Brak!
Belum sempat Mayang menyeka keringat dan mengambil napas, dentaman daun pintu mobil berwarna putih itu kembali mengoyak perasaan, sehingga membuat Mayang meringis dan memejamkan mata. Sudah biasa dia mendapatkan perlakuan kasar, tetapi rasanya akhir-akhir ini, hatinya tak lagi mampu menolerir setiap perbuatan kejam ibu mertuanya.
Sekelip kesadaran mulai menghinggapi dirinya. Mayang merasa tidak pantas mendapat perlakuan hina dan direndahkan terus-terusan seperti ini.
"Mau sampai kapan kamu berdiri kaya patung semar kekenyangan seperti itu, ha?" Bentakan Marini—ibu mertua Mayang dari depan pintu rumah, membuat Mayang membuka mata cepat-cepat. Lalu tanpa memandang Marini yang sudah bisa ia tebak bagaimana ekspresinya, Mayang berjalan dengan cepat untuk membuka pintu rumah untuk sang Ibu mertua.
"Semar aja masih sedikit percaya diri ... meski perutnya besar, setidaknya dia berguna. Ngga kaya—"
"Jangan dibentak, Mayangnya, Buk ... kasihan. Dia sudah cukup sakit mendengar omongan sodara-sodara kita tadi," ucap Ferdi yang juga ikut turun demi menyelamatkan istrinya dari kemarahan sang ibu.
Ferdi membantu Mayang membuka kunci rumah, Mayang tampak kesusahan mungkin karena dia terlalu gugup. Ketika Ferdi—sang suami, selalu membelanya, Mayang merasa terlindungi. Hanya itu yang mampu menghibur hati Mayang, hanya kata-kata lembut penuh kasih sayang dari Ferdi yang mampu membuatnya bertahan. Sampai detik ini.
"Bersyukur aku punya kamu, Mas," batin Mayang.
Marini terdengar berdecak, "Sodara Ibuk itu ngomongnya bener, bukan menyakiti siapa-siapa! lagian bener kan? kalau istri kamu ini mandul, rahimnya kebalut lemak. Buntet! makanya susah hamil!" kata wanita enam puluh tahunan yang masih enerjik itu ketus dan keji. Setidaknya, soal mandul itulah yang menjadi topik bahasan adik-adik Marini di acara tadi.
Ferdi sejenak menatap tajam ibunya, mungkin ia merasa kalau perkataan ibunya tidaklah layak diucapkan oleh seseorang yang bergender sama dengan sang istri.
"Kalau enggak, sudah setahun menikah kenapa masih belum hamil juga?" lanjut Marini, mengabaikan tatapan tajam sarat keberatan dari anak lelaki satu-satunya.
"Badan segede gajah gini pasti susah hamil!" Marini melanjutkan, ekor matanya melirik sinis Mayang yang tertunduk. "Duh gusti, dosaku ini opo toh?"
Mayang menghela napas, dadanya sesak. "Bu—"
"Apa?" sahut Marini begitu ketus. Tidak biasanya memang Marini bersikap diluar kendali seperti ini, biasanya ia sangat elegan sekalipun marah. "Mau mbela diri, kamu? Mau bilang apa? Minta ibuk doakan kamu lagi? Doaku ndak nembus di lapisan lemak kamu yang super tebal itu!" sembur Marini dengan tangan mendorong tubuh menantunya itu dari depan pintu yang sudah berhasil di buka.
Marini menatap menantunya yang menunduk dengan napas naik turun. Wanita tua itu terlalu marah dan malu, setelah dijatuhkan sedemikian hebat di acara keluarga besar mereka. Di depan semua orang yang selama ini segan padanya. Harkat dan martabatnya seakan diinjak-injak, hanya karena Mayang.
"Nangis saja terus kamu! Dasar lemah!" sambungnya saat melihat tetes-tetes air mata yang di seka Mayang.
"Ibuk ...," pinta Ferdi dalam nada rendah. "Aku mohon, Bu, jangan begini sama Mayang."
Ferdi berusaha membujuk Ibunya, namun Marini dengan gesit mengelak dan menghadiahi Ferdi dengan tatapan tajam.
"Bela aja terus istri kamu itu, Fer ... bela terus! Biar dia makin ndak tahu diri dan semaunya sama Ibuk!" Mata Marini berpindah dari Ferdi ke Mayang. "Jangan pedulikan perasaan ibu yang melahirkanmu ini, meski baru saja ibu dihujat habis-habisan hanya karena hal sepele dan mudah seperti hamil dan punya anak!"
"Coba saja, istrimu ini ndak egois. Mau rehat sejenak dari usahanya yang tak seberapa itu. Lagian ada Lea yang ngurusin rumah makan, ndak harus tiap hari istrimu itu datang, agar bisa fokus untuk punya momongan. Kaya kerja kantoran aja masuk pagi pulang sore!"
"Malu ibuk sama bulik-bulikmu yang udah punya cucu lebih dari satu, padahal usia ibuk jauh lebih tua dan ibuk ini saudara tertua, harusnya ibuk yang punya cucu paling awal."
Omelan Marini panjang lebar memenuhi telinga Mayang. Sementara Mayang hanya mampu menunduk dengan air mata yang masih berderai-derai.
"Buk, cucu itu bukan soal siapa yang duluan punya, tapi karena kehendak Tuhan. Lagian aku sama Mayang masih mau pacaran. Yang penting adalah lahir batin kami siap jika nanti punya anak. Iya kan, Yang?" Ferdi mencoba menjelaskan. Ia berusaha meredakan ketegangan ini.
Mayang mengangguk ragu, suaranya parau. "Iya, Mas."
"Halah, kamu ini iya-iya aja. Pokoknya ibu ndak peduli, besok kamu ke rumah sakit, periksakan kesuburan kalian berdua—"
"Ibu, udah deh ... jangan maksa Mayang melakukan apa yang dia tid—"
"Baik, Bu ... Mayang akan melakukan apa yang ibuk minta besok." Mayang memungkasi perdebatan sengit ini dengan mengalah. Meski ia cukup risi jika harus melakukan tes kesuburan lagi. Ia merasa sungkan pada sang Dokter yang memeriksanya, karena Mayang dinyatakan subur dan ketika sang Dokter memberikan tips dan saran agar cepat di berikan momongan, Mayang malu sendiri.
Memang salah satu faktor agar mereka segera punya momongan adalah hubungan suami istri harus rutin dan teratur, akan tetapi, Ferdi yang kerap pulang malam dan kelelahan, membuat Mayang tidak sampai hati meminta haknya. Toh, meski jarang, mereka tetap melakukannya. Mungkin benar, mereka hanya belum diberi kepercayaan.
"Bagus!" sahut Marini terlihat puas. "Bagaimanapun kamu itu mantuku, jadi kamu harus nurut apa kata dari ibu suamimu, Yang!"
Mayang membuang napas terlukanya perlahan. Ia tak mau jika sampai ibunya kembali marah karena helaan napas penuh ketidak ikhlasan ini, sampai ke telinga mertuanya.
Mayang mengalihkan perhatiannya keluar, dimana suasana malam yang cukup sejuk ini diharapkan mampu mengusir bayangan kejadian di rumah salah satu adik Marini. Acara pertemuan keluarga besar Marini tadi harus ternoda oleh tindakan kurang menyenangkan dari tuan rumah maupun adik-adik ipar Marini yang lain.
"Mbakyu ini ndak beruntung, punya menantu ndak dianugrahi rahim yang subur."
"Yang subur cuma timbunan lemaknya."
"Hanya karena sedikit memiliki harta, Mbakyu ini mau-mau saja pas diajak besanan."
"Buat dia sih, berkah ... buat Ferdi ya, musibah lah."
"Ferdi ini cakep-cakep matanya kelilipan, makanya mau aja pas dinikahkan sama induk kuda nil."
"Kalau sapi makin bongsor makin mahal harganya, lah kalau wanita, makin bongsor, makin menjijikkan."
Begitulah hinaan yang Mayang dengar di acara tadi. Perkataan dari adik-adik Marini selalu saja sukses membuat Mayang sakit hati. Sangat sakit. Salahnyakah jika ia selalu gagal saat berusaha menurunkan berat badan? Bukan mau Mayang juga ditakdirkan memiliki berat badan berlebihan sejak kecil.
"Yang ...."
Mayang mendongak, tatapannya langsung bersirobok dengan Ferdi. Ia bergegas mengusap air matanya.
"Maaf, Mas ... tadi aku melamun," kata Mayang penuh sesal. Ia melamun sampai tak sadar kalau Marini sudah meninggalkan mereka.
Ferdi tersenyum, "Nggak apa-apa. Mas tau kamu pasti terluka karena ucapan Ibuk dan bulik-bulik tadi."
Mayang tiba-tiba panas dingin karena Ferdi menggenggam tangannya dengan erat. Mata hitam Ferdi menatap Mayang hangat, dan senyum pria itu sungguh menghipnotis seorang Mayang.
"Mas ingin memeluk istri Mas yang sangat pengertian dan baik hati ini." Ferdi memeluk Mayang dengan hangat dan erat.
"Maafkan Mas yang belum bisa bahagiain kamu, membuat kamu selalu kesulitan karena sikap Ibu, dan Mas belum bisa memberikan rumah yang layak buat kamu. Mas mohon maafkan kekurangan suamimu ini, Yang," ucap Ferdi lirih.
Mayang tersenyum di bahu Ferdi, ia cukup merasa tenang dengan elusan di rambutnya. "Iya, Mas. Bagiku memiliki suami sebaik Mas Ferdi sudah lebih dari cukup untuk menghalau kekejamam dunia. Mas ngga perlu merasa bersalah. Aku bahagia selama Mas Ferdi di sisiku."
Ferdi melepas pelukannya, lalu mengusap pipi Mayang. "Ngga usah tes apa-apa, kalau kamu enggan dan risih, Yang. Kita udah tes berkali-kali, mungkin hanya belum rezekinya aja."
"Tapi, bagaimana dengan Ibuk, Mas?" tanya Mayang dengan tatapan ragu.
"Mungkin Ibuk sedang lelah dan sensi, jadi dia marah-marah kaya gitu. Padahal biasanya omongan Bulik-bulik lebih parah dari tadi, kan? Dan Ibuk ngga pernah bereaksi berlebihan, kan?"
Mayang menggeleng.
"Makanya, Yang ... kali ini, kamu juga ngga usah terbebani. Pokoknya kita ndableg aja sama omelan ibuk. Paling besok juga udah lupa kalau kamu beliin Ibuk kain batik baru."
Mayang tersenyum dan mengangguk. Meski hatinya masih belum bisa sepakat dengan Ferdi. Baginya, tadi sudah sangat keterlaluan. Baik Ibu mertuanya, maupun bulik-buliknya.
"Masuk, yuk!" ajak Ferdi yang diangguki Mayang.
Ferdi tersenyum dan hendak mengecup kening Mayang, tetapi urung sebab ada panggilan masuk di handphone Ferdi.
"Eh, kamu masuk duluan, Mas mau angkat telepon dulu."
Mayang tersenyum, lalu mengangguk dan meninggalkan Ferdi yang mulai berbicara dengan lawan bicaranya di seberang sana.
"Bahagiaku cukup kamu, Mas," batin Mayang.
*
*
*
Sodarah, eike ikut even mengubah takdir, ye ... dukung! harus dukung😄 maksa ini mah🤭 dukung aku gratis kok, dapat pahala malah😄
Like, Komen, dan Fave olwes first🤭 besok2 kalau rajin bakal malak gift dan vote🤣
Jangan lupa follow akun ku, ya ... biar dapat notif kalau aku up novel terbaru😍
Cintah banyak-banyak dari Author kelas kemriyik😄
Baca juga ini tetasan emak otor yg lain, yang demen bengek, silakan mampir😁 dijamin bengek sampe ngik-ngik
Dearly
Misshel
"Mayang!" panggil Marini dari arah ruang tengah. Sementara Mayang sedang sibuk mengurusi pakaian kotor yang ada di keranjang cucian. Pakaian Marini harus dicuci dengan tangan, meski ada mesin cuci yang Mayang beli demi meringankan pekerjaannya di rumah ini.
"Ya, Buk." Mayang pikir, ia tak perlu menghampiri ibu mertuanya karena jelas ia akan berada di belakang rumah tempat ia biasa mencuci baju setiap pagi.
Namun, rupanya kemarahan Marini semalam belum juga reda. "Kalau Ibuk panggil itu biasakan dateng ke depan Ibuk! Biar Ibuk ndak kecapekan nyari kamu!" sembur Marini dengan tangan berkacak pinggang.
Mayang meletakkan pakaian yang sudah ia beri deterjen cair itu dan menghadapi sang ibu mertua dengan menundukkan kepala. "Maaf, Buk. Aku lagi nyuci baju Ibuk."
"Maaf-maaf! Kamu ini dari dulu kok apa-apa minta diulang-ulang terus apa saja yang Ibuk perintahkan sama kamu! Kamu ini ndablegnya kok ndak ketulungan, to, Yang!" bentak Marini. Nada penuh penghinaan itu Mayang telan bulat-bulat, meski menyisakan guratan luka di dalam hatinya.
Mayang menunduk dengan tangan saling meremas di depan keliman bajunya. Batinnya terasa perih. Entah mengapa rasanya dia tidak perlu menderita seperti ini. Jika bukan karena cinta Ferdi yang besar padanya, Mayang tidak akan bertahan dan berdiri di sini mendengarkan semua hinaan ini.
Melihat Mayang diam, Marini segera ingat apa tujuannya mencari Mayang tadi. "Sudah kamu hubungi Dokter Nena?"
"Belum, Buk. Saya mau dateng langsung saja ke tempat praktek Bu Nena nanti jam delapan pagi." Mayang masih menunduk dan berusaha tenang.
"Belum?" Marini mendelik kian marah. "Mau langsung dateng ke sana tanpa buat janji dulu? Mau antri berapa lama kamu, ha? Apa kamu lupa betapa kondangnya Dokter Nena? Bisa-bisa kamu akan diperiksa besok kalau ndak buat janji dulu! Kamu ini kaya ndak apal saja, Yang ... kan sudah berkali-kali ke sana kamu itu! Masak begitu saja kamu masih mau Ibuk ingatkan?"
"Tapi ini masih pagi—"
"Jangan beralasan kamu, Mayang! Bilang saja kalau kamu itu sebenarnya senang melihat Ibuk dicaci habis-habisan!" Marini meninggalkan Mayang yang mengesah dan meringis ngilu karena ucapan keras Marini.
"Kuatkan hati ini, Tuhan." Mayang meminta dengan air mata menitik.
"Astaga, Mayang!"
Belum juga Mayang reda dengan badai di dalam hatinya, Marini sudah berteriak kembali. Dari dalam dapur.
"Kemari kamu, Mayang!" perintah Marini.
"Apalagi ini, Gusti?" Mayang membuang napasnya pasrah. Ia lantas berjalan tergesa-gesa menuju dapur dimana Marini sudah menyambutnya dengan amarah yang lain.
"Kamu tau ini jam berapa?"
Mayang mengarahkan tatapannya ke dinding dimana jam bertengger manis. Baru jam lima pagi, memangnya ada masalah apa kalau jam lima?
"Kenapa belum ada sarapan, ha?" Marini meraih tutup tudung saji dan melemparkannya ke arah Mayang.
Mayang mengelak agar tudung saji berukuran sedang itu tidak mengenainya. Namun, sayang justru tudung saji itu mengenai pipi dan wajahnya.
"Mata kamu tidak lihat semalam Ibuk ndak bisa makan karena omongan buruk tentang kamu, ha!" Marini makin garang mendekati Mayang. Matanya sangat mengerikan saat menatap menantunya yang meringis itu.
"Bi-biar aku beli sarapan dulu, Buk." Pikir Mayang, lebih baik ia mencuci baju dulu, agar Marini tak mengomel jika pakaiannya terkena kotoran dan susah dihilangkan. Untuk tiga potong kain batik yang berharga mahal itu, Mayang tak sampai butuh lima belas menit mencucinya, jadi dia akan punya waktu sampai ibu mertuanya bangun dan bersiap sarapan.
"Ibuk mau masakan rumah pagi ini! Ada banyak stok sayuran dan bahan makanan di kulkas. Jangan buang-buang uang dengan jajan! Manfaatkan apa yang ada di dalam sana!" Marini menunjuk kulkas dengan bengis, lalu duduk di meja makan.
"Masak sekarang juga! Tunggu apa lagi?!"
"Tapi, Buk ... itu—"
"Oh, jadi kamu mau membuat Ibuk mati kelaparan? Biar kamu bisa berbuat sesuka kamu?" Marini menatap Mayang dengan segala kemarahan yang meluap.
"Ndak gitu, Buk ... aku sedang nyuci baju Ibuk," jawab Mayang seraya menunduk.
"Banyak alasan saja kamu! Sudah masak saja dulu, Yang ... nyuci bisa nanti-nanti! Jangan banyak alasan kamu!"
Marini meninggalkan dapur dengan mata yang mendelik seakan siap melubangi Mayang. Mata itu mengawasi Mayang dengan segenap ancaman.
"Masih baik Ferdi mau nikahin perempuan macam gajah bengkak kaya dia. Sudah seperti itu kok ya, ndak mau bersyukur." Marini bergumam, tetapi Mayang mendengarnya dengan jelas.
Mayang berbalik. Matanya sudah basah, bahkan terisak-isak. Bibir Mayang sebenarnya ingin menjawab, tetapi sungguh dia sangat takut dosa. Orang tuanya mengajarkan untuk tidak melawan orang tua, kalaupun orang tua marah, pasti mereka punya tujuan. Mayang selalu mengingat itu. Meski dalam kondisi ini, ia tak menemukan satu pun tujuan baik dari setiap kemarahan Marini.
"Jika bukan demi Mas Ferdi, aku pasti tidak akan kuat diperlakukan seperti ini."
Mayang segera memasak sarapan dengan menu seadanya. Ia berpacu dengan waktu. Jika bisa, dia sudah minta tangan tambahan untuk mempercepat pekerjaannya.
Namun, tangan Mayang memang gesit dan tangkas, sehingga untuk menu simpel seperti nasi goreng, capcay, dan omelet telur tidak memakan waktu sampai satu jam.
Setelah menghidangkan makanan di meja, Mayang segera mengemasi perkakas untuk memasak yang belum sempat di beres kan.
Namun, ia nyaris menjatuhkan wajan, ketika Marini kembali berteriak.
"Gusti Allah, Mayang ... Kamu ini otaknya ditaruh dimana toh, yo, yo!"
Mayang merasa hatinya pilu, tetapi dia tidak menjawab. Dia tahu apa yang dikeluhkan Marini.
"Ini baju baru dipakai dua kali, sudah kamu buat luntur kaya begini. Kalau ndak ikhlas nyuciin, mbok ya, bilang saja! Jelas banget kamu itu senang bikin darah tinggi Ibuk kumat! Ya Allah, Fer ... nasib mu kok apes benget, to yo, yo ... punya istri kok bodohnya minta ampun. Apa-apa ndak becus."
Suara itu terdengar jelas di telinga Mayang. Wanita itu hanya bisa meremas tepian wastafel erat-erat, berusaha terus menopang dirinya meski air matanya tak henti menetes. Mayang sangat terluka.
"Ibunya dulu gimana didik anak wadon, ya? Mentang-mentang kaya, punya banyak duit, bisa melakukan segalanya, jadi anak-anaknya dibiarkan tanpa ajaran dan pengetahuan soal kerjaan perempuan. Ini cuma nyuci baju tiga biji. Eh, kok yo, malah rusak. Huh, nasib-nasib!"
Mayang mengepalkan tangan. Dia tidak apa-apa di sakiti, dihina, dicaci, bahkan di rendahkan. Tapi jangan kedua orang tuanya. Mayang tidak terima.
Langkah Mayang lebar-lebar, hatinya meluap penuh amarah, dia tidak bisa bersabar lagi.
"Opo kamu dateng kemari? Mau ngecek Ibuk bajunya luntur kayak begini?" Marini jutek menatap Mayang.
"Biar saya ganti bajunya, Buk ... nanti Ibuk pilih sendiri yang sesuai maunya Ibuk." Mayang berkata ketus dan sok. Marini tidak suka, sangat tidak suka. Perempuan itu hebatnya apa? Sampai Tuhan menitipkan banyak sekali kemudahan padanya? Cantik juga tidak. Pintar apalagi?
"Ibuk cuma mau baju yang sama persis kaya gini, selain itu Ibuk ndak mau! Besok baju itu sudah harus ada di rumah ini, lengkap dengan modelnya yang kaya gini!" Marini menunjuk pakaian yang dipegangnya.
Kapok kamu, Mayang! batin Marini.
"Itu ndak mungkin, Buk. Ibu tau kan bahan baju itu aku pesan berbulan-bulan lamanya? Jadi ndak mungkin besok sudah ada." Mayang kesal dan gondok. Ini mertua kok ngadi-ngadi maunya.
"Kamu kan yang nawarin ganti?" Marini berekspresi licik. "Jadi jangan tanya Ibuk, gimana caranya? Pinter-pinter kamu pakai uang kamu buat dapetin apa maunya Ibuk."
"Ibuk ndak bisa gitu ke aku, aku udah berniat baik ganti baju itu, lagian itu juga salahnya Ibuk yang minta aku masak dulu, ketimbang nyelesaiin nyuci." Mayang membela diri.
"Oh, berani kamu, ya!" Marini muntab, lalu mengambil gayung dan menyiduk air cucian bercampur sabun, secepat kilat ia menyiram Mayang dengan air itu. "Nih rasakan!"
Mayang tidak siap dengan semua itu, sehingga air sabun mengenai matanya. Kerasnya ciptaan air membuat mata Mayang sakit, "Aduh ... sakit!"
"Cengeng kamu. Makanya jangan nantang!"
Ferdi mendengar suara teriakan Mayang, ia bergegas mencari sumber keributan. Ia begitu terkejut melihat Mayang basah kuyup dan mengusap matanya sambil terus mengaduh. Sementara Marini masih mengoceh.
*
*
Mayang terpaksa mengatur pertemuan dengan dokter untuk hari ini. Dia tak tahan dengan tatapan menuntut dari sang ibu mertua yang seolah menagih janjinya semalam. Suasana sarapan yang biasanya hangat inipun terasa kaku dan canggung, meski Mayang berusaha bersikap biasa saja, tetapi hal itu tidak bisa menutupi perasaan Mayang yang sesungguhnya.
“Yang, rumah makan Arumndalu katanya mau dijual.” Ferdi yang baru saja tiba di meja makan menyeletuk, membuat Mayang yang masih berbincang dengan Dokter Nena melalui sambungan telepon terpaksa harus diputus sepihak. Sikap primanya saat melayani sang suami yang begitu mengayomi ini, sangat diutamakan.
“Mas tau dari mana?” Mata Mayang melirik sekilas Marini yang sepertinya memasang telinga baik-baik. Arumndalu resto sendiri sudah lama menjadi incaran orang-orang berduit tebal—seperti Mayang, akan tetapi sampai sekarang pemilik Arumndalu tidak melepaskan resto tersebut meski kabarnya sang pemilik sedang kesulitan keuangan. Mayang sendiri lebih memilih pasif dalam perputaran isu tersebut, dia tiba-tiba enggan ikut andil dalam perburuan informasi mengenai resto itu. Tentu karena dia enggan didesak oleh Marini yang menginginkan resto itu beralih atas nama Marini. Sudah terlalu banyak dia berkorban untuk keluarga Ferdi, keluarga besar Ferdi pada umumnya.
“Kemarin, ada orang yang mau mengajukan pinjaman ke Mas, katanya buat jaga-jaga kalau Arumndalu dijual.” Ferdi menjawab Mayang begitu ringan dan cuek, sementara Marini terlihat sesak hingga tenggorokannya ia guyur dengan cairan yang berada di cangkir sebelahnya. “Kamu ngga ingin ikutan kepo, Yang? Mas pikir, resto itu cocok jika kamu yang mengelola.”
Mayang tersenyum, “aku ndak mau jadi istri yang egois, Mas. Aku mau fokus agar bisa hamil secepatnya. Lagain aku ini bukan wanita kantoran kaya Mbak Saira.”
Jawaban Mayang membuat Marini mendelik, sementara Ferdi berdehem pelan, lalu tersenyum. “Kamu masih muda, hamil bisa nanti-nanti. Lagian passion kamu kan di bidang kuliner. Ndak bisa disamakan sama Saira lah.”
Kening Ferdi mendadak mengerut, “Kenapa jadi bawa-bawa Saira, sih?”
Marini bergerak gelisah. Dia belum berbicara sejak tadi. Tentu karena kemarahannya pada Mayang semalam, jadi pagi ini dia masih harus memegang ketegasannya dalam mengambil keputusan. Kalau tidak, Mayang akan meremehkan kedudukannya di rumah ini.
“Mbak Saira hampir tiap hari memenuhi telingaku, Mas.” Mayang melirik Marini, lalu kembali menghadapi sarapannya. “Kelebihannya, kepintarannya, prestasinya, sementara aku ini apa? Hanya istrimu, bakul sego bungkus. Ndak ada bagus-bagusnya. Jadi aku pikir, lebih baik aku jadi istri yang penurut aja.”
“Kamu ini dikit-dikit tersinggung, Yang!” Marini panas hati. Dia menjadi dilemma sendiri. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus jika Mayang mau membeli resto itu, lalu mengatasnamakannya dengan nama Marini. Tetapi, hal itu juga menjadi bilah tajam yang lain, yang akan membuat Marini kehilangan muka lagi-dan lagi di hadapan keluarganya. Antara cucu atau namanya yang terpampang besar pada selembar sertifikat kepemilikan sebuah asset bergengsi. Tentu itu sulit dan berat untuk diputuskan.
“Aku ndak tersinggung, Buk … tapi aku hanya mengatakan seperti apa yang selalu Ibuk perintahkan padaku. Aku ini hanya nurutin maunya Ibuk,” jawab Mayang tenang.
“Kamu itu nurutnya terpaksa, Yang … ndak ikhlas! Kamu pikir Ibuk ini ndak merasa opo? Kalau kamu setengah hati melakukan apa yang Ibuk minta!” tukas Marini dengan wajah masam.
“Yang penting kan, aku dah nurutin Ibuk. Perkara ikhlas atau ndak itu sebaiknya ndak usah diperdebatkan. Ikhlas itu hanya hati dan Tuhan yang tau!” Mayang beranjak begitu saja dari meja makan. Meninggalkan Ferdi yang tampaknya kesusahan menelan makanannya. Dan Marini yang melongo, tidak siap dengan balasan Mayang yang begitu telak menyudutnya.
“Dia kenapa, sih?” gumam Marini menahan kesal. Akan tetapi, sepertinya Ferdi mendengar sehingga pria itu menghela napas keras-keras sebelum menyudahi sarapannya.
“Ibuk yang buat Mayang jadi berontak! Coba aja Ibuk lembutan dikit sama dia, sayang sama dia. Ngga bakal Mayang jadi kaya gini.” Ferdi menyesap kopi buatan Mayang yang nikmat tiada duanya. Bahkan Ferdi hanya akan minum kopi jika kopi itu hasil seduhan Mayang.
“Kok jadi nyalahin Ibuk, to, kamu itu, Fer?” Marini menatap anaknya sengit, tidak terima. “Ibuk itu kan cuma bilang apa adanya. Mayang itu yang makin sensian, makin ndak bisa dikendalikan, makin ngelunjak dan semaunya.”
“Iya, itu karena Ibuk nekan dia terus! Cobalah, Buk ... Ibuk itu kalau minta apa-apa yang kalem, yang lembut, merayu, muji-muji, biar Mayangnya luluh. Masa iya, malah jelek-jelekin Mayang.” Ferdi meraih tas kerjanya, “aku berangkat dulu, Buk … saranku, Ibuk jangan bikin Mayang tambah kesel, nanti dia ngga mau ngurusin kebutuhan Ibuk. Siapa hayo, yang rugi?”
Marini mengulurkan tangannya saat Ferdi mendekat, “kamu ini sebenarnya mihak siapa, sih, Le?” ia membiarkan Ferdi mencium punggung tangannya. Tatapan keheranan wanita itu masih menghiasi wajah tuanya yang terawat.
Ferdi tersenyum penuh misteri. “Aku mihak sama yang membuatku nyaman dan tenang, Buk …!” Ferdi mundur, “udah, jangan mikir yang ndak-ndak, nanti keriputnya makin banyak. Dah, Ibuk!”
Marini spontan meraba wajahnya, “eh, Bocah!” lantas ia lari kalang kabut ke kamarnya dan bercermin. Keriput dan penuaan seharusnya tidak datang setelah ia rutin melakukan perawatan tradisional, resep kecantikan dan anti penuaan turun temurun dari nenek moyangnya.
Sementara, Ferdi baru saja akan naik ke Innova teranyar, yang dia beli secara kredit baru-baru ini. Istrinya punya rumah makan yang terkenal masyur, dia sendiri pegawai sebuah lembaga simpan pinjam yang cukup ramai peminatnya, lalu riwayat keluarga yang cukup mapan dan dihormati, rasanya mobil berwarna putih ini cukuplah membuat dia dihormati meski bukan atasan. Ponselnya berdering panjang, yang tergesa-gesa ia jawab.
“Kok sudah nelpon lagi? Kenapa?” tanya Ferdi sembari melemparkan tasnya ke kursi samping kemudi.
“Loh, kok jadi marah, sih? Ya, kan kamu ngerti kenapa aku semalam ngga nganterin kamu?” mata Ferdi menyelinap ke dalam rumah, memastikan Mayang ataupun ibunya tidak dalam jangkauan suaranya.
Ketika aman, ia melanjutkan kembali pembicaraannya. “Kamu itu jangan bikin aku seperti ngga punya pilihan to, Cintaku. Jelas aku milih kamu kemana-manalah. Meskipun dia istriku, tetapi kamu yang utama. Ngga mungkinlah mataku ini rabun, ngga bisa bedain mana yang bohay dan seksi sama induk kuda nil, Sayang!”
Ferdi menoleh sekilas, perasaannya mengatakan kalau suaranya terlalu tinggi. Ia khawatir kaau sampai ada yang mendengar. “Pokoknya, aku tuh cuma cinta dan sayang sama kamu, dia itu hanya istriku. Wanita yang dijodohkan Ibuk sama aku. Aku nikahin dia cuma bikin Ibuk seneng aja, Sayang.”
Ferdi kemudian masuk ke dalam mobil, mulai menyalakan mesin Innova kebanggaannya dan meninggalkan halaman rumah.
Mayang dibalik pintu, hanya bisa menggeram dan hancur mendengar semua ucapan suaminya. Dia tidak pernah menyangka akan mendengar semua itu dari seseorang yang ia percayai dan kagumi.
“Mbak Rully benar dengan semua prasangkanya,” batin Mayang sembari mengusap pipinya yang basah.
*
*
*
*
"Komen! Kalau ndak komen ndak cantik," kata Ibu mertua Mayang dengan gaya sok cantiknya.
Dearly
Misshel🤭
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!