NovelToon NovelToon

Cinta Di Balut Luka

Bab 1

Namaku Naima Armila, usiaku sekarang menginjak sembilan belas tahun. Aku adalah tulang punggung keluargaku. Segala pekerjaan aku tekuni demi menghasilkan rupiah.

Usia yang seharusnya bisa ku pergunakan untuk bersenang-senang tidak pernah ada. Aku terlalu repot akan urusan yang lainnya yang lebih bermanfaat untukku.

Sekarang aku ada di pasar swalayan menjadi tukang panggul barang belanjaan orang yang membutuhkan jasa seperti aku.

Ya, beginilah kesehariannya. Cinta juga tak pernah ada dalam kamus ku. Aku mungkin hanya akan menikah jika keluargaku menjodohkan ku

Satu hal yang tak pernah bisa aku lupakan adalah kala masih sekolah menengah pertama, Seorang teman pria ku mengungkapkan perasaannya padaku sebelum Ia hijrah kepesantren.

Namanya Dikha Al fajri, entah bagaimana kabarnya sekarang? aku sudah tidak tahu lagi. Ku akui, wajahnya sangat tampan dan mampu membuatku berdebar-berdebar.

"Aku mencintai mu, Naima." Masih melekat kuat dalam benakku kata-kata itu.

"Aku berjanji, jika aku kembali nanti, aku akan mencari mu untuk ku jadikan istriku," ucapnya.

Apa yang bisa kulakukan, satu hal yang membuatkan terasa bodoh, itu karena aku masih sangat lugu dan menganggap Dikha sedang bercanda.

Ia menggennggam tanggan ku serius, dan ditatapnya bola mataku sedalam mungkin.

"Aku serius, Naima. Aku pasti datang padamu dan aku berharap kau belum menjadi milik orang lain." Begitulah ucapan terakhirnya.

Aku hanya tersenyum, dan melepas kepergiannya dengan perasaaan bingung antara percaya dan tidak.

"Mbak, cepat angkat belanjaan ku," ucap seseorang Ibu-Ibu. Sesaat Ke tepuk jidatku dan tersenyum kecil. Ya ampun kenapa aku sampai melamun begini sih? emang pria itu masih mengingatku?

Maklum lah, kebahagian itu terasa langka bagi ku.

Matahari mulai terasa ada di tengah ubun-ubun ku itu artinya aku harus istirahat dulu untuk menunaikan kewajiban ku di mushola.

Sekitar setengah jam ada di mushola aku menyantap makan siang yang ku beli tadi sebelum kemari.

Baru saja satu suapan masuk kemulutku, ponselku berdering nyaring.

Aku hanya menghela nafas, rasa kecewa akibat panggilan itu membuatku harus menghentikan makan siangku.

"Ya, Halo Ayah," jawabku malas.

"Cepat pulang, ada sesuatu yang ingin Ayah katakan."

Rasanya tubuh ini mendadak lemas, pasti ini soal perjodohan yang Ayah bilang tempo hari.

"Baik, Ayah," jawabku sekenanya.

Nasi yang tadi aku makan, akhirnya aku bungkus kembali. Aku harus segera pulang sebelum suara Ayah berdendang riang seharian di telingaku.

Setibanya dirumah, benar saja aku terpaku pada dua buah motor yang terparkir di halaman.

"Ya Allah, haruskan ini ku alami?"

Tak sadar, Kakakku Gino menarik tanganku secepat kilat dan membawaku lewat pintu dapur.

"Cepat mandi dan dandan yang cantik, Nai. Gino adalah temanku, dia memiliki toko Ponsel yang sedang berjaya. Jangan sampai kamu mengecewakan aku ya," ujar Bang Gino.

Aku hanya mengangguk dan membiarkan dia ngeloyor pergi menemui orang yang dia bilang temannya itu.

Ya, seperti itulah sifat Bang Gino. Ia adalah orang yang paling suka mencari kan aku jodoh selain Ayahku. "Emang dia pikir aku ini barang apa? seenaknya saja memperlakukan aku sesuka hatinya, dasar Abang ngeselin," gumamku kesal.

Lekas, aku membersihkan diri dan memilih baju terbaikku. Ya, walaupun aku tidak suka perjodohan yang dilakukan Bang Gino, aku harus tetap menghargai mereka, bukan?"

Bab 2

Selesai membenahi diri dengan rambut yang ku gerai panjang, aku kembali bercermin. Puas rasanya dengan anugerah Tuhan yang sudah memberikan wajah ini untukku walaupun tak secantik Nikita Willy.

Beberapa detik kemudian Aku mulai melangkah keluar. Perasaan malu menyeruak di dalam hatiku. Ahk, apa kali ini semua akan berjalan lancar. Rasanya sudah lelah tubuh ini meladeni semua pria yang datang.

Ya, seperti kemaren-kemaren. Tak ada yang berjalan mulus. Keluargaku sangat ingin melihatku menikah karena kasihan terhadap ku. Kata mereka, agar aku ada yang menafkahi dan tak perlu lagi bekerja keras.

Bang Gino bukan tak mau bekerja tapi Bang Gino menyandang penyakit Amnesia tiba-tiba yang kapan saja bisa membuatnya lupa pada siapa pun. Itu terjadi akibat kecelakaan sepeda motor dua tahun yang lalu, hingga membuat Ayah tak mengizinkan Ia keluar dalam waktu yang lama.

Setibanya di hadapan Bang Gino dan pemuda itu, aku menyunggingkan senyum, berusaha semanis mungkin di depan mereka.

Bagaimana pun sulitnya, aku tidak ingin mempermalukan Bang Gino yang meminta Ayah menelpon diri ku tadi.

"Assalamualaikum, Mas..," sapa ku lirih lalu ku tundukkan kepala ku saat pemuda di samping Mas Gino menatap lekat diriku. Entahlah, kaki ku terasa bergetar kali ini.

"Adik mu cantik, Gin," ujar pemuda itu. Astaga, siapa yang tak bahagia akan pujian itu. Munafik rasanya jika aku mengatakan tidak.

"Iyalah, makannya aku ingin kamu yang menjadi suami adikku. Dia tidak pernah pacaran," bisik Bang Gino pada Pemuda itu dengan bangga hingga pemuda itu terkekeh.

Rasa malu itu kian meruncing akan kelakuan Abang ku yang satu itu. Meski cuma sayup-sayup, kudengar jelas perkataan nya barusan.

"Dek, ayo duduk!" Bang Gino menunjuk kursi di sebelah pemuda itu. Aku tak menunggu lama-lama dan hanya menurut saja.

"Ini Alfian, dia adalah teman yang ku percaya untuk menjagamu," kata Bang Gino memperkenalkan pemuda itu.

"Alfian." Pemuda itu mengulurkan tangan.

Dengan ikhlas, ku sambut tangan Mas Alfian dan mengucap pula namaku. "Naima," kataku. Aku yakin pemuda itu sudah tahu dari Bang Gino tapi akan lebih baik jika aku mengatakannya sendiri.

"Ya sudah, kalian ngobrol saja! Abang keluar dulu," pamit Bang Gino pada kami. Dari dulu juga aku sudah tahu tujuan Bang Gino seperti itu supaya kami bisa leluasa mengobrol.

"Iya, Gin," jawab Mas Alfian lembut. Jika di lihat dari nadanya, aku sangat suka kepribadian Mas Alfian. Sepertinya beliau adalah pemuda yang baik dan lemah lembut.

Setelah kepergian Bang Gino, Ku lirih Mas Alfian dalam diam, dia mendongak menatap kelangit-langit sejenak lalu menoleh ke arahku. Karena takut Ia kepedean, cepat aku menunduk lagi seperti yang aku lakukan tadi.

"Naima, bekerja dimana?" pertanyaan itu sontak membuatku menatap Mas Alfian. Apa yang harus aku katakan. Mungkin kah aku jujur saja kalau aku hanya kuli di pasar swalayan.

"Di pasar, Mas," jawabku pelan.

Mas Alfian, tersenyum. "Jangan malu, Nai. Bukankah yang penting pekerjaan itu halal."

Uhuk... uhuk...

Tersedak mendadak aku mendengar ucapan pemuda itu. Tak percaya rasanya Ia sebaik itu.

"Ini minum!" Mas Alfian mengulurkan koffe yang ada di depannya. Mungkin Ibu yang membuat kan koffe untuknya tadi. Jika dilihat dari takarannya, koffe itu belum tersentuh sama sekali.

Aku menerima tawaran Mas Alfian dan meneguknya sedikit.

"Ya Allah, apa dia adalah Imam yang Engkau kirim kan untukku."

pikiran ku menari-nari riang akan perlakuan Mas Alfian pada ku. Rupanya Ia sangat perhatian orangnya.

...🍀🍀🍀🍀🍀...

Hayo, jangan baper ya sama cerita baru dengan cara baru yang author bikin. Kali ini author ingin sesuatu yang lain berharap para pembaca tersentuh akan jalan ceritanya hingga bisa masuk sebagai peran utamanya.

Yuk, kepoin terus jangan lupa....

LIKE

KOMEN

VOTE

RATE BINTANG LIMA

DAN GIFT KOFFE NYA YA😘😘😘

Author tungguin lo!!!

Bab 3

"Dek, aku ingin mengenalmu lebih jauh," ujar Bang Arfian padaku. Suaranya terdengar merdu di telingaku. Wah, ini sesuatu yang terasa sangat mendebarkan tentunya.

Seperti biasanya, aku hanya mengangguk kecil berusaha memahami maksud ucapan Mas Arfian.

"Kita jalan dulu saja, agar bisa saling memahami satu sama lain. Bukankah kecocokan sangat di perlukan untuk membangun rumah tangga," kata Mas Arfian lagi.

"Iya, Mas," jawabku tenang, sedikit ku hela nafasku agar tidak terlihat kikuk dan gugup di hadapannya. Tapi meski pun begitu, Mas Arfian mungkin saja mengetahui perasaanku sebenarnya.

Cukup lama mengobrol, Mas Arfian berpamitan pulang. Kulihat motornya menghilang di balik pagar setelah menjabat tangan ku.

"Kenapa dia terasa berbeda," gumam ku seorang diri.

"Na, kan. Kali ini pasti berjalan lancar."

Tersentak aku akan Bang Gino yang tiba-tiba muncul di belakang punggungku. Ku pukul kuat pundak Bang Gino membuatnya mengaduh kesakitan. Bodo' amat, dia sudah membuat wajahku memerah karena malu.

"Ihk, Mas. Keterlaluan sekali sih kamu. Ngapain nguping disitu?" ucapku bersungut-sungut.

"Hehehe...." Bang Gino hanya cengengesan seperti orang gila. Bikin kesel kan? "Dasar, kepo," oceh ku sambil berlalu pergi dari hadapannya.

Sampai di kamar, ponsel ku berdering. Itu adalah suara pesan masuk. Ku angkat ponsel itu dari meja dan ku perhatikan hanya nomer orang tidak di kenal.

Aku penasaran membuka pesan itu dan membaca isinya.

Dek, aku sudah sampai rumah...

Aku merasa girang, baru kali ini aku bertemu pria yang selalu memberi kabar keadaan dirinya.

Syukurlah...

Jawabku singkat. Kulihat centang itu langsung berubah biru.

kok pendek amat, dek?

Astaga, dia tanya juga hal itu. Unik sekali, puji ku dalam hati.

Aku mau bilang apa, Mas. Aku tak pandai membuat pertanyaan...

jawabku kemudian. Dia mengetik lagi, apa isinya. Tak sabar aku menunggu apa yang Ia tulis. Cukup lama, Ia menulis membuatku merasa jengah.

Ting!

Pesan itu akhirnya masuk lagi.

Ya udah, Mas mandi dulu mau sholat ashar.

Ya Allah, Benar tebakan ku. Sepertinya dia adalah orang yang tepat. Mudah-mudah, kali ini tidak seburuk seperti sebelumnya.

Aku pun mengambil handuk, aku juga ingin membersihkan diriku.

...Keesokan Harinya.......

"Nai, antar kan kerupuk ini sama Bu Imah ya, sambil kepasar!" ucap Ibuku saat kami sedang sarapan. Ya, meski sudah tua. Ibu juga mencari tambahan kecil-kecilan mengingat kebutuhan kami amatlah banyak.

Aku punya dua adik yang masih sekolah. Mereka membutuhkan perhatian ektra dari kami.

"Iya, Bu," jawabku seraya menyuapkan nasi terakhir di dalam piringku.

"Nai, bagaimana menurut mu tentang Arfian?"

Pertanyaan Ayah membuatku menunduk.

"Aku yakin, Naima suka Ayah," jawab Bang Gino menimpali. Ia menatapku sambil tertawa mengejek.

Is, mengesalkan sekali Bang Gino ini...

Aku beranjak dan menyalami mereka, lalu meraih tiga bungkus kerupuk ikan yang sudah Ibu sediakan. Aku punya sepeda mini, disitulah ku gantung kerupuk itu.

Ku kayuh pelan sepedaku di jalan besar, ramai orang lalu lalang saat di pagi hari. Tentu aku harus berhati-hati agar semua berjalan aman.

Aku melintasi toko, kulihat motor mirip Mas Arfian membelok kesana. Aku menghentikan sepedaku dan mengamati mereka. Seorang perempuan memeluk erat tubuh pemuda itu.

Rasa penasaran membabi buta dalam benak ku. Mungkin itu adalah Mas Arfian? lalu siapa wanita yang masih seusia ku itu? Mengapa mereka terlihat sangat romantis sih?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!