NovelToon NovelToon

Senja Di Ujung Harap

Puppy Love

Katanya cinta monyet belum merupakan bagian dari cinta yang sesungguhnya karena perasaan yang dirasakan terutama oleh anak di bawah umur merupakan perasaan ketertarikan yang baru meliputi perasaan suka sebatas penampilan fisik saja belum memiliki tanggung jawab yang lebih mengenai hal yang lain terkait dengan perasaan yang demikian.

Benarkah demikian? Pertanyaan itu selalu menggelitik dipikiranku, karena sampai saat ini aku masih terjebak pada cinta monyet itu, bahkan aku berharap ia pun akan menjadi cinta terakhirku.

Aku terjebak pada perasaan terhadap seseorang, dia yang telah menyatakan cintanya dengan cara sederhana sejak usianya beranjak remaja, dan mencintaiku dengan cara yang sederhana pula, yang sejak dulu selalu bercanda untuk sekedar membuatku bahagia tetapi selalu serius mengajakku ke surga.

10 tahun yang lalu ……

Sabtu malam adalah waktu yang paling dinanti-nanti oleh anak-anak asrama. Karena malam itu semua kegiatan pembelajaran malam diliburkan, sebagian penghuni asrama pulang ke rumahnya masing-masing untuk melepas rindu dengan keluarga tercinta dan tentunya untuk meminta jatah bekal seminggu ke depan.

Tapi tidak sedikit pula yang tetap tinggal di asrama dan menghabiskan waktu dengan menikmati rebahan tanpa batas...hhehe..

Malam itu selesai shalat Isya, aku kembali ke kamarku bersama dua temanku yang saat itu sama-sama tidak pulang.

Husna dan Nia berbelok ke arah kantin untuk mencari amunisi bekal begadang ngerumpi nanti malam sementara aku berjalan lurus menuju kamar untuk menyimpan seperangkat alat shalat kami selepas melaksanakan shalat Isya berjamaah di masjid asrama.

Ketika hendak mengambil kunci asrama yang biasa diselipkan di bawah jendela, tiba-tiba aku menemukan sebuah amplof putih kecil terselip di jendela dan terjatuh saat aku hendak mengambil kunci.

Dengan penasaran aku ambil amplof kecil itu dan ternyata ada nama yang dituju tertera di sudut kanan bawah amplof kecil itu.

To : Shanum Najua Azzahra

Deg…

Untuk pertama kalinya aku menerima sepucuk surat yang menurutku sangat misterius, karena di amplof itu hanya tertulis namaku tidak ada nama pengirimnya sama sekali, apalagi cara surat itu sampai ditanganku sungguh sangat membuatku resah.

Ku tengok ke kiri, kanan dan sekitar kamar tidak ada siapapun. Kulihat ke belakang Husna dan Nia sudah masuk ke rumah Ibu asrama untuk menonton televisi. Di hari libur kami memang diperbolehkan menonton televisi hanya sampai jam sembilan malam.

Meskipun kegiatan pembelajaran libur tapi aturan asrama tetap berlaku bagi siswa yang tetap tinggal di asrama di waktu libur. Seperti jam tidur maksimal jam sepuluh, itupun sudah dispensasi satu jam dari hari biasanya, shalat harus tetap berjamaah dan makanpun harus tetap bersama.

Aku masuk ke kamar asrama dan mengunci pintu, setelah menyimpan perlengkapan shalat ke tempatnya, aku kembali membaca lagi tulisan di amplof itu.

Sangat jelas bahwa nama yang tertulis di amplof itu adalah namaku perlahan aku buka amplof itu, jujur hatiku berdebar, perasaanku tak karuan dan untuk pertama kalinya selama hampir 2 tahun aku memakai seragam putih biru aku menerima sepucuk surat misterius.

Bismillah

To: “Shanum Najua Azzahra

Assalamu’alaikum warahmatullah…

Shanum, I Love You….

From : Akhtar Farzan Wijaya

Deg...deg…deg…

Seketika rasanya waktu berhenti, jantungku berdetak begitu cepat, aku tak tau perasaan apa ini kenapa rasanya seperti ini. Untuk pertama kalinya aku menerima sepucuk surat cinta, singkat, padat dan jelas.

Tok..tok…tok… aku terkaget ketika suara ketukan pintu terdengar, dengan cepat ku sembunyikan surat itu dan ku simpan di bawah tumpukan bajuku di lemari.

“Assalamu’alaikum, lama banget buka pintunya lagi ngapain kamu, Num?

"Kenapa gak nyusul ke rumah Ibu Asrama?”, tiba-tiba Husna dan Nia datang dan memberondongku dengan pertanyaan.

“Ak..aku…aku lagi beres-beres baju di lemari”, jawabku gugup

“Kenapa kalian dah balik, udahan nontonnya?, tanyaku lagi.

“Iya ah, gak ada yang seru, terus si Ibu dan anak-anaknya juga udah tidur jadinya kita balik aja ke kamar mendingan ngerumpi sambil mengeksekusi ni kerupuk seblak.” jawab Husna meraih kerupukyang tadi mereka beli di kantin dan memakannya.

“Num, kamu jadi gak ikutan lomba puisi?”, Nia mengalihkan pembicaraan.

“ Insyaa Allah, kemarin Bu Fatimah manggil aku buat ikutan seleksi dulu di tingkat sekolah, katanya yang terbaik baru akan jadi utusan ke tingkat Kabupaten.”Jawabku.

Bu Fatimah adalah wali kelas kami kebetulan aku, Husna dan Nia satu kelas di kelas VIII-A dan kita juga sama-sama tinggal di asrama sejak kelas VII.

Menjelang akhir tahun pelajaran ini sekolah kami akan mengirimkan siswa-siswi terbaiknya mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai lomba yang diadakan oleh himpunan mahasiswa bahasa Indonesia salah satu perguruan tinggi di kota kami.

“Kalo gitu besok kita ke perpustakaan yuk cari bahan buat bikin materinya, aku juga mau ikutan seleksi lomba pidato, dan kamu Ni, jadikan ikutan seleksi lomba bercerita?”, tanya Husna.

“Jadi dong, kata bu Fatimah aku tuh keren kalo lagi bercerita makanya wajib ikut lomba,” Jawab Nia dengan jumawanya.

“Chh…..keren, sebab emang kamu tuh ratu drama,” sela Husna, diakhiri dengan tawa kami bertiga.

“Udah ah, aku mau tiduran, saatnya ganti baju kebangsaan,” Nia berlalu ke arah lemari untuk mengambil baju tidurnya.

“Num, pinjam kerudung instan ya, punya aku dicuci semua.”

“ Ambil aja di lemari paling atas,” jawabku.

Aku lupa kalau aku menyembunyikan sesuatu di dalam lemariku dan seketika aku teringat dengan surat itu.

‘Eh.. eh..Ni, tunggu biar aku ambilin,” aku berlari hampir setengah teriak.

Dan ….terlambat Nia udah menarik kerudung yang paling bawah dan pluk…tiba-tiba sebuah amplof terjatuh dan langsung diambil oleh Nia.

“Kembaliin Ni, itu punyaku,” ujarku.

“Apaan ini, hey ini surat, surat buat kamu?,” tanya Nia.

“Siniin ih itu punya aku, jangan dibuka", aku panik karena Nia malah mengangkat tangan yang memegang surat itu tinggi-tinggi, dia berlari membawa surat itu tanpa mempedulikan teriakanku.

“ckckckck……to; Shanun Najua Azzahra, ciee……kamu dapet surat cinta Num, dari siapa?

Kenapa gak bilang-bilang sama kita?”, Nia terus berlari menghindari kejaranku.

“Husna, tangkap!” Nia melempar surat itu ke Husna.

‘Cie…cie…cie, akhirnya seorang Shanum dapet fans juga,” ejek Husna sambil terus melihat-lihat itu amplof.

“Siniin atulah, jangan dibuka aku malu,” mohonku pada Husna

“Kenapa harus malu Num, diantara kita bertiga cuma kamu yang belum pernah nerima surat cinta, sekarang tetiba ada yang kirim kamu surat cinta, Alhamdulillah setelah sekian purnama akhirnya sahabat aku laku juga, hahaha…”, ejek Husna sambil mengibas-ibaskan surat itu ke wajahnya.

“Tapi aku malu, aku gak mau orang lain tau,” jawabku

“Shanum Najua Azzahra!", Nia menyebut namaku lengkap, biasanya dia seperti itu jika sedang dalam mode kesal.

"Kenapa kamu harus malu? kita itu sudah sahabatan lama sejak kelas VII, semua yang aku alami aku selalu terbuka sama kamu, waktu Kak Shakti ngirim surat cinta ke aku, aku kan juga cerita sama kamu, waktu aku pertama kali ngalamin haid aku juga cerita sama kamu, kita kan sahabat atau jangan-jangan kamu gak nganggap kita sahabat ya?", desak Nia padaku.

Ayatul Husna AlFarisi atau akrab dipanggi Husna dan Tanzil Tanzania Gunawan yang akrab dipanggil Nia adalah sahabat dekatku semenjak masuk ke sekolah putih biru ini dan tinggal di asrama jauh dari keluargaku.

Sejak awal mereka memang selalu membantuku dalam segala hal, kami bersama-sama melewati masa-masa tidak nyaman saat pertama kali tinggal di asrama sampai saat ini dua tahun berlalu persahabatan kami semakin erat sepertinya memang tak ada yang disembunyikan antara diantara kami, apapun selalu diceritakan.

Termasuk aku yang sering keceplosan karena iri belum pernah menerima surat cinta dari lawan jenis.

Mereka berdua sudah lebih dahulu pernah menerima surat cinta dari kakak kelas, secara mereka berdua sangat manis dan ramah, mudah bergaul dan enak diajak ngobrol , sementara aku jika tidak sedang sibuk dengan tugas sekolah dan kegiatan organisasi terkadang lebih asyik dengan duniaku sendiri.

Buatku mojok sendiri sambil membaca novel adalah refreshing yang sederhana tapi mampu merubah mood lebih baik.

“Tapi aku gak tau harus gimana sekarang?” ucapku lirih pada mereka.

“Iya makanya kalo ada apa-apa kamu sharing sama kita biar bisa kita bantu, kita juga pas pertama kali dapet surat cinta deg-degan lo, tapi ujung-ujungnya seneng kan akhirnya merasakan juga cinta monyet hihihi…,” sambung Husna sambil terkikik, merasa geli sendiri dengan ungkapan cinta monyet.

“Ya buka ya, buka … boleh ya, boleh?” Tanya Husna lagi.

“Tapi kalian jangan ngetawain ya,” pintaku.

“Iya..iya.. masa kita ngetawain, yang ada kita turut seneng akhirnya giliran kamu dapet surat cinta.” Jelas Husna

“Eh…betewe ini dari siapa sih?”, Husna dan Nia kian penasaran

Dan jreng…….akhirnya surat itupun terbuka….

“Hah…. Akhtar Farzan Wijaya", sontak mata mereka membulat setengah berteriak menyebutkan nama si pengirim surat.

Tentang Shanum dan Akhtar

Shanum Najua Azzahra

Gadis yang sederhana, ceria, aktif, mandiri dan berprestasi. Sejak remaja tumbuh jauh dari orang tuanya, karena semenjak SMP dia sudah tinggal di asrama.

Berasal dari keluarga yang sangat sederhana, dia memilih tinggal di asrama agar lebih dekat ke sekolah bahkan tidak mengeluarkan ongkos adalah salah satu alasannya.

Hari-harinya di sekolah putih biru itu ia lalui dengan menyenangkan. Shanum tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang ceria, cerdas, mandiri dan sangat aktif dalam berbagai kegiatan di sekolah.

Hampir semua organisasi yang ada di sekolahnya ia ikuti, hingga tak ada yang tak kenal seorang Shanum selain sebagai sekretaris OSIS, anggota Paskibra juga Pramuka dia juga masuk dalam kepengurusan Ikatan Remaja Masjid di sekolahnya, setiap Jumat ia berkeliling dengan teman-temannya untuk mengajak semua siswa di setiap kelas untuk mengikuti program Jumat Sedekah.

Ia tidak bosan mengajak teman-temannya berbagi untuk Tabakh alias tabungan akhirat yang nantinya uang yang terkumpul disalurkan melalui kegiatan bakti sosial di setiap akhir semester, disalurkan untuk orang-orang yang lebih membutuhkan, termasuk teman-teman mereka yang membutuhkan.

Dia selalu tampil energik dan bersemangat dalam setiap kegiatan yang dia ikuti, banyak teman dan Guru yang kagum dengan kemampuannya dalam berbicara di depan umum ketika memimpin rapat, mempresentasikan materi, atau menyampaikan informasi kepada teman-temannya meskipun usianya masih remaja.

Baginya berorganisasi adalah bagian dari belajar, dari berorganisasi Shanum memperoleh banyak hal, dari mulai melatih kepercayaan dirinya, keberaniannya, tanggung jawab, kemandirian, kemampuan membagi waktu, menganalisis masalah, mencari solusi dan membuat keputusan.

Banyak ide-ide kreatif yang muncul dari pemikirannya. Dari organisasi dia juga mendapatkan banyak teman dan pengalaman berharga.

Berorganisasi sudah menjadi hobinya, hari-harinya hanya disibukkan dengan belajar dan mengikuti berbagai kegiatan organisasi.

Walaupun dia sangat menyukai berorganisasi, dia tidak lupa tujuan utamanya yaitu belajar, apalagi dia bisa melanjutkan pendidikannya karena beasiswa.

Kesibukannya dalam mengikuti berbagai organisasi berlanjut sampai dia kuliah, bahkan ia bisa berkuliah karena mendapat beasiswa dari salah satu lembaga ketika ia mengikuti ajang perlombaan.

Semenjak kuliah, kesibukannya semakin bertambah karena ia pun harus bekerja sebagai Guru privat agar mendapatkan uang tambahan untuk keperluan kuliahnya. Shanum tidak mau membebani orang tuanya dengan biaya kuliah dan kebutuhannya.

Sudah cukup ia membebani orang tuanya dengan biaya pendidikannya selama ini, apalagi masih ada dua adik perempuannya yang masih membutuhkan biaya sekolah.

Dan kini ia bertekad bulat untuk menempuh pendidikan sarjananya tanpa harus membebankan masalah biaya kepada orang tuanya.

Begitulah Shanum, ia kian menginspirasi dan memotivasi banyak orang, hari-harinya selalu dibuat bermakna ia berprinsif untuk dapat selalu berkarya dimanapun berada, berkarya dalam kebaikan, meninggalkan jejak-jejak kebaikan di muka bumi ini selama ia hidup, dan memastikan setiap langkahnya adalah bernilai tidak hanya berjejak.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Shanum diterima menjadi Guru Tetap pada salah satu SMA Swasta ternama di kota Kembang, yang berada di bawah naungan Yayasan yang bergerak di berbagai bidang, selain pendidikan, yayasan itu juga bergerak di bidang sosial dan kesehatan.

Bukan hanya sekolah-sekolah yang mereka dirikan, tetapi juga ada panti asuhan dan rumah sakit. Apalagi konon katanya pemilik yayasan tempat Shanum bekerja juga merupakan seorang pengusaha sukses.

Shanum tinggal di perumahan khusus guru di lingkungan yayasan, dengan gaji dan tunjangan yang lebih dari cukup serta fasilitas yang sangat nyaman ia sungguh sangat beruntung, hingga ia pun kini bisa membantu orang tuanya membiayai pendidikan adik-adiknya di kampung.

Suatu kebanggaan untuk Shanum bisa diterima bekerja di yayasan ini, awalnya dia tidak cukup percaya diri saat mengikuti seleksi, secara yang mengajar di sana kebanyakan adalah sarjana lulusan luar negeri dan orang-orang yang berasal dari keluarga berada, bahkan di parkiran khusus pengajar dan karyawan nyaris semuanya roda empat, berbeda dengan dirinya yang menggunakan ojeg online untuk sampai ke tempat ini.

Tapi ternyata Allah berkehendak lain, dia diberi kemudahan dalam mengikuti segala proses seleksi itu dan berakhir dengan penuh syukur karena bisa bekerja di tempat ini.

Kesuksesannya dalam meraih pendidikan dan karir berbanding terbalik dengan perjalanan percintaannya.

Pernah mencoba membuka hati untuk lawan jenis, dipertemukan dalam waktu yang singkat dengan seseorang yang hampir menjadi imamnya, namun Allah berkehendak lain. Sang calon imam lebih dahulu menghadap Illahi karena sebuah kecelakaan.

Semenjak itu ia kembali enggan membuka hati.

Entahlah….ia seakan terjebak pada cinta semu di masa lalu, perasaan mencintai seseorang begitu dalam masih belum tersampaikan.

Ia pun cukup kuat untuk memendam itu semua bahkan terus berusaha mengabaikannya, karena pikirnya apa yang ada dalam hatinya hanya hatinya yang merasakan.

Akankah takdir mempertemukan kembali cintanya?

Akhtar Farzan Wijaya

Seorang pengusaha muda sukses, pemilik yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan kesehatan.

Selain seorang pengusaha ia juga seorang dosen pada salah perguruan tinggi yang bernaung di bawah yayasan keluarganya. Berasal dari keluarga berada, tinggal di kota besar dengan segala fasilitasnya.

Namun sayang saat kelas VIII SMP ia harus pindah ke kampung halaman Ibunya di Garut, Ayah dan Ibunya bercerai dan ia memilih tinggal bersama ibunya.

Karena tuntutan kebutuhan mengharuskan ibunya bekerja. Bekerja di lembaga swasta dengan jam kerja kadang melebihi jam kerja biasa membuat sang Ibu sering tak ada waktu untuk Akhtar, hingga ia memutuskan untuk mengirim Akhtar ke kampung halamannya dan tinggal bersama Kakek dan Neneknya.

Akhtar tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan ramah, ia selesai menuntaskan pendidikannya di Garut sampai SMP.

Saat memasuki SMA dia diajak oleh ayahnya untuk melanjutkan pendidikan bersamanya, Ibunya dengan sangat berat hati mengizinkan Akhtar ikut ayahnya dengan berbagai pertimbangan.

Dia dikirim oleh ayahnya ke sebuah pesantren di Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan SMA dan Sarjananya di sana. Hingga Ia berhasil lulus dengan Kumlaude dan melanjutkan kuliahnya ke Mesir.

Dan di sinilah dia sekarang, Bandung kota dengan sejuta pesonanya. Ia berdiri di atas rooptop sebuah gedung salah satu fakultas di perguruan tinggi tempatnya berbagi ilmu.

Setiap menjelang senja selesai mengajar ia sering menghabiskan waktu di tempat itu, baginya tempat itu seakan memberikan energi positif untuk lebih bersemangat esok hari.

Sampai pada suatu senja, pikirannya melayang ke beberapa tahun silam.

Terlintas bayangan seorang gadis ceria yang selalu mengukir senyum di wajahnya.

Sejujurnya Akhtar sangat merindukannya, tetapi keadaan tak cukup memberi kekuatan untuk ia mencari tahu tentang gadis itu.

Gadis yang berhasil menghangatkan hatinya di saat-saat dirinya terpuruk karena perpisahan Ayah dan Ibunya karena alasan yang tidak ia ketahui sampai saat ini.

Yang ia tau ayahnya adalah seorang ayah yang bertanggung jawab, menyayangi dirinya dan juga Ibunya dengan baik, bekerja sebagai seorang dosen yang sangat dikagumi banyak mahasiswanya karena kecerdasan dan kebijaksanaannya.

Ia pun berangan untuk seperti ayahnya kelak, tapi ia tidak tau kenapa sampai terjadi perpisahan antara ayah dan Ibunya. Kini ayahnya sudah menikah lagi tapi tidak dengan ibunya.

Ayahnya adalah ketua sekaligus pemilik dari yayasan tempat ia mengabdi, kesuksesan ayahnya dalam membangun yayasan ini sungguh membuatnya kagum.

Dan kini ia harus meneruskan estafet kepemimpinan yayasan dan membawanya menjadi lebih berkembang dan lebih banyak memberi manfaat untuk umat, itulah tekadnya.

Sederhana, tapi begitu memukau. Itulah kesan yang Akhtar miliki tentang gadis itu.

Semenjak kembali ke Indonesia pikirannya tak lepas dari bayangan masa lalunya bersama gadis itu.

Ia bertekad untuk kembali ke kampung halaman Ibunya untuk mencari tahu tentang keadaan gadis yang menjadi pujaan hatinya.

Akhtar berharap bisa kembali bertemu dengan gadis itu segera, ia rindu senyumannya, senyuman yang menghangatkan, ia rindu keceriaan dan kata-kata yang dengan derasnya mengalir dari bibirnya saat sedang presentasi di depan kelas, ia rindu ketegasannya ketika menjadi pemimpin rapat dalam organisasi, ia rindu….

Ah rasanya Akhtar sudah seperti orang gila, dengan membayangkannya saja sudah membuatnya senyum-senyum sendiri.

*Shanum Najua Azzahra,tunggu aku.* batinnya.

Garut Pangirutan

Garut Pangirutan

Demikian orang menyematkan julukan bagi Garut sejak dulu, pangirutan yang artinya menunjukkan rasa kangen atau rindu bagi mereka yang pernah menginjakkan kakinya di Garut.

Alam Garut memang selalu bikin kangen.

Deretan pegunungan, bukit rindang nan hijau, membuat orang yang melihatnya jatuh cinta. Bahkan udaranya yang sejuk, mampu menentramkan siapa saja yang pernah singgah di Garut.

Berada di wilayah Priangan Timur atau Jawa Barat bagian selatan. Garut memang menjadi pintu masuk dari wilayah barat, bagi kabupaten lainnya yang berada di sepanjang jalur itu.

Memiliki wilayah yang sebagian besar merupakan lahan konservasi, membuat Garut indah dan resik.

Bahkan, saat lomba kebersihan tingkat kabupaten pertama kali digelar pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1962 silam, Garut langsung menjadi juara pertama kota terbersih se-Indonesia.

Sebutan kota pangirutan memang tidak terlepas dari indahnya wilayah Garut, sehingga siapapun yang pernah singgah, memendam rasa untuk kembali bertandang.

Begitupun dengan Akhtar, setelah meminta izin dengan penuh diplomatis kepada sang Ayah ia diizinkan untuk pergi ke Garut.

Dengan alasan kangen sama nenek dan kakeknya dari pihak ibu, ia pergi membelah jalanan kota kembang ba’da subuh.

Sengaja ia berangkat dari Yayasan ba’da shalat subuh, berharap sampai ke Garut saat matahari mulai menampakkan sinarnya, di pagi hari suasana di kampung halaman ibunya itu sungguh sangat menyejukkan.

Dua setengah jam perjalanan ia tempuh, dan sampailah kini ia di halaman sebuah rumah sederhana yang tidak berubah sejak dulu, rumah bercat putih dengan dengan jendela yang besar dan halaman yang luas ditumbuhi beberapa pepohonan.

Di samping rumah tampak kebun dengan segala jenis tanaman obat dan sayur-sayuran tempat nenek dan kakeknya menghabiskan waktu jika senja menjelang.

Akhtar merasa de javu, merasakan kembali rasa yang pernah ada saat pertama kali memasuki halaman rumah ini beberapa tahun silam.

Tok tok tok…

“Assalamu’alaikum,” Akhtar mengucapkan salam sambil mengetuk pintu.

“Assalamu’alaikum,” kembali Akhtar mengulang ucapan salamnya.

Setelah salam kedua barulah tampak seorang gadis berjilbab putih yang membuka pintu.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawab gadis itu sambil membuka pintu.

Ia terperanjat, cukup kaget dengan tamu yang datang. Seorang pemuda berperawakan tinggi, dengan dada bidang , tampak atletis tengah tersenyum ramah di hadapannya.

Sejenak Aini seolah tersihir dengan senyuman pemuda itu. Aini baru tersadar saat pemuda itu mengiba ngibaskan tangan di hadapan wajahnya.

“ Hey… Assalamu’alaikum, Kakek Ahmad dan Nenek Aminah ada?” , tanya Akhtar membangunkan Aini dari lamunannya.

“Hah… wa’alaikumussalam, ada ada,” jawab Aini terkaget

“Akang siapa?’, tanyanya lagi.

“ Aku Akhtar, cucunya Kakek Ahmad dan Nenek Aminah, putra dari Ibu Fatimah dan Ayah Furqan.” Jawab Akhtar dengan rinci.

Mendengar suara orang mengobrol di depan rumahnya, nenek Aminah keluar dari dapur menuju ke ruang tamu.

Sejenak beliau menghentikan langkah, mengamati dengan seksama siapa orang yang bertamu pagi-pagi sekali.

“Aini, ada tamu siapa?” tanya nenek Aminah.

“Assalamu’alaikum, Nek. Aku Akhtar.” Akhtar yang menjawab karena Aini seperti masih asyik dengan lamunannya.

“Akhtar?,” ulang nenek setengah tak percaya.

“ Iya, Nek. Aku Akhtar cucu nenek putra dari ibu Fatimah dan ayah Furqan.” Jawab Akhtar.

Akhtar tersenyum lebar...

“Masyaa Allah… Akhtar, Alhamdulillah akhirnya kamu pulang,Nak. Nenek kangen.” nenek memeluk cucunya dengan erat dan tampak menangis. Akhtar pun membalas pelukan neneknya, tubuh neneknya kini terasa lebih ringkih karena sudah sepuh.

Setelah cukup lama mereka berpelukan, nenek pun larut dalam tangis kerinduan pada sang cucu, perlahan nenek melepas pelukannya. Beliau menuntun Akhtar masuk ke dalam rumah.

Ruang tamu yang masih tampak sama seperti beberapa tahun yang lalu, sejenak Akhtar amati sekelilingnya tak ada perubahan yang signifikan di rumah ini, hanya ada tambahan beberapa foto anak gadis terpajang di dinding ruang tamu.

Akhtar menengok ke belakang, masih berdiri gadis yang tadi membuka pintu.

“Aini, cepat susul si Aki ka Masigit (Masjid)!”, perintah nenek pada gadis itu.

Gadis itupun tampak kaget dan terburu buru ke luar sambil membenarkan kerudungnya.

Sementara nenek masih bergelayut manja ditangan kanan Akhtar dan menuntunnya untuk duduk di kursi tamu.

“Nenek, dia siapa?” tanya Akhtar penasaran tentang gadis itu.

“Kamu lupa? Dia adalah Aini sepupumu. Anaknya bibi Zainab. Dia yang selama ini menemani nenek dan kakek di rumah ini. Kamu tidak ingat dulu kalau bibi Zainab dan keluarganya berkunjung ke sini kamu sering sekali membuat Aini menangis karena kamu selalu menggodanya dengan menusuk-nusuk lesung pipinya,” jelas nenek panjang lebar.

Akhtar memundurkan ingatannya, dia ingat dulu sering sekali membuat nangis anak SD yang selalu berjilbab.

Iya, Akhtar ingat dia adalah Aini, Nurul Aini Rahmah nama lengkapnya putri dari bibi Zenab adik dari ibunya.

Kakek dan nenek memiliki dua putri dan satu putra, Ibu Akhtar Fatimah adalah anak pertama, Ibunya mempunyai adik perempuan yaitu bibi Zainab yang tinggal di Jakarta dan adik laki-aki yaitu paman Azzam yang tinggal di Serang, Banten.

Akhtar tersenyum sendiri, tidak terasa waktu sepertinya begitu cepat berlalu, Aini kini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, Akhtar pun sampai pangling dibuatnya.

“Assalamu’alaikum,” seseorang dengan suara yang tak asing di telinga Akhtar mengucapkan salam.

Akhtar menengok ke arah sumber suara itu sambil menjawab salamnya, dia lihat kakek sedang tersenyum ke arahnya.

Segera Akhtar berdiri dan menghampiri kakek, menyalaminya dengan penuh takdzim dan kemudian memeluknya.

“ Akhtar, kau sudah besar,” ucap kakek sambil mengelus punggung Akhtar.

“Kakek, Akhtar kangen, maafkan Akhtar.” sambut Akhtar dengan air mata yang tiba-tiba saja lolos dari mata sudut matanya.

Pikirannya melayang ke masa lalu yang penuh keharuan, teringat semua kenangan yang dia lalui dengan kakeknya selama tinggal di Garut.

Kakek adalah panutanku, darinya aku banyak belajar. Dari beliau pula aku belajar ketegaran, sebagai seorang lelaki tidak laiak untuk tampil lemah, lelaki harus kuat, kuat imannya, kuat pengetahuannya, kuat amalnya. Itulah nasehat kakek yang selalu aku ingat sampai saat ini.

Kakek pernah bilang bahwa aku sebagai lelaki kelak akan mempertanggungjawabkan 4 perempuan di akhirat, dulu awalnya aku mengelak, aku tidak terima jika sudah dewasa nanti aku harus memiliki empat istri.

Kakek hanya terkekeh dengan pemahamanku, sampai beliau menjelaskan bahwa empat perempuan yang akan menjadi tanggung jawabku adalah istriku, anak perempuanku, ibuku dan saudara perempuanku.

Keempat perempuan tersebut kelak akan meminta pertanggungjawabanku, apakah aku berhasil membimbing mereka ke jalan yang Allah ridhoi atau tidak.

Kakek selalu mengingatkan bahwa keimanan, keilmuan dan perilakuku harus benar-benar mumpuni, mampu membawa diriku dan keluargaku di jalan yang Allah ridhoi.

“ Kakek, sehat?,” perlahan Akhtar mengurai pelukannya.

“Alhamdulillah, Kakek dan nenek sehat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bertemu denganmu”, jawab kakek sedikit menggelitik hati Akhtar.

Pasalnya sejak Akhtar pindah ke Yogya dan melanjutkan kuliah ke luar negeri baru kali ini dia kembali ke Garut.

Selama ini Akhtar hanya berkomunikasi dengan Ibunya melalui telepon, itupun bisa dihitung dengan jari.

Selama beberapa tahun ini Ayahnya tidak terlalu membuka akses untuk Ibu maupun keluarganya menghubungi Akhtar, Ayahnya selalu beralasan agar Akhtar tidak terganggu belajarnya. Entahlah…

Setelah bercengkrama dengan penuh kehangatan sambil menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan nenek dan dibantu Aini tentunya, saling bercerita dan melepas semua kerinduan, nenek dan kakek menyuruh Akhtar untuk beristirahat.

Mereka khawatir Akhtar kelelahan karena mengendarai mobil sejak subuh dari Bandung, padahal tidak. Lelah Akhtar menguap seiring udara sejuk yang ia hirup saat memasuki kota Garut dengan sejuta harapannya.

Akhtar pamit pada kakek dan neneknya untuk menemui sahabat-sahabatnya waktu di Asrama, Akhtar juga bermaksud mengajak mereka mengunjungi asrama yang sudah menorehkan cerita indah di bagian dalam hatinya.

Sungguh Akhtar sangat penasaran, apa kabar Shanumnya sekarang, gadis pujaan yang selalu bertahta di hati dan ingatannya, tak lekang oleh waktu cinta yang sama ia persembahkan untuk sang pujaan hati.

Kemana dia melanjutkan sekolahnya dulu, apakah aktivitasnya sekarang?

Masihkah ia suka berorganisasi?

Dan yang paling penting Akhtar ingin memastikan satu hal yang selalu mengganjal di pikiranku, apakah gadis pujaan hatinya itu masih setia menunggunya?

Usia mereka sudah menginjak dua puluh lima tahun, usia yang bagi perempuan itu sudah sangat dewasa bahkan sebagian orang memahami terlalu dewasa jika belum menikah.

Apalagi di daerah perkampungan seperti ini, banyak gadis-gadis yang menikah di bawah umur yang seharusnya, jika ada perempuan yang belum menikah di usia yang sangat sudah matang menurut mereka tak jarang menjadi bahan obrolan tetangga.

Tapi sungguh, jujur Akhtar sangat berharap Shanum belum menikah, hingga kesempatan untuknya menepikan rasa terbuka lebar, menuntaskan cinta lama yang belum kelar. Hhe…

Menautkan asa yang sempat tertunda.

Sampailah Akhtar di rumah Andi, sahabat baiknya sewaktu di asrama, Andi tinggal di kampung sebelah.

Dulu beberapa kali Akhtar main ke rumahnya saat pulang dari asrama. Akhtar masih ingat betul rumahnya, dan disinilah ia sekarang.

Ketika hendak membuka pagar rumah, tiba-tiba Akhtar dikagetkan dengan suara seseorang di belakangnya.

“Punten, bade kasaha nya? (maaf, mau ke siapa ya?)”, tanya seseorang mengagetkan Akhtar. Reflek ia menengok dengan segera ke belakang, sesaat mereka saling pandang, dan tidak berapa lama…

“ Farzan”, ucapnya

“Andi”, timpal Akhtar…

Mereka tertawa sambil berpelukan, melepas rindu dengan penuh bahagia. Hingga setelah cukup puas mereka saling melepas pelukan, kemudian kembali tertawa penuh bahagia karena bisa bertemu lagi.

Andi mengajak Akhtar masuk ke rumahnya. Mereka saling bercerita banyak hal tentang kehidupan masing-masing selama ini, tentang sekolah mereka dulu juga tentang asrama yang kini semakin maju.

Andi sudah menikah dengan Laila, gadis yang sejak SMP sudah diincarnya, dari pernikahannya dia sudah dikaruniai seorang anak perempuan yang saat ini baru berumur 1 tahun.

Akhtar tak menyangka sekarang Andi menjadi kepala desa di desa ini. Sungguh sangat lucu, Andi yang dulu paling urakan diantara mereka 4 sekawan, Akhtar, Andi, Azwar dan Rayhan.

Andilah yang sering mendapat hukuman ketika di asrama karena melanggar aturan, sering tidur saat belajar, menyembunyikan foto cewek, kabur saat belajar retorika dakwah dan banyak lagi kenakalan-kenakalan yang dibuat Andi.

Walaupun Akhtar hanya tinggal sebentar di desa ini, tapi cukup memberinya kenangan indah, Garut dengan segala kisahnya.

Ceritanya singkat, kenangannya hebat, ngelupainnya susah banget.

Setelah bercerita kesana kemari hampir satu jam berlalu, akhirnya Akhtar mengungkapkan rasa yang selama ini mengganjal hati dan pikirannya.

“Di,kamu tahu bagaimana sekarang keadaan Shanum?”, tanya Akhtar dengan hati-hati.

Jujur ada ketakutan di hatinya akan mendengar kabar tentang Shanum.

“Beuh….geuning datang kadieu teh kadinya maksudna mah, (ternyata, datang kesini tuh maksudnya ke sana),” jawab andi sambil terkekeh.

“Serius Di, semenjak kepergianku ke Yogya aku belum pernah bertemu dia lagi, akupun tak tau kabarnya. Tapi jujur di hati dan pikiranku bayangan Shanum tak pernah hilang"

"Bahkan aku berharap sekarang bisa menuntaskan cinta lama ini, aku sungguh ingin menepikan hatiku padanya, aku ingin melamarnya menjadi pasangan hidupku, aku merindukannya, Di.” Tutur Akhtar panjang lebar.

Entah keberanian dari mana tiba-tiba Akhtar begitu lugas mengungkapkan perasaannya pada Andi, padahal dulu Akhtar adalah orang yang tidak terlalu suka mengobrol terutama tentang masalah pribadinya.

Mungkin karena sejak dulu Akhtar memang merasa nyaman dengan Andi bahkan Andi juga yang dulu menjadi kurir surat cintanya untuk Shanum.

Andi menghela napasnya panjang. Sebelum menjawab pertanyaan Akhtar, Andi menatap Akhtar dengan lekat, seolah ada keraguan di matanya.

“Zan”, Andi memanggil Akhtar dengan panggilan khas di sekolah dan di Asrama, Farzan.

“Kamu yakin selama kamu pergi dari sini tidak tertarik dengan perempuan lain?” tanya Andi penuh selidik.

“Rasanya aku enggak percaya kalau kamu tidak menemukan gadis-gadis cantik saat di Yogya, apalagi saat di luar negeri, pasti banyak sekali perempuan-perempuan yang mengantri ingin jadi pacarmu.” Sambungnya lagi.

“Ya, perempuan yang mengejarku sih banyak, bahkan banyak guru-guruku yang ingin menjodohkan anaknya denganku.

Tapi sungguh aku tidak tertarik, setiap kali ada yang mengajakku berta’aruf jujur aku semakin teringat Shanum.

Sekarang tolong kasih tahu aku dimana Shanum dan bagaimana kabarnya?”, pinta Akhtar.

“Masihkan aku memiliki harapan untuk bersamanya?” tanya Akhtar sendu.

Kembali Andi menghirup nafasnya panjang dan menghempaskannya dengan cepat.

“Sorry Zan, yang aku tahu Shanum kuliah di Bandung, dia mendapatkan beasiswa di sana, dan tidak selang lama keluarganya pindah, karena katanya nenek Shanum dari pihak Ibunya meninggal dan mereka pindah ke Bogor untuk menemani kakeknya.

Aku tidak tahu tepatnya dimana, dan kabar terakhir yang aku dengar dari adikku, Shanum sudah dilamar oleh seorang pegawai pemerintahan di Bogor.

Jika mengingat usia kita sekarang sepertinya Shanum sudah menikah. Kamu masih ingat dengan Husna dan Nia sahabat-sahabat Shanum kan?

Husna sekarang sudah punya dua Anak, si Nia malahan lebih keren dia punya 3 anak, anak keduanya kembar.” Tutur Andi panjang lebar.

Jlebbb……seakan seperti ada yang menusuk ulu hati Akhtar mendengar penuturan Andi.

Akhtar tersenyum ketir mendengarnya, rasa sakit menyelimuti hatinya.

Mengetahui kenyataan pahit yang jauh dari ekspektasinya.

Sakit tak berdarah, mungkin itu yang sedang Akhtar alami. Akhtar berusaha menetralkan kembali suasana hatinya, tak ingin merusak pertemuan bahagia dengan sahabatnya.

Mereka meneruskan obrolan dengan beragam topik dari masa lalu hingga masa kini.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan tibanya shalat dzuhur.

Setelah shalat dan makan siang yang disiapkan istrinya Andi, Akhtar pamit pulang ke rumah neneknya dan akan kembali ke Bandung karena ada jadwal di kelas karyawan, alasannya bohong.

Karena hari ini sengaja Akhtar mengosongkan jadwalnya sampai dua hari ke depan untuk berada di Garut, mencari informasi tentang gadis pujaannya dan mengenang kenangan indah selama tinggal di Garut.

Tapi rencana tinggallah rencana, Semangatnya sepertinya melebur menjadi rasa sakit, kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.

Akhtar melangkahkan kakinya gontai menuju mobil dan langsung menuju rumah kakek dan neneknya untuk pamit kembali ke Bandung saat ini juga.

Akhtar seperti kehilangan separuh jiwanya, harapan bersua bahagia dengan pujaan hatinya sirna.

Semua asanya untuk kembali menyelesaikan cinta lamanya yang belum kelar tinggallah angan semata.

Shanum, gadis sederhana yang berhasil memenangkan hatinya sampai saat ini nyatanya kini benar-benar tidak akan bisa ia gapai karena telah menjadi milik orang lain.

Kenyataan yang hari ini Akhtar terima, sungguh telah meluluh lantahkan hati dan perasaannya.

“Shanum, bolehkah aku egois?”, bisiknya lirih.

"Aku masih rumahmu, jika kamu ingat jalan pulang maka kembalilah", gumamnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!