Mereka biasa memanggilku Aisyah, nama itu pemberian bapak. kata bapak Aisyah itu istri Rasulullah SAW dan sekaligus menjadi istri termuda Rasulullah SAW. kata bapak aku harus sepintar ibunda Aisyah walau wajahku jauh dengan wajah ibunda Aisyah tapi setidaknya aku harus segigih ibunda Aisyah dalam setiap perjuangan. Walaupun aku hanya seorang gadis berusia 20 tahun yang lahir di salah satu kota kecil di jawa tengah tepatnya di Klaten.
Aku wanita yang ditakdirkan tidak mencari jodohnya sendiri. Aku tinggal menuruti apa yang dipinta bapak. Aku tidak bisa menentang, karena aku sadar itu hanya akan memperburuk keadaan. Bapak termasuk orang yang sangat dipercaya di kampung ini, dan kegiatan bapak suka mengisi tausiyah ke rumah-rumah orang kaya di perumahan elite sebelah kampungku.
Dulunya wilayah itu adalah pesawahan yang asri tempatku bermain. Tapi kini tempat itu jadi tempat bersemayamnya orang-orang kaya setelah pak Juanda menjual seluruh sawahnya kepada juragan tanah. Orang-orang kaya yang memiliki banyak rumah itu memilih salah satu rumahnya di lokasi ini. Itu karena disini masih memiliki udara yang sejuk dan jauh dari keramaian. Orang-orang kaya itu hanya mendatangi rumah itu seminggu sekali atau kadang sebulan sekali atau bahkan rumah yang sangat besar itu hanya ditempati oleh pembantu itu sebabnya perumahan orang-orang kaya itu selalu sepi beda dengan di kampung ini yang sehari-harinya selalu ramai oleh orang-orang yang mengais rezeki dan anak-anak bermain.
Sekarang diantara kami terhalang benteng besar , dulu wilayah itu bebas ku jelajahi tapi kini tak bisa ku sentuh sama sekali. Tapi beda dengan bapak, bapak bebas keluar masuk perumahan elite itu. karena bapak jadi guru mengaji salah satu penghuni rumah besar itu.
Sudah tiga tahun bapak mengajar ngaji di perumahan itu, kata bapak beliau mengajar bapak Handi Mitra Sasmita. Beliau katanya pemilik salah satu stasiun televisi ternama. Rumah yang sebenarnya di Jakarta, tapi dia selalu menyempatkan diri untuk kesini katanya agar ia mendapatkan udara sejuk.
Tibalah hari itu, dimana bapak mengabarkan bahwa pak Handi memintaku untuk menikah dengan anaknya. Mataku seketika berkunang dan nafasku pun terasa sesak sulit sekali menghirup udara. Aku tau tidak ada yang bisa ku lakukan maka dari itu aku hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi
Alasannya adalah, pak Handi ingin keluarganya menjadi lebih baik. Dia tak memandang bapak yang seorang peternak dan menyambi mengajar ngaji. Yang beliau tahu bapak adalah guru terhebatnya, yang mampu membuat beliau berubah lebih baik. Dan beliau berharap jika beliau menikahkan aku dengan anaknya, maka itu dapat merubah gaya hidup anak-anaknya yang dibilang cukup jauh dari agama.
Pak Handi pernah berada diambang kehancuran yang membuatnya stress dan hampir bunuh diri. Tetapi dia merasa mendapat nafas baru ketika mendengar lantunan Adzan yang terdengar dari kampung kami. Asisten beliau datang mencari siapa yang melantunkan Adzan tadi. Dan ternyata bapak lah yang melantunkan adzan. Dari sanalah bapak dipinta Asistennya untuk ke rumah pa Handi, dan banyak yang terjadi.
Kala itu salah satu perusahaan pak Handi di Kalimantan yang bergerak di bidang perminyakan mengalami musibah, salah satu pipa besar bocor dan membuat seisi kampung terendam minyak. Kurang lebih 10 ribu warga terkena imbasnya. Rumah mereka terendam minyak dan kehilangan tempat tinggal. Kampung itu pun menjadi hilang berganti lautan minyak dan lumpur.
Pak Handi sangat stress dengan keadaan itu, walaupun dia orang yang kaya raya seperti yang aku lihat selama ini di televisi. Keluarganya selalu bergaya hidup glamor, untuk satu tas saja mereka membelinya dengan harga satu milyar. Tapi ternyata pemilik dari semua perusahaan itu sedang mengalami pergulatan batin yang hebat. Sehingga dia membeli rumah yang jauh dari keramaian dan lebih memilih tinggal di daerah ini.
Setelah bapak datang ke rumahnya, bapak disuruh untuk melantunkan adzan dan ternyata itu dapat membuat pak Handi tenang. Yang asalnya sering mengamuk dan menyiksa diri sendiri setelah mendengar lantunan adzan yang bapak bawakan dia menjadi diam dan menangis lalu seketika memeluk bapak. Dan meminta saran apa yang harus dia lakukan.
Bapak pun bertanya apa yang terjadi? Lalu pak Handi menceritakan tentang minyak yang bocor itu dan efeknya. Pak Handi benar-benar meminta saran pada bapak tentang solusi dari semua itu. Bapak menyarankan agar beliau bertanggung jawab atas semua yang terjadi karena jika tidak maka nanti di akhirat kelaklah pertanggung jawaban itu akan ditunaikan. Bapak pun membacakan beberapa ayat al Qur'an dan hadits yang membuat pak Handi semakin yakin.
Pak Handi tentu sudah memikirkan itu dan efek dari dia bertanggung jawab adalah dia kehilangan sebagian kekayaannya. Bapak menjelaskan tentang asal usul kekayaan yang kita miliki dan pak Handi pun tertegun. Lama dia berpikir dan akhirnya dia mengambil keputusan bahwa dia akan bertanggung jawab.
Setengah dari kekayaannya dipakai untuk membeli lahan dan membuat perumahan yang diisi oleh korban-korban bocornya minyak tersebut. Kasus ini pun dinyatakan damai di pengadilan, karena ada pertanggung jawaban.
Pak Handi pun berangsur membaik, perusahaannya yang tadinya diambang kehancuran menjadi berkembang ke arah yang lebih baik. Stasiun televisi yang dia miliki pun selalu mendapatkan rating yang tinggi.
Pak Handi tidak membiarkan bapak pergi begitu saja, pak Handi meminta bapak menjadi guru spiritualnya dan mengajarinya mengaji. Kini sudah tiga tahun bapak bolak balik setiap seminggu sekali ke rumah pak Handi.
Berita itu bapak bawa setelah bapak pulang dari rumah pak Handi, berita yang entah membuatku senang karena aku akan menikahi salah satu orang terkaya di Indonesia atau berita sedih karena aku tidak tau pria seperti apa yang akan aku nikahi.
“ Ada yang lamar kamu ndo, anaknya pak Handi yang kedua. Pak Handi mohon-mohon sama bapak agar menjodohkan kamu dengan anaknya. Bapak sudah bilang bapak serahkan saja sama kamu. Tapi pak Handi keukeuh ” Ucap bapak kala itu.
bersambung............
Aku yang sedang membaca buku pun tersentak kaget, aku menggigit bibir bawahku dan mencoba menetralisir degup jantungku. Ku tau hubungan apa yang dijalin antara pak Handi dan bapak. Dan jika bapak menolak maka itu akan membuat hubungan mereka menjadi canggung. Apalagi pak Handi sudah memohon sama bapak. Pak Handi yang memberikan hewan-hewan ternak ini sama bapak, sehingga bapak bisa menguliahkan aku dan adik. Aku dan adik tak bisa menyela apa yang bapak katakan, Bukan karena bapak galak tapi karena Kharisma yang bapak miliki sehingga aku tak mampu untuk memandang mata bapak.
“ Eumh…siapa pak? Anaknya yang mana?” Jawabku
“ Anaknya yang kedua ndo, itu lho yang jadi direktur utama program TV yang sering banyak sinetron-sinetron pendek.” Ucap bapak kemudian
Yang aku tahu pak Handi pemilik Televisitwo, dan yang jadi direktur utama nya adalah anaknya yang kedua. Aku gak tau namanya tapi nanti aku coba buka Google untuk cari tau.
“ Aisyah serahkan sama bapak saja.” Jawabku kemudian
Tiba-tiba ibu datang dan menanyakan apa yang sedang kami bahas. Bapak menceritakan pada ibu dan ibu menghampiriku. Ibu mengusap lembut punggungku sambil berkata..
“ Ndo, istikhoroh saja ya. Minggu depan bapak kembali ke rumah pak Handi, kamu istikhoroh saja dulu minta sama gusti Allah supaya diberikan jawaban yang terbaik.” Ucap ibu lembut.
“ Nggih bu, Aisyah coba istikhoroh dulu supaya mendapat jawaban yang terbaik.” Jawabku sambil menutup buku dan menuju kamarku
Disini aku merasa bingung, aku tak tau apa yang harus aku rasakan. Menjadi istri seorang direktur utama stasiun televisi bukanlah hal yang buruk, tapi dijodohkan dengannya yang aku tak tahu siapa dia bagaimana nantinya? Apakah akan berjalan biasa saja? Atau akan ada kejadian yang tidak terduga? Aku takut membayangkan yang akan terjadi nanti. Tapi siapa tau itu hanya ketakutanku saja, siapa tau takdir baik berada di pihakku.
Tapi bagaimana dengan mas Fauzan? Dia selalu menungguku walau aku tak pernah membalas perasaannya. Dalam diam aku memperhatikannya, membayangkan wajahnya dan senyuman yang selalu mengembang dari wajahnya. Perhatian yang dia tunjukan setiap hari di kampus membuatku sedikit luluh, walau aku tak pernah mengatakannya.
Ah ada apa dengan aku ini, aku harus netral memilih diantara mereka. Mulai malam ini aku akan istikhoroh supaya mendapatkan yang terbaik. Akan ku adukan semua ketakutanku padaNya, semua resah gelisah yang aku rasakan.
Pagi aku aku banging dalam keadaan yang sangat segar, aku merasa hatiku berbunga. Setelah menjalani istikhoroh selama lima malam. Aku merasa hatiku semakin condong pada laki-laki yang disebutkan bapak. Baiklah akan ku mulai nafas baru, akan ku terima pinangannya dan berjanji akan hidup bahagia.
…………
Tibalah hari itu, dimana aku dan laki-laki yang akan menikahiku bertemu. Kami tak saling bertatap mata atau bahkan menyapa. Kami terdiam sejenak lalu larut dalam kecanggungan kami sendiri, ahh ku Tarik nafas perlahan kemudian mengeluarkannya dengan lembut. Berharap cara itu mampu menetralisir keadaan degup jantungku.
“ Nak Aisyah, ini anaknya Om yang kedua namanya putra Handika. Yang akan menjadi suamimu 3 hari lagi. Kalian pasti belum saling mengenal” Ucap pa Handi ketika pertemuan keluarga
Aku hanya tertunduk dan tersenyum pada pak Handi sungguh aku gugup canggung dengan keadaan ini.
“ Hai, kenalin Putra?” Tanya laki-laki itu seraya menyodorkan tangannya padaku
Aku yang sedang berkutat dengan pikiran-pikiranku pun berdiri kemudian mengatupkan tanganku di depan dada. Yang seraya mengundang semua anggota keluarga tertawa.
“ Hahahah, Putra dia itu perempuan yang tidak sembarangan disentuh oleh yang bukan mahromnya. Nanti kalo kamu sudah menikahinya baru dia bisa dimiliki. Kalo sekarang dia masih disegel.” Ucap pa Handi seraya tertawa.
Aku tak tau gimana raut wajah laki-laki itu, karena kepala ku terasa berat untuk diangkat. Aku selalu menunduk seolah beban kepalaku lebih berat dari badanku.
Sejak itu, bapak sibuk mempersiapkan pernikahanku. Karena pernikahan akan digelar dua kali, yaitu satu kali di rumah bapak sekalian akad agar bapak dapat mengundang teman-teman di kampung. Dan resepsi akan digelar di keluarga pak Handi.
tiga hari telah berlalu dan kini waktunya aku memakai gaun putih dengan cela di mata. Aku yang sama sekali tidak pernah memakai bedak kini berbalutkan make up dan riasan. Orang-orang bilang aku sangat berbeda sekali, aku seperti bidadari yang turun dari langit itu kata adikku Fatima.
Aku harus bahagia, kini aku serahkan seluruh hidupku pada yang mejadi suamiku. Aku harus jadi makmum yang baik untuknya. Mencintainya, menyayanginya dan menerima seluruh kekurangannya. Dan janjiku untuk pernikahan ini adalah aku wajib bahagia.
Aku masih berada di kamar saat ku dengar pihak laki-laki datang, ku dengar mereka berbicara dan tertawa hingga pada akhirnya aku mendengar suara bapak mengucapkan:
“ Ananda Putra Handika Bin Handika Satya Purnama Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Aisyah Latifah Binti Saefullah Haruman dengan maskawinnya berupa berlian 100 gram dan seperangkat alat sholat , tunai.” Ucap bapak lantang yang membuat dadaku bergemuruh hebat. Lalu disusul oleh ucapan laki-laki itu yang membuat aku semakin tak karuan dan berhasil melelehkan bulir bening ini.
“ Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah Latifah Binti Saefullah Haruman dengan maskawin 100 gram berlian dan seperangkat alat sholat tunai.” Ucapnya tak kalah lantang dari bapak.
Air mataku tak bisa tertahan, ia jatuh begitu saja. Aku harus bahagia itu yang terus ku sebutkan disudut bibirku. Aku tak pernah meminta apapun, bahkan disaat aku ingin berkuliah aku sama sekali tak menyebutkannya pada bapak. Tapi Allah dengan mudah memberi jalan padaku dan adik untuk bisa berkuliah. Dan kini aku meminta dengan gamblang padaMu ya Rabb agar aku bahagia.
Aku pun diminta untuk keluar dan menemui laki-laki yang telah menjadi suamiku. Aku digandeng ibu dan adikku lalu duduk di depan suamiku. Aku disuruh mencium tangannya kemudian kamera pun banyak mengarah pada kami.
Ya, sangat canggung sekali. Ketika aku seorang gadis yang tidak pernah bersentuhan dengan lawan jenis harus mencium punggung tangan seorang laki-laki yang bahkan baru ku lihat sekali.
Acara pun berlangsung, tamu-tamu berdatangan. Termasuk teman-teman dekat pa Handi. Ku lihat ada artis yang sering jadi pemeran utama di sinetron televisinya pa Handi dia Tamara latisya . Dia datang dan mencium pipi kiri dan kanan serta memeluk mas putra. Aku merasa risih, tapi sepertinya aku harus biasa karena mungkin itu sudah jadi kebiasaan para artis dan teman-temannya. Acara ini memang diatur untuk saudara dan kerabat saja. Acara ini pun tertutup dari media, karena untuk menjaga kesakralannya. Untuk acara resepsi yang akan dilaksanakan sebulan dari sekarang itu akan dibuka ke media dan mengundang lebih banyak tamu.
Acara pun selesai, ku lihat dua keluarga besar berkumpul dan ngobrol. Aku masih di kamar berganti baju, ku lihat mas Putra sedang sibuk dengan handphonenya. Ketika ibunya bu Sulastri bertanya dia menjawab bahwa dia sedang sibuk karena ada kerjaan yang bermasalah. Aku hanya bisa mengamati dari balik pintu. Aku belum berani menyapa, apalagi dia juga tidak menyapa.
Keluarga pak Handi pamit dan aku pun yang dari tadi sudah membenahi barang-barangku harus rela berpisah dengan ibu. Aku berpamitan pada ibu, ku peluk erat ibu dan bapak dengan derai air mata. Serasa ada yang menusuk di hati ini. Aku tak pernah jauh dari bapak dan ibu, dan kini aku pergi meinggalkan mereka dengan laki-laki yang tak pernah ku kenal sebelumnya.
Aku melaju menuju Jakarta, karena mas Putra ingin hidup terpisah dengan keluarga katanya agar kami mandiri. Dengan kecepatan tinggi mas Putra mengendarai mobilnya. Aku yang dari tadi ketakutan hanya bisa berpegang erat pada pegangan mobil.
Tak ada kata hanya hening tercipta, tak ada tatapan atau lirikan. Sepi dan sunyi, aku paham mungkin saja mas putra canggung. Secara kami hanya bertemu satu kali dan ini pertemuan kedua kami.
bersambung.................
Tibalah kami disebuah apartemen mewah, apartemen ini bersih dan indah. Pemandangan sekitarnya pun sangat unik, aku melihat mas Putra menekan angka 18 di lift ini. Berarti aku menuju lantai 18, apartemennya berada di lantai 18. Kami pun memasuki apartemen dan ku lihat tempat tinggal yang nyaman. Semua fasilitas ada disini dari alat olah raga yang lengkap hingga furniture yang bagus.
Diapun membawa koperku ke sebuah kamar, mungkin itu yang akan jadi kamar kita berdua. Aku mengikutinya dengan hati-hati, dan menyimpan barang-barangku yang lain.
“ Silahkan istirahat duluan aku mandi dulu.” Ucapnya
Akupun merapihkan barang-barangku dan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Ku siram semua rasa lelah ini, segar sekali badan ini setelah seharian berdiri dan menyalami tamu-tamu. Setelah beres ku pakai baju yang terbaik, ku wangikan diri dan sedikit memberi riasan pada wajahku yang jarang sekali terkena lipstick ini. Aku masih ingat waktu ada pengajian di kampus katanya membahagiakan suami dapat mendatangkan banyak pahala.
Ku sisir rambut basahku, ku oleskan lipstick merah muda dan sedikit bedak. Parfum yang baru ku beli menjadi andalan agar aku tercium menyenangkan di hadapan suamiku. Malam ini aku akan menyerahkan semuanya pada suamiku, aku telah menjadi istri dan harus melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
Walau dada ini terus berdebar, aku hanya bisa pasrah bahwa aku akan melakukannya dengan seorang laki-laki yang baru saja ku kenal. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik, ku buka handphone ku dan ku ketik cara-cara menjalani malam pertama. Ini pertama kalinya aku melakukan ini, dadaku terus berdebar, ku baca paragraf demi paragraf dengan desiran di dada dan ludah yang naik turun ku telan.
Aku tidak mau mengecewakan suamiku, karena kegagapanku dalam melakukannya. Aku harus bisa mmembuat dia bahagia. Setelah beres ku baca artikel aku pun merasa siap dan menunggu kedatangannnya ke kamar. Setelah dua jam menunggu dan waktu menunjukan pukul 12.00 dia tak kunjung datang, mungkin saja dia sedang membenahi diri atau masih belum beres mandi atau mengerjakan pekerjaan yang tertunda.
Aku jadi tidak enak, aku pun keluar kamar dan mencoba mencarinya perlahan. Tapi nihil, tak kutemukan dia. Aku kembali ke kamarku dan mencoba memejamkan mata walau sulit terasa. Ah mungkin saja dia gugup sepertiku. Jadi dia tidur di kamar lain, pikirku.
……………..
Waktu menunjukan pukul 04.00 pagi, saatnya aku bangun. Aku menuju kamar mandi dan berwudhu lalu sholat tahajud dan diakhiri sholat subuh. Setelah sholat subuh aku pun mengaji 1 juz dan menuju dapur. Itu adalah kebiasaanku di rumah. Aku harus bangun jam 04.00 pagi kemudian aku sholat tahajud dan setelah sholat subuh aku mengaji lalu membantu ibu memasak.
Ku lihat keadaan rumah sepi, tidak ada siapa-siapa, masih menggunakan mukena ku coba mencari bahan-bahan untuk memasak. Dan ternyata di kulkas penuh oleh sayuran dan daging, aku pun memasak soto daging. Setelah siap aku pun membaca buku di depan televisi, membaca buku-buku kuliahku. dua minggu lagi libur semester berakhir, aku harus belajar dengan giat.
“ Cekrek,” Ku dengar suara pintu dibuka, dan ternyata itu mas Putra. Semalam ternyata dia tidak ada di rumah. Aku berusaha tenang, dan bersikap biasa.
“ Sarapan dulu mas,” Sapaku ketika ku lihat dia menyimpan sepatunya di rak sepatu samping pintu.
“ Ya, terima kasih aku mandi dulu.” Jawabnya datar.
Aku yang resah gelisah masih mencoba menetralisir keadaan, aku mencoba tenang dan tetap bernafas seperti biasa. Walau gemuruh di dadaku berkata lain, aku merasa sikapnya bukanlah sikap gugup tapi lebih ke cuek. Dan ini di hari pertama pengantin kami, aku harus melihat suamiku tidak menemaniku di malam pengantinku. Ahh hembuskan nafas Aisyah dan beristigfar, mungkin saja dia ada pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan. Ketika mau bilang sama aku, akunya lagi di kamar mandi. Mungkin saja itu yang terjadi.
Ku lihat dia menuju meja makan dan aku pun menghampirinya, aku sendokan nasi dan menyiapkan soto ke mangkuk. Aku masih melihat dia sibuk dengan handphonenya, tidak melihat sedikitpun ke arahku.
“ Ini mas,” Ucapku sambil menyodorkan nasi.
“ Lain kali kamu tidak usah masak dan beberes rumah, nanti jam tujuh akan ada mba Narti yang membereskan rumah dan membuat makanan." Ucapnya dengan Hnadphone tetap di tangan
“ Gak apa-apa mas, aku sudah terbiasa masak sama beberes kok di rumah.” Jawabku sambil menyendokan nasi ke piringku.
“ Baiklah kalo itu tidak membuatmu repot.” Jawabnya sambil meletakan handphonenya dan mengambil sendok yang telah ku siapakan.
Kami pun makan tanpa suara, hening sepi tanpa obrolan. Padahal kami suami istri yang baru saja menikah dan keadaan ini membuatku merasa canggung. Aku tidak tau apa yang harus ku lakukan, atau mungkin aku salah tapi apa yang salah? bahkan aku hanya bertemu dia 2 kali yaitu saat pertemuan dengan keluarga dan pernikahan.
Aku masih mengenakan jilbab, aku tidak tau apa aku berani membuka jilbab dihadapan dia. Aku juga tidak tau apa yang ada di pikirannya. Aku benar-benar bingung, aku tidak tau apa yang harus ku lakukan. Dia masih asyik sarapan, memakai baju olah raga. Dua minggu ini dia cuti, aku tidak tau bagaimana selanjutnya.
“ Mau dibikinin jus mas?” Tanyaku untuk mencairkan suasana.
“ Nanti bikin sendiri.” Jawabnya singkat.
Aku pun kembali pada sofa dan kembali membaca buku, aku bingung harus bagaimana. Apa aku yang salah? Apa memang ini kebiasaan orang-orang kaya. Baru satu malam disini tapi rasanya sudah seperti sebulan.
“ Nanti sore kita ke rumah papa yang di Jakarta.” Ucapnya tanpa melirik ke arahku.
“ Sore ini mas? Aku siap-siap dulu.” Jawabku terperanjat, aku kaget karena belum menyiapkan apa-apa untuk dibawa ke rumah bapak mertua.
“ Nanti sore perginya, tak usah siap-siap dari sekarang” Ucapnya dengan masih tidak melirik ke arahku sedetikpun.
“ Aku mau bikin jenang mas, buat oleh-oleh. Kan malu kalo mengunjungi tapi ga bawa apa-apa ” Jawabku
“ Terserah,” Jawabnya
“ Mas, apa aku melakukan kesalahan?” Tanyaku sambil berdiri di hadapannya
Dia terdiam, meletakan handphonenya dan menatapku.
“ Apa kamu mau aku bicara jujur?” Tanyanya
“ Jujur saja, aku tidak apa-apa.” Jawabku
“ Aku menentang perjodohan ini, tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Aku tau papa tidak mungkin bisa ditentang, apalagi mengingat kejadian waktu papa terkena stress. Aku takut itu terulang, dan aku akan merasa sangat bersalah.” Ucapnya dengan mata tertunduk, lalu bagaimana dengan aku? Jangan ditanya masalah hati yang remuk redam, hancur berkeping-keping tiada bersisa.
“ Maaf, jika aku menghancurkan semuanya. Tapi aku punya cinta yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja. Aku mencintainya dan dia mencintaiku, itu adalah sejatinya cinta. Jadi aku mohon kamu mengerti.” Ucapnya lagi
Aku menarik nafas panjang, mencoba menetralisir keadaan. Aku mencoba tegar ditengah kekalutan hati ini. Aku mencoba tak terlihat rapuh, Karena janjiku bahwa pernikahan ini akan membuatku bahagia.
“ Lalu aku harus bagaimana?” Tanyaku dengan genangan air mata yang tak ingin ku tumpahkan.
“ Aku bingung, papa menginginkan kamu. Dan itu tidak bisa kutolak.” Jawabnya dengan wajah frustasi.
“ Aku akan lakukan, apa yang kamu inginkan.” Jawabku dengan tarikan nafas.
“ Aku hanya ingin kamu bisa menjadi istriku hanya di depan papa. Dan selain itu silahkan jalani hidupmu sendiri, kamu bebas mau berbuat apa saja.” Jawabnya
“ Baiklah,” Jawabku tanpa terlihat aku harus berpikir dulu.
“ Dan satu lagi, jangan menungguku karena kita tidur di kamar yang berbeda.” Ucapnya sambil berdiri dan pergi ke ruang olah raga.
Jangan ditanya masalah hati ini, dia sudah jatuh dan kemudian terinjak. Aku tak punya daya dan kekuatan untuk berkata bahwa aku juga berhak bahagia. Kata demi kata yang dia ucapkan sangat menusuk jantungku hingga kedalaman terakhir. Apa aku masih pada tujuan pernikahan ini? Bahwa aku wajib bahagia?
bersambung............
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!