Namaku Ais, nama yang sangat singkat. Kebanyakan orang mengira jika nama itu hanya nama panggilan. Tapi faktanya itulah nama yang terpampang di akte, KTP, dan ijazah yang belum setahun kumiliki.
Ya...,ijazah SMA yang belum setahun kumiliki. Jika mengingat hal itu rasa sedih kembali kurasakan, bagaimana tidak, di saat semua teman-temanku sibuk mengurus administrasi keperguruan tinggi, aku malah sibuk dikantor imigrasi. Bukan karna ingin jalan-jalan keluar negeri, melainkan menjadi maid alias pembantu, profesi yang tak pernah kuinginkan.
Ini bukan keinginanku, melainkan takdirku.
Takdir yang tak pernah kuinginkan.
🍀🍀🍀
Hampir tiga bulan sudah aku menjadi pembantu di rumah mewah ini. Alhamdulillah, kini aku menjalani takdir ini dengan rasa syukur yang tiada henti. Karena dalam waktu yang terbilang masih singkat, sudah dua kali aku mentransfer uang untuk keluargaku dikampung.
Meskipun jumlah yang tak seberapa, paling tidak, bisa dipakai untuk makan dan biaya berobat ayah dikampung.
Aku masih memiliki orang tua yang lengkap, hanya saja, saat ini ayah sering sakit-sakitan, sehingga beliau tidak bisa lagi menafkahi keluargaku. Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya menjadi kuli di sawah orang.
Aku hanya memiliki seorang adik perempuan yang bernama Fia. Sekarang ia masih duduk dikelas tiga SMP. Berarti harus ada biaya yang dipersiapkan untuk ia masuk ke jenjang berikutnya. Itulah alasanku memilih menjadi pembantu dinegeri seberang.
Pada awalnya orang tuaku tidak mengizinkan, tapi mau bagaimana lagi, kami tidak ada pilihan.
Disaat ayah terbaring lemah, datang seorang temannya bernama Mohtar yang juga sebagai agen penyalur TKI, menawariku pekerjaan menjadi pembantu di Malaysia. Dia juga memberikan pinjaman ke padaku dan keluarga sebesar 1,5 juta.
Pinjaman itu, akan ku bayar setelah aku menjadi pembantu di Malaysia.
Paspor dan visa juga beliau yang membiayai. Ibaratnya aku hanya menyiapkan badan.
🍀🍀🍀
"Aunty Ais...can u help me?"
Suara anak kecil minta tolong sambil menyodorkan mainan ke arahku. Aku yang sedang mengemaskan mainan dilantai, menghentikan gerak tanganku, dan tersenyum manis ke arah gadis kecil yang cantik dan lucu ini.
"Oalaaaa...mainannya lepas ya?"
Aku melihat boneka kecil tanpa tangan, yang beberapa detik tadi diserahkan Adira ke padaku. Adira hanya mengangguk, sambil menggaruk kepala.
Tingkah anak ini sungguh lucu. Karena itu, aku sangat menyayanginya seperti adikku sendiri.
Adira, itulah nama gadis kecil berkepang dua yang ada dihadapanku ini. Umurnya jika tidak salah baru tiga tahun. Namun kecerdasannya luar biasa bagi anak seusianya.
Adira adalah cucu pertama dan dari anak pertama, majikanku. Adira dibesarkan oleh opah dan ayahnya saja. Hampir tiga bulan aku disini, tidak pernah sekalipun melihat istri dari tuan Hafiz.
Aku juga tidak pernah menanyakan keberadaan ibu Adira, bagiku itu terlalu kepo dan mencampuri urusan orang lain.
Hafiz, ayah Adira adalah laki-laki yang kuanggap dingin dan sombong. Jangankan bicara, menatapku saja ia tak pernah. Apa mungkin ia selalu memposisikan dirinya adalah majikan, sedang aku tak lebih dari seorang maid.
Walau aku maid, setidaknya posisikanlah aku sebagai makhluk sosial. Tapi tidak masalah juga bagiku, yang penting opah Adira yang bernama Puan Jijah sangat baik dan perhatian terhadapku.
Puan Jijah selalu memuji pekerjaanku dan membandingkannya dengan pembantunya yang lalu, yang terkesan pemalas dan suka bermain hp di saat menjaga Adira. Karena itulah beliau memecatnya dan menjadikan aku sebagai pembantu yang baru.
Selain menjaga Adira, aku juga merangkap pekerjaan rumah tangga lainnya, dan yang tak kalah beratnya membatu mengurus tuan Adam, yang sudah setahun ini tidak bisa berjalan akibat kecelakaan. Sehari-harinya tuan Adam hanya beraktivitas dikursi roda.
Terkadang sesak juga membayangkan jika nasib tuan Adam terjadi pada aku sendiri. Diumur 25 tahun belum menikah dan baru bekerja di posisi yang bagus, tiba-tiba mengalami nasib seperti ini. Ya ...itulah namanya takdir, manusia hanya bisa berencana, selebihnya Allah yang menentukan.
🍀🍀🍀
"Nah..., ini udah selesai" Ucapku sambil memberikan mainan ke pada Adira.
"Thanks aunty Ais!" Adira mengambil mainan dan tak lupa mengecup pipiku. Kecupan lembut dari seorang gadis kecil yang masih suci.
Aku hanya tersenyum dan kembali merapikan mainan Adira yang berserakan di lantai. Sedang Adira melanjutkan permainannya. Di saat bersamaan terdengar suara mobil di teras depan. Mungkin itu mobilnya tuan Hafiz, karena saat ini memang jam pulang dari office. Aku pun bangkit berniat membukakan pintu teralis yang memang dikunci dari dalam.
Sesampai di depan pintu, aku melihat di teras rumah, dan ternyata benar, itu adalah mobil tuan Hafiz. Tak lama, terlihat laki-laki ganteng berkemeja putih dengan dasi di leher menyembul dari pintu mobil.
Aku pun buru-buru membuka gembok dan membuka pintu teralis. Setelah itu, kuposisikan diriku dipinggir pintu dengan wajah tertunduk.
"Assalamualaikum" terdengar suara maskulin memberi salam dan berlalu tanpa pernah ingin memandangku.
Aku hanya menjawab salam dengan suara pelan takut melakukan kesalahan "walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh".
Selanjutnya ku tutup dan kunci kembali teralis besi itu. Di dalam sana terdengar suara anak kecil kegirangan melihat papanya pulang kerja.
"Papa, tadi mainan Dira tangannye lepas"
Sambil bercerita digendongan sang papa.
"iye?
Iye, naseb baek ade aunty Ais, die yang betulkan mainan Dira.
Terus, Dira cakap ape same aunty Ais?
Dira cakap, thanks aunty Ais, terus... Dira cium pipi aunty Ais, muaaaaccch" sambil memperagakan ciumannya pada tuan Hafiz.
Tuan Hafiz pun tertawa lepas mendengar cerita gadis kecilnya sambil curi-curi melirik ke arahku
Aku yang tak menyadari adanya lirikan itu, terus berlalu ke dapur meninggalkan anak dan ayah yang asyik bercengkeramah.
Saat ini jam menunjukkan pukul 16.30 sore, itu artinya aku harus buru-buru menyiapkan makan malam untuk puan dan tuan.
Setibanya di dapur, aku langsung membongkar isi kulkas mencari apa yang akan di sajikan malam ini.
Melihat ikan kakap segar dan pucuk ubi, tanpa berpikir lama, terbesit ide untuk membuat ikan asam pedas dan lalap pucuk ubi.
Sekadar masakan kampung aku terbilang banyak menguasai.
Karena dulu sewaktu masih dikampung aku sering membantu ibu memasak, jadi tidak heran meski di umurku yang ke sembilan belas tahun, aku sangat terampil mengolah berbagai macam menu masakan.
Terlebih di tempat aku bekerja sekarang memiliki cita rasa yang tak jauh berbeda. Maklum antara Melayu Malaysia dan Indonesia, masih terikat satu rumpun, jadi tidak heran jika kedua negara ini memiliki banyak kesamaan.
Tepat satu jam di dapur, semua selesai dimasak, nanti di saat makan malam tiba, barulah akan ku sajikan masakan ini.
Kini aku bersiap-siap ingin membersihkan diri, tapi sebelum itu, aku ingin memastikan kondisi Tuan Adam.
Perlahan aku mendekat ke arah pintu kamar Tuan Adam yang berada di lantai bawah, tak jauh dari ruang keluarga.
Setibanya di depan pintu aku pun mengetuk pintunya.
"Tok..Tok..."
"Masuk!" terdengar suara laki-laki, mempersilakan masuk.
Aku langsung memutar gagang pintu, dan masuk ke dalam kamar dan tentunya dengan pintu yang tetap kubiarkan terbuka. Bagaimana pun juga, aku selalu ingat pesan kedua orang tuaku sewaktu aku akan berangkat ke Malaysia. Mereka selalu mengingatkanku, untuk menjaga diri dan keluarga, dan saat ini yang kulakukan adalah sebagai bagian dari menjaga diri dari fitnah.
Tampak tuan Adam sedang duduk di tempat tidur dengan tangan dan pandangan yang terfokus di layar laptop.
"Tuan Adam ada ingin sesuatu?" itulah kata-kata yang selalu ku ucapkan. Kemudian aku menundukkan pandanganku. Mengenal dan membiasakan diri dilingkungan baru memang tak mudah bagiku, karena aku tergolong anak yang pemalu. Namun demi pekerjaan sebisa mungkin aku mengikis sedikit rasa pemaluku.
Mungkin karena diriku yang pemalu inilah yang membuat tuan Hafiz cuek ke padaku. Tapi tidak dengan tuan Adam.
Adam mengalihkan pandangannya ke padaku sambil tersenyum ia berkata " jangan panggil saye tuan Adam, panggil saye Adam, A-d-a-m" terdengar ia mengeja abjad namanya.
"Maaf, tu- eh ... Adam" aku sedikit ragu untuk menyebutkan namanya.
Adam pun terkekeh mendengar dan melihat tingkah polosku.
"Ya...Allah alangkah sempurnanya lelaki ini jika ia tidak seperti ini" tiba-tiba ada rasa iba dihatiku melihat kondisi Adam, tapi ada satu hal yang harus aku contoh darinya, yaitu semangatnya. Meski menjadi lelaki cacat, ia tetap menjalankan hidup dengan r
ikhlas.
"Oya, apa Adam perlu sesuatu?" aku kembali mengulang pertanyaan, dan kembali menundukkan pandangan.
"Saye ingin sesuatu
Sesuatu?
Ie sesuatu.
Apa itu?" tanyaku polos.
"Bise tak, jike sedang becakap, awak jangan asek tundok kak bawah! pandanglah saye!
Ape saye kurang kacak?" ucap Adam sambil menatap ke arahku.
(Bisakah, jika sedang berbicara, kamu jangan asyik tertunduk ke bawah! pandanglah saya!
Apa saya kurang tampan?)
"Maaf, saya tidak enak tu..eh..Adam maksudnya" ucapku jujur.
Adam kembali terkekeh, "mulai sekarang belajarlah untuk itu!" kata-kata yang sangat sejuk terdengar di telingaku.
"Andai kau adalah salah satu laki-laki yang ada dikampung ku, sudah pasti aku sangat bersedia menjadikanmu pacar pertamaku" itulah suara hatiku.
"Kalau tidak ada yang di inginkan, permisi, saya keluar!" pintaku pada Adam yang kembali sibuk dengan laptopnya.
Ia hanya membalas dengan senyuman. dan menatap kepergian ku. Entah apa yang ada di otak laki-laki itu, aku juga tidak tau, semoga saja ia tidak memikirkan hal-hal aneh tentangku.
Kini satu pekerjaan telah terselesaikan lagi, tinggal mandi selanjutnya shalat magrib, setelah itu barulah menyiapkan makan malam.
Selangkah demi selangkah aku menaiki anak tangga menuju lantai dua, disanalah kamarku berada, tepat di samping kamar tuan Hafiz.
Saat melewati kamar tuan Hafiz terdengar gelak tawa antar anak dan ayah.
Ternyata tuan Hafiz sedang bermain bersama putri kecilnya.
Aku bisa melihat itu dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.
"Sungguh sosok ayah yang luar biasa, dengan putrinya ia sangat hangat, penyayang, tapi dengan ku?, ah...peduli apa aku, yang penting gaji tiap bulanku lancar" gumamku dalam hati dan berlalu melewati kamar itu sambil tersenyum kecil.
Saat melewati kamar tuan Hafiz terdengar gelak tawa antar anak dan ayah.
Ternyata tuan Hafiz sedang bermain bersama putri kecilnya.
Aku bisa melihat itu dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.
"Sungguh sosok ayah yang luar biasa, dengan putrinya ia sangat hangat, penyayang, tapi dengan ku?, ah...peduli apa aku, yang penting gaji tiap bulanku lancar" gumamku dalam hati dan berlalu melewati kamar itu sambil tersenyum kecil.
🍀🍀🍀
Semua hidangan sudah ku tata rapi di atas meja makan, tinggal menunggu tuan dan puan untuk makan malam.
"Aunty Ais!" teriak Adira yang sedang digendong papanya menuruni anak tangga. Dengan wajah tak sabaran ingin mendekat ke arahku.
Aku pun menoleh dan menjawab " Ia cantik, sini biar aunty yang gendong!"
Ternyata dari arah yang berbeda, puan Jijah juga berjalan ke arah meja makan. Kamar puan Jijah tepat berada di depan anak tangga. Berarti sekarang semua sudah siap untuk menyantap makan malam.
"Sini aunty gendong!" kuulurkan ke dua tanganku, berniat untuk menyambut Adira dari gendongan sang papa.
Tuan Hafiz dengan wajah datar menyerahkan Adira ke padaku, setelah itu ia menarik kursi dan duduk berhadapan dengan puan Jijah yang telah lebih dulu mendudukkan diri.
"Ais, tolong panggilkan Adam!" perintah puan Jijah ke padaku, karena memang tinggal Adam yang belum hadir di meja bundar itu.
"Baik puan" jawabku singkat dan berlalu sambil menggendong Adira menuju kamar Adam.
Tok...tok ...
Aku mengetuk pintu kamar, dan langsung mendapat balasan.
"Masuk Ais!" suara damai itu, sangat sejuk terdengar di kedua kupingku.
Seperti punya indra ke enam, Adam tau bahwa akulah yang mengetok pintu.
Aku pun kembali masuk ke kamar Adam.
"Pak cik, jom makan!" itulah kata yang keluar dari mulut manis gadis kecil yang ada digendonganku saat ini.
Aku melihat Adam berusaha mundudukkan diri dari tempat tidur ke kursi roda.
Ada rasa tidak tega dihatiku melihat semua ini, lalu perlahan ku turunkan Dira dari gendonganku, kemudian kudekati Adam.
"Ais tolong ya?" pintaku pada Adam sambil membungkukkan badan dan menyiapkan pundakku sebagai tumpuannya.
Ia memandangku sejenak, mungkin ia masih segan, terlebih kami bukan muhrim.
"Nggak papa, ayo!" pintaku sekali lagi.
Adam mulai mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku, kemudian bertumpu pada pundakku dan berusaha sekuat tenaga menyeret kedua kakinya dan mendudukkan diri dikursi roda.
Adira hanya diam, melihat tingkahku dan Adam.
Sepertinya anak kecil itu terlihat menikmati setiap gerak gerik kami.
"Alhamdulillah" itulah kalimat serempak yang kami ucapkan secara bersamaan setelah Adam berhasil duduk dikursi rodanya.
"Terima kasih Ais!" ucap Adam padaku.
Aku hanya membalas dengan senyuman, dan kembali menggendong Adira.
Sebenarnya, aku juga ragu untuk bersentuhan dengan Adam, tapi semua itu kusampingkan karena rasa kemanusiaanku.
Adam mulai memutar-mutar ban kursi roda untuk bergerak menuju meja makan. Sedang aku dan Adira mengikutinya dari arah belakang.
Dimeja makan tuan Hafiz dan puan Jijah menatap ke arah ku dan Adam.
Puan Jijah tersenyum ke arahku, sedang tuan Hafiz tetap sama seperti biasa, "hanya tatapan dingin".
"Ayo kita makan!" ajak puan Jijah sambil mengambilkan nasi untuk Adam.
Kududukkan Adira di sebelah papanya. Namun tingkah Dira yang memang sedikit manja padaku, menolak untuk duduk disamping papanya.
"Tak nak" rengeknya sambil tetap menarik tanganku.
Sekilas ku tatap wajah tuan Hafiz, ternyata dia juga menatapku. Aku semakin menjadi tidak enak.
"Dira sama papa ya, aunty mau kedapur!" bujukku sambil mengelus pucuk kepalanya.
"Dudoklah Ais, kite makan same-same!" Adam tiba-tiba bersuara.
"Dudoklah Ais, kesian Dira, teringen nak rase suapan seorang ibu!" timpal puan Jijah sambil tersenyum ke Hafiz.
Deg ...
"Suapan seorang ibu?" memang aku ibunya?" kata-kata puan Jijah barusan menjadi bumerang dibenakku. Apa maksudnya berkata seperti itu. Tapi ya sudahlah, ada benarnya juga, selama disini aku tidak pernah melihat ibu dari Adira. Sudah barang tentu anak kecil ini ingin merasakan di suapi oleh seorang ibu. Meskipun aku ini bukan ibunya setidaknya aku wanita muda yang mungkin bisa di anggap sebagai ibu pura-pura oleh Dira.
Akhirnya aku dengan sedikit ragu-ragu menggendong Adira, setelah itu aku duduk di samping tuan Hafiz. Kemudian mendudukkan Adira dipangkuanku.
Kutuangkan air putih kedalam gelas, selanjutnya kuteguk satu kali tegukan sekadar untuk menghilangkan grogiku, karena ini pertama kali, aku satu meja makan dengan keluarga ini.
Dengan telaten aku mulai menyuapi anak manis itu, begitu juga yang lainnya, terlihat sangat menikmati masakanku.
" Sedapnyeeee" Adam memuji masakanku sambil memberikan dua jempolnya untukku.
"Memang sedap, Ais belajar same siape masak asam pedas ikan ni?" Tambah puan Jijah.
"Alhamdulillah jika enak, dulu waktu dikampung Ais suka bantuin ibuk masak, jadi sedikit-sedikit bisa"
"Kalau macam tu, Ais kawen jelah same Adam, biar Adam bise makan sedap setiap hari" ucap Adam sambil tetap menyuap nasi dipiringnya.
Uhuk....uhukkkk...
Tuan Hafiz tersedak. Reflek aku pun memberikan minumanku pada tuan Hafiz, tanpa a, i, u, ia menangkap gelas di tanganku dan meneguknya hampir habis.
Ternyata ada dua pasang mata yang menatap heran ke arah kami.
"Hafiz?" suara puan Jijah seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Begitu juga Adam, sama terkejutnya dengan apa yang ia lihat.
Aku semakin heran, ku tatap puan Jijah, ku tatap Adam dan terahir ku tatap tuan Hafiz.
"Apa ada yang salah?" itulah pertanyaan dibenakku.
Melihat sorot mata semua menatap ke arahnya, tuan Hafiz secepatnya meletakkan gelas yang ada ditangannya.
" Setau mama, Hafiz tak pernah menggunekan gelas bekas orang" ucapan puan Jijah yang semakin membuat aku sadar, ternyata aku telah memberikan gelas minumku padanya.
Wajah tuan Hafiz berubah tak enak dipandang.
mungkin ia juga baru menyadari bahwa itu adalah gelas bekas maid hina sepertiku.
Dengan sekuat tenaga kuberanikan mengucapkan kata "maaf tuan saya tidak sengaja" Selanjutnya kutundukkan kepalaku.
Tak ada jawaban yang kudapatkan.
Sepertinya permohonan maafku hanya sia-sia.
"Ha...ha....a..." suara tawa Adam terdengar nyaring ditelingaku.
"Ternyate hanye Ais yang mampu menghipnotis Mr arogan" ucap Adam penuh candaan.
Tuan Hafiz tak menghiraukan ocehan Adam, ia tetap melanjutkan makan malamnya. Sedang aku, dengan susah payah berusaha menelan nasi yang benar-benar terasa menelan sekam.
Adira kini telah selesai makan, dan sekarang ia di bawa oleh opah keruang keluarga. Tinggal aku, Adam dan tuan arogan yang ada dimeja itu.
Tanpa sepatah kata, akhirnya kuakhiri makan malam ku, meski sebenarnya perutku masih terasa lapar.
Aku berpura-pura sibuk membereskan peralatan makan yang ada di atas meja.
Badanku terasa bergetar dengan sorot tajam mata tuan Arogan, aku yakin ia masih tak puas dengan kejadian beberapa menit tadi.
Setumpuk piring kotor ada ditanganku, kubawa dengan perlahan menuju wastafel agar tak lagi melakukan ke salahan.
Dari dapur, aku bisa mendengar perbincangan serius antara Adam dan tuan Hafiz.
"how about we continue you treatment to Singapore?" tanya Hafiz pada Adam.(bagaimana jika kita melanjutkan pengobatanmu ke Singapura?)
"Adam rase di Malaysia juge sudah canggeh, so we don't need to go abroad" sanggah Adam pada kakaknya. (jadi kita tidak perlu pergi keluar negri).
"Adam, Along hanye nak yang terbaek untuk Adam, so ...ikut kate Along. (along adalah panggilan untuk anak yang paling tua).
"Nantilah, Adam piker dulu" suara lemah Adam mengakhiri obrolan mereka.
Malam ini cuaca benar-benar bersahabat, kududukkan diriku pada sebuah kursi yang ada di balkon, sekedar untuk menghilangkan lelah seharian bekerja.
Tak terasa hampir tiga bulan lamanya bekerja, dan selama itu juga aku tidak pernah membuka media sosialku.
Malam ini entah mengapa, ada rasa rindu untuk berselancar dimedia sosial. Ada keinginan melihat kabar teman-teman sekampung dan status teman seangkatan yang sekarang mungkin sudah menyandang status mahasiswa dan lain sebagainya.
Kumasukkan alamat email, selanjutnya ku tekan beberapa paswodnya, dan Alhamdulillah, media sosialku masih bisa dibuka.
Aku langsung menscrol ke menu chat, ternyata disana banyak pesan masuk, ada yang menanyakan kabarku, ada yang mengatakan rindu, bahkan ada yang mengirimiku kata i love you.
Aku sempat tertawa sendiri sambil membalas semua pesan yang masuk.
Sangat menyenangkan, setidaknya yang jauh terasa dekat, tapi diba-tiba....
Brakkkkkk.....
Entah bunyi apa yang pecah dari kamar tuan Hafiz, dibanting atau terjatuh aku juga tidak tau.
Sambil mengusap dada, kutenangkan diriku, meletakkan HP di atas meja santai, kemudian aku bangkit ingin mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.
Karena balkon ini juga terhubung ke kamar sebelah, yaitu kamarnya papa Adira, jadi itu memudahkan aku untuk mengintip.
Aku mencoba memindai semua ruangan lewat pintu kaca, dan memang setauku tadi sehabis makan malam, Adira di ajak opah untuk tidur bareng beliau di kamar bawah. Jadi bisa dipastikan tidak ada Adira di sana, lalu bunyi apa tadi.
Aku kembali memindai ruangan tuan arogan itu, sepertinya kosong.
"Mungkin hanya bunyi sesuatu yang terjatuh aja kali" itulah suara hatiku.
Tanpa aku sadari tiba-tiba ada yang membekap mulutku dari belakang dan langsung menyeretku.
Aku berusaha berontak untuk melepaskan diri, namun tangan ini sepertinya sangat kuat.
Kucoba berteriak, namun juga sia-sia karena mulutku dibekap dengan kuat.
Kucoba ingin melihat wajah orang yang menyeretku, tapi tak bisa, karena posisinya ada di belakangku.
Hanya yang aku tau saat ini, ia menarikku ke arah kamar tuan Hafiz.
Jantungku berdetak kencang, mataku membulat tajam sebagai pembuktian ketakutan.
Takut....itulah satu kata yang kurasakan saat itu.
Begitu aku dilempar ke tempat tidur, seketika itu juga ia mematikan lampu, tanpa aku sempat melihat wajahnya.
Seluruh badanku bergetar hebat, air mataku seperti tak punya bendungan lagi, ku gigit bibir bawahku untuk menahan takut yang teramat dahsyat.
Aku tau setelah ini akan terjadi hal buruk dan mungkin sangat-sangat buruk yang pernah kualami dalam hidupku.
Ternyata benar, secepat kilat orang ini menindih tubuh kecilku.
"Lepaskan!
tolong!" tapi lagi-lagi suara ku seketika habis seperti tanpa baterai.
Aku berusaha memberontak ingin melepaskan diri dari cengkraman setan ini, sambil menendang-nendangkan kaki, tapi tenagaku tidak bisa menyaingi tenaganya.
Dengan satu tangan, Ia mengunci ke dua tanganku ke atas ke pala. Sedang tangan yang lain berusaha melepas satu persatu penutup tubuh bagian bawahku.
"Tidak....tidak....!" teriakku yang tak kesampaian, tubuhku semakin melemah.
"Jangan lakukan ini tuan, ku mohon" suara lirihku pada orang yang ada di atas tubuhku saat ini. Berharap ia punya sedikit hati untuk berbelas kasihan ke padaku. Aku tetap berharap ada keajaiban yang terjadi untuk menghentikan semua ini.
Lagi-lagi aku seperti berharap dalam mimpi.
Tak akan mungkin keajaiban itu seperti disulap ibu peri.
Manusia yang ada di atas tubuhku benar-benar sudah kesetanan. Nafasnya terdengar sangat memburu, seperti harimau ingin menerkam mangsa.
"Siapa pun kamu yang ada di atas tubuhku, aku sangat membencimu sampai ke akhir hayatku!" itu janjiku .
Kini aku merasa tinggal pakaian atasku yang tersisa, sedang bagian bawahku sudah terasa polos.
Tak berapa lama terasa ada benda tumpul, namun sangat tajam berusaha merobek diriku, menembus pertahanan terakhirku. Disaat bersamaan juga, aku mendengar suara laki-laki mendesah menyebut nama "Sofia".
"Sungguh kau manusia laknat"
Pekikku dalam hati kecilku yang paling dalam. Kesadaran ku mulai menghilang, tak ada daya untuk menghalang, semua sudah tertetes dengan noda hitam.
"Sofia" kata terahir yang kudengar, setelah itu aku tak sadarkan diri.
🍀🍀🍀
"Ais.....!
Ais.....!" Suara wanita paruh baya mengiang dikupingku.
"Ja....jangan....!" aku berteriak dan terduduk diatas pembaringan. Keringat mengucur dikeningku, ku tatap disekeliling kamar memastikan di mana aku berada saat ini. Kuperiksa seluruh pakaianku, ternyata masih lengkap seperti yang kukenakan semalam. Kemudian ku tatap wajah orang yang ada di sampingku.
"Ais, kamu kenape nak?" tanya puan Jijah yang duduk di pinggir kasurku. Ternyata ada Adira juga di sampingnya yang menatapku heran.
"Alhamdulillah, ternyata itu hanya mimpi burukku" gumamku dalam hati.
Puan Jijah yang melihat heran tingkahku, langsung meraba keningku " ya Allah, Ais...badanmu panas"
Tampak ke khawatiran di wajahnya.
"Hari ini kamu tak usah kerje, istirahat, nanti saye suruh Hafiz bawak kamu berobat".
"Nggak usah puan, palingan nanti juga saya sembuh sendiri"
"Ais, jangan menolak, jike Ais demam kesian Dira, tak ade yang jage". Puan Jijah berusaha menasehatiku agar mau pergi berobat.
Yang jadi masalah, masak ia aku harus pergi bersama tuan Hafiz, jangankan pergi berobat, bicara saja tak pernah kami lakukan.
"Ingat Ais, nanti pergi berobat same Hafiz!" Peringatan terahir dari puan Jijah sebelum ia meninggalkan ruanganku.
"Aunty cepat sembuh ye!" suara lucu Adira menyemangati ku.
" Ia sayang" jawabku pada gadis kecil itu.
Kini tinggal aku sendiri dikamar ini, aku berusaha menggapai hape yang ada di atas nakas samping tempat tidurku. Begitu aku ingin bangkit ada yang tidak beres dengan diriku, rasa perih menjalar di organ intimku.
Deg....
Aku merasa ada yang tidak beres pada diriku. Dengan tangan bergetar dan air mata yang hampir mengalir ku beranikan diriku menyibak selimut yang melekat di tubuhku, selanjutnya berusaha membuka celana dalamku.
Deg....
Mulutku ternganga, mataku membulat, air mataku terjun bebas, melihat ada bercak darah di celana dalamku.
"Apa aku sedang haid?, tapi rasanya tidak karena baru seminggu yang lalu aku kedatangan tamu itu"
Untuk memastikan lagi ku gunakan jari telunjukku untuk menyentuh organ intimku.
Dugggg.....
Begitu ku lihat ada darah segar yang masih mengalir.
Sekarang aku yakin, kejadian yang kualami semalam bukanlah mimpi, melainkan nyata.
Kupukuli diriku sendiri, aku sangat prustasi, aku menangis dan berteriak sekuatnya dengan membenamkan wajahku di dalam bantal.
"Ya Allah....malangnya takdir ku ini, aku yang selama ini ingin berjuang membantu keluarga, malah berahir tragis seperti ini.
Benar-benar aku tidak sanggup lagi ya Allah. Aku tidak tau siapa laki-laki yang telah menodaiku, aku juga tidak mungkin mengadu ke pada puan Jijah, satu yang aku tau, laki-laki itu ada dirumah ini. Yang pasti bukan Adam. Melainkan...., melainkan.... Tuan Hafiz, ya tuan Hafiz".
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!