Kiara duduk di samping pria yang baru dia kenal seminggu yg lalu. Dalam beberapa saat, Kiara akan sah menjadi istrinya.
Kiara mendengar suara penghulu melafalkan kalimat sakral tuk melepas Kiara menjadi istri dari pria ini. Tanpa ada jeda, pria ini langsung membalas dengan lancar. Mengalirkan air mata yg sejak tadi dengan susah payah Kiara tahan.
..."Saya terima nikahnya Kiara Permatasari dengan mas kawin tersebut tunai."...
Semua saksi menyatakan sah. Kiara telah sah menjadi istri dari Rivaldi Ahmad Wiji Sasongko.
Kiara meraih tangan Aldi yg sudah sah sebagai suaminya kemudian mengecup tangannya dengan masih berderai air mata. Kiara yakin Aldi sadar bahwa ini air mata kesedihan. Bukan air mata bahagia dari pasangan yg baru menikah.
Tak jauh dari Kiara dan Aldi, mama Kiara menatap putrinya dengan berurai air mata. Sementara kakak Kiara, Bella, yg berada di samping mamanya tersenyum dengan bahagia. Sedangkan pria yg lengannya dirangkul oleh Bella hanya menatap Kiara tanpa ekspresi.
Bella mengenakan gaun putih. Sama seperti Kiara. Bella juga baru menyelesaikan akad nikah dengan pria di sampingnya, Bima.
Bella dan suaminya mendekati Kiara yg masih berurai air mata. Mereka hendak memberikan ucapan selamat sebelum keempatnya naik ke pelaminan dan menyalami semua tamu dan keluarga yg hadir.
Ada dua pasang pengantin yg menikah sekaligus hari ini. Tapi ada satu hati yg tidak bahagia hari ini. Hati milik Kiara. Hati Kiara yg terluka.
"Semoga kamu bahagia, Kiara" Bima mendoakan Kiara. Mengulurkan tangan tuk menyalami Kiara.
Kiara menatap nanar mata lelaki itu. Kiara hanya bisa menatap. Tak ada satupun kata yg bisa Kiara ucapkan tuk membalas doa tulusnya. Apalagi keinginan tuk membalas uluran tangannya.
"Terima kasih kakak ipar. Sudah dengan tulus mendoakan kebahagiaan istriku." Aldi menjabat uluran tangan Bima. Kemudian Aldi menggenggam tangan Kiara dan hendak mengajaknya menjauh dari Bima dan Bella.
Kiara menatap Aldi dengan penuh rasa syukur. Pria dingin yang jarang bicara ini mau membantunya menjauh dari Bima, sumber dari rasa sakit Kiara hari ini. Akan tetapi Bella menghalangi Kiara dan Aldi.
"Kiara sayang, sepertinya kakak harus ingatkan bahwa seharusnya kita berempat naik ke pelaminan bersama-sama dan memulai resepsi pernikahan kita."
Bagian lain yang juga menyakitkan hari ini. Duduk di pelaminan yg sama dengan Bima. Tapi bukan sebagai pengantinnya.
"Ayolah adikku sayang. Kamu kan sudah merencanakan naik ke pelaminan itu sejak lama... Aku kakak yg baik kan? Masih membuatmu satu pelaminan dengan Bima." Bella membisikkan kalimat ini ke telinga Kiara. Hanya Kiara yg bisa mendengarnya.
Aldi melihat perubahan ekspresi Kiara yg semakin sedih. Mengikuti arah pandangan Kiara ke pelaminan. Dan paham apa yang hendak dilakukan Bella kepada adiknya.
"Kami ke pelaminan dulu ya Kiara." Bella menggandeng Bima ke pelaminan.
Aldi menatap Kiara. "Kamu mau apa sekarang?"
Tatapan Kiara masih bingung. Kiara hanya balik menatap Aldi.
"Jika kamu tidak ingin naik pelaminan itu, kita bisa langsung ke ruang ganti."
Kiara berusaha berpikir jernih. Kemudian menolak tawaran Aldi.
"Aku sanggup menyelesaikan resepsi hari ini dengan baik. Terima kasih sudah peduli. Cukup genggam tangan saya seperti ini untuk menguatkan saya. Saya akan berusaha untuk tidak lagi menangis." Kiara memaksakan seulas senyum di wajahnya.
Selain menyalami semua tamu yg hadir. Mereka juga berfoto dengan para tamu. Juga berfoto dengan pasangan masing-masing. Kiara berusaha memusatkan pikirannya kepada para tamu atau suaminya. Tidak ingin tergoda melihat ke samping mereka dimana Bella dan Bima melakukan berbagai macam pose mesra.
Melihat Bima dan Bella sedang berfoto, sebuah memori berkelebat di benak Kiara. Sebuah kenangan yang tak boleh lagi dia ingat. Kiara menggigit bibir bawahnya untuk tidak menangis.
Kiara sendiri tidak banyak berpose mesra untuk foto pernikahan mereka. Aldi hanya diam tanpa ekspresi dan mengikuti arahan fotografer ketika berfoto. Dalam pose foto pernikahan Kiara dan Aldi, fotografer tidak mengarahkan pose yg mesra. Sebab ekspresi Aldi terlalu datar. Tidak ada pancaran kemesraan yg bisa diabadikan dalam dokumentasi foto Kiara dan Aldi. Bahkan untuk sekedar mengarahkan Kiara dan Aldi untuk tersenyum apalagi tertawa saja susah.
Dua jam berlalu. Resepsi telah usai. Kiara sudah berada di kamar hotel. Kamar pengantinnya. Resepsi pernikahan dan akad nikah tadi memang diadakan di hotel berbintang lima. Hotel milik keluarga Bima, Atmaja Grup.
Kiara mengingat kamar hotel ini. Suite room hotel Marriot milik keluarga Bima, Atmaja Grup. Awal mula dari perubahan hubungannya dengan Bima dimulai dari suite room hotel ini.
"Mau menginap di sini atau di rumahku?" Aldi membuyarkan lamunan Kiara.
"Rumah kamu saja. Tapi aku mengganti pakaianku dulu ya."
Tapi suara bel kamar hotel mereka menunda rencana Kiara dan Aldi untuk berganti pakaian.
"Kamu salah kamar, Kiara." Bella menyapa begitu Kiara membuka pintu kamarnya.
"Sepertinya kamu lupa kalau suite room ini adalah kamar pengantin untuk Bima dan pengantinnya."
Ucapan Bella masih saja menyakiti Kiara.
"Aku pengantin Bima, Kiara. Bukan kamu."
Kiara hendak menyela. Kiara hendak mengatakan bahwa Bima lah yang tadi bilang bahwa Kiara bisa menempati suite room ini. Tapi ucapannya tercekat di tenggorokannya. Rasa sakit di dadanya membuat Kiara tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
"Cepat keluar dari kamar ini dan buang anganmu mengenai Bima. Dia bukan pengantinmu! Segala fasilitas yg kamu dapat dari Bima sekarang milikku. Termasuk apartemen mewah yg selama ini kamu tempati. Serahkan kuncinya kepadaku sekarang juga."
"Apartemen?" Kiara terkejut.
"Benar sekali. Berikan sekarang juga. Bima sudah memberikannya kepadaku. Kami akan tinggal di sana sementara menunggu pembangunan rumah kami selesai."
Kiara menitikkan air mata kembali.
Bella merasa sangat puas bisa kembali membuat Kiara menangis.
"Baju dan barang-barangku masih di apartemen semua, kak. Apa harus sekarang aku serahkan kuncinya?"
"Jangan panggil aku kakak. Aku tidak ingin lagi mengakui kamu sebagai adikku. Kamu hanya anak panti asuhan yang beruntung! ingat itu!"
Bella mulai marah. "Semua yg kamu miliki di apartemen itu pemberian Bima. Semua milik Bima adalah milikku. Istrinya. Kamu bukan siapa-siapa, Kiara. Berikan kunci apartemennya sekarang juga sebelum aku melaporkan kepada Bima dan membuatnya memarahimu!" Ancam Bella.
Kiara memberikan kunci apartemen kepada Bella. Kiara juga meninggalkan suite room hotel yang seharusnya menjadi kamar pengantinnya. Begitu pula gaun pengantin pilihan Bima yang tadi dikenakan Kiara. Kiara memilih meninggalkan gaun pengantin itu di suite room yang telah Kiara tinggalkan.
Kiara akan meninggalkan semua hal tentang Bima. Tidak akan lagi menangisi Bima atau apapun yang berhubungan dengan Bima.
Kiara dan Bella telah bertukar pengantin. Apakah kehidupan Bella dan Kiara juga akan bertukar?
Sejak pertemuan pertama dengan Kiara, Bima telah jatuh cinta. Tidak hanya parasnya yang ayu, tapi hatinya juga baik.
Kiara dulunya bekerja di hotel milik keluarga Bima di kota kecil. Di sanalah Bima mengenal Kiara. Kala itu Bima sedang mengunjungi salah satu hotel keluarganya di kota kecil tempat Kiara tinggal.
Seminggu bekerja di hotel kecil itu, selalu membuat Bima bertemu dengan Kiara manis yang menjadi resepsionis. Begitu beban kerja Bima di hotel berkurang, Bima mulai membuka kesempatan mengenal Kiara. Satu minggu melihat Kiara dari jauh sudah cukup bagi Bima untuk menahan keinginannya mendekati gadis dari kota kecil itu.
"Kiara, sore sepulang kerja ada waktu?" Bima mendekati Kiara di meja resepsionis yg lengang.
"Saya agak repot, pak... Mohon maaf." Kiara memasang wajah lugu tapi terlihat semakin manis bagi Bima.
"Wah, pas sekali kalo repot. Saya malah ingin membantu." Bima tidak suka ditolak. Semakin gadis ini menolak, maka Bima akan semakin ingin menaklukkannya.
"Saya mau ada acara syukuran di panti asuhan tempat saya tinggal. Tapi bapak tidak perlu repot. Hampir semua persiapan sudah beres kok."
Bima mengingat data diri Kiara dr bagian kepegawaian yg sebelumnya sudah dia baca. Bima sudah tau kalau Kiara hidup di panti asuhan. Tapi Bima merasa aneh, kenapa gadis muda sebesar ini masih memilih tinggal di panti asuhan. Padahal gaji sebagai resepsionis di hotel ini seharusnya cukup untuk menghidupi dirinya dengan mengontrak rumah sederhana.
"Jika saya tidak bisa ikut membantu, apa boleh saya mengikuti acara syukurannya?"
Kiara terdiam mendengar keinginan pak bos di hadapannya. "Bapak kenapa mau ikut acara seperti ini?"
"Saya belum pernah mengunjungi sebuah panti asuhan sekali pun dalam hidup saya. Apa boleh kamu ajak saya?"
Kiara kembali terdiam mengamati wajah Bima. Mencari kesungguhan dari ucapan Bima.
"Baik pak. Kalau begitu mari ikut saya ke panti asuhan tempat saya tinggal." Kiara pun akhirnya mengiyakan keinginan Bima ini. Kiara pikir barangkali Bima ingin menyisihkan sedikit penghasilannya untuk anak-anak di panti kan boleh saja.
Kiara dan Bima pun mengakhiri obrolan pagi mereka. keduanya kembali ke pekerjaan masing-masing.
Akan tetapi, usai bekerja dan hendak siap-siap pulang, Kiara lupa janjinya dengan Bima. Kiara sudah siap naik motornya di parkiran hotel. Tapi Kiara terkejut ketika di pintu keluar parkiran, ada Bima yang bersiap naik ke mobilnya. Kiara jadi ingat dengan apa yang dia lupakan.
"Kamu mau pulang sendiri, Kiara?" Bima membuyarkan segala yang Kiara pikirkan.
"Oh iya pak. saya hampir saja meninggalkan bapak."
"Kalau begitu ayo naik mobil saya."
"naik mobil?"Kiara agak bingung. "Tapi saya bawa motor,pak. Bukannya kita bawa kendaraan sendiri-sendiri saja? Motor saya bagaimana?"
"Kamu mau saya nyetir sendirian dan mengikuti kamu dari belakang?" Bima terkejut. Baru kali ini dia ditolak perempuan yang lebih memilih naik motor dari pada mobil.
"Saya akan urus motor kamu. Nanti biar diantar sama pegawai yang lain." Bima tidak mau kalah.
"Jangan pak. nanti merepotkan teman-teman. Lagian apa kata mereka nantinya?" penolakan lagi. Bima mulai tidak sabar.
"Mau kamu gimana? saya tidak mau kita bawa kendaraan sendiri-sendiri."
"Bapak mau ikut saya naik motor?"
"Apa?" Bima semakin shock. "kamu bercanda kan Kiara?"
Bima yang sejak lahir terbiasa dengan kekayaan orang tuanya, tidak pernah sekalipun merasakan naik sepeda motor. Ingin rasanya Bima menggendong Kiara ke mobilnya.
"Gini aja. Biar gak bikin repot pegawai yang lain, Biarkan motor kamu tetap di sini. Besok saya jemput kamu ke kantor." Ide ini cukup menyenangkan bagi Bima. Dengan begini besok pun dia punya alasan bertemu Kiara kembali.
"Saya jadi merepotkan bapak." Kiara semakin membuat Bima kesal.
"Nggak juga. Justru saya yang merepotkan kamu. Saya kan yang ingin mengunjungi panti asuhan. Justru kamu nolongin saya. Sebagai balasannya, saya besok akan jemput kamu kerja."
"Benarkah seperti itu, pak?" Kiara merasa alasan Bima cukup masuk akal. Tapi ada sedikit rasa tidak yakin.
"Ayo." Bima benar-benar merasa harus ekstra sabar menghadapi makhluk cantik di hadapannya ini. Baru kali ini dia dibuat berpikir ekstra keras untuk sekedar mengajak jalan seorang gadis.
Bima terbiasa mendapatkan gadis manapun dengan mudah. Tapi kali ini Bima merasa tidak akan mudah mendekati seorang Kiara. Dia terasa berbeda dengan wanita-wanita lain yang selama ini Bima taklukkan.
Bima pun tiba di panti asuhan bersama Kiara. Karena memikirkan penolakan Kiara di parkiran hotel tadi membuat Bima memikirkan banyak hal ketika di mobil. Tidak ada jurus rayuan sekalipun yang Bima ucapkan kepada Kiara. Tidak sekalipun Bima mengungkapkan rayuan gombalnya kepada Kiara yang duduk di sampingnya. Bima tidak ingin wanita ini menjauh karena ketakutan.
Usai tiba di panti asuhan, Bima akhirnya tahu kalau syukuran yang dibicarakan Kiara adalah syukuran untuk ulang tahun Kiara sendiri.
Bima sendiri sudah menyiapkan kado di bagasi mobilnya. Bima memilih mengobrol dengan Kiara pagi ini dan hendak mengajaknya keluar untuk berkencan karena hari ini adalah hari ulang tahun Kiara. Tapi kini Bima mulai berpikir ulang akan memberikan kado itu atau tidak. Bima kuatir ditolak.
Bima merasa Kiara akan susah menerima barang mahal pemberiannya. Berbeda dengan gadis-gadis yang sebelumnya dia dekati. Tapi tidak ada waktu untuk menyiapkan kado yang lebih murah lain. Ini hari yang pas untuk mengesankan seorang gadis dan mendekatinya. Jika tidak ada kado di hari ulang tahun gadis itu, Bima yakin jarak mereka akan semakin jauh.
Gadis-gadis suka dengan perhatian. Perhatian di hari ulang tahun seorang gadis adalah hal penentu kepedulian seorang pria. Bima telah banyak belajar akan hal ini dari semua gadis yang pernah dia kencani.
Syukuran hari itu cukup sederhana bagi Bima. Hanya ada makanan yang bagi Bima biasa. Tapi Bima yakin bagi anak-anak di panti asuhan itu pasti mereka jarang memakan makanan seenak itu. Bima sendiri tidak seberapa berselera makan bersama banyak orang. Jadi seperti halnya Kiara yang dari tadi sibuk dan tidak sempat makan, Bima pun tidak makan sama sekali.
Usai acara syukuran, Bima ingin menemui kepala panti secara pribadi. Bima sudah menyiapkan sejumlah uang untuk disumbangkan bagi kepentingan panti. Bima juga ingin menanyakan beberapa hal mengenai Kiara. Tapi Bima mengurungkan niatnya ketika dari jauh mendengar pembicaraan Kepala panti dan Kiara di pekarangan.
"Bunda, hari ini Kiara sudah 21 tahun. Bunda sudah berjanji." Kiara tampak memohon.
"Bunda tahu Kiara. Tapi bunda khawatir jika mereka sudah pindah bagaimana? Mereka tidak pernah ada kabar." Bunda Nur tampak prihatin.
"Aku akan kembali tinggal di sini."
"Tidak Kiara. Sudah saatnya kamu hidup untuk dirimu sendiri nak. Jangan khawatirkan panti ini." Bunda Nur meremas kedua bahu Kiara. "Kamu harus berjanji akan hidup bahagia jika tidak menemukan orang tuamu. Jangan kembali hidup di sini. Jika kamu menyanggupi itu, Bunda baru akan memberikan alamat kedua orang tuamu."
Kiara hanya menangis.
"Satu lagi, nak. Jika mereka menolakmu atau tidak menginginkanmu lagi, jangan tinggal bersama mereka jika mereka tidak menginginkanmu. Tapi kamu harus tetap hidup bahagia walau hidup sendiri. Berjanjilah Kiara." Bunda Nur menggoyang-goyangkan bahu Kiara. Memaksa Kiara untuk berjanji.
Kiara mengangguk sambil berurai air mata. "Iya, bunda. Kiara berjanji."
Kiara kemudian menerima sebuah amplop. Membukanya dan membaca sebuah alamat di sana. Sebuah alamat kota Jakarta.
Kiara kembali menangis. Jakarta begitu jauh. Orang tua Kiara membuang Kiara begitu jauh.
Bima hanya mematung. Memandang dari jauh tangisan Kiara di pelukan Bunda Nur. Ingin rasanya Bima memeluk gadis yang sedang sedih itu.
Kiara membuat hati Bima bergetar dengan perasaan sedih hanya dengan melihatnya menangis. Ingin rasanya Bima menghancurkan seluruh dunia yang membuat Kiara menangis. Bima kemudian memandang amplop tebal berisi uang sumbangan di tangannya. Bima rasa ini saat yang tepat mendekati Kiara dan bunda Nur. BIma harap bisa menghentikan tangisan Kiara karena kedatangannya yang tiba-tiba mendekati keduanya.
"Kiara dan Bunda ada di sini? Sejak tadi saya mencari kalian." Bima menyapa dari jauh sambil melangkah mendekat.
"Iya pak Bima. Maaf sudah menjadi tuan rumah yang kurang sopan. Tidak menyambut tamu dengan baik." Bunda Nur menjawab sambil mendekat kepada Bima. Memberikan ruang kepada Kiara untuk menyeka air matanya.
"Saya hanya ingin memberikan ini, bunda. Semoga bisa bermanfaat bagi anak-anak di panti asuhan ini." Bima menyerahkan amplop yang sedari tadi dia pegang. "Semoga bisa bermanfaat bagi anak-anak di panti asuhan ini. Isinya tidak seberapa, tapi mohon diterima."
Kiara sudah menoleh ke arah Bima dan bunda Nur. Wajahnya nampak heran melihat amplop coklat tebal yang diberikan Bima.
"Masya Allah pak Bima. Terima kasih banyak. Berapapun sumbangan dari para dermawan seperti bapak, kami sangat bersyukur, pak." Bu Nur kali ini yang mulai berkaca-kaca.
"Jangan menangis begitu, bunda. Ini tidak seberapa kok. Semoga saya bisa rutin memberikan sumbangan untuk panti ini. Baru kali ini saya masuk ke panti asuhan. Dan melihat anak-anak tadi makan dengan lahap menu yang sederhana seperti tadi membuat hati saya bergetar. Saya yang suka pilih-pilih makanan ini menjadi amat bersyukur dengan hidup saya setelah melihat mereka."
"Sekali lagi terima kasih, pak. Sudah menjadi atasan yang baik bagi Kiara. Juga sudah mau menyumbang untuk panti asuhan kami ini." Mendengar ucapan terima kasih yang kesekian kalinya, membuat Bima membalas dengan senyuman.
"Iya sama-sama bunda. Boleh saya bicara berdua dengan Kiara?"
"Silahkan pak Bima. Saya tinggal ke dalam dulu." Bunda Nur pun berlalu.
"Terima kasih, pak." Lagi-lagi ucapan terima kasih. Bagi Bima, itu jumlah uang yang tidak seberapa.
"Saya yang seharusnya berterimakasih." Bima memandang Kiara yang masih menundukkan wajahnya. "Maaf saya tidak sengaja mendengar pembicaraan kamu dengan bunda tadi."
Kiara terkejut. Kemudian Kiara mulai menatap mata Bima.
"Boleh saya bertanya sesuatu?" Bima agak berhati-hati.
"Saya tau yang ingin bapak tanyakan." Kiara membuang muka. Dia memalingkan pandangannya ke arah rimbunnya pohon di pekarangan panti asuhan.
"Saya dititipkan di panti ini sejak lahir." Bima hanya diam mendengarkan.
"Ibu saya berjanji kepada bunda Nur akan datang menjemput saya jika ekonomi keluarga sudah membaik. Tapi jika tidak, ibu menitipkan alamatnya. Jika aku sudah bisa berpenghasilan sendiri dan mau kembali kepada mereka, ibu memperbolehkan aku datang ke alamat itu."
Kiara hanya menerawang jauh meski tatapannya ke arah pepohonan.
"Apa rencana kamu sekarang, Kiara?" Bima mencoba mengalihkan kesedihan Kiara.
"Saya akan ke Jakarta. Mungkin besok saya mulai mengajukan pengunduran diri dan pindah ke Jakarta."
"Kamu tidak perlu mengundurkan diri." Bima berusaha menarik perhatian Kiara untuk menatap matanya lagi.
"Kamu bisa saya mutasi untuk kerja di hotel pusat yang di Jakarta." Kiara akhirnya kembali menatap mata Bima sesuai keinginan Bima.
"Apa bisa seperti itu, pak?" Kiara masih tidak percaya.
"Tentu saja Bisa. Gaji kamu di Jakarta juga bakal naik menjadi lebih besar. Karena di sini hanya hotel cabang di kota kecil. Omsetnya tidak sebesar hotel pusat."
Kiara merasa senang mendengar ucapan Bima. Jika yang dikatakan Bima ini memang benar, maka Kiara tidak akan bingung mencari pekerjaan lagi ketika sudah di Jakarta nantinya.
"Saya akan kembali ke Jakarta dalam 3 hari. Kita bisa ke Jakarta bersama. Nanti kamu saya antarkan ke alamat orang tua kamu. Mau?"
Lagi-lagi Kiara menatap Bima. Mencari kesungguhan dari tatapannya ataukah lelucon. Tapi Kiara merasa Bima bersungguh-sungguh dengan tawarannya.
"Kenapa bapak begitu baik sama saya?"
"Karena kamu juga baik. Jarang saya ketemu dengan gadis baik seperti kamu." Bima masih menatap Kiara yang semakin terlihat menggemaskan.
"Saya tidak sebaik itu pak." Kiara menunduk. "Saya bukan anak baik. Orang tua saya saja tidak menginginkan keberadaan saya."
"Kamu baik, Kiara. Orang tuamu pasti menyesal menelantarkan anak baik sepertimu."
Kiara tidak menjawab. Dia hanya malah meneteskan air mata kembali. Bima membiarkan Kiara menangis hingga puas. Hanya diam di sisinya. Ingin rasanya memeluk gadis itu. Tapi ini baru hari pertama Bima mendekatinya. Bima tidak mau Kiara kabur karena dipeluk pria yang baru dikenalnya.
Paling tidak Bima akan menunggu hingga mereka di Jakarta untuk menjadikan Kiara sebagai pacarnya. Karena di sana Kiara sebatang kara. Bima punya firasat bahwa Kiara tidak akan semudah itu bersatu dengan orang tuanya di Jakarta.
Setelah Kiara meluapkan kesedihannya dan menghentikan tangisannya yang tanpa suara, Bima hendak berpamitan dan menyerahkan kado yang telah Bima siapkan.
"Selamat ulang tahun." Kotak kado lumayan besar diserahkan oleh Bima kepada Kiara. "Tolong diterima."
Kiara terkejut dengan apa yang Bima lakukan. Tapi setelah diam cukup lama, Kiara akhirnya memutuskan untuk menerima kado itu.
"Bukalah."
Kiara masih dengan ragu menarik pita di atas kado dan membuka tutup kotaknya. Ada sepatu kerja, hand bag dan jam tangan yang sepertinya sepasang.
"Anggap saja pelengkap penampilan kamu untuk kantor baru di Jakarta nanti. Untuk melengkapi seragam kerja kamu nanti." Masih hanya Bima yang bicara. Kiara belum bisa mengatakan apapun.
"Saya pamit ya. Besok saya jemput." Bima berlalu dari hadapan Kiara begitu saja. meninggalkan Kiara yang masih bingung dengan Bos barunya ini.
Ada perasaan berbunga-bunga di hati Kiara. Hari ulang tahun yang biasanya menyedihkan bagi Kiara ini ditutup oleh Bima dengan rasa hangat. Bukan lagi kesedihan karena merasa dibuang.
Bunda Nur melihat Kiara masuk dengan sekotak hadiah. Senyum tersungging di wajahnya.
"Berbahagialah Kiara. Yakinlah setelah ini kamu akan mulai bertemu hanya dengan kebahagiaan." Bunda Nur berusaha meyakinkan.
Keesokan harinya, Bima menjemput Kiara. Mereka ke hotel bersama. Bima mulai mengurus segala hal mengenai kepindahan Kiara ke hotel pusat. Menentukan posisinya ketika di Jakarta nanti juga tempat tinggal Kiara.
Kiara lulusan D3 perhotelan dengan nilai yang sangat baik. Tidak akan ada masalah jika Kiara ditempatkan sebagai resepsionis di hotel pusat. Sama seperti di sini. Jika kinerja Kiara baik dan sudah memahami seluk beluk hotel di sana, Kiara bisa Bima rekomendasikan untuk naik jabatan setelah beberapa waktu.
"Ah... kenapa aku sudah merencanakan sejauh itu untuk gadis ini. " pikir Bima.
"Kamu sudah membuatku terpesona, Kiara." ucap Bima kepada dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!