Adelia mengembuskan napasnya lega setelah kakinya berhasil menginjak Bandara internasional. Setelah enam tahun lamanya ia kuliah dan bekerja di New York , kini wanita cantik itu kembali ke tanah air.
Adel celingak-celinguk melihat sekitar, tak ada yang datang menjemputnya. Ia lalu tersenyum tipis, terang saja tidak ada yang menjemput, pasalnya wanita yang kini berusia dua puluh lima tahun itu kini berada di Bandara Internasional yang ada di pulau B, bukan Jakarta.
Drttt drrttt drrttt
Setelah Adel menonaktifkan mode pesawat ponselnya. Serentetan pesan dari sang kakak memenuhi ponselnya. Adel hanya tersenyum membacanya. Saat ia hendak membalas pesan sang kakak, justru Syafira meneleponnya.
"Assalamualaikum, dek. Kamu udah sampai Bandara apa belum? Kakak lagi di jalan buat jemput kamu," ucap Syafira dari seberang telepon.
"Emmm, itu kak..." Adel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil meringis.
"Itu apa? Pesawatnya delay? Atau kenapa? Kamu jadi pulang kan, dek?"
"Jadi kok kak, ini baru saja turun dari pesawat malahan," Jawab Adel.
"Oh syukurlah, kakak kira kamu nggak jadi pulang lagi. Ya udah, tunggu sebentar kakak sama mas Bara sebentar lagi sampai," ucap Syafira yang sudah senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan adik kesayangannya.
Mendengarnya, Adel justru hanya bisa tersenyum getir," Emmm. Kakak putar balik aja, nggak usah ke Bandara," ucap Adel.
" Loh kenapa? Tinggal beberapa menit lagi sampai kok, sabar tunggu kakak," balas Syafira.
"Masalahnya aku nggak pulang ke rumah, kak," ucap Adel setengah bergumam.
"Maksudnya? Kakak nggak Ngerti!"
"Aku sekarang lagi di kota B," ucap Adel cepat. Ia langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya karena di seberang sana Syafira sudah meneriakkan namanya dan bersiap untuk mengomel.
"Udah dulu ya kak, taksi aku udah datang. Nanti aku telepon lagi, assalamualaikum!" Adel langsung menutup teleponnya sebelun sang kakak mengamuk.
Adel terus melihat ke kasur jendela, menikmati setiap pemandangan yang di lalui taksi yang ia tumpangi. Taksi itu melaju menuju ke sebuah alamat rumah yang sudah Adel sewa sebelumnya melalui online.
Ponsel di tangan Adel terus bergetar tanpa jeda. Syafira, kakaknya terus menelepon.
"Maaf kak, tapi aku masih belum bisa move on dari dia. Kalau aku pulang ke rumah, aku nggak siap lihat dia bersama anak istrinya," Gumam Adel. Ia hnya membiarkan ponselnya terus bergetar hingga berhenti sendiri.
Ya, Adel memilih ke kota B karena untuk menghindari seseorang dimasa lalunya yang ia pikir kini sudah memiliki istri bahkan anak. Selama di Luar negeri, ia memang sama sekali tak pernah mendengar kabar apapun dari pria yang pernah hadir di masa lalunya tersebut.
Butuh waktu sekitar satu jam dari Bandara Internasional Kota B untuk sampai di rumah yang akan Adel tempati.
"Sudah sampai non," ucap sopir taksi.
Adel turun dari taksi, sementara sang sopir taksi menurunkan kopernya dari bagasi.
Adel membuka kaca mata hitamnya lalu tersenyum melihat rumah yang sejak dulu memang menjadi rumah impiannya tersebut kini ada di depan matanya.
Adel mengeluarkan kunci yang tadi sudah ia ambil dari istri pemilik rumah tersebut.
Dengan perasaan senang, Adel berjalan menyeret kopernya masuk ke dalam rumah, "Akhirnya aku bisa juga tinggal di rumah ini, dulu hanya bisa lihat di Internet aja," gumamnya tersenyum.
"Hem, sepertinya penyewa rumah ini sebelumnya orangnya bersih dan rapi," Adel mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang tertata begitu rapi dan bersih.
"Kamarnya pasti diatas," Adel kembali menyeret kopernya, susah payah ia mengangkat koper tersebut menaiki anak tangga hingga ke lantai dua. Matanya langsung tertuju ke sebuh pintu, "Pasti itu kamar utamanya," dengan tidak sabar ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur, Adel berjalan cepat masuk ke dalamruangan yang benar ternyata adalah kamar tersebut.
Adel langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, "Ah nikmatnya," gumamnya. Duduk di pesawat cukup lama membuat tubuhnya benar-benar capek dan lelah. Hingga tak butuh waktu lama Adel sudah tertidur pulas.
🌻🌻🌻
Sementara itu di tempat lain....
Varel baru saja kembali ke kantor setelah menemui klien. Sejak pagi, ia harus menemui beberapa klien penting di luar kantor. Ia mengambil sebuah photo dari laci. Menatap photo tersebut tanpa ekspresi. Hal yang selalu ia lakukan ketika ia merasa lelah.
"Aku kangen," ucapnya dalam hati. Ia kembali memasukkan photo tersebut ke dalam laci setelah puas memandangnya.
"Kusut amat itu muka. Kayak uang serebu nyempil di dompet tahunan. Makanya buruan kawin, biar ada bini yang urus. Kan enak pulang ngntor gini capek ada yang mijitin. Nunggu apa lagi sih? Semua udah siap, tinggal nunggu lo aja nyiapin diri," ucap Rasel yang baru saja masuk ke dalam ruangan General Manager tersebut.
"Berisik lo, kayak lo udah kawin aja," timpal Varel.
"Jiah, nikah dulu bro, baru kawin, gimana sih?"
"Si al lo emang, yang ngomong kawin duluan siapa tadi?" Varel melempar bolpoin ke arah Rasel yang mana membuat Rasel terkekeh.
Varel beranjak dari duduknya.
"Mau kemana lo?" tanya Rasel.
"Pulang, capek gue!" sahut Varel.
"Dih enak bener. Belum jam pulang udah pulang duluan," cibir Rasel.
Varel menghentikan langkahnya lalu menoleh kepada sahabatnya tersebut, "Lo lupa siapa gue?"
"Ya ya, pak GM yang terhormat, bos mah bebas mau apa aja," ucap Rasel memutar bola matanya malas. Ya, hanya dia karyawan yang berani dengan bosnya sendiri karena dia adalah sahabat Varel. Lelaki yang tahu seluk beluk, luar dalam pria yang berprofesi sebagai General Manager (jabatan tertinggi) di sebuah hotel bintang lima di kota B tersebut.
Terhitung sudah empat tahun lamanya Varel memilih menetap di kota B dan mengurus Hotel dan resort yang dipercayakan oleh kakak iparnya, Bara.
Entah alasan apa yang mendasari keputusannya untuk tinggal jauh dari keluarganya tersebut. Yang jelas, Varel hanya ingin menyingkir dari segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya Dimana, ia harus kalah oleh ego seorang wanita yang begitu ia cintai. Wanita yang berhasil membuatnya terpuruk untuk beberapa saat lamanya.
"Yang penting gue berhasil buat hotel ini jadi hotel nomor wahid. So, gue mau menikmati hasil kerja keras gue dengan tidur sepuasnya setelah ini," ucap Varel.
" Ck, menikmati hasil kerja keras dengan tidur? Are you kidding me? Healing bro, liburan sono ke luar negeri, bukannya ke alam mimpi!" ucap Rasel tergelak.
Varel tak menyahut, ia sedang malas meladeni candaan temannya tersebut. Ia memilih berjalan keluar meninggalkan Rasel.
Gue boleh ikutan pulang awal nggak? Jam pulang tinggal dua jam lagi," Rasel segera menyusul Varel keluar.
"Enak aja, kerja!" Varel melenggang pergi sambil melambaikan tangannya kepada Rasel tanpa menoleh.
Sampai di rumah, Varel mengernyit karena pintu rumahnya tidak terkunci, "Kok nggak kekunci, apa tadi pagi aku lupa ngunci ya?" batinnya heran.
Tak mau ambil pusing, Varel membuka pintu dan melenggang masuk. Ia langsung menuju ke dapur untuk minum. Setelah itu ia menuju kamarnya di lantai dua.
Sampai di kamar, ia melepas kemeja dan juga celananya. Menyisakan boxer yang melekat menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia langsung mengempaskan tubuhnya sendiri ke atas ranjang.
Varel meraba tempat di sampingnya lalu ia tersenyum tipis saat menyentuh sesuatu yang tertutup selimut di sampingnya, ia pikir itu adalah bantal guling kesayangannya. Ia memeluknya dan menaikkan satu kakinya di atas bantal guling tersebut, "Hangat," gumamnya tersenyum. Tak butuh waktu lama, Varel langsung terlelap.
Tbc...
🌻🌻🌻
Menjelang sore hari, Adel merasa sesuatu telah menindih tubuhnya. Ia menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
"Apa ini?" gumamnya saat tangannya menyentuh sesuatu.
Di angkatnya sesuatu yang ia sentuh tersebut, ia langsung mengerjapkan matanya demi memperjelas penglihatannya. Sontak matanya langsung membulat, "Kaki?" gumamnya lagi. Ia menyingkirkan kaki yang menindih tubuhnya tersebut. Pria tersebut melenguh lalu membalikkan tubuhnya memunggungi Adel.
Adel menoleh ke belakang dengan tangan meraba-raba, ia semakin terkejut saat menyentuh sesuatu di balik boxer seseorang dan....
Aaaarrrrgghhhh!!!
Adel langsung bangun dan menutup wajahnya, "Ya ampun apa yang barusan aku pegang itu?" gumam Adel, tubuhnya langsung bergetar merinding membayangkan sesuatu yang kental, yang baru saja ia sentuh tersebut.
Setelah menarik napas beberapa kali untuk menenangkan detak jantungnya, Adel menunduk dan meneliti tubuhnya dengan meraba-rabanya, takut jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padanya.
"Masih lengkap, aman kan ya? Aku nggak di Pera wanin kan ya?" gumamnya sambil terus meraba dada dan sekitarnya hingga ke bawah, "Masih aman, nggak sakit, katanya kalau habis di gituan kan sakit," gumamnya lagi sedikit lega.
Lalu, pandangan Adel kembali tertuju pada pria yang kini sedang tidur di ranjangnya tersebut.
"Heh. Bangun! Kenapa kamu bisa tidur di kamarku?" ucap Adel. Namun, pria yang kini tidur membelakanginya tersebut tak tak bangun.
"Ih dasar! Kebo nih orang. Woi bangun!" Adel menabok pria kurang ajar yang berani tidur di kamar bahkan satu ranjang dengannya tersebut dengan bantal.
"Bangun woi! Siapa yang nyuruh kamu tidur di kamarku, berani sekalu kamu!" Adel terus memukul pria tersebut dengan bantal.
"Apa sih, berisik banget? Ganggu orang tidur aja, lagian kenapa emang kalau aku tidur sini? Kamar kamar gue! Suka-suka guelah!" ucap orang tersebut . Ia mengusap-usap telinganya sambil bangun dan duduk dengan kesadaran yang belum sempurna, matanya masih setengah terpejam.
"Astaga!" Adel menutup mulutnya yang seketika terbuka begitu menyadari siapa pria yang ada di depannya tersebut. Jantungnya langsung berdegub sangat kencang.
Pun dengan pria tersebut, yang tak lain adalah Varel. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali demi memastikan kalau dirinya tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi.
"Kamu?!" ucap mereka secara bersamaan saat mereka menyadari satu sama lain siapa orang yang kini sedang berada di depan mereka.
🌻🌻🌻
Varel dan Adel kini tengah duduk di ruang tamu dengan menjaga jarak dan masing-masing memasang wajah dingin. Yang jelas perasaan mereka sama-sama syok karena setelah sekian tahun mereka tak bertemu dan saling memutus komunikasi apapun antara mereka dan kini tiba-tiba mereka bertemu dengan cara seperti ini.
Di depan mereka berdua duduk sepasang suami istri pemilik rumah tersebut.
"Jadi ini bagaimana? Kenapa kalian menyewakan rumah ini kepada orang lain sementara saya sudah memperpanjang kontrak rumah ini dua tahun ke depan," ucap Varel menatap seasang suami istri tersebut.
"Aku juga udah bayar uang sewanya," Adel tak mau kalah karena memang ia sudah membayar uang sewa rumah tersebut sejak ia masih berada di luar negeri.
Varel menatap Adel, dari sorot matanya terlihat pria itu menyimpan benci, dendam dan rindu yang menjadi satu. Wanita yang pernah mengisi hatinya tersebut langsung melengos, tak berani membalas tatapannya.
" Begini tuan, nona. Sepertinya terjadi kesalahpahaman. Istri saya tidak tahu jika tuan memperpanjang kontrak rumah ini, jadi dia membuat iklan di Internet untuk menyewakan rumah ini," jelas pria berbadan gempal dan tak begitu tinggi itu.
"Iya tuan. Saya tidak tahu," imbuh sang istri yang kini tengah hamil tua tersebut.
"Bagini saja... Nona, uang nona akan saya kembalikan,dan nona bisa mencari rumah lain untuk di sewa,"
"Tapi, uangnya udah aku pakai sayang, buat booking rumah sakit satu lantai buat lahiran anak kita," potong istrinya cepat. Pria tersebut langsung mengusap wajahnya kasar demi menahan kekesalannya karena sang istri yang sok sultan, ingin melahirkan seperti para artis yang bayarannya em-eman perbulan tersebut.
"Lagian saya juga nggak mau uang itu di kembalikan, udah deal ya deal, saya bakal sewa rumah ini setahun!" kekeh Adel.
"Kalau begitu, uang tuan saja yang saya kembalikan, bagaimana?" pemilik rumah beralih menatap Varel.
"Oh tidak bisa! Saya menyewa rumah ini sudah empat tahun lebih, dan ini balasan kalian? Biar dia saja yang keluar dari sini, toh uang dia hanya separoh dari uang sewa saya, dia cuma setahun kan sewanya?" Varel menunjuk Adel. Gadis itu langsung melotot ke arahnya.
"Nggak bisa gitu dong, om! Aku juga udah keluar banyak buat sewa dan ini tuh rumah impian aku dari dulu, om tahu itu kan?" ucap Adel ngegas.
"Nggak tahu!" sahut Varel cepat.
Adel mencebik, jelas-jelas dulu mereka sering membahas dan browsing lihat model-model desain rumah. Mungkin pria ini sudah melupakan semuanya tentang mereka, pikir Adel.
"Om yang ngalah kenapa? Om kan ada uang banyak, kenapa harus berdebat hanya karena uang yang nggak seberapa buat om. Om bahkan bisa beli atau bangun rumah yang lebih bagus dari ini, bahkan istana!," ucap Adel.
"Kamu juga, sekian tahun kerja di luar negeri, masa uang segitu aja bikin kamu miskin. Percuma ke luar negeri!" ledek Varel.
"Bukan soal uangnya, tapi ini rumah impian aku dari dulu! Aku udah mimpi tinggal di sini sejak lama, om ngertiin dong!"
"Nggak! Aku juga udah nyaman tinggal di sini, malas kalau harus cari tempat lain, kamu aja yang keluar dari sini!" kekeh Varel.
Adel yang kesal berdiri dan menatap Varel tajam. Pria itu tak mau kalah, ia juga berdiri dan balas menatap wanita tersebut.
"Nggak berubah! Keras kepala!" ucap keduanya bersamaan.
Entah ada dendam apa dua manusia yang sama-sama keras kepala ini sehingga kini malah mereka saling perang dingin seperti ini. Selasa suami istri pemilik rumah tersebut terlihat bingung melihat perdebatan sengit keduanya. Padahal perkara sepele, uang mereka akan di kembalikan salah satu dan salah satunya bisa menyewa tempat lain. Namun, mereka sama keras kepalanya tidak ada yang mau mengalah.
" Jadi, ini bagaimana? Uang siapa yang harus saya kembalikan?" tanya pemilik rumah di sela-sela perang dingin kedua orang tersebut.
"Dia!" ucap Varel dan Adel bersamaan sambil menunjuk wajah satu sama lain. Membuat pemilik rumah serba salah.
"Dasar keras kepala! Nggk berubah!" hardik Varel.
"Bodo!" balas Adel jutek.
"Tuan, nona," panggil pemilik rumah.
"Apa?" tanya keduanya sewot. Pemilik rumah langsung diam.
"Aduh!" pekik istri pemilik rumah tiba-tiba seraya memegang perut besarnya.
"Eh itu istrinya kenapa?" tanya Adel yang melihat istri pemilik rumah meringis kesakitan.
"Sayang, sepertinya aku mau melahirkan. Perut aku mules karena mendengar mereka bertengkar. Sepertinya anak kita syok karena mereka!" ucap istri pemilik rumah. Yang mana membuat Adel dan Varel saling pandang lalu mengernyit bersaan.
"Gara-gara om. Nih. Kan ibunya jadi kontraksi. Anaknya takut tuh dengar suara om," tuduh Adel.
"Enak aja, gara-gara kamu tuh, anaknya migrain dengar suara cemprengmu kamu!" Varel tak mau di salahkan.
"Cukup!" teriak pemilik rumah dengan keras. Membuat Adel dan Varel langsup mengatup.
"Istri saya mau melahirkan, kalian malah sibuk bertengkar! Bisa-bisa anak saya lahir di sini gara-gara kalian!" ucap pemilik rumah ngegas.
Varel mengernyit, kenapa jadia galakan pemilik rumah, jelas-jelas mereka yang salah, pikirnya.
"Saya mau bawa istri saya ke rumah sakit, kalau kalian tidak ada yang mau mengalah, lebih baik kalian tinggal bersama di sini, permisi!" ucap pemilik rumah yang sebenarnya panik kerena istrinya akan melahirkan anak pertama mereka yang sudah mereka nantikan bertahan-tahun.
Varel dan Adel hanya bisa melongo melihat kepergian pemilik rumah sembari memapah istrinya. Kemudian mereka saling menatap.
"Pokoknya aku mau tetap tinggal di sini, titik!" ucap Adel.
"Aku juga! Titik titik titik!" Varel tak mau kalah.
Adel menghentakkan kakinya lalu memilih pergi meninggalkan Varel.
Varel menatap punggung Adel, ada perasaan yang aneh menghimpit dadanya saat ini, "Kenapa kau kembali?" batinnya bertanya.
Tbc....
Adel tampak mondar-mandir di dalam kamar. Jantungnya yang sejak tadi berdetak dengan cepat belum juga stabil.
Ia tak menyangka akan bertemu kembali dengan pria yang menjadi cinta pertamanya tersebut dalam situasi seperti ini.
"Ya ampun, dunia sempit sekali sih. Jauh-jauh ke sini karena mau menghindari dia eh sia-sia, gagal total!" gumamnya.
Adel duduk di tepi ranjang, "Kalau dia tinggal di sini, terus dimana istri sama anaknya? Apa... Mereka tinggal di sini juga? Atau... Di Jakarta dan dia di sini cuma karena pekerjaan aja? Iya kan? Buktinya cuma nyewa rumah aja, kalau sama anak istri harusnya di kasih rumah yang layak dong, nggak ngontrak?" Adel terus berpikir. Ia sempat ingin menyerah dan pergi saja rasanya tidak akan kuat jika harus ketemu terus dengan pria yang sampai saat ini masih menempati ruang di hatinya tersebut.
Tapi, ia ingat tujuannya ke kota tersebut, selain untuk menghindari Varel. Namun juga untuk memulai usaha. Ya, Adelia akan membuka butik di sana. Segala sesuatunya sudah ia persiapakan sejak masih berada di luar negeri. Memiliki usaha sendiri adalah cita-citanya sejak dulu. Tak heran jika saat kuliah Adel memanfaatkan otaknya yang pintar dengan mengambil dua jurusan sekaligus di dua kampus yang berbeda yaitu jurusan bisnis dan fashion designer.
Setelah tamat kuliah, Adel bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang mode selama dua tahun. Dan sekarang ia akan membangun sebuah butik dari hasil tabungannya selama bekerja.
"Aku harus hemat sekarang, nggak bisa keluar uang lebih banyak lagi buat sewa rumah lainnya yang mungkin lebih mahal harganya," gumam Adel mengingat kebutuhannya setelah ini akan lebih banyak untuk modal usahanya nanti.
Sebenarnya ia bisa saja minta kepada kakak iparnya yang kaya raya, tapi Adel tak mau melakukannya. Sudah terlalu banyak yang Bara lakukan untuknya, sudah waktunya ia mandiri.
"Ah nggak bisa! Kalau harus keluar dari sini, dia dong harusnya bukan aku, ngapain juga aku harus ngalah, aaarrgghh om Varel nyebelin emang, dari dulu nggak berubah!" gumamnya frustrasi.
Daripada pusing memikirkannya, Adel memilih mandi. Mungkin dengan mandi, pikirannya bisa sedikit lebih fresh.
Sementara Varel, pria itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa ruang tamu. Sesekali ia melirik ke lantai atas. Entah apa yang ia pikirkan saat ini.
Varel menghela napasnya dalam lalu berjalan menuju lantai atas. Ia berniat untuk membersihkan diri karena badannya terasa gerah. Ia membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam.
"Aaarrgghh!" teriak Adel yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan melilitkan handuk untuk menutupi tubuhnya. Rambutnya yang basah ia gulung ke atas menggunakan handuk sehingga leher jenjang dan putih miliknya terlihat sangat jelas.
Varel langsung melotot lalu tanpa sadar ia menelan salivanya melihat pemandangan indah di depannya. Belum juga hilang keterkajutannya tadi, kini di tambah lagi shock teraphinya.
"Balik badan!" teriak Adelia dengan mata melotot. Tangannya ia silangkan di dada.
Varel langsung memutar badannya membelakangi Adel.
"Om ngapain ke sini? Mau mesum ya?" tuduh Adel.
"Eh sembarangan kalau ngomong. Ini kamarku, kamu yang ngapain di sini?" sahut Varel dengan tetap membelakangi Adel. Jantungnya berdebar kencang. Kalau saja Adel melihatnya menelan ludah susah payah, pastilah wanita itu akan semakin murka.
Adel mencebik, ia merutuki kebodohannya yang tak mengunci pintu kamar tadi.
"Om keluar dulu, aku mau pakai baju!" usir Adel.
"Aku mau mandi, gerah!" Tak mengindahkan permintaan Adel, Varel langsung berjalan miring, melewati Adelia tanpa berani menoleh.
"Eh mandinya kan bisa di kamar lain!" teriak Adel namun terlambat, Varel sudah melesat masuk ke dalam kamar mandi.
"Ck, dasar mas um!" Adel meneriaki Varel yang baru saja menutup pintu kamar mandi.
Sekitar lima belas menit kemudian, Varel keluar dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya karena ia pikir Adel sudah selesai dengan urusan ganti bajunya dan sekarang wanita itu berada di luar kamar.
Namun, ternyata wanita itu masih belum memakai bajunya, wanita itu terlihat sibuk dengan kopernya sambil menggerutu tak jelas.
"Ngapain kamu?" tanya Varel sambil berkacak pinggang.
Adel menoleh, ia menelan salivanya spontan saat melihat Varel bertelanjang dada dengan rambut setengah basah.
"Stop! Jangan mendekat!" teriaknya membuat langkah kaki Varel langsung terhenti.
Adel kembali fokus kepada kopernya, tangannya terus mengotak-atik koper tersebut, "Duh, gimana ini. Kok susah banget bukanya, perasaan udah benar kodenya. Kok tetap nggak bisa di buka sih," gumamnya.
Varel hanya melihatnya sambil bersedekap," Butuh bantuan?" tanyanya tanpa ekspresi.
"Nggak!" Jawab Adel cepat.
Varel yang melihat Adel terus menggerutu karena kopernya tak kunjung terbuka, akhirnya mendekat berniat membantu.
Tesss!
Setetes air jatuh ke tangan Adel yang sedang mengutak-atik koper. Ia menoleh dan memdapati Varel sudah berdiri di sampingnya.
Adel langsung bereaksi, ia langsung berdiri, "Mau ngapain?" ucapnya sambil berdiri dan berjalan mundur. Namun sayang, ia kehilngan keseimbangan karena kakinya kepentok ranjang. Tak ingin jatuh, Adel meraih apapun yang bis ia raih untuk pegangan, dan ternyata yang ia tarik adalah handuk yang melilit pinggang Varel.
BRUK!!!
Adel tetap terjatuh di atas ranjang dan...
"Arrrgggghhh," teriak mereka bersamaan. Varel langsung menutup aset masa depannya dengan menggunakan kedua tangannya, sementara Adel menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Napas keduanya memburu seperti habis lari maraton.
"Dasar, me sum! Keluar cepat! Keluar!" teriak Adel histeris.
"Kau yang me sum! Kenapa menarik handukku?" Varel tetap tak mau di salahkan.
"Keluar!" teriak Adel tanpa membuka wajahnya.
Varel berdecak, ia mengambil handuknya dan kembali melilitkannya di pinggang. Tetap berusaha terlihat santai, padahal hatinya tak karuan.
Duk!
Saat Varel melangkah hendak pergi, kakinya justru kesandung kaki Adel yang menjuntai ke lantai. Tak ingin jatuh tersungkur ke lantai, Varel memilih menjatuhkan diri di ranjang yang empuk, pikirnya cepat.
Namun, Bukan kasur yang ia timpa, melainkan tubuh Adelia.
Adel membuka wajahnya, karena merasa berat dan tetap saat itu juga ia melihat wajah Varel yang sedang berada di atasnya. Sesaat ia terpaku pada wajah yang ia rindukan di depannya, pun dengan Varel yang kini menatapnya lekat. Terutama pada bibir merah Ade. Masih teringat jelas di kepalanya bagaimana rasa bibir wanita tersebut.
Melihat jakun Varel yang naik turun karena menelan salivanya, Adel langsung memukul dada pria tersebut.
"Aaaarrgghhh! Dasar, me sum!" teriak Adel.
Duk,
"Awww!"
Varel meringis sambil memegangi tongkatnya yang baru saja di tendang oleh Adelia.
"Jahat! Ini aset masa depan gue!" teriak Varel di sela-sela rasa linunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!