NovelToon NovelToon

My Crazy Lady

Bab 1 (MCL)

Hanna kembali menelan salivanya yang sudah menumpuk di mulutnya. Itu sudah kali ke sekian dia lakukan, setiap melihat Cathy mendorong masuk makanan yang tengah gadis itu kunyah melewati tenggorokannya.

Seandainya bisa sihir, Hana akan memilih mengubah dirinya menjadi tenggorokan adiknya agar bisa merasakan enaknya makanan itu.

Berbagai jenis menu terhidang di meja, dan itu semua dipersiapkan untuk siapa saja di rumah ini kecuali, Hanna!

“Ayolah, Kak. Aku tidak akan bisa menelannya lagi kalau setiap kunyahan di mulutku harus melalui tatapan mu yang sangat tidak bersahabat itu,” gerutu Cathy sembari memasukkan satu suap nasi dengan potongan beef yang begitu nikmat.

“Kau bahkan sudah menghabiskan sebagian besar isi piring itu!” Seru Hanna mendengus kesal. Terpaksa mengalihkan pandangannya pada piring berisi sayur dan lalapan.

Oh Tuhan, aku bukan kambing yang harus makan daun-daunan ini setiap hari!

Hanna selalu merasa hidup tidak adil baginya. Hidup tidak selalu sama seperti yang kita harapkan, itu benar. Namun, Keadaan dirinya yang memiliki berat tubuh yang sangat berlebih ini bukanlah salahnya, itu juga benar.

Kalau bisa, dia juga ingin cantik, langsing dan juga sesempurna Cathy, adiknya, yang selalu mendapat pujian, yang selalu disayang dan dipuja banyak orang. Sumpah demi apapun, Hanna ingin!

Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Bagi keluarganya, bukan, ralat, bagi ibunya, Hanna adalah aib. Memiliki tubuh berlapis lemak membuatnya selalu menjadi bahan bullyan.

Dengan tinggi 160, Hanna memiliki berat badan 80 kilo gram, yang membuat dirinya mendapat julukan Giant oleh sekitarnya.

Sebenarnya Hanna memiliki paras yang cantik. Tidak kalah dengan Cathy, bahkan Hanna memiliki bola mata yang indah dan lesung pipi yang tidak dimiliki adiknya.

Paras cantiknya begitu mirip dengan neneknya yang memang memiliki darah Skotlandia dan juga Inggris. Rahang yang tegas menjadi ciri khas para wanita dari keluarga Jhonson, yang merupakan keturunan bangsawan di Inggris.

Stuart, ayahnya Hanna yang berprofesi sebagai pengusaha barang antik dan segala jenis artefak dari berbagai negara, yang membawanya ke Indonesia, hingga berkenalan dengan Ema, gadis keturunan Indonesia dan juga Belanda.

Sama Halnya dengan Stuart, kakek Ema yang dulu adalah pengusaha yang membeli rempah-rempah di Indonesia. Kepincut dengan gadis Indonesia, menikah dan akhirnya menetap disini lalu lahir ayah Ema.

Seolah seperti tradisi, Ema juga memilih menikah dengan Stuart, pria asing yang awalnya hanya berbisnis ke Indonesia.

“Hanna, bergegaslah. Ini sudah waktunya kau berangkat ke kampus” suara nyaring ibunya terdengar dari dapur.

Ema sebenarnya adalah ibu yang baik, sangat menyayangi kedua putrinya. Namun, sikap tegasnya pada Hanna, membuat gadis itu berpikir kalau ibunya lebih menyayangi Cathy.

Ibu dua anak itu tidak berniat membeda-bedakan putrinya. Dia hanya berusaha untuk mendisiplinkan cara hidup Hanna, agar putri sulungnya itu mulai merawat dirinya.

Hanna sudah menginjak usia dewasa walau dia baru saja 19 tahun. Namun bagi Ema jika bukan mulai saat ini membentuk tubuhnya, maka Hanna akan jadi wanita menyedihkan yang hanya bisa menerima takdirnya dilecehkan dan dipandang hina oleh orang lain.

“Hanna!” kembali terdengar jeritan Ema.

Huufffh..helaan nafas berat membawa Hanna untuk bangkit dari duduknya. Dia selalu bertanya, bagaimana mungkin ibunya bisa tahu dia belum beranjak tanpa melihat kearahnya?

Dulu, saat usia 10 tahun, dalam hati Hanna, dia meyakini ibunya adalah ibu tiri sekaligus penyihir jahat, yang selalu membentaknya, dan bersikap dingin padanya. Ema tidak pernah berkata lembut setiap berbicara padanya, seperti yang wanita itu lakukan pada adiknya.

“Ingat untuk segera pulang ke rumah!” sekali lagi suara nyaring itu mengiringi langkahnya.

“Ma, bolehkah aku minta uang mingguan ku?” tanya Hanna sebelum menghilang dibalik pintu. Sekali lagi diliriknya ayam rica-rica yang ada di meja makan sembari menelan ludah.

“Tentu saja tidak!”

“Tapi aku udah ga punya uang lagi, Ma. Aku mau beli novel yang aku inginkan,” ujar Hanna mendekati pintu dapur.

“Tidak! Lupakan tentang fantasi bodoh mu! Harusnya kau menggunakan jatah mingguan mu membeli skincare untuk wajah dan tubuh mu atau salad buah, bukan novel dan coklat! Jangan kira mama tidak tahu kalau kau sering makan coklat tengah malam”

Dengan menghentakkan kaki, Hanna pergi. Sopir sudah menunggunya di luar. Peraturan gila yang kadang membuat Hanna frustrasi adalah, ibunya menyediakan sopir untuk mengantarnya ke kampus, namun hanya setengah perjalanan. Hanna diharuskan berjalan hingga sampai ke kampus.

Begitu juga saat pulang, sopir sialan itu akan menunggunya di tempat dia biasa diturunkan di pagi hari.

Bayangkan saja dengan tubuh buntal nya, Hanna harus berjalan mengejar waktu agar tidak terlambat masuk.

Hanna yang mengambil jurusan Sastra memiliki seorang sahabat yang baik, yang mau tulus berteman dengannya, bukan karena isi otak Hanna yang encer.

Selain Ara, semua yang mendekat Hanna hanya ingin dibantu mengerjakan tugas, makalah atau pun persentase di kelas.

Bicara tentang teman, Hanna menyukai seorang pria di kelasnya. Pria yang menurutnya sangat tampan dan hanya bisa dinikmatinya dalam khayalannya.

Jangankan untuk mendekati pria itu, mengajaknya bicara saja, Hanna tidak akan berani. Namun, itu hanya awal masuk semester pertama. Beberapa bulan berikutnya, Nico tiba-tiba saja mengajaknya bicara.

“Aku sudah lama memperhatikan mu, dan aku pikir aku menyukai mu. Kau mau menjadi pacarku?”

Jantung Hanna seolah lompat dari tempatnya. Ajakan untuk bicara dari Nico sama sekali tidak pernah dia duga, terlebih isi pertemuan pertama dan rahasia ini malah untuk mengajaknya pacaran. Oh..my....!

“Kenapa diam? Kau tidak menyukaiku?” susul Nico melirik sekeliling. Taman bunga belakang tempat praktek jurusan tehnik ini sepi, menjadi tempat yang pas untuk mengatakan cintanya pada gadis itu.

“Bukan begitu, Co. Hanya saja ini seperti mimpi. Kau bahkan tidak pernah mengajak ku bicara. Tapi sekarang..”

“Selama ini aku diam, tapi aku mengamatimu. Aku suka padamu. Jadi katakan kau mau tidak jadi pacarku?” desak Nico semakin khawatir.

“Kau sedang tidak bercanda, kan? Maksudku, lihat aku.. apa yang membuatmu berpikir untuk menjadikanku pacar? Aku gemuk, pendek, tidak cantik dan norak. Lipstik saja tidak ada melekat di bibirku,” ujar Hanna coba membuka mata Nico, jika dia baru saja terbentur di pintu hingga hilang akal sehat.

“Kau... pintar. Itu cukup untuk menjadikanmu pacarku” sambar Nico cepat. Dia tidak ingin buang waktu. Dia ingin segera mendapatkan jawaban ‘iya’ dari Hanna.

“Kau yakin?” Hanna masih coba menata hatinya yang sejak tadi deg-degan karena ditembak Nico, cowok populer tidak hanya di jurusan dan Fakultas tapi juga di kampus tercintanya.

Mmm..hanya gumaman yang keluar dari mulut Nico. “Aku bersedia” jawab Hanna membuat wajah Nico kembali cerah. Entah ini mimpi atau nyata, yang pasti Hanna sangat bahagia.

Bab 2 (MCL)

Sejak saat itu, keduanya benar-benar layaknya orang pacaran. Nico akan mengajaknya bicara, memberikan bunga dan juga coklat yang di sukai Hanna. Nico juga mengajaknya makan siang di kantin, walau Hanna dengan malu-malu gadis itu mengatakan kalau dia sudah menghabiskan uang mingguannya untuk membeli novel, Nico akan dengan senang hati mentraktir nya.

“Selamat ya, Hanna. Aku dengar kau pacaran dengan Nico” Lusi mendatangi mejanya, berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat di dada.

Gadis cantik itu menatapnya dengan sinis dan senyum mengejek tersungging di bibirnya.

Hanna tidak tahu mengapa gadis itu membencinya. Jelas-jelas dari segalanya, Lusi jauh lebih dari dirinya. Cantik, tubuh bak model, kaya.

Oh, mungkin hanya satu yang tidak bisa dikalahkan Lusi, Hanna jadi peringkat pertama, gadis yang punya Indeks prestasi tertinggi di jurusan, dan Lusi selalu jadi yang kedua.

Setahu Hanna, Lusi juga sangat menyukai Nico, namun kini setelah pria itu memilih Hanna, Lusi pasti semakin membencinya.

“Makasih,” jawab Hanna berusaha memberikan senyumnya.

“Sebenarnya aku kurang suka kau pacaran dengan Nico” Ara buka suara setelah melihat Lusi menjauh. Tiga hari setelah Hanna dan Nico pacaran, Ara baru memberikan pendapatnya. Selama ini dia diam, karena ingin menjaga perasaan Hanna, tapi belakangan ini, Hanna jadi berubah tidak menjadi karakter yang Ara kenal dulu. Hanna akan rela bersusah payah mengerjakan tugas Nico di setiap mata kuliah, sementara pria itu bersenang-senang dengan teman-temannya.

“Please, Ra. Jangan ikut di barisan orang-orang yang membenci hubungan kami.” Hanna menyerongkan duduknya, menghadap Ara.

“Aku hanya tidak mau kau terluka nantinya, Han. Menurut ku Nico tidak tulus padamu. Pagi tadi aku bahkan melihatnya dengan wanita lain,” ucap Ara yang melihat pagi tadi, Nico tengah di cium oleh seorang gadis dari jurusan sastra Inggris.

Ingin sekali Ara mengatakannya dari awal, namun melihat Hanna yang begitu gembira akan hubungan itu membuat Ara kehilangan kata-kata.

“Itu hanya sahabatnya. Nico sudah mengatakan padaku. Dengar, Ra, aku akan merasa sedih jika satu-satunya sahabatku ikut tidak mendukungku”

Kalau sudah seperti itu, Ara hanya bisa diam.

Hari-hari Hanna lalui semakin bahagia. Dengan memiliki status sebagai kekasih Nico, Hanna lebih bersemangat menjalani hari-harinya. Ema yang mengetahui kalau putrinya kini sudah punya kekasih, ikut gembira.

“Kalau sudah ada yang suka, mulai lah sadar diri, Han. Rawat wajah dan nih, kecilkan perut dan bokong mu ini!” Ema memukul perut Hanna yang bahkan lebih menonjol dari dadanya.

“Nico beda, Ma. Dia tidak pernah menyuruhku untuk diet. Bahkan dia sering memberikanku makanan yang enak-enak,” jawab Hanna bangga. Dia ingin mematahkan stigma dalam pikiran ibunya, kalau dengan tubuh raksasanya, Hanna tidak akan dapat jodoh.

Semua tampak indah, hari genap seminggu hubungan mereka, Hanna ingin memberikan Nico cheesecake dari toko kue favorit Hanna.

Penuh semangat Hanna menenteng kotak kue itu, berkeliling mencari Nico. Seseorang mengatakan padanya, kalau pria itu sedang bersama teman-temannya di kantin fakultas olahraga.

Bergegas Hanna mendatanginya. Demi hari ini, Hanna mengenakan sepatu teplek nya, bukan sepatu kets yang biasa dia pakai. Bahkan, Hanna meminjam liptint Cathy.

“Co, kekasih hatimu datang, tuh,” ucap salah satu teman Nico. Hanna coba menghitung jumlah orang di sana. Dia takut kue yang dia bawa ini tidak cukup dibagi nantinya.

Bersama Nico ada lima orang pria, dan dua gadis. Tunggu dulu, dua gadis itu tampak tidak asing. Itu Lusi dan juga teman kompaknya Sisil.

“Kemari lah, Han” Lusi melambaikan tangannya memanggil Hanna. Dengan ragu, Hanna menyeret langkahnya untuk mendekat.

Dengan patuh, Hanna mengikis jarak mendekati mereka. Gadis itu masih terdiam, dengan sorot matanya yang mengunci wajah Nico.

“Babe, mumpung Hanna sudah disini, ada yang ingin kau sampaikan?” Bola mata Hanna membulat, kala Lusi menyampirkan tangannya di leher Nico, dan tanpa malu, menyatukan bibir mereka.

“Sorry Hanna, selama ini aku sudah berbohong padamu. Aku tidak menyukai.”

Kalimat Nico diucapkan dengan bahasa yang biasa dia dengar, tapi kenapa Hanna tidak mengerti sedikit pun. Masih dalam keterkejutannya, Hanna diam di tempat menatap mata Nico yang juga menatapnya.

Ada rasa bersalah yang terpancar di matanya, namun tetap saja bibir pria itu tidak mengatakan apa pun lagi.

“Kau terlihat bingung? Akan aku jelaskan. Nico hanya taruhan dengan teman-temannya, menjadikan mu pacar seminggu, jika Nico berhasil, maka teman-temannya akan memberikan Lamborghini nya yang ada di tangan Edo kembali,” terang Lusi santai.

Tubuh Hanna gemetar. Dia mengerti semua perkataan mereka, tapi kenapa seolah masih tidak mengerti dengan diam seribu bahasa.

“Jadi, kau gadis buntal, jangan merasa sok cantik karena ditembak Nico dan dijadikan pacar seminggu. Kau itu hanya taruhan, buat lelucon mereka. Ya kali, cowok sesempurna Nico mau samamu,” sambung Sisil dengan nada mengejek.

Hanna mengerti. Bukan, tapi dia paham seutuhnya sekarang. Melihat mereka menertawakannya yang terpaku di hadapan mereka, membuat Hanna ingin menangis. Matanya saja sudah mulai mengabur, tapi dia tidak ingin memberikan kepuasan pada manusia-manusia tidak punya hati seperti mereka.

Sekumpulan manusia yang tidak punya perasaan. Apakah mereka tidak tahu, bahwa Nico adalah pacar pertamanya? Apakah mereka tidak mengerti bahwa seminggu terakhir ini adalah hal paling berarti dalam hidupnya? Membuatnya merasa memang punya hak untuk hidup di dunia ini. Tapi semua itu tidak berarti bagi mereka yang hingga detik ini masih tertawa puas.

Hanna memejamkan mata. Menarik nafas panjang, lalu kembali membuka mata. Dua tetes jatuh di pipinya. Dengan langkah bergetar, Hanna semakin mendekat. Melengkungkan senyum terindahnya sebelum berkata “Ini, aku bawa kue. Apakah kalian mau?” Hanna mengangkat kotak kue itu, mengeluarkannya dari sana dan segera menyodorkan ke hadapan Nico.

Tawa mereka semakin kencang, kala membaca tulisan di atas kue itu.

‘Happy a week anniversary, Nico’

Bukti ketulusan hati Hanna ternyata tidak menyentuh perasaan mereka. Ejekan mereka lontarkan dengan begitu santainya.

“Dasar gendut tidak tahu diri”

“Ngaca dong”

“Dasar ga tahu malu, lihat dong penampilanmu, siapa yang mau dengan gadis sepertimu!” seruan Lusi tadi di tutup dengan tindakan Edo yang mengambil kotak kue dari tangan Hanna lalu tanpa terduga melemparkan ke wajah Hanna.

Semua tertawa, Hanna bisa tahu siapa saja orang orang yang menertawakannya, walau tanpa melihat, karena kini matanya terpejam ditutup kue di seluruh wajahnya. Untuk sesaat Hanna merasa sesak untuk mendapatkan udara karena sebagian sudah masuk ke dalam hidungnya.

Telinganya masih dengan jelas mendengar suara tawa mereka. Masih dengan ejekan dan juga caci maki. Kukunya bahkan sudah melukai telapak tangannya karena begitu kencang mengepal tangan.

"Mati saja kau badut, wanita paling jelek yang ada dimuka bumi ini," maki Edo dengan suara menggelegar, penuh puas merundung Hanna.

Bab 3 (MCL)

Cukup, Do. Ini ga lucu, udah keterlaluan!” itu suara Nico, Hanna hafal betul, selama seminggu hanya suara pria itu yang dia dengar sebelumnya tidurnya. Setiap mereka bicara lewat telepon, Hanna akan penuh semangat merekamnya.

Perlahan, Hanna membersihkan wajahnya. Sedikit cahaya bisa masuk dalam penglihatannya.

“Ini...” Nico menyodorkan sapu tangannya, namun bukan menerima, Hanna justru membalasnya dengan senyuman sembari menggeleng.

“Tidak perlu. Sapu tangan berharga mu akan kotor, terlebih tidak pantas untuk wajahku yang kau anggap hina” Hanna masih tersenyum pada Nico. Mungkin ini senyum yang dia berikan pada pria itu terakhir kali. Hanna berbalik, melangkah meninggalkan kepedihan, rasa kecewa dan juga sakit hatinya. Namun baru dua langkah, gadis itu berhenti kala mendengar ejekan menyakitkan dari salah satu mereka.

“Bahkan Nico jijik untuk memegang tangan dan juga pinggang mu yang bergelambir! Kau pantas diperlakukan seperti itu,” seru Edo nyaring disertai tawa teman-teman brengseknya yang lain.

Sekali lagi Hanna memejamkan mata, menguatkan hatinya, lalu dengan penuh percaya diri, berbalik dan berjalan kembali ke arah mereka.

Puk!

Satu pukul keras mendarat di pipi Edo. Begitu kuatnya hingga wajahnya terbuang ke samping.

"Kau pantas untuk mendapatkannya!" seru Hanna dengan mata membulat sempurna dan hembusan nafas begitu kasar karena tekanan emosi di dada nya.

Hanna berbalik, kali ini tidak berhenti dipertengahan langkahnya. Ketika hiruk pikuk suara keterkejutan di belakangnya atas tindakan yang baru saja dia lakukan, Hanna memilih pulang.

Dia tahu ada satu mata kuliah lagi yang harusnya dia ikuti hari ini, namun otaknya pasti tidak akan bisa menampungnya lagi.

"Kau pulang lebih awal." Sambutan Ema hanya diangguk nya, tanpa berniat buka suara. Namun dia lupa, kalau itu adalah Ema, wanita yang tidak akan puas, hanya dengan anggukan.

"Han?"

"Dosennya tidak hadir, Ma. Jadi ga ada kelas," jawabnya singkat.

Awalnya Hanna ingin singgah di toko buku. Dari internet, dia sudah berulang kali memantau novel kesayangannya yang memang sudah terbit. Dia ingin membeli, namun uang sakunya sudah habis. Bahkan untuk beli kebab 12 ribu saja dia sudah tidak sanggup. Jadi Hanna pulang dengan sisa uang lima ribu, kembalian dari ojek onlinenya.

***

Perut yang terasa lapar membawa Hanna buru-buru mendekati meja makan. Stuart, papanya sudah duduk menyambut kedatangannya dengan senyum.

"Hai, tuan putri. Bagaimana hari mu?"

"Aku malas membahasnya, Papa," sahutnya malas. Mengambil tempat di sebelah kiri Stuart.

"Kak Hanna baru putus cinta, Pa" suara itu berhasil membuat Hanna mengangkat wajahnya. Cathy tersenyum dan duduk di sebelah Hanna.

"Apa?"

Hanna bahkan belum sempat memaki adiknya, hal yang ditakutkannya sudah muncul. Ibunya pasti tidak akan senang mendengar hal ini. Hanna akan kembali menjadi bulan-bulanan Ema, karena wanita itu pasti berpikir, putusnya Hanna dan Nico pasti karena penampilan Hanna yang buruk.

"Iya, Ma. Tadi ketemu kak Lusi. Dia cerita kalau Kak Hanna, baru putus. Pria yang selama ini memacarinya, ternyata tidak serius, alias prank!"

Sempurna! Oh... terimakasih Cathy, kau menjabarkannya dengan sangat baik. Harusnya, kau menusukkan pisau ini juga..

Pisau dalam genggaman Hanna menjadi alternatif baginya menyalurkan emosi. Hanna berharap bukan gagang pisau yang saat ini ada dalam genggamannya, namun leher jenjang Cathy!

"Benarkah itu, Han? kau ditinggalkan pria itu? mama sudah menduga. Tidak mungkin akan ada pria yang mau padamu, bertahan di sisimu, kalau penampilanmu seperti itu!" seru Ema melempar serbet ke atas meja makan.

Matanya tampak mengunci wajah Hanna yang menunduk. Bisakah siapa saja menculik Hanna dari rumah itu malam ini? dia ingin sekali menghilang agar bisa menghindari acara penghakiman malam ini.

"Darling, jangan begitu. Hanna pasti akan menemukan pria yang tepat untuknya. Jika pria itu hanya bermain-main, maka bagus berakhir saat ini. Kita tidak ingin, Hanna kecil kita akan terluka, kan?" suara Stuart yang lembut menjadi alasan Hanna tidak menjerit, menjawab omongan mamanya.

Saat ini dia korban, dikhianati oleh pria yang sudah mempermainkan hati dan perasaannya, lantas kenapa dia yang jadi disalahkan?

***

Dua hari, Hanna tidak kuliah. Hatinya belum siap untuk melihat Nico dan yang lainnya. Lagi pula, mata kuliahnya juga banyak yang libur, dosen mengampu nya sedang studi banding ke Malaysia, jadi mereka juga hanya diberi tugas lewat email.

"Sayang, bisakah kau menolong papa, ambilkan perkamen berwarna merah bata di gudang?" suara Stuart mengalihkan pandangan Hanna dari ponselnya.

Stuart sedang mengemas beberapa barang yang akan dia bawa ke tempat lelang Minggu depan, yang akan diadakan di Lyon, Prancis.

"Ok, Papa"

Setiap Stuart di rumah, maka Hanna akan memilih untuk menemani papanya bekerja di ruangan pria itu. Hanna tidak melakukan apapun, bahkan dirinya tidak tertarik dengan benda kuno, dia hanya akan diam, di salah satu sudut di ruangan itu.

Setidaknya, alasan membantu Stuart bekerja, bisa menyelamatkan Hanna dari omelan ibunya yang memintanya ikut ber zumba-ria bersama teman-teman Ema yang memang setiap sore menjadikan rumah mereka jadi studio aerobik dan zumba.

Dari tempatnya sekarang, Hanna bisa mendengar suara musik dari studio senam ibunya di dekat kolam renang. Ibunya yang memiliki tubuh bak gitar Spanyol, terobsesi menjadikan Hanna untuk tampil menarik seperti dirinya.

Sekuat tenaga Hanna mendorong pintu gudang yang ada di lantai dua rumah mereka. Ruangan yang jarang di kunjungi penghuni rumah itu, selain papanya. Penuh abu, dan menjadi tempat meletakkan berbagai jenis benda yang tidak diperlukan lagi.

Kadang Hanna berpikir, kenapa benda-benda itu tidak dibuang saja, namun papanya selalu bilang, kalau banyak barang-barang leluhur mereka yang Stuart simpan di sana.

Perkamen itu tergantung di atas rak kayu mahoni. Melihat debu yang menempel di sana saja membaut Hanna malas untuk mendekat. Namun, sebaiknya dia bergegas, jika ingin menghirup udara segar secepatnya.

Tubuh pendeknya tentu saja tidak bisa menggapai, hingga Hanna harus naik ke kursi yang ada di sana. Tepat saat ditarik sekuat tenaganya, bersama perkamen itu jatuh sebuah buku kusam. Sampulnya saja sudah tidak berbentuk. Namun, yang menarik hatinya untuk memungut buku itu adalah tulisan di atasnya. Love of my life.

Hanna awalnya ragu, namun, kegemarannya dalam membaca membuatnya mengambil buku itu.

Tepat dugaannya, itu sebuah novel. Novel jadul, entah milik siapa. Perlahan dia buka lembar pertama, ada sebuah kalimat, berupa ukiran dengan tinta hitam.

Love is a choice you make from moment to moment.

Satu senyum terbit di wajahnya. Semangatnya tiba-tiba kembali. Bagaimana tidak, dia sudah tidak memiliki uang untuk membeli novel, dan tepat saat ini dia menemukan satu. Pada lembar kedua, ada satu goresan pena lagi sebelum Hanna masuk pada bab satu.

Love is composed of a single soul inhabiting two bodies..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!