Semuanya … berawal disini. Sebuah kehidupan dimana tidak ada yang namanya manusia. Tidak ada yang normal di dunia ini. Walaupun begitu, takdir selalu saja berkata lain. Tidak ada yang pernah tahu tentang hari esok. Dan tidak ada yang tahu alasan dunia ini harus seperti ini.
Dunia bawah, dunia dimana semua makhluk selain manusia hidup. Dari mulai monster haus darah, siluman, manusia setengah hewan, dan lainnya. Tidak ada kehidupan yang normal di dunia ini. Dan … tidak ada manusia yang pernah hidup disini.
Dunia ini terbagi menjadi beberapa kawasan. Dan di kawasan terlarang ini, hiduplah seorang gadis yang menjadi takdir baru yang seharusnya tidak pernah ada.
-------------------------------------------------------------------------------------
Dunia bawah, di hutan kawasan terlarang. Terdapat sebuah pohon besar yang diatasnya terdapat sebuah rumah. Rumah itu dibuat menyatu dengan pohon besar itu, namun bentuk rumah itu masih bisa terlihat jelas. Dan di rumah itu … ada seorang gadis manusia tinggal dan hidup di dunia ini. Entah itu kebetulan atau memang takdir yang sudah berkata seperti itu. Tidak ada yang pernah tau akan hari esok, dan semuanya … dimulai dari sini.
Suasana pagi terlihat cerah. Gadis itu sedang berada di kamarnya, melihat pemandangan di luar jendela.
"Ayah! Apa aku boleh keluar?" tanya gadis berambut pendek berwarna hitam kebiruan itu sambil menoleh ke arah orang yang dipanggil 'ayah'. Sang ayah hanya tersenyum mendengar pertanyaan gadis itu.
"Kita dirumah saja ya, Afra," jawab sang ayah dengan lemah lembut pada gadis itu yang bernama Afra.
Ya, Afra Afifah namanya. Gadis cantik berumur delapan tahun dengan rambut pendek berwarna hitam kebiruan. Matanya berwarna biru tua dengan kulitnya yang putih.
Afra menghampiri ayahnya yang sedang duduk di kursi.
"Aku mohon, Ayah," pinta Afra dengan matanya yang berbinar-binar sambil memegang tangan ayahnya. Sang ayah hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Besok saja ya, Afra," jawab ayahnya sambil mengelus kepala Afra dengan lembut.
"Memangnya kenapa, Ayah? Kenapa aku tidak boleh keluar?" tanya Afra penasaran sambil menunjukkan wajah imutnya. Sang ayah hanya tersenyum mendengar pertanyaan Afra itu.
"Besok ayah ajak kamu keluar ya. Hari ini, ayah bacakan cerita saja ya, Afra," jawab sang ayah sambil membelai rambut Afra dengan lembut. Afra merasa kecewa dengan jawaban ayahnya itu.
"Kenapa ayah selalu berkata seperti itu setiap hari? Kapan ayah mengajakku keluar?" tanya Afra lagi dengan nada serius. Sang ayah hanya bisa terdiam mendengar perkataan Afra itu. Sang ayah lalu bangun dari kursi dan berjongkok agar tinggi nya sama dengan Afra.
"Maafkan ayah ya, Afra sayang," ucap sang ayah lalu mengecup kening anaknya itu, "ayah akan bawa—"
"Tidak usah!" ucap Afra dengan lirih namun tegas.
Sang ayah lalu bangun dan pergi keluar dari kamar Afra dan menutup pintu kamar nya.
Afra hanya diam melihat ayahnya pergi meninggalkan Afra sendirian di kamar … sekali lagi. Afra tak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa menurut, walaupun sudah beberapa kali Afra memohon, tetap saja jawaban sama selalu dilontarkan sang ayah. Namun, hari ini jawaban sang ayah terasa lebih menyakitkan. Walaupun sang ayah sudah mengatakan 'maaf', namun Afra merasa sangat-sangat kecewa sekali.
Tidak … seperti dirinya yang dulu, yang hanya diam dan menuruti perkataan sang ayah. Afra benar-benar sudah tak bisa menerima jawaban sang ayahnya kali ini.
"Kenapa? Memangnya apa susahnya? Aku benar-benar tak mengerti!" tanya Afra pada dirinya sendiri sambil menatap pintu kamarnya yang tak pernah ia sentuh. Air matanya seketika mengalir keluar.
Dari dulu, Afra memang tidak pernah keluar dari kamarnya karena sang ayah yang melarangnya keluar rumah ketika umurnya menginjak lima tahun. Padahal hanya dilarang keluar rumah, tapi Afra selalu berpikir jika dirinya keluar kamar, maka nanti dirinya akan berpikir untuk keluar rumah. Ayahnya lah yang akan selalu masuk ke kamar Afra ketika Afra lapar. Afra hanya keluar kamar saat dipanggil sang ayah, dan itu juga ayahnya yang membukakan pintu kamarnya. Pintu kamarnya seakan sebagai pembatas untuk dirinya agar tidak bisa keluar rumah.
Untuk meredam rasa sedih dan kecewanya, Afra akhirnya memilih untuk tidur seharian. Afra tidak tau ingin melakukan apa di hari yang cerah ini. Sekarang, kesehariannya hanya diisi dengan tidur. Tidak seperti dulu, yang selalu mendengarkan cerita dari ayahnya di ruang tengah.
---------------------------------------------------------------------------
"Ini, ada dimana?" tanya Afra pada dirinya sendiri sambil melihat sekeliling. Dirinya kini berada di tempat yang sangat aneh. Tempat itu terlihat sangat gelap. Hanya ada sedikit cahaya yang membuat Afra dapat melihat sekelilingnya.
"Ayah, kau dimana?" panggil Afra mencoba memanggil ayahnya. Afra berpikir bahwa dirinya masih berada di kamarnya, hanya saja tidak ada cahaya yang menerangi seluruh ruangan kamarnya sehingga semuanya terlihat gelap gulita.
Tap
Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari belakang Afra.
"Siapa itu?" tanya Afra berbalik ke arah belakangnya, namun tidak ada apapun dibelakangnya.
Tap
Suara langkah kaki itu terdengar lagi.
"Ayah?" panggil Afra berbalik ke sampingnya, "apa itu kau?"
Dan lagi-lagi, sama sekali tidak ada apapun yang terlihat. Hanya ada suara langkah kaki yang menggema dari arah yang berlawanan dari tempat Afra berdiri.
Tap … tap
Suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat.
"Halo?" panggil Afra langsung berbalik ke asal suara langkah kaki itu. Suara itu terdengar dari arah depannya sekarang.
Tap … tap … tap
"Ayah, tolong jangan menakuti aku," ucap Afra berpikir bahwa itu adalah ayahnya, namun suara langkah kaki itu malah terdengar semakin keras dan mendekat ke arah Afra. "Ayah, tolong ja—"
Hihihi
Tawa seseorang tiba-tiba langsung terdengar setelah suara langkah kaki itu berhenti. Suara tawa itu terdengar begitu kejam.
"Siapa itu? Tolong jangan menakuti aku!" teriak Afra tiba-tiba langsung merasakan bahwa suara langkah kaki itu bukanlah ayahnya setelah mendengar suara tawa itu.
Hihihi
Suara tawa itu seketika terdengar begitu dekat dan sangat terasa. Suara itu terdengar dari belakang Afra. Afra tiba-tiba langsung tidak bisa bergerak setelah merasakan ada seseorang yang berdiri di belakangnya dan melingkarkan tangannya di leher Afra. Orang itu lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Afra dan menghembuskan nafasnya. Afra dapat merasakan nafas orang itu yang terasa dingin dan mencekam.
"Sepertinya, kau itu … manusia, ya?"
"Ah," teriak Afra seketika langsung terbangun dari tidurnya.
"Apa itu?" tanya Afra pada dirinya sendiri sambil memegangi kepalanya, "apa tadi hanya mimpi?"
"Ah!" teriak Afra tiba-tiba merasakan kepalanya yang terasa pusing. Afra seketika melihat bayangan seseorang di dalam pikirannya, namun bayangan orang itu terlihat samar-samar, "siapa … itu?"
'Sepertinya, kau itu … manusia, ya?'
"Apa maksudnya itu?" pikir Afra berusaha mencerna pertanyaan yang dilontarkan orang di dalam mimpinya itu. Kata-kata itu terus muncul di dalam benaknya.
Dan juga, hal yang membuat Afra semakin bingung dan penasaran adalah siapa sebenarnya orang itu. Sebenarnya, ketika orang itu mengatakan pertanyaan aneh itu pada Afra, Afra tidak mengingat jelas suara orang itu. Hanya kata-katanya saja yang terus muncul di pikirannya.
Kini Afra masih duduk bersandar di ranjangnya karena masih merasa sedikit pusing. Tubuhnya juga terasa sedikit sakit dan susah untuk digerakkan.
"Apa aku, harus memberitahu ayah?" pikir Afra sambil menatap ke arah pintu kamar nya. Pintu kamarnya yang tak pernah ia buka sama sekali.
Bahkan, ia tak pernah mengingat kapan terakhir kali keluar dari kamarnya karena pintu kamar nya sendiri itu. Pintu kamarnya benar-benar dianggap sebagai pembatas baginya untuk keluar. Seperti sangkar burung yang hanya bisa dibuka dari luar dan tak bisa dibuka dari dalam, apalagi disentuh. Sangkar yang membuat dirinya tidak merasakan kebebasan.
Afra menggelengkan kepalanya. Tak mungkin dirinya untuk mengatakan hal itu pada ayahnya. Memangnya ayah akan mendengarkan ku? Kenapa aku harus memberitahukan nya? Batin Afra.
"Lebih baik aku tidur lagi saja—" gumam Afra sambil membaringkan tubuhnya di kasurnya, namun tiba-tiba saja perutnya berbunyi. Afra pun terkekeh karena sadar dirinya belum makan dari pagi.
Afra pun bangun dari kasurnya dan melihat ke arah jendela. Cahaya matahari terlihat sudah mulai terbenam. Angin sepoi-sepoi berhembus masuk ke dalam kamar Afra. Afra tak menyangka dirinya bisa tidur sampai senja tiba.
Kruuk
Perut Afra kembali berbunyi lagi. Sudah terdengar jelas bahwa dirinya sudah benar-benar lapar. Bagaimana tidak lapar? Sejak pagi saja hanya melihat pemandangan diluar kamarnya saja dan tidak mau keluar kamar. Bahkan dirinya tidak ingat apakah ayahnya sudah menawarkan diri nya untuk makan.
"Sepertinya aku harus makan sekarang," gumam Afra sambil menoleh ke arah pintu kamar nya, namun seketika pandangan Afra langsung terhenti oleh makanan yang sudah ada di meja. Meja itu berada di samping kasurnya, tepatnya disebelah kanannya sekarang.
Afra terkejut karena sebelumnya tidak ada makanan di mejanya itu. Afra lalu menghampiri dan melihat makanan yang ada di mejanya lebih dekat. Ada secarik kertas dengan tulisan disana.
" 'Afra sayang, maafkan ayah karena belum bisa mengijinkan mu untuk keluar rumah. Ayah punya alasan sendiri kenapa tidak mengijinkan mu keluar. Ini juga demi kebaikanmu, demi kebaikan kita. Namun ayah mengerti apa yang kamu mau. Besok ayah akan memberikan mu hadiah sebagai gantinya, ya? Hari ini ayah semakin khawatir karena tidurmu yang terlalu lama sehingga lupa untuk makan. Ini juga salah ayah. Ayah sudah menyiapkan makanan untuk mu di meja. Ayah berjanji akan mengijinkan mu keluar besok.
Ayah akan menjadi ayah yang baik untukmu, Afra anakku.' "
-----------------------------------------------------------------------------------------
"Ah, kenyangnya," ucap Afra membaringkan tubuhnya di kasurnya. Afra lalu melirik ke arah piring makannya yang terbuat dari kayu, atau lebih tepatnya ke secarik kertas yang ada di sebelahnya.
Afra memandangi kertas itu dengan tatapan tajam. Terus dan terus ia tatap dan perhatikan dengan seksama. Afra pun langsung melepaskan pandangannya dari kertas itu dan berbaring membelakangi piring makan dan secarik kertas yang ada di meja tempat dimana Afra selalu makan. Ya, semenjak Afra mempunyai keinginan untuk keluar rumah, Afra menjadi takut keluar kamarnya sehingga ia selalu makan di kamarnya.
Mungkin terlihat aneh jika seseorang mempunyai niat untuk mendapatkan kebebasan, namun malah memilih untuk terkurung selamanya. Karena memang itulah kenyataannya. Apa yang dipikirkan, dan apa yang dilakukan oleh Afra … memang selalu berlawanan. Baginya, jika ayahnya tidak mengijinkannya, maka … ia takkan pernah bisa melawannya. Walaupun hatinya benar-benar menginginkan raga nya tuk melakukannya.
"Apa … ayah akan menepati janjinya?" gumam Afra pada dirinya sendiri. Afra pun langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu menatap ke langit-langit kamar.
"Ah, sudahlah! Aku tidak mau memikirkan nya lagi! Aku tidak mau peduli dengan hal itu lagi!" keluh Afra dengan lantang dan kembali berbaring menghadap meja makannya, dengan pandangannya yang mengarah ke jendela kamar nya.
Matahari sudah benar-benar terbenam, dan langit malam sudah terlihat jelas di luar jendela. Tidak ada yang terlihat indah ketika malam. Hanya warna hitam gelap yang terlihat. Hanya cahaya bulan yang terlihat menyinari gelapnya malam, dan juga lampu pelita kamarnya yang cahayanya saja tidak seterang cahaya bulan itu.
Afra tiba-tiba langsung meneteskan air matanya. Walaupun dirinya merasa sedikit kesal karena ayahnya yang tak pernah mengijinkan nya keluar, namun dirinya juga merasa sedih. Entah kenapa … Afra tiba-tiba saja merasa sedih dan ingin terus menangis. Dirinya merasa seperti bersalah karena selalu mengatakan hal yang sama pada ayahnya. Hal yang tak mungkin dikabulkan ayahnya itu.
"Sudahlah, aku tidak mau memikirkan nya lagi," gumam Afra sambil menarik selimutnya sehingga menutupi seluruh tubuhnya. Air mata tetap menetes keluar dari mata Afra, walaupun ia berusaha untuk tidak menangis.
Hiks … hiks
"Kenapa … kenapa, Ayah? Kenapa aku tidak boleh keluar?" rintih Afra disela-sela tangisannya. Afra benar-benar sudah tak bisa menahan tangisannya lagi. Suara tangisannya sampai terdengar dari luar kamar.
Ya, suara tangisan Afra sudah sampai terdengar di telinga sang ayah. Sang ayah ternyata sedari tadi sedang duduk bersandar di pintu kamar Afra. Ayahnya benar-benar sudah mendengar semua perkataan Afra sebelumnya. Ayahnya hanya bisa diam saja sambil menundukkan kepalanya.
"Maafkan ayah mu ini, Afra," gumam ayahnya itu dengan lirih, "ayah akan menepati janji ayah kali ini."
Sang ayah lalu bangun dan pergi menjauh dari kamar Afra. Sang ayah tak sadar kalau ternyata Afra mendengar perkataannya itu. Suaranya masih bisa didengar Afra dengan jelas, walaupun ayahnya hanya bergumam saja.
"Terserah ayah saja!" ucap Afra dengan lirih sambil menghapus air matanya yang sudah membasahi wajahnya.
--------------------------------------------------------------------------------------
Kehidupan itu terus berjalan. Tak peduli jika nasib tak pernah berubah. Tidak ada yang tau … apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagai burung yang terkurung di dalam sangkar, dan tak pernah tau tentang dunia luar. Ia hanya bisa berkicau dan berharap … untuk bisa terbang bebas di angkasa.
Cahaya rembulan semakin terang, namun awan gelap mulai menyelimuti malam dan menutupi bintang-bintang. Suara burung hantu terdengar begitu menyeramkan. Di lain tempat, kunang-kunang terlihat berterbangan dan mengeluarkan cahayanya yang berkilau terang. Namun dibalik itu semua … selalu tersimpan rahasia yang tidak diketahui orang.
Tidak, bukan orang. Melainkan makhluk hidup yang tidak bisa disebut sebagai manusia, walaupun tubuhnya terlihat seperti manusia. Dan makhluk itu terlihat sedang berada didepan nya saat ini. Makhluk itu lalu menoleh kearahnya dan menatapnya dengan tatapan sedih.
"Dirimu … benar-benar indah." kata orang itu dengan nada lembut. Namun seketika senyuman seringai tercipta di bibirnya, "sampai-sampai aku … menginginkanmu, Afra!"
Makhluk itu terlihat sedang berada didepan nya saat ini. Makhluk itu lalu menoleh kearahnya dan menatapnya dengan tatapan sedih.
"Dirimu … benar-benar indah." kata orang itu dengan nada lembut. Namun seketika senyuman kejam tercipta di bibirnya, "sampai-sampai aku … menginginkanmu, Afra!"
"Aah!" teriak Afra seketika terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah. Bayang-bayang makhluk itu masih terlihat di pikiran Afra.
Makhluk itu terlihat sangat jelas dipikiran Afra. Makhluk yang mirip sekali seperti manusia, namun kukunya terlihat panjang dan lancip. Dan juga, darah yang membasahi tempat makhluk itu berdiri … semuanya benar-benar terlihat jelas. Hanya ada satu yang masih belum bisa diingat oleh Afra dari makhluk itu. Suaranya, dan juga … wajahnya.
"Apa … itu?" ucap Afra dengan nafasnya yang masih terengah-engah.
Tiba-tiba, jantung Afra berdetak kencang. Kepalanya pun terasa sakit, sama seperti sebelumnya sewaktu mimpi anehnya yang pertama. Hanya saja, kali ini Afra merasakan dirinya— tidak, nafasnya seperti mulai menghilang. Setiap kali Afra berusaha untuk bernafas, nafasnya selalu menghilang setelah ia menghembuskan nya. Atau lebih tepatnya, Afra seperti tidak bisa mengambil nafas lagi setelah ia menghembuskan nafasnya.
"Aah!" teriak Afra kesakitan. Kedua tangannya ia letakkan di dahinya. Matanya pun ikut tertutupi oleh tangannya.
Walau begitu, rasa sakit itu masih tetap terasa. Tidak berkurang dan tidak menambah. Hanya saja, yang membuatnya terasa menyakitkan adalah … bayangan makhluk itu yang masih terlihat jelas di ingatan Afra.
Krek
Suara pintu kamar Afra yang terbuka. Dapat terlihat sang ayah yang berdiri di depan pintu itu. Raut wajahnya terlihat panik dan khawatir, namun Afra tak menyadari kehadiran ayahnya itu.
"Afra! Apa yang terjadi pada mu?" tanya sang ayah sambil menghampiri Afra yang masih duduk di kasur dengan kakinya yang diselimuti oleh selimut.
Ayahnya memang biasa memanggil Afra dengan namanya. Entah apa itu alasannya.
Afra masih memegangi dahi dan menutupi matanya dengan kedua tangannya, "aah!" teriaknya kesakitan.
Sang ayah pun duduk di kasur lalu memegang tangan Afra dan meletakkannya di dahinya. Afra pun seketika terkejut melihat ayahnya yang menggenggam kedua tangan nya dan menempelkannya di dahinya.
"A–Ayah…," panggil Afra dengan suaranya yang mulai menghilang.
"Afra!" jawab ayahnya sambil memeluk tubuh Afra dengan berlinang air mata.
Afra pun mulai merasakan rasa sakitnya yang menghilang setelah sang ayah memeluk tubuhnya. Hanya saja, bayangan makhluk itu masih terbayang-bayang di dalam benaknya.
Sang ayah lalu melepaskan pelukannya.
"Apa kau baik-baik saja, Afra?" tanya sang ayah khawatir.
Afra hanya diam dan menatap kosong mata ayahnya itu.
"Aku … baik-baik saja, Ayah," jawab Afra dengan suara lirih dan tersenyum manis.
Aku tidak bisa— tidak, aku tidak boleh memberitahukan nya pada ayah. Lagipula, ayah tidak akan pernah mengerti apa yang aku mau. Apalagi dengan yang ku katakan! Batin Afra.
Sang ayah lalu memegang kepala Afra dan mengelus-elus rambut nya, "maafkan ayah ya, Afra. Ayah tidak bisa—"
"Ayah tidak perlu minta maaf! Ayah hanya harus menepati janji ayah!" potong Afra dengan nada tinggi.
Itu juga jika ayah benar-benar bisa menepatinya, batin Afra lagi.
Sang ayah benar-benar terkejut melihat sikap Afra itu, namun raut wajahnya masih terlihat khawatir. Ia pun menurunkan tangannya yang memegang kepala Afra.
"Ayah juga sebenarnya ingin mengajakmu keluar, Afra! Tapi …" kata sang ayah serius "jika kamu—"
"Aku benar-benar baik-baik saja, Ayah!" potong Afra lagi dengan suaranya yang semakin tinggi, "sudahlah, aku tidak mau peduli lagi!"
Sang ayah hanya bisa menundukkan kepalanya mendengar bentakan Afra itu dan melihatnya kembali berbaring di kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Ayah hanya ingin bilang … jika kamu tidak keluar kamar dan bersiap-siap, ayah tidak akan membawa mu keluar, Afra!" kata sang ayah dengan nada lembut.
Afra terkejut mendengar perkataan ayahnya itu dan langsung bangun dari kasurnya, "apa benar, Ayah? Aku boleh keluar?"
"Iya, Afra. Ayah akan mengajakmu keluar, sesuai dengan janji ayah padamu sebelumnya," jawab sang ayah dengan tulus.
Afra pun tersenyum senang mendengar jawaban ayahnya itu lalu memeluk sang ayah dengan erat, "terimakasih, Ayah!"
Sang ayah tersenyum melihat Afra yang kembali ceria. Sepertinya pilihannya kali ini benar-benar tepat. Dirinya tidak bisa membiarkan anaknya sendiri, Afra berada di dalam rumah dan selalu mengurung diri di kamar.
"Kalau begitu, ayah akan menunggumu di ruang tengah ya," kata sang ayah sambil mengelus kepala Afra.
Afra pun melepaskan pelukannya, "ya! Aku akan bersiap-siap untuk pergi keluar, Ayah!"
Sang ayah pun beranjak dari kasur dan pergi keluar dari kamar Afra. Sedangkan Afra masih duduk di kasur dan melihat keluar jendela kamarnya. Pemandangan pohon-pohon dan angin sepoi-sepoi yang sebentar lagi akan ia rasakan. Afra benar-benar sangat senang sekali.
"Yeay! Aku akan pergi keluar!" ucap Afra dengan senang.
-------------------------------------------
Di setiap kesedihan, akan ada kesenangan. Hanya perlu menunggu dan tidak melanggar aturan. Walaupun terasa berat dan menyakitkan, namun burung yang dibebaskan dari sangkarnya pasti akan senang. Harapannya yang tidak pernah didengar itu akhirnya dapat terwujud.
Afra pun langsung bersiap-siap untuk pergi keluar. Setelah mandi dan mengganti pakaiannya, Afra pun menemui sang ayah yang sedang menunggunya di ruang tengah.
"Ayah!" panggil Afra menghampiri ayahnya yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
Sang ayah tersenyum melihat Afra yang benar-benar bersemangat untuk pergi keluar. Penampilan Afra sekarang benar-benar berbeda dengan Afra yang sebelumnya ketika masih mengurung diri di kamar. Bukan karena Afra sekarang mengenakan gaun berwarna putih, namun karena raut wajahnya yang tampak ceria dan benar-benar senang. Berbeda dengan sebelumnya yang selalu terlihat cemberut dan tak berekspresi sama sekali.
"Ayo, kita pergi melihat dunia luar!" kata sang ayah sambil bangun dari sofa.
"Ya," jawab Afra dengan riang.
Sang ayah pun berjalan menuju pintu masuk rumah diikuti dengan Afra yang berjalan dibelakangnya. Sang ayah lalu membuka pintunya. Cahaya matahari pun terlihat masuk setelah pintunya dibuka. Afra pun takjub dan merasa senang sekali setelah melihat dunia luar yang sebelumnya hanya bisa ia lihat dari jendela kamarnya. Pohon-pohon rindang, udara yang terasa sejuk dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus. Afra tak menyangka bahwa diluar benar-benar sangat luas dan indah.
"Ayo!" kata sang ayah sambil berjalan keluar dan menuruni tangga. Afra sedikit terkejut melihat ada tangga menuju ke bawah.
Afra selama ini tak menyangka kalau rumahnya adalah rumah pohon, atau lebih tepatnya ia tidak tau apapun tentang rumahnya. Apalagi tentang tangga memutar yang menyatu dengan batang pohon besar tempat rumahnya berada.
"Apa kamu mau ayah gendong, Afra?" tanya sang ayah sambil mengulurkan tangannya. Ya, sebenarnya Afra hanya perlu berjalan menuruni tangga saja dan tak perlu berpegangan layaknya tangga yang terbuat dari tali. Namun Afra merasa sedikit takut.
"Ti–tidak usah, Ayah! Aku bisa sendiri!" jawab Afra berusaha untuk tetap tenang dan tidak takut.
Afra pun melangkahkan kakinya ke anak tangga yang pertama, lalu yang kedua, dan yang ketiga.
Ternyata … ini menyenangkan, batin Afra.
Afra pun mulai melangkahkan kakinya menuruni setiap anak tangga dengan percaya diri dan mendahului sang ayah. Sang ayah tersenyum melihat Afra yang benar-benar senang dan kembali ceria itu, "ini memang pilihan yang terbaik untuknya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!