan bakalan Dorin habisin semuanya.”
“Oh ya?” Mama membalikkan badan—menatapku. “Rin, kamu tahu dengan Vino? Tadi Mama liat tangannya
diperban.”
“Ohok!” Keselek.
Segera Mama membantuku mengambilkan minuman. “Hati-hati makannya,” ujarnya mengusap punggungku.
“Gak, Rin gak tahu.”
Hah, syukurlah itu bocah gak mengadu ama nyokapnya. Awas saja kalau sampai. Aku akan
berbuat lebih kejam lagi dari itu.
***
Sepuluh kali nembak, sepuluh kali ditolak, dan sepuluh kali rasanya ditusuk. Di sini, tepat di jantung. Tipe yang mudah jatuh cinta, begitulah diriku. Move on palingan cepat cuma satu bulan. Paling lama dua bulan. Itu pun sama Fandy oneng.
Aku mulai berani menyatakan cinta saat menduduki kelas tujuh. Apa puberitasku over dosis seperti badanku ini?
Aku orangnya percaya diri atau *****, sih? Entahlah. Mungkin bisa dibilang jujur kali, ya. Jujur dengan perasaan
sendiri. Aku orangnya tidak bisa memendam perasaan suka terlalu lama. Semakin dipendam semakin ingin mengatakan. Bukannya tidak tahu diri dengan kondisiku. Aku tidak ingin merana, kejujuran lebih baik ketimbang menyiksa diri.
Kau pernah mendengar kata-kata ini? Menyukai seseorang bagaikan berjalan di atas duri. Sakit menginjaknya. Setelah mengutarakan, bagaikan mencabut duri di kaki. Lega, meski tetap perih karena kau ditolak.
Aku orangnya juga tidak ambil pusing. Kalau ditolak, ya sudah. Paling merenungi diri di bawah selimut atau toilet.
Sekarang ini, sulit mencari seseorang yang tulus. Menerima apa adanya. Dan aku juga termasuk orang yang mudah jatuh cinta. Tapi ... cinta pertamaku adalah Fandy. Aku masih sulit melupakannya. Masih berdebar-debar tiap kali ia menepuk lenganku kek gendang.
“Mam,” panggilku merebahkan diri di sofa ruang tengah. “Rin boleh tanya?”
“Tentu,” balas Mama masih asyik merangkai bunga plastik. Itu adalah hobinya sambil bersenandung kecil.
“Sewaktu Mama dan Papa belum jadian, sapa yang nembak duluan?”
“Mama,” ujarnya tersipu malu.
Tidak mengherankan lagi kenapa aku seperti ini. Ternyata gen Mama lebih dominan di dalam tubuhku. Dan sifatku pun juga merupakan keturunan dari Mama.
Kini Mama tersenyum. “Waktu itu papamu sangat terkejut saat mama tembak, hahaha.”
Aku menyatukan alis.
“Habisnya, papamu gak nyangka, seorang gadis populer seperti mama nembak kutu buku seperti papamu.”
“Apa yang Mama suka dari Papa?”
“Menurut mama, papamu itu lucu. Pipinya tembem kek bakpao, kek kamu, Rin. Bikin gemes tau gak, hahaha.”
“Dulu Papa gendut?”
Mama mengangguk pelan. Tapi matanya tidak fokus menatapku. Wanita itu masih asyik dengan dunianya, mungkin memori bersama Papa masih bermain dalam otaknya.
“Kamu tau, Rin. Seumur-umur mama tidak pernah ditolak cowok. Tapi, waktu itu papamu sempat nolak Mama, loh.”
Aku melongo. “Kenapa? Mama kan cantik!”
“Heru bilang, dia gak mau pacaran ama wanita murahan kek mama.”
Hah, murahan? Murahan gimana? Aku makin melongo tak mengerti.
“Kok gitu sih, Ma?”
“Iya. Dulu pacar mama banyak. Tiap bulan ganti mulu, habisnya mama kesel. Siapa juga yang mau dipegang-pegang. Yaudah, Mama putusin aja dan cari yang baru, hahaha,” jelas Mama membuatku merinding bersamaan dengan tawanya.
Kalau gak mau di touch ngapain pacaran?
Kenapa rasanya jleb banget, ya? Apa ini karma? Aku menyipitkan mata melihat Mama yang masih tersenyum gaje. Bener pepatah bilang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Mama nembak orang sebulan sekali, lah aku? Ditolak~~~~ tiap bulannya. Ah, benar kampret momen.
“Rin, hari ini mama masak masakan kesukaanmu, loh!” seru Mama beranjak ke ruang makan.
“Semua masakan Mama bikin adalah makanan kesukaanku!” teriakku di ruang tengah.
Aku bangkit. Menyandarkan punggung di sofa. Kakiku asyik menjangkau remot TV yang ada di meja. Malasnya bergerak. Mungkin inilah yang membuat badanku semakin bengkak. Ditambah dengan masakan Mama yang super enak. Ya, dulu Mama adalah seorang chef di restoran terkenal. Karena sudah menikah dan punya anak, Mama memutuskan berdiam diri di rumah besar ini. Meski ada pembantu, Mama tetap memasak untuk keluarganya. Itulah yang so sweet dari wanita itu. Aku tahu sekarang, inilah yang membuat Papa sangat mencintai
Mama.
“Ma, apa aku bisa kek Papa?”
“Tentu, kan kamu mirip dengan papamu. Pintar dan bikin gemes,” ucap Mama meletakkan makanan siangku di atas meja.
“Bukan itu. Apa aku bisa kurus kek Papa?” tanyaku sembari memonyongkan mulut. Entahlah, apa pucuk bibirku ikut meruncing atau tidak karena mengingat pipiku yang bulat.
Mama tertawa kecil. Kemudian membelai rambut panjangku yang berwarna cokelat. “Mama suka Dorin apa adanya.” Kecup Mama pada pucuk kepalaku.
Perlahan aku membuka mata. Cahaya matahari menembus di balik kaca. Menusuk retina. Spontan mataku terpejam.
“Bagaimana keadaan, Rin? Udah baikan?” tanya Mama berjalan ke tempat tidurku sehabis menyibakkan gorden. Lalu menempelkan telapak tangannya pada jidatku.
Aku menggeleng pelan dan mulai berakting lagi.
“Gak panas.”
“Tapi, Rin masih gak enak badan, Ma.”
“Alah, makan Rin lahap banget kemaren, pake nambah lagi,” ujar Mama terkekeh. “Ayo, bangun!” perintah Mama berusaha membangunkanku. Dengan porsi tubuhku yang super jumbo, dia berhasil membuatku beranjak dari kasur kesayanganku. Benar-benar wanita yang kuat.
Ah, Mama gak bisa diajak kompromi. Apa aktingku kurang bagus?
***
Aku menuruni anak tangga dan menuju ruang makan. Tas sekolah cokelat sudah menempel di punggung. Kaus kaki sudah terpasang. Tinggal perut belum diisi. Bangun pagi-pagi, sudah demo saja nih perut. Aku ingin seperti Luffy (One Piece), sebanyak apa pun makan, dia tetap kurus. Oh, aku sangat menganggumimu, Luffy-kun.
Aku duduk di kursi sambil melihat menu hari ini. Nasi goreng cumi. Tanganku meraih gelas yang telah diisi Mama dengan air putih, lalu meneguknya hingga meninggalkan separuh.
“Rin, udah sehatkah? Kemaren Mama bilang Rin sakit?”
“Papa?” teriaku girang. “Kapan Papa pulang?” Aku berlari menuju anak tangga. Memeluk pria tinggi berotot itu. Sunggguh nyaman.
“Tadi malam. Karena anak gadis papa tidurnya lelap. Jadi, papa gak mau bangunin.” Tangan besar Papa mengelus kepalaku. Aku melepas pelukan, menatap matanya yang cokelat, sama sepertiku. Papa keturunan Jerman. Rambutnya pirang kecokelatan. Berhidung mancung. Pokoknya, papaku keren tiada banding. Pantasan saja Mama tertarik dengan Papa. Hahaha, lucu juga membayangkan ekspresi Mama saat ditolak Papa.
“Kenapa Rin tersenyum gitu?” goda Papa.
Aku menggeleng pelan. “Seneng aja.” Aku pun kembali memeluknya.
“Gimana sekolahnya, lancar?”
DUG!
Dadaku serasa kesetrum. Kalau Papa tahu apa yang kuperbuat, pasti dia kan kecewa berat. Reputasi anak baik di depan Papa dan Mama hancur. Tidak! Aku tidak mau memberitahu mereka kejadian waktu itu. Masalahku dengan Vino yang berakhir dengan skorsing.
“B-Baik,” jawabku gugup.
***
Hari ini Papa mengantarku ke sekolah. Biasanya Pak Nono yang mengantar. Ah, Apa yang kulakukan sekarang? Tidak mungkin diriku masuk ke sekolah. Aku masih di skor. Huh, tidak adil! Masa Si Vino gak dihukum. Di sini akulah korbannya! Di mana letak keadilan? Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Beginilah cara dunia memperlakukanku!
Mungkin ada sekitar sepuluh menit aku berdiri di depan gerbang sekolah sambil menendang-nendang kerikil. Aku
membalikkan badan—melangkah jauh dari sana. Tujuan kemananya, entar dipikirkan.
Bingung juga mau ke mana. Biasanya ke mana pergi aku selalu diantar oleh Pak Nono. Gak terbiasa naik angkot ataupun bus. Nanti nyasar, ntar aku masuk koran hilang lagi.
“Ya! Aku naek taksi aja!” Ide yang cemerlang, aku segera mengambil Hp dalam ransel. “Hihi, untung Mama ngasih uang lebih.”
Tanganku sudah sibuk mencari-cari kontak langganan taksi.
“Hallo, Pak ....”
Tidak butuh waktu lama. Taksi sudah ada di depan mata. Sekarang aku sudah tahu tujuan ke mananya. Berusaha menikmati hidup, gunakan kesempatan dalam hukuman, hahaha. Kau sungguh pintar Dorin,
seruku dalam hati.
“Pak, entar aku telepon lagi ya,” ucapku sambil membuka pintu mobil. “Oh, ya!” Aku menahan kaki kiri hendak melangkah ke luar. “Jangan kasih tahu Mama soal hari ini.”
Pak supir mengangguk. Takutnya nanti Pak supir taksinya keceplosan memberitahu kalau aku kabur dari sekolah. Pan kalo Pak Nono gak ada di rumah, lalu Mama pergi ke luar dengan taksi. Bisa brabe, kan? Aku bisa dihukum.
Aku menutup pintu taksi dan melangkah masuk ke toko buku. Menaiki anak tangga. Senyum pun mengembang. Tujuanku adalah lantai tiga, sedikit ngos-ngosan juga. Sudah lama gak ke sini. Atau akunya yang gak pernah olah raga? Sehingga kakiku terasa berat untuk dilangkahkan. Kenapa gak ada lift, sih? Atau eskalator?
Semua yang diinginkan memerlukan perjuangan. Dorin semangatlah! Berusaha menyemangati diri sendiri. Aku terus melangkah maju, tak putus asa.
“Hah, napasku sesak!” Badanku membungkuk sedangkan tangan kanan menempel di lutut, tangan kiri di pinggang. Aisshh, teringat ucapan Vino, ‘Kong, pinggang lu yang mana! Bulat semua, hahaha’.
Aku menepis bayangan beserta perkataannya yang bertengger di kepala. Meski gemuk dan bulat dari atas sampe
bawah. Tampak sama. Tapi aku masih tahu di mana letak pinggangku. Bocah kampret itu minta dipites sekali-kali. Aku remukin tahu baru rasa dia!
Bibirku mengembang. Di rak sudah tersusun rapi berbagai komik. Jerih payahku sudah terbayarkan. Tidak peduli
seberat apa pun usaha dilakukan, asal sungguh-sungguh kau akan memperoleh hasil yang diinginkan.
“Bingung, yang mana dulu, ya?” Mataku liar memerhatikan komik-komik yang sampulnya lepas segel. Hi hi, aku ingin membaca semuanya. Pelan saja. Gak usah buru-buru Dorin, lagian hari ini kamu punya banyak waktu.
“HAHAHA,” terbahak. Aduh, gak tahan—mataku berair. Komik ini benar-benar lucu. Aku tak kuasa menahan tawa sembari memukul-mukul rak buku yang ada di sampingku. Untung rak ini masih kukuh
berdiri.
Aku mengangkat wajah. Hawa sekitar terasa aneh. Aku menoleh samping kiri, kanan, dan belakang. Semua mata tertuju padaku—menatap aneh. Aku kembali menunduk, menenggelamkan wajah ke dalam buku yang terkembang di tangan. Ah, malunya.
“Dik, dik, kamu gak sekolah?”
Aku mengangkat kepala. Melihat orang yang berdiri di samping kiriku. Seorang karyawan toko bertanya sembari
mengerutkan kening. Tatapannya sinis.
“Tenanglah, ntar aku akan borong semua buku di sini!” ucapku kesal. Mengganggu saja. Mentang membaca gratis, sedari tadi dia melirik ke arahku.
Entah berapa jam aku berdiri di sini. Kakiku pegal habis. Berdiri, jongkok, lalu berdiri lagi. Untuk melepas penat
aku mengentak kaki ke lantai dan memutarnya membentuk lingkaran kecil. Tapi yang namanya hobi, aku gak bisa berhenti membaca komik. Ini adalah surga dunia, bagaimana mungkin aku pergi begitu saja?
“Sepertinya komik One Piece terbaru belum rilis.” Aku menggeser langkah ke samping kanan. Mencari komik lepas segel lainnya.
***
Setelah memilih beberapa komik, aku ke kasir, membayar komik yang dibeli. Tadinya sih, songong dikit mau ngeborong. Tapi kalau ketahuan Mama bisa gawat. Uang jajan akan ditilang. Tidak mungkin, kan, seorang Dorin hanya tahan dengan bekal yang dibawa?
Setelah keluar dari toko buku, aku memasukkan komik ke dalam tas. Dan mengambil Hp.
“Buju buset!” teriakku melihat dua puluh panggilan tak terjawab dan lima belas pesan masuk. Keringat dingin memenuhi jidat ketika melihat jam di layar menunjukkan setengah empat sore.
“Ya, hallo, Ma!”
“DORIN! KAMU DI MANA?!” pekik mama membuatku menjauhkan Hp dari telinga. Suara cempreng Mama membuat telingaku sakit.
Haduh, bagaimana ini? Aku mesti jawab apa?
“Kenapa kamu belum pulang?”
“Aku ada ekskul, Ma. Bentar lagi juga pulang. Bey.” Dengan cepat aku mematikan Hp. Takut ketahuan berbohong. Lagian aku melarang Papa menjemputku, kalau usai sekolah ntar aku telepon Pak Nono, ucapku sama Papa pagi tadi sebelum ke luar dari mobilnya.
Tanpa jeda, aku segera melaju ke rumah tentunya setelah menelepon Pak Yoyo. Taksi langganan.
Di dalam mobil pikiranku kalut. Semisalnya Mama gak percaya gimana? Ah, lagian ekskul biasanya hari kamis.
Tepatnya besok. Ya sudah, nanti aku akan berusaha keras berakting dengan baik. Yosh! Semangat Rin.
“Gak turun, Neng?’ tanya pak supir melihat dari cermin depan.
“I-Iya,” ucapku gugup. Ini lebih gugup daripada menembak Shiro. Lebih menakutkan daripada ketahuan ditolak anak-anak.
Setelah keluar dari mobil. Tanganku ragu membuka pagar rumah. Jantungku berdebar tak karuan. Baru kali ini kebohongan dan kebodohan kubuat. Menyesal. Seharusnya aku bisa menahan diri untuk tidak bersikap
konyol. Tidak membuat Vino terluka. Namanya juga perempuan, kalo sudah datang bulan tingkat sensitifnya lebih tinggi, loh.
Tidak! Aku tidak boleh menyesal. Tidak apa-apa mereka mencemoohku. Tapi kalau dibilang anak pungut. Itu keterlaluan sekali. Mama sudah susah menlahirkanku, mempertaruhkan nyawanya.
Dengan tangan gemetar, aku berusaha sekuat tenaga mendorong pagar besi. Di halaman belum terlihat mobil Papa
terparkir. Pasti Papa masih berada di kantor.
“Masih aman,” gumamku.
Perlahan aku membuka pintu rumah. Mengintip di celah pintu. Melangkah kecil. Dorin ... biasa! Bersikaplah biasa,
hatiku memperingatkan. Tapi ini seperti mau maling saja, mengendap-endap.
“DORIN!”
Terdengar suara perempuan memanggil.
Kakiku telah berada di anak tangga pertama—menoleh sedikit dengan cengiran.
“Dari mana saja kamu?”
“Dari sekolah, Ma.”
Mama menyilangkan tangan di depan dada. Menyipitkan mata, mungkin mencoba membaca pikiranku. “Jangan bohong!”
“D-Dorin gak bohong!”
“DORIN!” suara cempreng Mama meninggi. “Mama tidak pernah mengajarkan kamu berbohong!” Mama mendekat.
Aku menunduk sembari menggigit bibir. Tanganku menggenggam erat tali ransel dengan kedua tangan.
“Mama bertemu teman kamu ... katanya kamu di skor! Apa itu benar?”
Gawat. Mama benar-benar marah. Kalau Mama marah sangat mengerikan. Memanggilku dengan sebutan ‘kamu’ yang penuh dengan penekanan. Mengerikan!
“M-Maaf, Ma!”
“Sekarang kamu cepetan masuk ke kamar. Jangan harap Mama akan masak untukmu malam ini!”
Oh, tidak! Hukuman paling mengerikan adalah aku gak bisa memakan masakan Mama. Hiks, demi apa aku kena sial beruntun seperti ini. Tanpa membantah, aku mengikuti perintah. Melangkah menaiki tangga rumah—berhenti—menoleh ke belakang. Mama masih menatap horor.
“Setelah kamu mandi, kita bicara,” ucap Mama, lalu pergi ke dapur.
Kakiku lemas bagaikan menaiki seribu jenjang.
“Ah, menyebalkan!” Aku membanting tas ke tempat tidur. Membaringkan badan. Memejamkan mata sebentar. “Siapa? Siapa yang bilang kalo aku di skor!?” Sontak aku bangun. “Ah, aku tahu. Pasti si bocah kampret itu!” Aku berjalan ke jendela. Mengambil kerikil di atas meja belajar lalu melemparnya ke jendela kamar Vino.
Stok kerikilku masih banyak. Sengaja aku kumpulkan untuk menyerang balik si Vino. Aku hanya membalas apa yang ia lakukan.
“Sial!” dia kagak nongol. Apa dia sedang ada di luar?
***
Habis mandi. Mama benar mampir ke kamarku. Menginterogasi.
“Rin, kenapa dirimu di skor? Cerita sama Mama,” ujarnya duduk di pinggir kasur, di sebelahku.
Jadi...,Mama belum tahu kenapanya?
“Rin, jawab Mama!”
Aku menekuk wajah. Kalau bilang apa yang sebenarnya, takutnya Mama lebih marah lagi. Aku masih berpikir dan
mempertimbangkan apa yang bakalan terjadi setelah ini.
“Rin!”
Aku menggeleng tak menatap.
“Rin, apa kemaren kamu bohongin Mama juga dengan berpura-pura sakit?”
OMG! Bagaimana ini, kebohonganku terbongkar. Benar kata orang bilang; sejauh apa pun kau menyembunyikan bangkai, baunya kan tercium juga.
“Ma-maafkan Dorin, Ma.”
Mama mengusap kepalaku lembut. “Bagaimana Mama mau memaafkan, kalau Rin saja belum cerita.”
“Kalo Rin cerita, Mama janji gak bakalan marah?” Tatapku cemas.
Mama menggeleng. “Asalkan Rin jujur.”
“A-Aku yang bikin tangan Vino terluka. Karena kesel, aku menancapkan ujung pena ke telapak tangannya.” Air matakumenitik setelah menjelaskan pada Mama, bagaimana Vino mengataiku.
“Apa?!” pekik Mama ke dalam.
Aku tahu Mama akan berekspresi seperti itu. Siapa juga yang gak kaget melihat tingkah anaknya seperti preman.
“Maafkan Dorin!” Aku memeluk lengan Mama.
“Sekarang, kita ke rumah Tante Mona, dan Dorin harus minta maaf sama Vino.”
“Dorin gak mau, Ma!” rengekku. “Vino yang mulai duluan, dia ngejek Dorin Kingkong ... dan lebih nyeseknya lagi, Vino bilang Dorin anak pungut!”
Mama berhenti menyeretku ke luar. Kembali menatapku.
“Rin ....” Mama memelukku. “Meski orang lain mencaci atau menghina kita, jangan balas juga dengan kejahatan. Kalau kejahatan dibalas kejahatan dunia ini bakalan hancur. Dorin paham?”
Aku mengangguk pelan, kata-kata Mama terdengar seperti di anime-anime. Bijak. Aku pun menatapnya lekat-lekat. Aku tahu Mama bersikap begini karena sayang dan peduli padaku.
“Sekarang, kita ke rumah Tante Mona.”
Aku manut. Mengikuti perkataan Mama.
***
Aku sudah kembali ke sekolah. Tiga hari waktu yang terlalu singkat. Kalau ketahuan seperti ini, lebih baik seminggu saja di skornya. Bisa baca komik sepuasnya di rumah.
Sesuai permintaan Mama, meski dongkol dalam hati, aku meminta maaf pada makhluk super ngeselin. Untung saja Tante Mona orangnya baik, bisa menerima penjelasanku. Dan tentunya si Vino Virgo juga kena marah. Haha, syukurin. Aku dengar uang jajannya dipotong.
“Oi, Kingkong! Gara-gara lu, gue gak
bisa jajan!”
Aku mencibir. “Week, lagian ngapain kamu ngadu ke nyokapku!”
“Eh, Kingkong! Terserah lu, ya, percaya atau nggaknya. Cowok sejati nggak ngadu-ngadu kek anak kecil.”
“Huh!” Aku memalingkan wajah. Kemudian memasuki lokal tercinta (neraka). Siapa juga yang percaya sama omongannya. Lagian, pasti dia senang bangat aku diskor apalagi kena marah sama Mama.
“Hoi, Miss Ball, lu dah masuk!?” teriak seorang cowok ketika diriku telah berada di depan pintu. Aku mengangguk. Kurasa, mereka-mereka ini, kangen berat sama aku. Ya, kangen ngebully.
“Dorin ... Dorin! Aku kangen, aku kesepian tanpa kamu.” Peluk Rissa menempelkan tubuhnya padaku. “Maaf, ya. Aku gak hubungi kamu.”
“Gak apa-apa,” balasku. Mungkin Rissa sibuk bantu ibunya di warung. Makanya dia tidak sempat menanyai kabarku. Rissa memang anak yang baik. Aku pernah sekali diajak ke rumahnya. Lebih tepatnya
orang pertama diajak ke rumah Rissa. Istimewa apa coba aku sebagai sahabatnya. Dia tidak seperti teman lain, meski sederhana, Rissa tidak minder. Dia pun juga membantu ibunya di warung.
“Rin, ntar pulang sekolah mau ikut nonton bareng, nggak?”
“Sama Fandy lagi?” tanyaku.
Rissa mengangguk tersenyum. Aku sih, mau saja ikut. Tapi, takutnya malah mengganggu mereka pacaran.
***
Akhirnya kami berada di sini, gedung bioskop. Aku sudah minta izin sama Mama untuk pergi bersama Karissa. Yup, tentu saja dibolehkan, secara Mama juga kenal dengan Rissa. Dia sering kuajak ke rumah.
Aku mengantre membeli tiket. Sekilas, menoleh ke belakang—memerhatikan Fandy dan Rissa ketawa-ketiwi. Aku menghela napas. Di depan Rissa saja itu anak baik banget, tapi setelah berada sama
sekumpulan sejenisnya, sikapnya berubah habis. Kembali membully-ku.
“Pegang dulu tiketnya.” Aku memberikan tiga tiket pada Fandy. “Bentar, aku beli cemilan dulu!”
“Sip, Bos! Gue seneng dah, muach!” ucap Fandy sembari memonyongkan bibir. Aku tersenyum tipis. Bagaimanapun juga, sedikitnya aku masih memiliki rasa pada cowok itu.
Tak lama, kedua tanganku penuh dengan makanan ringan dan minuman. Kalau nonton tanpa cemilan, kagak afdol rasanya. Aku memberikan satu kantong sama Fandy. Dia hanya tersenyum menerima dari tanganku.
“Rin makasih, ya, kamu baik banget,” ucap Rissa menarikku duduk di sampingnya.
Tentu saja aku baik padamu, Rissa. Hanya kamu yang mau jadi temanku. Menerimaku apa adanya. Begitu juga Fandy. Dia pernah bilang, dia hanya bercanda sama teman-temannya. Tidak berniat menyakiti perasaanku. Aku bisa menerima alasannya karena dia pacar sahabatku. Teruntuk Vino, kalau sempat mengeluarkan pernyataan yang sama, aku tidak kan memaafkan dia.
***
“Rin, turunin gue di sekolahan ja, tadi gue nitip motor di kafe depan.”
“Baiklah. Pak Nono kita ke sekolah, ya,” ucapku menoleh pada Pak Nono yang duduk di samping kananku. Kemudian mataku beralih ke belakang.” Kamu gimana, Riss?”
“Fan, aku bareng Dorin aja, ya?” lirik Rissa yang duduk di sampingnya.
Tampak jelas Fandy menghela napas. Entah kenapa, kalau diajak pulang sama Fandy, Rissa selalu saja menolak. Lebih memilih pulang bersamaku. Katanya tidak mau merepotkan. Menurutku itu wajar saja, si Fandy mengantar pulang secara dia pacarnya.
Setelah sampai di kafe depan sekolah, Fandy ke luar. “My honey hati-hati, kalo dah sampe kabarin, ya!”
Karissa mengangguk pelan.
Hadeh itu anak mulai dah lebay bin alay-nya.
“Rin, thanks,” ujar Fandy sembari menepuk bahuku. Kebiasaannya gak pernah berubah. Senang bangat nepuk. Dikira gendang apa?
Aku menutup kaca mobil. Dan mobil pun melaju ke rumah Rissa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!