“Sweet Baby, nanti malam ikut gue balap mobil ya, please, janji ini yang terakhir.”
“Ogah! Kamu tau sendiri aku nggak suka kamu ikut kegiatan nggak berfaedah itu!”
Baby berlalu meninggalkan sang kekasih yang terus memohon sepanjang langkahnya. Dia-lah gadis pencuri hati Lucky, sang juara balap, sekaligus anak pemilik sekolah tempat Baby menimba ilmu.
“Baby, please, sekali ini aja. Gue janji ini yang terakhir!”
Pemilik mata indah itu tidak tega melihat kekasihnya yang terus memohon. Belum lagi pandangan para siswa, sudah seperti menguliti dirinya.
Keandra Lucky, tampan, tajir, merupakan pemuda paling amazing di Sekolah Taruna. Banyak gadis yang rela menjadi babu-nya, asal bisa berdekatan dengan Lucky. Tetapi sayang, hati dan cintanya hanya terpaut pada seorang gadis dengan tinggi 173 cm itu. Siapa lagi kalau bukan Baby Cornelia alias Baby Corn.
Sementara Lucky sendiri mempunyai tinggi 178 cm. Pasangan yang cocok bukan, tentu saja. Kedua orang tua Lucky, sangat menyayangi Baby seperti putrinya sendiri. Terlebih Baby bisa mengubah kebiasaan buruk Lucky yang suka menggunakan obat-obat terlarang.
“Oke, tapi ini yang terakhir, janji!”
“Siap, My Sweet Baby.”
🍃Jam tujuh malam waktu Jakarta.
“Mau kemana?” sapa Michael.
“Biasa dong, malming mah kencan!"
Tangan lentik itu pun menoel ujung hidung Michael yang memang selalu menggoda.
“Ish, singkirkan tangan elu! Kebiasaan nih, abis cebok, nggak cuci tangan!”
Reflek Baby menciumi kedua tangannya. Sementara Michael tertawa terbahak-bahak karena tingkah adiknya.
“Apa-an coba, kapan gue boker. Ish, nyebelin!”
Melihat adiknya marah, ia tertawa senang. Ia mengacak-acak gemas rambut Baby. Seketika bibir tipis berlapis liptint itu mengerucut. Tangannya bersedekap karena candaan Michael yang membuat mood Baby seketika anjlok ke dasar bumi terdalam.
“Dasar Abang kagak ada akhlak!” gerutu Baby sambil mendudukkan kasar pantatnya ke sofa.
“Tapi sayang, 'kan?” tanya Michael yang menaik turunkan alisnya nggak jelas.
"Geje!"
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
“Assalamu’alaikum .... ” sapa Lucky dari luar.
Michael menoleh ke arah adiknya yang masih mode marah itu.
“Tuh, pangeran berkuda besi, 'dah datang, buruan gih pergi, atau mau gue acak-acak lagi.”
"Dih, dia tuh pangeran berkuda putih, Abang bengek!"
Baby yang gemas, akhirnya menonyor perut kakaknya itu lalu berlalu pergi.
“Argghh, sakit!” ucap Michael berpura-pura.
Sementara Baby sudah masa bodoh dengan kakaknya itu dan berlalu ke pintu depan.
“Wa’alaikum salam."
"Cabut, yuk! Cepetan! Keburu dikejar makhluk Planet Pluto, 'ntar!” ucap Baby sambil berlari kecil meninggalkan abangnya.
Lucky hanya tersenyum lalu pamit pada Michael. Tak lama kemudian, mobil balap Lamborghini Huracan Super Trofeo Evo itu mulai membelah jalanan Ibu Kota.
“Feeling gue kok enggak enak, ya?” batin Michael sebelum menutup pintu rumahnya.
"Semoga nggak ada apa-apa."
Beberapa saat kemudian, mobil yang mereka kendarai sudah masuk ke lokasi balapan. Suara bising dari mobil-mobil yang ikut balapan semakin memekakkan telinga. Baby sampai harus menutup telinganya dengan headphone, karena tidak tahan dengan suara yang memekakkan telinga itu.
Balap mobil adalah hal yang paling tidak disukai Baby. Tetapi karena Lucky berjanji, ini balap terakhirnya, membuat Baby rela berbaur di sana.
Mobil Lucky kini sudah berada di arena balap, sementara Baby duduk di samping kekasihnya di dalam mobil.
“Sudah siap, Baby?” tanya Lucky.
Baby mengangguk, sesudah itu, wanita berpakaian minim bahan mengayunkan benderanya ke atas, sebagai tanda dimulai balapan malam itu. Selanjutnya, Lucky langsung tancap gas.
Di putaran awal, mobil Lucky belum memimpin, tetapi ditengah perlombaan, mobil lamborghini miliknya mampu memimpin pertandingan hingga garis finish. Sorak-sorak penonton menggema, mengelukan nama Lucky yang memenangkan pertandingan. Ia memang seorang bintang di arena balap.
Sebagai rasa terima kasih, Lucky memeluk gemas tubuh Baby. Tak lupa ia terus menghadiahi ciuman di pucuk kepala sang kekasih.
“Thank’s Baby, you are my life.”
Baby bahagia, karena setelah ini Lucky benar-benar bebas dari dunia balap mobil. Setelah puas berpesta dengan teman-temannya, kedua remaja itu berniat pulang ke rumah.
“Thank’s Lucky, semoga setelah ini kita masih tetap bersahabat meski sudah tidak satu lintasan lagi.”
“Tenang, Bro, sampai kapan pun kita tetap bersahabat. Lagi pula, ini emang rencana gue dari lama, demi My Queen, My Sweet Baby. Kebahagiaannya adalah prioritas utama," ucap Lucky sambil merangkul pundak Baby.
“Baby, gue titip Lucky ya, dia cowok sekaligus sahabat terbaik.”
“Sip.”
“Ya udah, gue balik.”
“Hati-hati, Bro.”
Setelah berpamitan pada rekan-rekannya, Lucky dan Baby segera pulang. Apalagi ini sudah hampir jam sebelas malam. Mobil yang dikendarai Lucky melaju kencang membelah jalanan Ibu Kota. Dengan senyum yang tidak pernah pudar, kedua remaja itu menikmati aura kemenangan malam itu.
Tetapi tidak berlangsung lama, mobil yang dikendarai Lucky tiba-tiba kehilangan kendali. Remnya blong, lalu sebuah kendaraan dengan kecepatan tinggi menabrak bagian belakang mobil Lucky, hingga mobil yang dikendarai Lucky dan Baby oleng lalu menabrak dinding pembatas jalan.
Karena kecepatan yang digunakan Lucky lumayan tinggi, mobil mereka ringsek dan sempat berguling beberapa kali. Kaki Baby terjepit badan mobil, kepalanya terantuk dashbord dengan sangat keras hingga banyak darah yang mengalir di sana. Sementara itu, tubuh Lucky terluka parah, hingga detik itu pula ia dinyatakan meninggal dunia.
Iringan mobil ambulance dan polisi mendatangi lokasi kecelakan. Tubuh Baby dan Lucky segera dibawa ke Rumah Sakit. Lucky dilarikan ke ruang otopsi, sementara Baby dibawa ke ruang operasi.
Michael langsung meluncur ke Rumah Sakit setelah mendapat kabar itu. Baru saja ia sampai, dokter sudah memberinya sebuah sebuah keputusan sulit.
“Pasien mengalami luka parah, tulang betis di kaki sebelah kirinya remuk, terhimpit badan mobil. Mau tidak mau harus diamputasi segera atau akan mengalami kebusukan di sana.”
"What's?"
“Lagipula, jaringan di dalamnya juga sudah tidak bisa berfungsi normal setelah ini. Tolong ambil keputusan yang cepat, karena ini darurat!”
Tubuh Michael luruh sudah, karena ini menyangkut masa depan Baby ia menelpon kedua orang tuanya di Paris. Dengan cepat mereka memberikan ijin, semua demi keselamatan Baby.
Setelah Michael menandatangi surat pernyataan, operasi amputasi kaki Baby langsung dilakukan malam itu juga. Operasi berlangsung selama empat jam, membuat Michael terjaga sepanjang malam.
Hingga lampu merah itu padam, ia baru beranjak berdiri dan menyambut dokter yang keluar dari ruangan itu.
“Bagaimana keadaan adik saya, dokter?”
“Kita masih memantau perkembangannya selama dua kali dua puluh empat jam ke depan.”
“Tapi pasti selamat, ‘kan dok?”
“Semoga.”
Setelah operasi selesai, Baby segera dibawa ke sebuah ruangan transisi. Kondisi Baby akan dipantau intens di ruangan itu. Untuk memastikan tidak ada kelalaian dokter pasca operasi sekaligus memantau kondisi kaki Baby supaya dapat sembuh sempurna.
Tetapi sayang, Baby tidak juga membuka matanya, akhirnya Baby mengalami koma. Setelah Baby dinyatakan koma, Baby diterbangkan ke Paris atas permintaan orang tua Baby. Michael tidak bisa berbuat banyak, tetapi ia selalu mendoakan kesembuhan untuk adiknya itu.
...°°°°~°°°°...
🍃Dua bulan telah berlalu.
Suara elektrokardiografi masih setia memenuhi ruangan bercat putih itu. Bau obat-obatan memang tidak separah ruangan lain. Terlebih ruang rawat Baby Corn adalah ruang VVIP. Ruangan terbaik dengan biaya perawatan yang tidak murah untuk kalangan biasa.
Tetapi gadis cantik nan manis itu masih betah tertidur dengan alat dan infus yang menempel pada tubuh. Miris memang melihat gadis secantik Baby harus terbaring lemah di atas brankar selama berbulan-bulan.
Seperti hari-hari biasanya, dokter Maxime memeriksa respon jari jemari Baby. Diletakkannya sebuah pulpen pada jari Baby lalu jemari tangannya ia jentikkan pada jemari Baby.
Sebuah keajaiban, jari Baby merespon gerakan dari tangan dokter Maxime. Mata dokter Maxime berbinar, dipanggilnya suster untuk membantunya memeriksa kondisi Baby.
Akhirnya pemilik iris mata cokelat itu membuka mata. Tetapi Baby merasakan kebas di beberapa bagian tubuhnya, hingga tidak sengaja kain penutup kakinya terbuka dan tidak ada kaki di sana.
"Aaaaaa .... " teriak Baby ketika menyadari kakinya hilang sebelah.
.
.
...🌹Bersambung🌹...
Bagaimana keadaan Baby setelah mengetahui jika kakinya diamputasi? Komen yuk, jangan lupa like dan favorit ya.
"Di-dimana kakiku, tolong siapa saja jelaskan!"
Baby terlihat histeris ketika melihat salah satu kakinya tidak utuh. Ia bahkan hampir mencabut paksa infus di salah satu tangannya, karena ingin melihat langsung kakinya. Beruntung dokter Maxime bisa mencegahnya.
"Tenang, kamu yang tenang," bujuk dokter Maxime mencoba menenangkan Baby yang masih terlihat shock.
Baby melempar kasar tangan dokter Maxime yang menyentuh tangannya. Ia tak peduli dengan keberadaan tenaga medis di sana, yang ia inginkan kakinya kembali utuh.
Melihat penolakan Baby, dokter Maxime berbicara dengan suster yang berada di ruangan itu. Memintanya untuk segera menghubungi kedua orang tua Baby. Setelah itu ia kembali ke brankar Baby.
"Sekarang, dokter jelaskan! Ada apa dengan kaki saya, kenapa tanpa meminta ijin, Anda memotong kaki saya, katakan!"
"Maaf, bukan maksud saya untuk lancang, tetapi saat kamu datang ke sini, kakimu telah diamputasi, dan itu sudah sesuai dengan prosedur medis yang telah disepakati kedua belah pihak."
"Kedua belah pihak, siapa dengan siapa?"
"Maaf Baby. Saat itu kondisi kamu sangat kritis, tulang betismu retak, dan tidak bisa berfungsi normal setelahnya. Maka dengan berat hati, para dokter harus melakukan tindakan medis (amputasi), untuk menyelamatkan nyawa kamu."
Baby menutup kedua matanya, hancur sudah perasaannya kali ini. Di sisi lain, dokter Maxime tetap menceritakan semua kejadian sejak Baby dirawat di Rumah Sakit tanpa ada yang ditutupi.
"Lalu menurut dokter, setelah ini saya harus hidup seperti apa? Saya cacat, tau nggak, kalian sudah merampas impian saya!"
Baby kembali terisak. Menyesali penderitaan yang menerpanya, bahkan semua impiannya telah hancur meski belum ia mulai.
"Hanya ada dua kemungkinan setelah kamu benar-benar pulih. Menggunakan crutch atau membuat kaki palsu untuk membantu kamu berjalan."
Baby mengacuhkan semua perkataan dokter. Baby tenggelam dalam dunianya sendiri. Dokter Maxime menghela nafasnya, ia paham pasien sedang shock. Beberapa saat kemudian, kedua orang tuanya masuk ke ruang rawat Baby.
"Mommy .... " isak Baby.
"Baby, kamu sudah siuman, Sayang?" tanya Mama Marie sambil memeluk tubuh putrinya itu.
"Bersyukur, akhirnya kamu membuka mata, Sayang," ucap Daddy Oreo.
"Mam, tolong jelaskan! Kenapa aku seperti ini, kenapa kakiku harus diamputasi?" isak Baby dalam pelukan Mama Marie.
Sementara itu kedua orang tuanya saling berpandangan. Kalau boleh memilih, mereka tidak mau melihat anak gadisnya menjadi cacat, tetapi dokter tidak memberikan mereka pilihan.
"Itu sebuah pilihan yang sulit, Baby, maaf," isak Mama Marie.
Lalu Daddy Oreo mulai menceritakan bagaimana situasi sulit yang mereka alami setelah kecelakaan Baby dan Lucky. Sampai mereka membawa Baby terbang ke Paris untuk memulihkan kondisi kesehatannya.
Baby Corn melepaskan pelukan sang mama.
"Jadi aku di Paris?" tanya Baby Corn dengan wajah sendu.
"Iya, kamu sekarang tinggal sama Mommy dan Daddy di Paris."
"Lalu Lucky dimana? Kenapa nggak menemani aku di sini?"
Terlihat wajah sendu Marrie di sana. Melihat putrinya terluka, tentu saja kedua orang tuanya tidak tega, tetapi mereka harus mengatakan yang sebenarnya.
"Lucky sudah meninggal di tempat kejadian, hanya kamu yang selamat hari itu!"
Deg.
"Enggak mungkin! Mommy pasti bohong, nggak aku nggak percaya!"
Baby tampak menolak kenyataan itu. Ia bahkan lebih terpuruk dari beberapa saat yang lalu.
Seolah kilatan petir menyambar hati Baby Corn sore itu, membuat kondisi psikisnya semakin terguncang. Baby tampak masih kecewa akan nasib buruk yang ia alami, belum lagi ditambah dengan sebuah kenyataan pahit, kekasihnya sudah meninggal dunia.
Tuhan telah mengambil cinta sejati Baby tanpa surat, hingga takdir memutus ikatan cinta mereka dengan sangat kejam.
Di tengah keadaan Baby yang masih shock, orang tuanya menawarkan untuk membuat kaki palsu, tetapi Baby menolak karena ia menginginkan kaki aslinya.
"Nggak, aku nggak mau kaki palsu, aku mau kakiku kembali!" teriaknya frustasi.
Mama Marrie hanya bisa mengusap punggung tangan Baby untuk menenangkannya. Dokter Maxime masih berdiri dibalik pintu, tetapi tidak bisa berbuat lebih atau memaksa pasien membuat kaki palsu. Karena semua dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak, dan juga pasien.
.
.
Beberapa hari kemudian, Baby sudah pulang ke mansion milik Mama Marrie dan Daddy Oreo. Tapi pandangan mata kosong masih tampak jelas di dalam iris mata Baby Corn.
Keceriaan Baby menguap, berganti dengan Baby yang banyak melamun dan sering menangis. Mama Marrie tak tega melihat kondisi psikis Baby. Oleh karena itu, ia mengajak Baby jalan-jalan ke mall bersama Daddy-nya juga.
Baby memakai crutch untuk membantunya berjalan. Tetapi ia dipandang aneh oleh orang-orang yang berpapasan dengannya.
Saat itu Mama Marrie ingin buang air kecil, ia permisi ke toilet, hingga meninggalkan Baby bersama ayahnya.
"Sayang, Mom ke toilet sebentar, ya."
Baby mencoba tersenyum, "Oke, ada Daddy kok!"
Tak berapa lama kemudian, Daddy-nya mendapat panggilan telepon, hingga terpaksa harus meninggalkan Baby. Seketika Baby melihat sebuah baju yang menarik di salah satu toko. Tanpa didampingi siapa pun, ia memasuki toko pakaian tersebut.
Lagi-lagi pandangan aneh ia dapatkan.
"Siapa yang mengijinkan orang cacat masuk ke sini! Kamu nggak bisa baca, hanya orang kaya yang boleh masuk ke sini!"
Ucapan salah satu pramuniaga tadi sedikit membuatnya tersinggung. Tetapi ia menguatkan hatinya. Baby tetap melangkah masuk.
Ia mendekati baju yang menarik perhatiannya sedari tadi, lalu mulai memegangnya.
"Dasar, orang cacat sok kaya, masih berani pegang baju mahal, emang dia bisa bayar?"
Ucapan-ucapan pedas datang silih berganti, hingga berujung petaka. Tiba-tiba salah satu pramuniaga datang, ia mengambil paksa crutch milik Baby dan membuangnya.
Karena kehilangan keseimbangan tubuh, Baby terjatuh. Tentu saja ia menjadi tontonan gratis di sana. Baby ingin melawan tetapi terlalu banyak massa di sana.
"Ha ha ha, cacat masih belagu."
"Kalau cacat harusnya di rumah, bukan berkeliaran di mall."
Banyak ucapan dari beberapa pengunjung yang semakin memperolok keadaan Baby. Situasi itu membuat ia semakin drop secara mental dan psikis. Beruntung ada dokter Maxime yang lewat dan menolongnya.
"Ada apa ini? Minggir!"
"Baby."
"Bubar! Ini bukan sebuah tontonan!" gertak dokter Maxime yang sudah kehilangan kesabarannya.
Melihat Baby yang meringkuk ketakutan membuat dokter Maxime mendekati lalu menggendongnya. Baby bersembunyi pada dada Maxime selama perjalanan keluar dari toko tersebut.
Sementara itu kedua orang tua Baby panik saat melihat Baby digendong Maxime.
"Kenapa dengan Baby?"
"Nggak apa-apa, sebaiknya kita segera pulang," ajak dokter Maxime.
Dokter Maxime khawatir dengan kondisi Baby saat ini, apalagi Baby lebih banyak diam. Dokter Maxime akhirnya memutuskan untuk menemani Baby menyembuhkan luka psikisnya.
Sebenarnya Baby menolak menggunakan kaki palsu, ia hanya menginginkan kakinya. Bahkan kalau boleh memilih, ia ingin memutar kembali waktu, mengembalikan kondisinya seperti sebelum kecelakaan.
Baby mengutuk kecelakaan itu. Sampai kapan pun, kenangan tragis saat itu, tidak akan pernah ia lupakan.
Pagi itu, Baby berjalan-jalan ke taman di dekat mansion. Ia memandangi anak-anak yang bebas berlarian dengan kakinya. Iri, jelas ia iri pada anak-anak yang masih memiliki kaki.
Ternyata di lingkungan tempat tinggalnya, ia tetap dipandang remeh oleh mereka. Mereka melihat aneh ke arah Baby, lalu membawa pergi anak-anak mereka saat melihatnya. Seolah tidak ada yang mau berdekatan dengan Baby. Ucapan mereka sama pedasnya, sama seperti pramuniaga di mall kapan hari.
"Ayo pulang, jangan berdekatan dengan orang cacat, nanti bisa membawa sial!" Ucap mereka yang membawa pergi paksa anak-anak kecil itu dari taman.
Baby mengusap air matanya. Dadanya bergemuruh hebat.
"Beginikah nasib orang cacat? Selalu diremehkan dan dihina?"
Baby mencengkeram erat bajunya, lalu ia pun bertekad untuk membuktikan jika ia akan menjadi model terkenal meski dengan kondisinya saat ini.
"Lihat saja kalian, setelah aku berhasil menjadi model terkenal, akan aku tampar kalian dengan prestasiku di dunia modeling!"
"Jangan panggil aku Baby Corn si gadis cacat, karena setelah ini aku pastikan kalian akan menyesali setiap ucapan kalian!"
Baby berdiri dengan geramnya, lalu mengambil crutch miliknya dan berjalan tertatih kembali ke mansion. Di saat yang sama, dr. Maxime sedang menuju ke kediaman Baby melihat semua itu. Lalu dengan perlahan mengikuti Baby menuju mansion.
...🌹Bersambung🌹...
.
.
..."I can’t change the direction of the wind, but I can adjust my sails to always reach my destination."...
...(Saya tidak bisa mengubah arah angin, tetapi saya bisa menyesuaikan layar saya untuk selalu mencapai tujuan saya)...
...⚜⚜⚜...
.
.
Kira-kira Baby akan melakukan apa setelah ini? Jangan lupa like, favorit dan rate ya. Jika suka boleh beri VOTE/ GIFT nya, terima kasih
Pulang dari taman, Baby mengurung dirinya. Ia berusaha menghubungi Jas Jus sahabat terbaiknya di Indonesia. Tetapi ia lupa, jika ia menelpon jam segini, secara otomatis di Indonesia sudah tengah malam.
"Gusti .... " teriak Jas Jus mengacak rambutnya.
"Siapa yang telepon tengah malam gini, sih?"
Omelan Jas Jus yang terusik akibat dering telepon di tengah-tengah tidurnya, terdengar sangat meriah di dalam kamar bernuansa pink itu. Siapa yang tidak marah, ia baru memejamkan mata beberapa detik yang lalu akibat lembur belajar matematika. Eh, dengan seenak jidatnya ponsel itu berbunyi nyaring.
Terlebih otak genius Baby sudah dibawa pindah ke Paris, secara otomatis Jas Jus harus belajar lebih giat. Otaknya yang hanya setengah ons, membuatnya wajib belajar ekstra untuk mapel tersebut.
Meski bibir terus menggerutu, belum lagi rasa kantuk yang luar biasa membuat Jas Jus hampir menabrak meja belajarnya.
"Astaga, siapa yang naruh meja di sini, sih?" protes Jas Jus.
"Hallo .... " ucapnya dengan mata setengah merem dan rambut acak-acakan.
"Hai Jas Jus yang nyegerin jika diminum di tengah hari yang panas, awokawok."
Baby Corn cekikikan sendiri jika menyebut nama sakral my bestie-nya itu.
"Kam ... preetttt ... jagung muda!" gertaknya sambil mendelik.
Otomatis kedua matanya yang masih mengantuk itu terbuka lebar. Jas Jus sampai melihat ulang siapa yang berani menelpon di tengah malam itu dan ternyata nama "Jagung Muda" tertera manis di ponselnya.
"Ini Baby, 'kan, huaaaa ... kangen banget my bestie."
"Iya, ini gue, wkwkwk, sorry my bestie. Di tengah malam udah gangguin elu?"
"Ho-oh, ini tengah malam, Sayang. Ngapain Lu, telpon jam segini, dudul Lu!" keluh Jas Jus.
"Wkwkwk, sorry, ya udah. Lu balik tidur gih! 'Ntar siang gue telpon lagi."
"Ish, nggak sopan amat, Lu! Udah gangguin orang tidur, seenak sambel di cocol Lu tinggalin gue!"
"Wkwkwk, gue cuma kangen suara elu, apalagi omelan elu yang sepanjang jalan kenangan itu, nggak ada tandingannya!"
"Terus ... terus aja muji gue, dasar bestie paling bengek, Lu, dah gue tutup!"
"Jiah, siapa yang telpon, siapa juga yang matiin duluan," omel Baby sambil melihat ponselnya.
Sementara itu Jas Jus kembali memeluk gulingnya yang berbentuk boneka boba.
"Dasar bestie markonah!" omel Baby Corn membuang ponselnya ke sembarang arah.
Baby Corn melihat tampilan tubuhnya di cermin. Dengan salah satu cructh di tangan kirinya, dan body yang masih terjaga ia pasti bisa menjadi model seperti keinginannya.
Sesaat bayangan dokter tampan itu lewat, mengingatkan Baby tentang ucapannya kapan hari di tempat terapi.
"Baby, asal kamu mau berusaha, kamu bisa kok jadi seperti orang normal lainnya."
"Dokter kira, saya gila, saya normal dokter!" ucap Baby ketus.
Dokter Maxime hanya tersenyum, ia sangat tahu kondisi mental Baby masih labil, belum lagi usianya belum genap delapan belas tahun. Tetapi dokter Maxime terus saja memberikan supportnya pada Baby.
"Baby, hanya diri kita sendiri yang bisa memutuskan jalan hidup kita. Jadi, kamu mau menyerah di sini atau bergerak maju itu pilihan Baby semua."
Baby mendudukkan pantatnya di kursi rias. Ia memangku wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kayaknya aku harus minta tolong sama dokter tampan itu, deh."
Ia mengusap layar ponselnya, tetapi ia masih ragu untuk menghubungi Maxime. Sampai terdengar ada tamu di lantai bawah. Baby berjalan menuju balkon untuk mengintip siapa yang bertamu sore-sore begini.
"Bukankah itu mobil dokter?"
"Pucuk dicinta ulam pun tiba. Yes, nggak perlu dihubungi dia datang sendiri."
Sesaat kemudian, pintu kamarnya di ketuk.
"Jeune fille, il y a le docteur Maxime en bas qui vous rencontre," ucap pelayan wanita.
(Nona muda, ada dokter Maxime di bawah yang ingin menemuimu)
"D'accord, je serai en bas dans un instant!" teriak Baby.
(Baiklah, aku akan turun sebentar lagi)
Setelah merapikan penampilan, ia tidak lupa mengolesi liptint kesukaannya, baru sesudahnya Baby melangkah turun.
"Sore, Baby."
Dokter Maxime menyapa Baby yang baru saja turun, hingga Baby membalasnya dengan senyum serupa.
"Sore, dokter, tumben datang ke sini?"
"Loh, emang nggak boleh datang, ya?"
"Boleh, sih," ucap Baby pura-pura ketus.
Tetapi dokter Maxime suka melihat perkembangan Baby yang jauh lebih baik dari beberapa waktu yang lalu.
"Kenapa senyum-senyum, suka?"
"What's?"
"Kamu lucu, ya," ucap dokter Maxime sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan sedikit senyuman.
Setelah melihat sekeliling, dan tidak ada siapa-siapa, Baby mengisyaratkan agar dokter Maxime mendekat padanya. Untungnya, dia fast respon, sehingga dia mendekati Baby.
Setelahnya, tangan Baby memegang pundak dokter, dan mendekatkan mulutnya ke telinga dokter Maxime. Saking dekatnya, hembusan nafas Baby yang menyentuh tengkuknya, membuat Maxime merasakan sesuatu yang menggelitik di hatinya.
"Shut, dokter janji, ya, ini rahasia kita berdua."
Maxime mengangguk. "Apa itu?"
"Aku mau buat kaki palsu."
"T'es sérieuse?" tanya dr. Maxime.
(Apakah kamu serius)
"Iya, aku ingin setelah ini aku bisa menggapai cita-citaku kembali."
"Bagus kalau begitu, aku akan menghubungi rekan kerjaku yang berkompeten di bidang itu."
"Oke, selamat bertugas, dokter tampa ... n, ups, sorry."
"Wkwkwk, jadi saya tampan?" tanya dokter Maxime menaik turunkan alisnya.
"Ish, apaan sih, dok. Tadi tuh lidahku terpeleset!"
Meski berbohong, tapi semburat merah di kedua pipi Baby Corn terlihat menonjol. Sehingga membuat hati dokter Maxime menghangat.
.
.
Dua hari kemudian.
Hari yang ditunggu telah tiba, sesuai kesepakatan awal, dokter Haris memulai pekerjaannya. Dokter Maxime mengawasinya dari kejauhan. Berbekal pengukuran kaki sebelah kanan milik Baby, memperhatikan dan mempelajari strukturnya kakinya, dokter Haris memulai membuat rancangan kaki baru untuk Baby.
Pengamatan selama satu kali dua puluh empat jam sudah ia lakukan. Berbekal data yang ia miliki, ia mulai merancang kaki Baby pada komputer canggih di depannya itu.
Berbagai jenis model kaki ia perlihatkan pada Maxime.
“Hei, Baby itu bukan barbie yang bisa kau ubah seenaknya model kakinya,” seloroh dokter Maxime sambil menonyor bahu dokter Haris.
Dokter Haris hanya tertawa melihat senyum Maxime kembali bersinar. Sudah hampir setengah tahun ia kehilangan sahabatnya ini.
“Hei, duda kece, Baby itu hanya pasien, lalu kenapa kalau aku membuatkan design yang banyak untuknya. Bukankah itu sebuah keberuntungan baginya. Tidak sembarang orang bisa menikmati sentuhan maha karya dari tangan emasku ini.”
“Kau kira dia butuh kaki palsu sebanyak itu?”
“Ya kali aja dia jadi model, apa salahnya?”
“Baby itu masih pelajar SMA mana mungkin dia seorang model.”
“Kalau dilihat dari proposional tubuhnya dia memang pantas dan cocok lo buat jadi model.”
“Tunggu dulu, aku ingat perkataan dari Jas Jus.”
“Jas Jus keponakanmu yang nyegerin di saat siang bolong itu, hahaha, seperti apa dia sekarang?”
“Jaga bicaramu, dia keponakan ku, Bro. Jangan sekali kali berniat menjadikan dia sebagai salah satu pemuas ranjangmu itu. Dasar Brengsek!”
"Kapan lu insyaf?"
“Stay calm, Bro. Entar gue juga bakal insyaf kok. Cuma enggak sekarang,” ucapnya sambil mengerling nakal.
Setelah berkelakar dengan sahabatnya dokter Haris meninggalkan dokter Maxime yang masih betah memandangi hasil rancangan sahabatnya itu. Dia masih memikirkan perkataannya barusan.
“Ah, mana mungkin Baby Baby seorang model,” batin dokter Maxime membuang jauh pikirannya.
.
.
Bagaimana? suka nggak sama cerita saat ini kalau suka jangan lupa dukungannya, VOTE/GIFT, like n komennya juga ditunggu ya, jangan lupa ajak rombongan buat baca karya Fany ya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!