NovelToon NovelToon

Captain Reira

1

Jakarta, 24 Agustus 2016

Segenggam ingatan yang aku simpan berkelabu menjadi pemendaman yang tak pernah aku lupakan. Berawal dari tatap matanya yang lurus, turun menyentuh hatiku. Bergetarlah jiwa yang lemah akan rabaan cinta. Senyumnya yang manis bagai berbuka dengan kurma, terlalu sederhana dalam kesederhanaannya, berlapis lentikan bibirnya yang melebar padaku. Seketika ia bagai menanam benih-benih dalam benakku yang perlahan merekah menjadi sebuah rasa.

Namaku David Reymond. Si penyendiri yang bergerak dalam bayang-bayang. Tidak terlalu suka timbul di permukaan dan lebih memilih untuk berjalan di bawah langkah orang-orang dominan. Penggila sunyi senyap yang akan membuatk jatuh ke pangkuan keheningan yang syahdu. Entah mengapa aku menyukai kesendirianku. Duduk sambil memikirkan makna hidup. Belajar menjadi Hiprocratos, Socratos, Plato, dan kawan-kawannya yang lain. Berusaha untuk sebijak mungkin dalam pemikiran-pemikiran sok filososfis lagi puitis yang kadang membuatku malu sendiri.

Satu hal yang aku pikirkan, jika setiap hal yang ada di dunia ini akan berakhir, apakah cinta yang kurasakan ini akan ikut musnah? Hancur menjadi keping-keping kenangan yang akan kembali ditarik kembali ke permukaan ketika patah hati melanda diriku.

Atau jangan-jangan titik itu belumlah tercapai, cinta masih bertengger untuk mencengkram hatiku yang sepi. Aku tidak ingin cinta itu hancur. Aku ingin ia tetap bertahan lama hingga pada waktu yang sudah ditentukan.

Masih segar dalam ingatanku di saat tubuh ini masih terbungkus seragam putih abu-abu. Masa-masa di mana masih ada gelak tawa mengenai kegilaan dunia. Permulaan bagi orang-orang yang tidak berpengalaman dalam cinta. Aku mencoba untuk melangkah dalam lingkaran itu, hingga pada akhirnya aku terbakar asmara oleh seorang wanita.

Ia adalah Fasha, wanita tercantik pada zamannya. Aku tak ingin memungkiri ini, alunan ombak yang berderai di jatuhnya cahaya senja pun tak bisa untuk menggambarkan betapa cantiknya wanita itu. Matanya begitu dahsyat, impuls listrik tegangan tinggi yang seakan membuatku mati tegang seketika. Alunan suaranya dapat memanggilku untuk mendekat, walapun melupakan hal-hal di sekitarku. Ia pengubah hati sendu menjadi rindu. Memaksakan hati untuk menanggungnya begitu lama.

Ah ... betapa bodohnya aku. Terlalu cepat untuk gila di masa muda. Lebih tepatnya, gila karena cinta.

Aku merupakan orang paling bodoh sedunia. Pria paling cupu di antara pria cupu lainnya. Hatiku terlalu lemah untuk seorang wanita seperti Fasha. Ungkapan ialah satu hal yang sangat sulit untuk aku lakukan. Setiap kata-kata yang ingin keluar, seakan tertahan di ujung bibir. Tak hanya itu, faktor-faktor pendorong untuknya agar bisa menyukaiku, aku pun tak mempunyai. Aku tak tampan dan aku tak kaya. Hanya saja, aku lebih mengenalnya lebih dari siapa pun.

Tidak ada satu orang pun wanita selain ibuku, yang dekat denganku, melainkan dia. Aku tahu apa makanan kesukaannya, aku tahu bonekanya apa, aku tahu nama peliharanya siapa, aku tahu kartun pagi yang ia sukai dahulu, bahkan aku tahu siapa yang ia sukai.

Itu yang kubenci, mengetahui orang yang disukai oleh orang yang kucintai. Tentu saja bukan aku. Jangan terlalu berharap padaku, wahai kawan.

Satu hari aku pernah membuatkannya surat yang mengatakan isi perasaanku padanya. Menyatakannya langsung padanya merupakan hal yang mustahil untuk aku lakukan. Menembaknya dengan SMS, bukanlah keahlianku. Aku tak pandai bergombal ria di balik ketikan layar handphone yang kupunya.

Tapi, aku bisa merangkai kata dibalik kertas putih yang tergoreskan dari ujung pena yang basah. Aku lihai memilah kata yang dapat menggoyangkan hati setiap pembacanya. Benar, tidak salah orang dahulu sanggup mendekati anak bangsawan kolonial, hanya dengan sepucuk surat yang ia tinggalkan. Kata-kata itu sakti, wahai kawan. Kau harus percaya.

Ingin aku tertawa untuk kedua kali

kepadanya semenjak bertahun-tahun yang lalu. Kau tak akan percaya dengan apa yang kukatakan kali ini. Apabila kau percaya, mohon jangan buat kita tertawa bersama. Biarkan diriku yang tertawa kali ini.

Aku lupa memberikan nama di pengujung surat yang kutulis dengan sepenuh hati. Sebuah surat mengenai hatiku yang lelah untuk bertepuk sebelah tangan, pada akhirnya hanya menjadi surat kosong. Lelah diriku menulis itu sepanjang malam. Tidak tidur mata ini demi memikirkanya.

"David, aku baru aja terima surat cinta dari seseorang. Tapi, enggak ada namanya," ucapnya saat itu sambil tertawa. Parahnya lagi, aku ikutan tertawa. Tertawa malu betapa bodohnya diriku. Setelah itu aku menangis dalam kesendirianku.

Tawanya saat itu masih erat kusimpan dalam lembaran momen yang kulalui dengannya. Aku tak ingin melewatkan setiap momen pun. Saking melekatnya, aku masih teringat betapa sama senyumnya dahulu dengan yang sekarang. Garis-garis bibir yang melebar dalam ranumnya senyum, berbias dengan cahaya senja yang datang. Aku tahu persis apa yang akan terjadi setelahnya. Ia terpicing menyembunyikan matanya yang bening bagai lautan tak bertepi. Beriak memantulkan bayang-bayang wajahku.

Tak sampai itu, aku tahu persis apa yang akan terjadi lagi berikutnya. Salah satu dari sepuluh Fasha's best moment yang telah kucatat di catatan harianku, yaitu ketika matanya yang bulat akan membentuk sebuah garis lurus tepat kepadaku. Aku tertegu, aku hilang, aku merasa hampa ketika cinta merekah hebat dalam batinku. Terombang-ambing dibawa akalku yang menari dan melenggang keluar dari garis edarnya.

"Tadi siang, aku nemuin sebuah surat lagi di depan mobilku." Fasha berusaha memulai pembicaraan setelah dirinya menarik kursi ke arah mejaku.

"Oh, ya? Dari siapa lagi?" tanyaku.

Sebenarnya aku tidak menyukai itu. Ia kembali bercerita mengenai orang-orang yang mengincarnya. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan selain meladeni pembicaraannya kali ini.

"Eggak ada namanya. Persis banget sama yang aku dapatkan sewaku SMA." Ia mengambil sesuatu dari tasnya dan memainkannya di antara jemarinya. Itu adalah sebuah surat.

Aku terbatuk seketika. Surat yang ia maksud ialah surat bodoh beberapa tahun yang lalu.

"Banyak banget yang suka sama kamu, Fash," ucapku untuk menyembunyikan salah tingkahku.

"Ah, bisa aja kamu. Semua orang itu berhak memilih suka sama siapa pun. Jika ada yang melarang, dia melanggar HAM. Bisa masuk penjara," balas Fasha sambil tertawa.

"Sekarang kamu bisa masuk penjara sekarang."

"Kenapa? Tanya Fasha."

"Ah, enggak ada."

Ia munafik. Aku tahu itu hanyalah omong kosong yang keluar mulut manisnya. Aku tidak yakin ia bisa menerima fakta bahwa salah satu teman dekatnya kini tengah jatuh cinta padanya. Ia menyeretku ke permainan yang tidak kunjung berakhir. Cerita yang tidak mengenal ujung, aku tersesat di dalamnya. Aku menunggu rasa ini hilang, namun ia tak pernah pergi.

"Jangan lupa besok aku tampil di festival seni bulan ini. Jangan lupa nonton. Kalau enggak, aku buat skutermu enggak jalan lagi."

"Oke, aku bakal datang." Aku mengangguk.

***

2

Itulah Fasha, selalu didekati oleh banyak pria. Termasuk aku yang juga mendekatinya dengan kedok sebagai seorang teman dekat.

Munafik sekali, bukan? Tapi, itulah yang terjadi. Ia memilihku menjadi teman hingga jalan itu yang membuatku terperangkap dalam belenggu rasa.

Vespa 50 milikku terbatuk saat aku hidupkan mesinnya. Ia terlalu tua untuk berhasil di upaya penghidupan pertama. Butuh beberapa kali percobaan hingga ia menyeringai seperti motor veteran. Bannya tidak pernah kuganti semenjak Dika membeli rongsokan ini dari seorang pria renta yang tengah membutuhkan uang. Wanginya masih tercium bau cat dua hari yang lalu. Warna merah mencolok ini terlalu menarik perhatian orang lain. Itu tidak termasuk dengan stiker-stiker komunitas motor yang tertempel di bagian samping. Namun, inilah saran dari kakakku sebagai pemilik pertama motor ini. Aku hanya mengikutinya saja.

Dentingan suara peralatan bengkel terdengar tatkala aku menginjakkan kaki. Wangi mesin tua tercium dari motor-motor modifikasi yang sedang dipreteli. Sangat ribut dan penuh asap rokok. Tampak seorang pria yang kumuh pakainnya oleh oli kendaraan yang menempel. Tangannya tergenggam sebuah tang besar sembari menunjuk-nunjuk sesuatu. Peluhnya jatuh tatkala mengintruksikan sesuatu kepada orang-orang di sekitarnya. Cukup ramai, tidak seperti tiga tahun yang lalu usaha ini mulai dibuka. Kini bengkel kakaku sudah terkenal di daerahnya. Orang-orang kini mempercayakan kendaraan mereka kepada orang yang tepat.

"David, ke sini dulu," panggil kakaku. Namanya Dika. Aku terbiasa memanggilnya dengan sebutan nama saja. Sudah terbiasa dan itulah yang membuat kami sangat akrab.

Teman-temannya selalu memanggilnya dengan sebutan Dika Oli. Selain kulitnya memang hitam legam seperti oli, gelarnya itu juga didapat karena sedari dulu ia sudah senang bermain dengan oli-oli motor.

"Lo lupa, ya?" tanya Dika.

"Emangnya gue lupa apa?" Bahuku naik pertanda tidak tahu.

Aku berpikir sejenak. Segala tugas pagi yang diberikan olehnya selalu aku selesaikan dengan baik. Seluruh bagian rumah sudah bersih, terutama ruang tamu yang berserakan minuman kaleng kosong. Bengkelnya pun tidak luput dari tanganku yang gatal jika kudapati tidak bersih. Tidak pernah bengkelnya aku tinggalkan dengan keadaan kotor.

"Coba pikir lagi." Ia jongkok melihat mesin motor yang sedang ia tangani.

Ada sesuatu yang aku lupakan hari ini. Rasa menjanggal itu akhirnya mencuat dalam pikiranku. "Oh iya. Maaf, gue lupa─"

"Hari ini meninggalnya Rio. Pasti lo belum ziarah ke sana," ucapnya dengan tegas. Matanya menatap lurus padaku.

Benar, hari ini merupakan hari meninggalnya saudara kandungku. Ia lebih tua sedikit daripada Dika. Namun, umurnya tak akan pernah lebih panjang daripada Dika.

Tuhan menjemputnya dua tahun yang lalu. Tepat ditahun yang sama ketika ibuku─orang tua satu-satunya yang kupunya─turut dipanggil sang pencipta.

Aku segera menuju kamar Rio. Ada sesuatu yang harus kuambil. Seperti ritual penting ketika diriku berziarah ke kuburannya. Barang itu tersimpan di sebuah lemari yang berisikan buku-buku bacaannya. Buku itu terletak di antara buku-buku politik peninggalan masa-masa kuliahnya. Aku membuka salah satu buku yang di dalamnya sudah dibolongkan dan mengambil sesuatu yang ia sembunyikan di dalam. Bukan aku yang menginginkan ini, melainkan dia. Aku hanya menjalankan wasiat yang ia katakan sebelum menghadap pencipta.

Kuburannya terlihat bersih. Mungkin saja, Dika sudah membersihkannya sebelum aku datang. Beberapa bunga baru juga tumbuh di atas tanah kubur yang ditaburi krikil-krikil putih. Tempat peristirahatan terakhirnya tampak bekas siraman air yang memanjang. Itu pertanda Dika sudah berkunjung lebih dulu dari pada aku. Beberapa puntung tembakau masih tersisa di sekitarnya. Aku tahu itu. Itu adalah tembakau murahan yang menjadi tembakau faforit Dika jika sedang tidak punya uang.

Tanganku mengusap namanya yang teukir di batu nisan, aku merindukannya. Banyak hal berharga yang ia ajarkan padaku sebelum kesesatan mempengaruhi dirinya.

Kepalaku melihat ke sekeliling. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, aku mengambil kertas putih persegi panjang yang kecil dan menaburi benda yang seperti tembakau itu di atasnya. Daun-daun kering ini menimbulkan bau yang menyengat. Sudah kuhapal wangi ini semenjak aku kecil. Aku tidak handal dalam melinting ini, tidak seperti Rio yang sering kulihat sangat handal saat ia beraksi di kamarnya sendirian.

"Ini yang lo minta, kan?" tanyaku kepada batu nisan yang bisu.

Aku membakar selinting ganja tanpa menghisapnya. Haram jika aku menghisapnya. Selinting ganja itu aku letakkan di atas nisannya seakan Rio tengah menghisapnya dengan nikmat. Asapnya bahkan lebih menyengat lagi ketika mengawang ke udara. Sedikit demi sedikit, lintingan itu menjadi abu. Bekas bakaran yang tercipta, jatuh dengan lembut ke bawah nisan.

Jika lo rindu, bakar ganja di atas batu nisan gua. Jangan lo isep, ingat itu, ucap Rio di seminggu sebelum kematianya.

Badannya sudah sangat kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Seperti zombie yang bertahun-tahun dijangkit virus. Habis-sehabis habisnya. Aku tak tega melihatnya saat itu. Tetesan air mata yang aku tumpahkan seakan masih hangat terasa hingga saat ini.

Aku merindukannya, sama seperti Ibu dan Ayah yang sudah meninggalkan aku dan Dika. Ia pernah kujadikan sandaran tempat diriku mengadu dari permasalahan masa kecil. Ia yang selalu membelaku ketika berkelahi dengan teman sebaya. Ia yang selalu datang ketika Ibu tidak mau datang ke pembagian rapor karena nilaiku yang hancur. Ia yang rela berhujan-hujan demi menjemputku ke sekolah, meskipun ada Dika yang lebih memiliki waktu yang luang darinya.

Kini, air mataku tumpah. Sama seperti di saat itu. Ketika terdengar Rio sudah menyerah dengan HIV yang menjadi sahabatnya bertahun-tahun.

***

3

Hanya aku dan Dika yang masih ada dalam silsilah keluarga ini. Semua kenangan bersama mereka hanya bisa tersimpan dalam serat-serat memori. Aku hanya bisa memanggil mereka dari cuplikan mimpi sekilas dari bunga tidur.

Mereka telah pergi meninggalkan kami berdua. Ayah meninggal ketika aku masih di SMP dan Ibuku meninggal di tahun yang sama ketika Rio tutup usia. Sebelum itu, keluarga kami hidup dengan makmur. Ayah punya jabatan tinggi di salah satu perusahaan. Semuanya berubah ketika ia meninggal.

Aku sudah lama tahu kelakuan Rio. Bayangkan saja, sewaktu aku masih SD, aku sudah tahu bagaimana melinting ganja atau pun merakit bong sendiri. Aku sudah tahu bagaimana seseorang sedang nge-fly saat efek narkoba itu sudah merusak akal sehatnya.

Di umur segitu, aku melihat Rio berimajinasi mengenai tangannya yang bisa menarik mentari mendekat. Kadang Ia menangis karena menganggapku sebagai sosok monster besar yang akan menyerangnya. Rio mempertunjukkan kepadaku semuanya. Namun, saat itu aku tidak pernah memberitahukan kepada orangtuaku. Aku takut Rio akan diusir dari rumah. Semenjak Ayah meninggal, Rio semakin menjadi-jadi hingga suatu saat ia divonis terjangkit HIV.

Ah, sudahlah. Kini aku terbiasa dengan pahit getirnya kehidupan yang kujalani. Retak hati yang kudapati, sudah berkali-kali aku rekat paksa. Tidak akan bisa aku hindari, sebuah titisan takdir yang Tuhan titipkan.

Mentari sudah terbenam sejam yang lalu. Kopi malamku telah menjadi kerak di tepian cangkir. Beberapa batang tembakau pun sudah habis dalam isapan. Tidak akan menunggu lagi, aku bergegas menuju kampus untuk menyaksikan penampilan perdana Fasha di panggung yang besar.

Satu hal yang ingin kuberi tahu lagi, aku mendapati sebuah pemandangan menarik yang selalu aku tunggu darinya. Aku mendapati 10 Fasha's best moment lainnya yang telah kurangkum dalam buku harianku, yaitu paras cantik Fasha ketika menyandang sebuah gitar. Ia terlalu mahal untuk kulewatkan ketika barang itu menempel pada tubuhnya. Memang, aku tidak bisa memainkan gitar. Tetapi, Fasha bisa melakukan itu melebihi musisi-musisi indie yang sering kudengar dari radio malam.

"David, akhirnya kamu datang. Aku deg-degan banget." Fasha menarik tanganku ketika memasuki keramaian. Ia sudah siap-siap dengan make up dan sebuah gitar yang ia sandang.

"Ah, ternyata kamu. Bikin kaget aja." Senyumku melebar saat menatapnya.

Fasha tertawa. "Aku gugup banget."

"First time, huh?" tanyaku.

"Iya, ini pertama kalinya aku tampil di festival seni kampus. Rame banget, aku enggak nyangka bakalan sebanyak ini yang nonton." Ia melebarkan tangannya pada keramaian yang ada.

"Semakin banyak malah semakin bagus. Ini kesempatan kamu buat nunjukin bahwa kamu itu punya suara yang indah," balasku. Ia tampak senang dengan kalimatku.

"Thanks buat dukungannya."

Malam ini aku duduk di barisan pertama untuk melihat Fasha bernyanyi dengan gitarnya di atas panggung. Aku sudah mengikat janji untuk melihatnya tampil malam ini. Tidak ada alasan untuk menolak permintaan orang yang kusukai.

Beberapa penyanyi dan band sudah menunjukkan performa terbaiknya di atas panggung. Tepuk tangan berderai setiap kali musik berakhir dengan indah. Aku menginginkan Fasha yang berada di atas panggung itu. Asal kau tahu, suaranya begitu indah bagai bidadari surga yang bernyanyi untuk seorang yang tulus di muka bumi.

Seseorang duduk di sampingku dengan napas yang terengah-engah. Wanginya begitu kuat tatkala langkahnya membawakan angin kepadaku. Berwangikan wangi bunga yang bercampur sedikit wangi apel yang kuat. Kudapati keningnya berpeluh ketika aku berusaha menatap matanya yang bulat. Wanita itu mengikat rambut sebahunya tanpa menyadari bahwa aku sedang memerhatikan. Ikat rambut berwarna merah itu menyatukan helaian yang tadi ia biarkan tergerai ketika tergesa-gesa untuk duduk.

Sungguh, wanita selalu cantik tatkala mengikat rambut. Termasuk dia, aku mengakui hal itu.

"Apa saya terlambat?" tanya wanita itu. Aku segera membuang wajah.

"Baru beberapa lagu sebelum kamu datang," balasku. Aku kini menoleh kembali padanya. Kuhapal setiap detail wajah wanita yang baru kujumpai dengan seksama.

"Saya datang ke sini buat ngelihat teman saya yang mau nampil. Kamu juga?" tanya wanita itu lagi. Wajahnya tetap menghadap ke penampilan di atas panggung.

Wanita ini terdengar terlalu formal. Jujur, terkadang aku risih jika harus berkomunikasi terlalu formal. Aku tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Seorang penampil di atas panggung tengah menarik perhatianku.

"Kamu terdengar formal banget," balasku tanpa menatapnya.

"Mau yang bagaimana? Lo-gue seperti yang lain?" Ia tersenyum tanpa menoleh.

Aku tertawa. "Terserah, yang penting tidak terdengar formal. Gue enggak terlalu suka yang bersifat formal."

Alunan melodi yang meliak-liuk menarik perhatian kami tatkala penyanyi di atas panggung berada di ujung penampilannya. Barisan penonton paling belakang berdiri lebih dahulu untuk memberi apresiasi. Kami bertepuk tangan, ia menunduk hormat. Rasa bangga yang melimpah ruah terlihat dari senyum bibirnya yang melebar. Ia mengambil mic untuk menyampaikan sepatah kata sebelum dirinya pergi.

"Seseorang pernah bilang ke gue, kalau lo lagi suka sama seseorang, jangan pernah dipendam. Sekarang gue minta salah satu dari kalian buat ngungkapin rasa cinta kalian di atas panggung ini sekarang. Terserah, mau untuk gebetan atau pun pacar kalian. Ada yang mau?"

Tanpa kuduga wanita berikat rambut merah itu mengangkatkan tanganku yang diam. Sontak aku terkejut ketika penyanyi di atas panggung langsung menunjukku. Semua orang bersorak dengan semangat. Ia turun untuk menjemputku ke atas panggung. Wanita di sampingku tidak berekspresi apa pun. Wajahnya tetap datar ketika aku dibawa oleh penyanyi. Aku tidak tahu siapa dia, namun ia telah membuatku dianggap sebagai sukarelawan untuk menjawab tantangan dari penyanyi di atas.

"Gue tahu lo sedang memendam rasa sama seseorang," ucap wanita dengan datar.

"Apa-apaan, sih? Sok kenal banget!" Aku tidak sempat melawan. Langkahku sudah dibawa ke tangga kecil untuk naik ke panggung. Seluruh penonton telah bersorak untuk memberikanku semangat.

"Tepuk tangan buat pria pemberani ini," ucap penyanyi kepada para penonton.

Nyaliku menciut. Di ujung penglihataku telah berdiri wanita bergitar yang tengah melihat tingkah konyolku sekarang. Wajahanya memereng sembari melipat tangan di dada. Sudah berkali-kali Fasha seperti itu ketika hal konyol sedang melandaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa, sudah terlanjur naik ke atas panggung.

"Selamat malam," ucapku di ujung mic. Bunyi mendengung terdengar dari speaker di ujung panggung. Ragu rasanya untuk bersuara, tetapi aku punya beberapa patah kata yang bisa menyelamatkanku di poisis ini.

"Aku cuma mau bilang, sebanyak apa pun jam itu berdenting karena waktu yang merangkak ke ujung, aku masih belum bisa melupakannya."

Penonton bertepuk tangan dengan petikan kalimat yang kuucap. Wanita sialan yang membuatku naik ke atas panggung ini malah tersenyum-senyum di bawah sana. Aku malu, aku malu dilihat Fasha. Aku takut jika ia menyadari bahwa kalimat itu ditunjukkan untuknya. Kalimat itu selalu aku tahan agar tetap tersembunyi dalam belenggu rahasia.

"Jadi siapakah gerangan orang yang lo maksud itu?" tanya penyanyi itu padaku.

"Ah, jangan─" Kalimatku terhenti. Mataku tertuju kepada wanita berikat rambut merah itu.

Aku tidak tahu apakah wanita itu gila atau sedang berpura-pura menjadi orang gila dengan kedok wanita cantik. Ia mengangkat tangannya. Bibirnya **** senyum dengan lebar, seakan tidak ada beban yang menahannya. Seluruh perhatian penonton tertuju ke tangan yang terangkat itu. Wajahnya mengarah padaku, tetap dengan senyum licik yang ia tunjukkan. Aku tidak mengerti maksudnya hingga ia mengucapkan sepatah kata.

"Aku yang ia maksud. Aku pacarnya," ucapnya dengan lantang.

Kini aku ingin mati seketika. Kuharap tuhan menyabut nyawaku untuk menyelamatkan diriku dari momen ini. Seluruh penjuru riuh ketika wanita itu mengucapkan kalimta itu. Kulihat Fasha tidak ada lagi di tempat berdirinya. Entah ia mendengarnya atau tidak, aku tidak mengentahuinya dan tidak ingin mengetahuinya.

**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!