Safira tersenyum pahit sambil memandang langit malam di balkon kamarnya. Mengingat bagaimana tadi siang ia mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertanyakan perasaan pria itu padanya. Pria bernama Kenzio Abraham yang selama 5 tahun ini menjadi atasannya, pria yang berhasil mencuri dan menyembuhkan luka hatinya di masa lalu.
Tapi sayang, ia ditolak. Cintanya bertepuk sebelah tangan, atasan nya tidak menaruh perasaan seperti yang ia harapkan. Sakit? tentu saja, malu? sangat! Rasanya Safira ingin menenggelamkan diri hingga mati.
Bukan tanpa alasan, Safira akhirnya nekat menemui Zio dan mempertanyakan perasaan pria itu. Satu minggu yang lalu papanya yang tinggal di kota berbeda dengannya datang menemuinya. Sang papa mempertanyakan perihal pernikahan pada Safira.
Safira yakin sang mama lah yang menjadi biang kerok, karena memang mamanya berulang kali mempertanyakan pada dirinya mengenai pernikahan. Safira mengerti sang mama mulai khawatir karena usianya terbilang sudah sangat dewasa, bahkan bisa dikatakan tua mengingat tahun ini usianya menginjak 27 tahun, namun belum ada tanda-tanda dirinya akan melepas masa lajang.
Papanya bilang jika Safira belum memiliki kekasih maka ia harus menerima perjodohan dengan pria yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya.
Karena itu Safira mempertaruhkan harga dirinya, menemui Zio dan mengungkapkan perasaan yang sudah ia pendam sekian lama pada pria itu, berharap Zio memiliki perasaan yang sama dan ia bisa terhindar dari perjodohan.
"Saya mohon maaf Safira, dan saya menghargai perasaan kamu. Tapi maaf saya tidak bisa memaksakan hati saya untuk membalas perasaan kamu. Saya yakin jodoh yang dipilihkan orang tua kamu adalah jodoh terbaik yang bisa memberikan kebahagiaan untuk kamu ke depannya" Sayang sekali jawaban pria itu tak sejalan dengan harapannya. Meski kata-kata penolakan itu terdengar halus bahkan dibumbui dengan doa tulus untuk kebahagiaannya namun tetap saja kalimat yang terucap telah mematahkan hatinya.
Takdir belum berpihak, pria yang ia idamkan tak membalas perasaan nya. Sia-sia sudah perasaan yang ia pupuk selama ini, tak membuahkan hasil apapun selain kesakitan dan penolakan. Bahkan pelukan terakhir pun tak berhasil ia dapatkan.
Menyedihkan!
"Patah hati lagi kan? masih belum kapok jatuh cinta?" Safira meledek dirinya sendiri. Gadis itu terkekeh perih, ini bukan pertama kalinya. Dulu sekali ia pernah ditolak oleh seorang pria, dan luka yang ia idap akibat penolakan itu sangatlah parah, namun luka itu perlahan sembuh saat bertemu Zio. Lalu sekarang pria yang menjadi obat luka di hatinya kini menggoreskan luka yang sama. Miris bukan?
Yah bukan salah siapa-siapa, Safira sadar dirinya tak punya kuasa memaksakan orang lain membalas perasaan nya.
"Besok Safira pulang, Safira setuju untuk papa dan mama jodohkan"
Tadi siang Safira sudah mengirimkan pesan kepada kedua orang tuanya. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang selain menerima perjodohan itu, toh tak ada alasan apapun yang bisa ia kemukakan untuk menolak.
"Selamat datang dunia baru" Safira menghapus air mata nya. Saatnya melupakan Zio dan berusaha move on dari cinta sepihak. Hidup harus berlanjut, semoga semuanya bisa berjalan dengan mudah.
🍁🍁🍁
Safira menatap jalanan dan menyimpannya dalam ingatan. 5 tahun ia berada di kota ini, hidup merantau jauh dari orang tua. Mungkin memang ini saatnya ia meninggalkan kota yang telah mengukir banyak kenangan baginya.
Biasanya jam-jam seperti ini ia sudah disibukkan beragam aktivitas seperti menemani bosnya meeting dan menyiapkan segala sesuatunya, melelahkan memang namun Safira menjalaninya dengan bahagia. Bisa menikmati ketampanan atasannya seolah bisa menghapus segala penat dan lelah.
Bagi Safira tak apa andai harus bekerja 24 jam sehari 7 hari dalam seminggu asalkan bisa melihat wajah Zio dan selalu berdekatan dengan pria itu.
Senyum getir tersungging, ia masih mengingat Zio bahkan di detik terakhirnya berada di kota ini. "Bahagiakan dia ya Tuhan, dia sangat baik. Pria sempurna yang aku harapkan bisa menjadi belahan jiwaku, namun ternyata takdir tak berpihak. Jika tak bisa memilikinya dengan melihat dia bahagia rasanya sudah lebih dari cukup" Bisik Safira di dalam hati, ia sempat mendengar kisah Zio yang menutup diri karena peristiwa kelam di masa lalu. Pria itu seolah kehilangan binar bahagianya, tapi di mata Safira pesonanya selalu menyala dengan terang.
Gadis itu telah tiba di bandara, hati Safira menjadi kelu. Sekarang benar-benar saatnya menutup lembar kisah nya di kota ini.
Setelah mengurus semuanya dan setelah menunggu keberangkatan di ruang tunggu, jadwal keberangkatannya pun tiba, Safira menoleh ke arah pintu ruang tunggu. Sedetik kemudian ia tertawa pahit.
"Kamu berharap Zio mengejar mu? mimpi mu terlalu indah Safira"
Gadis itu melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Safira menghempaskan tubuhnya di kursi pesawat. Ia membuka ponsel, menunggu beberapa saat sebelum kemudian mematikan ponselnya. Lagi-lagi ia tersenyum karena beberapa saat sempat berharap Zio akan menelfon atau sekedar mengirimkan chat.
"Mengertilah hati, Zio sama sekali tak menaruh rasa padamu jangan mengharapkan apapun" Safira memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya.
"Safira?" Sebuah suara mengusik Safira yang sedang mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan indah nya selama berada di kota ini untuk ia simpan sebagai kenangan.
Mata Safira terpaku mendapati sosok yang bertahun-tahun tak pernah lagi ia temui itu. Sosok pria yang pernah menghujamkan luka di masa lalu, luka yang tak henti berdarah hingga akhirnya ia bertemu dengan Kenzio dan lukanya berhasil sembuh dan mengering.
"El?" Gumam Safira. Pria itu tampak tersenyum lalu mengulurkan tangannya.
"Apa kabar Ra? ternyata kamu masih ingat aku" ucap pria itu.
"Kabar baik, kamu tidak banyak berubah El, tentu saja aku masih ingat. Kecuali kalau kamu uda berubah wujud mungkin aku akan lupa" Ucap Safira santai. Dulu pria ini begitu berarti baginya bahkan sempat terbesit keinginan untuk mengakhiri hidupnya saat pria yang bernama Elbram Zacky tersebut menyakitinya dengan amat dalam. Lalu sekarang Safira tak merasakan getaran seperti dulu meski harus Safira akui kalau Elbram terlihat semakin tampan dan matang.
Ternyata Zio berhasil merebut keseluruhan hati dan perhatiannya hingga mampu mengusir rasa pada Elbram yang begitu dalam ketika itu.
"Kamu semakin cantik Safira, nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini setelah bertahun-tahun nggak pernah ketemu" Safira tersenyum masam atas pujian pria itu. Untungnya ia tak merasa resah mendapati bahwa kenyataan bahwa pria itu duduk di bangku sebelahnya. Itu artinya 1 jam ke depan ia akan berdekatan dengan pria itu selama perjalanan. Sepertinya ia benar-benar tak memiliki rasa apapun lagi pada pria itu.
Padahal dulu, jangankan untuk berada di dekat nya atau melihat wajahnya mendengar namanya saja hati Safira akan terasa sakit dan tercabik.
🍁🍁🍁
"Jadi selama ini kamu melarikan diri ke kota ini?" Tanya pria itu, padahal tak menimpali ucapan Elbram sebelumnya adalah cara Safira mengakhiri obrolannya dengan pria itu. Hatinya memang sudah biasa saja dan tak ada lagi debaran seperti 5 tahun yang lalu, namun bukan berarti ia bisa nyaman untuk saling bertukar cerita. Ini sama sekali bukan pertemuan yang sudah direncanakan oleh sepasang sahabat lama.
"Melarikan diri? aku diterima kerja di kota ini El, aku bukan kriminal dan aku sedang tidak menghindari kamu atau siapapun jadi kenapa ada sebutan melarikan diri" Safira tersenyum masam sementara Elbram terkekeh.
"Kamu menghilang tanpa kabar lalu memutus akses komunikasi dengan ku. Apa itu tidak bisa disebut melarikan diri?" Lanjut Elbram, tak peduli pada ekspresi keberatan gadis itu atas ucapannya.
"Kenapa aku harus melarikan diri dari kamu? aku bukan menghilang tanpa kabar, aku hanya merasa tidak berkepentingan untuk melaporkan semua tentang aku ke kamu. Maaf untuk mengatakannya, kamu bukan prioritas aku El" tegas Safira, Elbram terkekeh lagi.
"Lalu Maya dan Dini? apa mereka juga bukan prioritas kamu?" tanya Elbram, menyebut dua sahabatnya yang memang tak pernah lagi ia kabari sejak ia memutuskan pergi membawa luka di hatinya.
"Ya" jawab gadis itu singkat, hatinya bergejolak namun wajahnya terlihat santai dan tak menampakkan perasaan nya yang tiba-tiba kalut.
"Tapi mereka sahabat kamu" lanjut Elbram lagi.
"Aku hanya takut merepotkan mereka." Safira tersenyum getir. Rasa sakitnya pada Elbram memang sudah hilang, namun mengingat dua orang yang El sebut sebagai sahabat masih menyisahkan pilu di hatinya. Safira lalu mengalihkan tatapannya ke arah pramugari yang sedang menyampaikan intruksinya karena Pesawat akan segera take off.
Tanpa Safira duga, El berinisiatif melakukan semua intruksi dari pramugari salah satunya mengencangkan sabuk pengaman Safira.
"Terima kasih" ternyata Elbram tidak berubah, masih selalu perhatian seperti dulu.
"Sama-sama, kamu selalu ceroboh dan aku wajib memastikan semuanya aman" ucap Elbram.
"Aku sudah 5 tahun menjadi sekretaris yang mengurus semua keperluan atasan aku. Jadi Safira yang sekarang tidak seperti yang kamu fikirkan. Aku sudah bisa mengurus dan mengatasi semua sendiri, aku bukan Safira yang selalu merepotkan orang lain seperti dulu" Mungkin Safira yang ada dalam ingatan El adalah Safira yang manja yang jauh dari kata mandiri.
"Wah luar biasa aku nggak nyangka kamu sudah banyak berubah sekarang" Elbram terlihat meremehkan karena yang Elbram tau dulu mengurus diri sendiri saja Safira tak bisa apalagi jika harus mengurus orang lain.
"Waktu memang akan mengubah banyak hal El termasuk aku dan keseluruhan diriku" Safira memejamkan mata dan menggenggam erat tangan yang sengaja Elbram sodorkan saat pesawat mulai lepas landas. Pria itu tersenyum menatap ke arah Safira yang terlihat amat tegang.
"Apa selama menjadi sekretaris atasan kamu tidak pernah mengajak bepergian menggunakan pesawat? kamu masih sama Safira, selalu tegang saat pesawat akan take off. Artinya yang ada pada dirimu tidak berubah secara keseluruhan" ucap Elbram setelah melihat ketegangan di wajah Safira sudah menghilang meski ia terlihat masih memejamkan mata.
"Yah keseluruhan diriku memang sudah berubah kecuali yang satu ini" ucap Safira cuek, ia melepaskan tangannya yang masih memegang erat tangan Elbram.
"Oh ya? aku penasaran ingin mengetahui apa saja yang berubah dalam dirimu" Ekspresi wajah El kini berubah seakan mengejek.
"Sudah aku bilang semuanya sudah berubah El, semuanya!" Ucap Safira penuh penekanan.
'Termasuk perasaan ku padamu' bisik nya di dalam hati.
"Kok aku nggak percaya" Ucap Elbram, ekspresinya sangat menyebalkan di mata Safira.
"Yah terserah kamu, aku kan nggak maksa kamu buat percaya" ketus Safira. Lama-lama sikap El mulai memancing emosinya.
"Tu kan, kamu masih sama kayak dulu. Gampang ngambek" Ucap El tertawa puas.
"Aku nggak ngambek, biasa aja kok. Aku bukan remaja lagi yang asal ngambek untuk hal remeh" balas Safira lagi. Di mata El ternyata dirinya semenyebalkan itu. Manja, ambekan, ceroboh dan sifat-sifat merepotkan lainnya.
Wajar saja pria itu tak menyukainya dulu, menyadarinya Safira tersenyum getir. Ia menyandarkan tubuhnya lalu memejamkan mata. Semoga El mengerti bahwa ia tak ingin berbicara apapun lagi.
🍁🍁🍁
Safira menatap kamar yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun, selama ia merantau memang ia tak pernah kembali. Hanya mama dan papanya saja yang sesekali mengunjunginya. Patah hati memang alasannya pergi, melarikan diri seperti yang El katakan tadi. Siapa sangka pelariannya ternyata berhasil menyembuhkan luka di hatinya. Safira enggan kembali bukan karena takut bertemu masa lalunya, ia hanya terlalu betah dan nyaman tinggal di kota pelariannya.
Ia tak merindukan suasana ini, hatinya seolah masih tertinggal di kota yang ia tinggali 5 tahun ke belakang. baru beberapa jam pergi Ia sudah merindukan apartemen tempat tinggalnya, apartemen yang ia cicil dari hasil kerja kerasnya. Ia juga merindukan kantor tempatnya bekerja dan tentu saja yang paling ia rindukan adalah sosok Zio, pria tampan dan tegas meski cenderung dingin namun sangat peduli dan baik hati. Zio sungguh pria idaman yang memiliki sejuta pesona dan berhasil merebut hati dan dunia nya. Sayang sekali cintanya tak bersambut, mungkin ia memang tak beruntung dalam urusan asmara. Selalu kalah dan terluka sendirian.
Safira merebahkan tubuhnya, fikiran nya menerawang membayangkan wajah tampan Zio. Entah apa yang harus ia lakukan untuk mengobati rindu yang ia miliki untuk pria itu. Dulu biasanya ia akan menelfon Zio, pura-pura bertanya tentang pekerjaan hanya agar bisa mendengar suaranya. Sekarang tak ada lagi alasan baginya untuk menghubungi pria itu, sungguh menyedihkan menanggung kerinduan ini sendiri. Safira menghela nafas panjang, mencintai pria yang tak memiliki perasaan yang sama sungguh siksaan yang tiada duanya.
Ponsel Safira tiba-tiba bergetar, gadis itu meraih ponselnya setengah hati. Sebuah notifikasi pesan dari nomor yang tak ia kenali.
"Selamat malam dan selamat beristirahat Safira. Ini aku Elbram "
Safira tersenyum masam membaca pesan tersebut, Safira segera menutup ponselnya. Tidak ada niat untuk membalas pesan dari Elbram, tadi ketika akan keluar dari pesawat Elbram memang memaksa meminta kontaknya dengan merebut ponsel miliknya karena Safira menolak memberikan nomor.
"Aku boleh menelfon? aku sedang bersama Dini. Dia merindukan mu"
Pesan Elbram kembali masuk ke ponselnya, Safira tampak berfikir dan menimbang untuk memperbolehkan El menelfon dirinya karena pria itu membawa nama Dini sahabat nya yang merupakan adik kandung dari Elbram.
Yah Safira bisa mengenal Elbram karena pria itu adalah kakak dari sahabat nya dan Safira langsung jatuh cinta pada Elbram sejak pandangan pertama
🍁🍁🍁
Setelah menimbang cukup lama akhirnya Safira mengetikkan pesan balasan pada Elbram.
"Maaf nggak bisa, aku sedang menghadiri pertemuan keluarga. Sampaikan maaf dan salamku pada Dini" Safira memilih berbohong. Ia merasa belum siap untuk menerima telfon dari El. Belum tentu juga ada Dini, siapa tau itu cuma akal-akalan Elbram saja.
Safira termenung mengingat gelagat Elbram yang seolah ingin mendekatinya. Tapi kenapa? Bukankah dulu pria itu menolak cintanya? Atau ia saja yang terlalu percaya diri?
Safira memilih untuk tak memusingkan hal itu. Ia menonaktifkan ponselnya tanpa menunggu balasan pesan dari pria itu, bahkan terbesit niat untuk mengganti nomor telefon nya.
Tapi setelah difikir-fikir lagi akan sayang rasanya jika ia mengganti nomor karena Zio menyimpan kontaknya. Siapa tau pria itu berubah fikiran dan ingin menghubunginya.
Safira terkekeh, otaknya selalu saja berkhayal terlalu tinggi. Jelas-jelas Zio sudah menolak cintanya, dan selama 5 tahun ini Safira menyadari bahwa tak sekalipun ia melihat pancaran cinta di mata Zio untuknya.
Safira jadi penasaran, di usia matang nya Zio belum pernah terlihat dekat dengan wanita manapun. Safira melihat Zio hanya akan bersikap ramah dan menaruh perhatian lebih pada Davina, mamanya dan juga Yara adiknya. Entah wanita seperti apa yang bisa memenangkan hati pria itu. Tentu wanita itu sangat beruntung. Memikirkannya membuat Safira merasa iri.
Baru saja Safira akan memejamkan matanya, terdengar ketukan di pintu.
"Safira kamu uda tidur belum nak? mama boleh masuk nggak? mama mau ngobrol sebentar sayang" suara halus mamanya terdengar memanggil dirinya.
"Masuk aja ma nggak dikunci kok, Safira belum tidur" jawab Safira setengah berteriak.
Terdengar handle pintu yang diputar lalu setelah pintu terbuka tampak wajah teduh sang mama. Wanita itu begitu anggun dan masih terlihat sangat cantik di usianya yang tak lagi muda.
"Mama seneng banget kamu akhirnya pulang sayang. Rumah ini tak akan sepi lagi kalau ada kamu" mama Sandra tersenyum sambil duduk di sisi Safira yang kini merubah posisinya menjadi duduk dan bersandar pada ranjang.
"Tapi mama dan papa juga sering bepergian, yang ada nanti pasti Safira yang kesepian ditinggal-tinggal mulu" Papa Safira bukan tipe pria yang suka pergi sendiri. Ia selalu melibatkan istrinya dalam setiap kegiatan. Papa Safira akan selalu mengajak mama Sandra setiap ia bepergian ke luar kota.
"Kamu kan sebentar lagi akan menikah sayang, lalu memiliki anak. Nanti kamu nggak akan kesepian lagi" Safira menatap sang mama dan menghela nafas perlahan.
"Mama dan papa serius menjodohkan Safira?" Gadis itu masih berharap kedua orang guanya akan berubah fikiran sembari terus berdoa hati Zio akan terbuka untuknya.
"Iya dong masa bercanda. Usia kamu udah sangat matang untuk ukuran perempuan Safira." Yah Safira tau di negara ini usia 27 tahun bukan lagi usia untuk melajang, ia yakin teman-teman seusianya dulu sebagian besar sudah menikah dan memiliki anak.
"Sama siapa ma?" meski tak begitu antusias namun tak ada salahnya untuk menanyakan perihal pria yang akan dijodohkan dengan nya.
"Yang pasti kamu akan menyukainya sayang, dia pria yang baik" Safira tersenyum masam, sang mama sepertinya enggan menunjukkan identitas pria itu secara jelas, entah apa tujuannya.
"Besok malam dia dan keluarganya akan datang. Jadi besok kita harus mempersiapkan semuanya, besok pagi kita harus fitting baju buat kamu. Mama sudah memesankan dari satu minggu yang lalu" Sepertinya semua memang sudah dipersiapkan, terbukti tanpa sepengetahuannya sang mama malah sudah memesankan pakaian untuk pertemuan dengan pria yang dijodohkan dengannya.
"Besok baru perkenalan aja kan ma?"
"Enggak dong, langsung lamaran. Ngapain pake acara perkenalan segala. Buang-buang waktu, kalo perkenalan bisa kalian lakukan setelah menikah nanti. Pokoknya kalian pasti cocok" Safira hanya mengangguk, ia kehilangan minat untuk menimpali ucapan mamanya.
"Ma, Safira boleh jujur nggak?"
"Apa sayang?" Raut wajah mama Sandra tampak khawatir melihat wajah sendu putrinya.
"Sebenarnya Safira mencintai orang lain" Ucapnya, ia mengalihkan tatapan nya. Tak sanggup melihat wajah shock mama Sandra.
"Lalu?" Suara mama Sandra bergetar. Ia takut Safira meminta rencana perjodohan ini dibatalkan.
"Tapi sayang nya cinta Safira bertepuk sebelah tangan" lirih gadis itu.
"Oh syukurlah" mama Sandra menghela nafas lega sembari mengusap dadanya.
"Mama? Safira ini patah hati, kenapa mama malah kelihatan bahagia? mama nggak peka banget, masa anaknya sedih malah bersyukur" Safira menatap kecewa pada mamanya.
"Maaf mama nggak bermaksud seperti itu, mama hanya merasa lega perjodohan kamu bisa dilanjutkan. Mama nggak bisa bayangin betapa malunya papa kalu perjodohan kamu batal" ucap mama Sandra sambil mengusap lengan putri cantik nya.
"Safira takut nggak bisa mencintai pria yang dijodohkan sama Safira ma. Safira masih belum bisa melupakan pria yang Safira cintai" Safira meletakkan kepalanya di pangkuan sang mama.
"Lambat laun kamu pasti akan mencintainya Safira, dia pria yang baik, bertanggung jawab dan sangat tampan. Tak akan sulit bagi kamu untuk mencintainya. Mama yakin kamu nggak akan menyesal menjadi istrinya" ucap mama Sandra sambil mengusap dengan sayang rambut putrinya
"Yah semoga saja ma. Safira hanya khawatir mengecewakan dan mempermalukan mama dan papa jika akhirnya Safira tak bisa mencintainya dan pernikahan kami tidak berhasil"
"Yakinlah cinta itu akan tumbuh dengan mudah nak, apalagi jika kamu sudah menyerahkan diri secara utuh" Entah akan seperti apa rasanya menikah dengan pria yang tak ia cintai bahkan Safira tak berani memikirkan harus berada di ranjang yang sama lalu menyerahkan diri pada pria asing tersebut.
"Ya sudah nak, ini sudah malam. Kamu cepat istirahat ya. Jangan lupa besok pagi kita harus fitting baju dan kamu juga harus perawatan di salon setelahnya" Mama Sandra menggeser kepala Safira yang berada di atas pangkuannya dan memindahkannya ke atas bantal. Wanita itu lalu mengecup kening putrinya.
"Selamat malam putri cantik mama"
"Selamat malam juga ma"
Setelah merapikan selimut Safira dan menyalakan lampu tidur, mama Sandra turun dari ranjang Safira dan berjalan ke arah pintu. Tak lupa ia mematikan lampu utama sebelum keluar dari kamar putri semata wayang nya.
Selepas kepergian mamanya, Safira berusaha memejamkan mata. Namun otaknya tak mau diajak berhenti berfikir, ia masih terus berusaha menerka siapa pria yang akan dijodohkan dengannya.
Jika memang pria itu adalah pria baik seperti yang mama Sandra ceritakan, Safira berharap ia bisa menerima calon suaminya tersebut, meski belum bisa mencintainya semoga hatinya bisa lapang dada menerima dan mengabdikan diri sebagai istri sebaik-baiknya.
🍁🍁🍁🍁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!