NovelToon NovelToon

Bilik Penyesalan

Malam, Hujan, Bilik Bambu

Petir menggelegar, kilat menyambar-nyambar. Suasana desa sudah cukup sepi kendati waktu baru menunjukkan pukul setengah sembilan. Di ujung kampung tak jauh dari Seruni berteduh, biasanya masih terdengar para pemuda desa bermain gitar. Namun, malam ini sunyi. Suara hujan dan jangkrik beradu meramaikan malam yang menghadirkan aroma misteri. Bulu kuduk Seruni serasa berdiri, bukan karena semata-mata karena suasana mencekam antara gelap sekitar dan basahnya jalan, tetapi karena tiba-tiba saja, pemuda itu kini merengkuh tubuhnya dari belakang.

Seruni harusnya sudah pulang sedari tadi selesai menonton organ tunggal di seberang desa bersama teman-temannya yang lebih dulu pulang karena ketika Seruni keluar dari toilet umum tak jauh dari lapangan bola, seorang pemuda menunggunya. Betapa berbinar-binar hati Seruni, sudah lama ia menyukai lelaki itu. Bima, pemuda tampan pujaan hati setiap gadis desa. Dan Seruni beruntung, di antara banyaknya gadis cantik di desa itu dia yang terpilih malam ini.

"Aku dengar dari Rahmat katanya kau naksir aku."

Kalimat pertama yang keluar dari bibir si tampan itu berhasil membuat Seruni jadi mati kutu. Namun, Seruni tak mau menampik, dia mengangguk.

"Kalau begitu, biarkan aku mengantar kau pulang."

"Benarkah, memangnya, Mas Bima bersedia?" tanya Runi yang polos. Bima mengangguk.

Lalu berboncengan mereka dengan motor, Bima meraih jemari Seruni, mengisyaratkan gadis belia itu untuk memeluknya. Jiwa polos dengan gayung cinta yang disangka Runi bersambut, membuatnya lupa akan bahaya yang mengintai dan mungkin bisa berujung penyesalan.

Lalu hujan turun dengan deras, sebuah rumah tak berpenghuni menjadi tempat terpilih untuk berteduh. Suasana semakin aneh, bayangkan dua insan dengan gejolak darah muda yang sedang mendidih itu, bersampingan, sedang gerimis malah semakin mengundang.

"Jadi namamu Seruni?" tanya si tampan yang gagah itu dengan alis terangkat satu.

"Ya, Mas Bima." Seruni menjawabnya malu-malu.

"Aku tak tahu, nama-nama gadis di desa ini, sebab aku jarang pulang kampung."

"Aku mengerti, Mas Bima. Tapi Mas Bima sangat terkenal di sini, banyak yang membicarakanmu dan mengagumimu."

"Termasuk kau?" pancing Bima. Seruni lagi, mengangguk malu-malu.

Lalu kini tangan itu melingkari tubuh Seruni dari belakang. Seruni sebenarnya takut, tapi ini kali pertama dia menikmati sentuhan pertama dari lelaki dan lelaki itu adalah sosok yang ia puja siang malam dalam tidur dan bangunnya.

Perlahan tangan itu bergerak, ke atas, membuat sekujur tubuh Seruni menegang. Saat tiba di puncak bukit yang mencuat sedikit Seruni berusaha untuk menyingkirkannya perlahan.

"Jangan, Mas Bima, aku tidak pernah melakukannya," tolak Seruni halus.

"Katamu kau suka padaku bukan? Biarkan aku jadi yang pertama menyentuhmu," bisik Bima tepat di telinga Seruni yang basah lalu lelaki itu mulai memainkan lidahnya di belakang telinga Seruni.

Sensasi gila yang baru pertama kali dirasakan oleh Seruni membuat gadis itu berpegangan pada tiang penyangga sebab kini lututnya jadi lemas.

"Kau mencintaiku bukan?" tanya Bima yang sudah dikuasai nafsu dengan setan yang terus berbisik untuk meneruskan kegiatan terlarang itu.

"Ya, tapi tidak boleh begini." Seruni berusaha menolak, ia melepaskan pelukan Bima perlahan. Namun, saat Seruni hendak bertolak keluar tepat saat ia hampir melewati bilik bambu dengan kasur usang di dalamnya, Bima menyambar tubuh Seruni, membaliknya lalu memberikan gulatan penuh nafsu di bibir dan lidahnya.

Kali ini, Seruni tak lagi bisa menghindar. Ia melenguh sepanjang jalan ketika Bima menggiringnya masuk ke dalam bilik itu lalu mulai merebahkannya di atas kasur usang beralas karpet lusuh berwarna merah.

Saat benda pusaka itu menembus dinding pertahanan Seruni dengan susah payah, saat itulah Bima tahu bahwa ia sedang menggagahi seorang perawan. Lelehan airmata Seruni mengalir begitu saja tapi Bima segera menghentikan tangis itu dengan ******* menggila mereka berdua.

Hingga lamanya pertempuran itu, berakhir hujan berakhir pula kegiatan panas itu dengan cairan Bima yang tumpah di atas perut rata Seruni. Tatapan Seruni mengiba kepada Bima yang menatapnya penuh perasaan. Lelaki berusia dua puluh tahun itu mengecup kening Seruni setelahnya.

Tak ada kata yang keluar, sebab setelah itu keduanya tertidur karena kelelahan. Hingga pagi menjelang, ketika mentari akan segera meninggi, Seruni meraba sisi sebelahnya yang sudah kosong. Tak ada Bima lagi. Dia sendirian. Susah payah Seruni memungut bajunya yang berhamburan. Memakainya dengan badan terasa remuk karena sudah bertempur semalaman dengan lelaki pujaan.

Namun, alangkah teganya sang pujaan, meninggalkannya sendiri tanpa pesan, Seruni melihat bercak darah di atas kasur, bukti kesuciannya yang sudah hilang. Seluruh tubuh Seruni terguncang.

"Ya Allah, ampuni Seruni." Ia bersujud di kasur itu, setelah sadar hidupnya tak lagi akan baik-baik saja setelah ini. Ketika Seruni akan melangkah keluar, terlihat jam tangan Bima tertinggal. Seruni meraihnya dengan hati nelangsa juga benci yang mulai merayap sampai ke dasar hatinya, menyimpannya dalam saku celana, lalu tertatih-tatih berjalan meninggalkan bilik bambu yang menyisakan penyesalan.

Dia Sudah Pergi

Seruni berusaha menormalkan jalannya yang jadi sedikit lain saat ini. Rasa sakit di bagian inti tubuhnya semakin terasa ketika kaki saling bergesekan ketika berjalan. Dia tidak tahu mengapa Bima meninggalkannya begitu saja. Lelaki itu bahkan tak membangunkannya. Ia sudah tiba di kampung, suasana ramai pasar tak membuat Seruni jadi senang seperti biasa.

Seruni harus minta pertanggungjawaban Bima! Dengan jam tangan lelaki itu yang tertinggal dan kini ada dalam genggamannya, ia kini terseok-seok berjalan menuju rumah keluarga Bima yang paling terpandang di kampung itu. Bima anak juragan Tono, orang paling kaya yang punya perkebunan dimana-mana.

Bima adalah anak tengah, kakaknya seorang pengusaha di kota sedang adiknya satu sekolah dengan Seruni, seorang gadis populer yang banyak digandrungi pemuda desa. Kehidupan keluarga Bima memang luar biasa menyenangkan. Tak seperti Seruni yang bertahan hidup dengan menjaga lumbung padi milik orang lain.

Seruni tak lagi punya bapak, ibunya kawin lagi dengan lelaki pemabuk dan punya anak lelaki dua tahun di atas Seruni. Kakak tiri Seruni lelaki mesum yang suka mengintipnya ketika mandi. Seruni takut pulang, sebab ia pasti jadi korban pecutan tali pinggang sang bapak tiri karena sudah tak pulang semalaman. Jadi, dia harus membawa Bima bersamanya, menjelaskan kepada orangtuanya apa yang sudah mereka lakukan semalam.

"Semua anak saya adalah calon orang sukses, Ramly Arief sekarang sudah jadi pengusaha di Jakarta, Laras juara kelas di sekolahnya sedangkan Bima sekarang sudah menyusul ke Jakarta pula."

"Wah, Bu Tono, mau kuliah apa si Bima ke Jakarta? Baik lagi mengelola perkebunan juragan Tono saja."

"Tidak, Bima ingin jadi polisi. Jadi abdi negara di Jakarta. Jadi sebagai orangtua, kami pasti akan mendukung apapun yang putera kami inginkan."

"Oalah, Bu Tono, sudah terbayang bagaimana gagahnya Bima nanti ketika sudah memakai seragam."

"Iya, Ibu-ibu, tapi masih lama lah lagi, harus ada pendidikan yang ditempuh dan sekarang dia dibantu kakaknya mengurus semua itu."

Seruni tertegun, pembicaraan ibu Bima dan para ibu-ibu yang sedang memilih sayur membuat airmatanya kembali meleleh. Digenggamnya erat jam tangan Bima. Hancur sudah harapannya. Lelaki yang sudah menodainya telah pergi setelah merenggut satu-satunya harta Seruni yang tersisa di badannya.

"Run, mau cari siapa? Tumben, biasanya libur begini kau sudah bersama ibumu ke pasar. Ini kok sendiri?" sapa seorang wanita paruh baya yang kebetulan melihat Seruni termenung tak jauh dari mereka.

"Tidak, Bu, aku mau pulang."

Seruni menjawabnya serak, sempat ia melihat ibu Bima yang menatapnya dengan pandangan datar. Ia segera menundukkan pandangan. Lusuh bajunya mungkin membuat ibu Bima jadi geli melihatnya.

Seruni kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah juga mengubur harap dan impian sekalian. Ia hanya bisa berusaha melupakan kejadian semalam di balik bilik penyesalan.

Namun, setibanya di rumah, ia disambut sabetan tali pinggang dari ayah tirinya. Ibu Seruni hanya diam saja memandang, tak berusaha menolong atau menghentikan aksi gila suaminya.

"Ampun, Pak, sakit!" Seruni mengiba, rambutnya acak-acakan.

"Tidur dimana kau semalam hah?! Mau jadi apa anak gadis tak pulang ke rumah semalaman? Melac*r kau ya?"

Seruni menggeleng tapi tak berani menyahut sebab ia sadar perbuatannya semalam memang adalah sebuah kesalahan fatal.

"Anakmu, Imah! Tak pulang ke rumah semalaman! Mau jadi apa?!" Kini sang bapak tiri yang pemabuk dan sok bijak itu malah memandang ibu Seruni. Padahal Seruni paham, pasti ibu tak bisa memberi lelaki itu uang untuk berjudi karena itu Seruni jadi sasaran kemarahan.

Setelah puas memukuli Seruni yang gemetar kesakitan, ia kembali ditinggalkan lagi. Seruni berusaha bangkit, menuju kamarnya dengan langkah terseok kesakitan. Belum sempat ia merebahkan tubuhnya, Tobi, sang kakak tiri datang lalu mengunci pintu.

Seruni meraih bantal, melempari lelaki mesum itu agar menjauh. Tobi tertawa menyeringai, melihat sekeliling sepi karena kedua orangtua sudah pergi keluar.

"Pergi! Mau apa kau bajingann?!"

"Mau tubuhmu yang seksi ini, Seruni!" Dia mendesis menjijikkan. Seruni meraih vas bunga yang ada di atas nakas reot kamarnya lalu menghantamnya ke kepala Tobi saat pemuda itu berusaha menaklukannya, hingga benda itu pecah dan Tobo pingsan dengan darah mengucur dari kepala.

Seruni gemetaran, baru kali ini dia berbuat kasar hingga membuat orang lain cidera. Ia segera memanggil warga sekitar membantunya membawa Tobi ke puskesmas. Tak lama kemudian, ayah dan ibunya datang. Seruni memandang mereka datar. Tiba-tiba saja punya kekuatan untuk melawan dan tak lagi takut.

"Kau apakan anakku?!" tanya lelaki yang suka memukulinya itu dengan geram.

Seruni mendekatkan bibirnya ke telinga sang bapak tiri.

"Tadinya aku berharap dia mati saja, ternyata Tuhan masih menyelamatkannya. Aku menyesal membawanya ke sini. Harusnya dia kubiarkan mati."

Lelaki itu tertegun, benarkah yang berkata saat ini adalah Seruni yang tak pernah melawan selama ini?

Seruni melangkah keluar dengan gontai, dia mengemasi barang-barang, keluar dari rumah itu hanya membawa badan juga baju yang tak seberapa. Warung remang-remang di kampung seberang jadi tujuannya.

Tidak Mau Pulang

Sudah satu minggu semenjak kejadian Seruni menghantam kepala Tobi dengan vas bunga hingga kepala lelaki itu jadi bocor. Ia kini menjadi pelayan, mengantar minuman ke pelanggan di warung remang-remang. Di sana, dia tinggal di tempat yang sudah disediakan mak Ute, sebutan mucikari yang sudah memiliki tempat itu selama lima tahun belakangan.

"Tak sekolah kau, Run?" tanya mak Ute sambil melepas roll rambutnya hingga rambutnya yang tadi lurus bak sapu lidi sekarang sudah kriwil-kriwil.

"Libur, Mak."

"Libur apa meliburkan diri?" tanya mak Ute tajam.

"Sumpah, Mak, libur. Besok baru masuk, hari ini guru ada rapat untuk membicarakan tentang ujian sekolah."

Mak Ute menarik nafas lega. Dia sayang Runi seperti puteri sendiri, mengingatkannya pada puterinya yang mati tenggelam di laut tiga tahun yang lalu. Saat Runi datang dengan pakaian lusuh, meminta pekerjaan kepadanya, mak Ute langsung berkenan menjadikannya pelayan yang mengantar minum ke para tamu.

"Ibumu mencari sampai ke sini kemarin, tapi kau sekolah jadi tak bisalah kalian bertemu."

"Aku tak butuh lagi mereka, Mak. Aku bisa membiayai sisa sekolahku selama bekerja pada Mak."

"Ya kau katakanlah kepadanya kelak kalau datang lagi. Aku malas meladeni ibumu yang cerewet itu."

Seruni mengangguk seraya terus membersihkan meja dari puntung rokok. Malam ini pasti ramai, malam minggu malam senin selalu jadi ladang uang bagi mak Ute. Para pekerja malam mak Ute tinggal di setiap bilik di belakang warung remang-remang itu. Mereka cantik-cantik, terpaksa menjajakan tubuh karena alasan klasik: Kesulitan ekonomi.

"Mak, kalau mau ke Jakarta, apa Mak punya kenalan?" tanya Runi membuat mak Ute mendekat kepadanya.

"Mau ngapain kau ke Jakarta, Run? Jakarta itu keras, perempuan yang tak punya skill selain bergoyang di atas kasur hanya akan menjadi pel*cur. Sama saja dengan di sini."

"Siapa tahu nanti selepas lulus, aku bisa mencari pekerjaan di sana, Mak. Apa salahnya mencoba."

"Nantilah, aku coba kontek-kontek temanku di sana. Kalau ada, nanti bisalah kau meluncur ke Jakarta."

Seruni menyunggingkan senyum perlahan, ia sekarang sudah menata meja dengan taplak meja baru yang kemarin dicucinya.

"Rajin kali kau, bah! Seumur-umur hanya kau yang mau mencuci taplak-taplak meja ini."

"Selagi masih bisa dipakai, ya dipakai, Mak. Mubazir membuang sesuatu yang masih berguna."

"Ya, suka-suka kaulah. Tuh, berhentilah dulu, ada ibumu menuju kemari."

Mak Ute menunjuk ibu Seruni yang sudah mendekat. Seruni melirik malas tapi ia tetap melangkah keluar. Mak Ute mengawasi sambil menyulut rokok.

"Ada apa, Bu?" tanya Seruni mencoba untuk tetap sopan.

"Pulang kau, Run. Tak ada yang bantu ibu bekerja di rumah kalau kau tak pulang."

"Maaf, Bu, lupakan saja. Aku sudah sangat nyaman di sini. Lagipula, di rumah Ibu hanya akan membuat aku menjadi bulan-bulanan suami ibu, juga Tobi, kakak tiri keparat itu. Sekarang aku bisa biayai kehidupanku sendiri. Makan tak perlu takut-takut lagi karena selalu kau pelototi, tidur pun nyenyak tak takut bakal diperkosa anak tirimu."

Ibu Seruni memandangnya dengan pandangan tak percaya. Seruni juga bingung mengapa kini mulutnya mudah sekali mengucapkan kata-kata kasar. Semenjak ia kecewa pada Bima, semenjak itu pula, Seruni dendam pada semua yang telah menyakitinya.

"Kau benar-benar anak durhaka!" desis ibu lalu balik badan. Seruni memandang punggung ibunya sambil memejamkan mata dan menarik nafas panjang lalu kembali lagi ke dalam warung remang-remang.

"Benar kau tak mau pulang lagi, Run?" tanya mak Ute.

"Tidak, Mak. Di sini lebih baik, bersama Mak dan mbak-mbak yang lain."

"Ya, suka-suka kau lah, Run." Mak Ute berlalu dan terdengar bunyi panci yang dipentung dari arah belakang. Mak Ute pasti sedang membangunkan para pekerjanya yang kelelahan melayani pelanggan semalam.

"Ya ampun, Mak, baru pun aku tidur! Belum ada tiga jam!" Terdengar suara perempuan merutuk. Seruni tertawa mendengarnya. Ia kini mulai akrab dengan kehidupan orang-orang penghuni warung remang-remang milik mak Ute. Meski tempat ini tempat haram kata orang kebanyakan, tapi Seruni justru merasa aman. Dia sendiri tidak tahu akan sampai kapan terus berada di sana.

Ketika malam tiba, pemandangan para perempuan seksi yang berlenggak lenggok melayani para pelanggan jadi hal yang biasa. Mak Ute sendiri menjaga Seruni untuk tetap tak jauh darinya sebab ia paham, banyak lelaki nakal yang kadang meminta Seruni untuk menemani.

"Dia cuma pelayan di sini, bukan pela*ur!" Begitu perlindungan yang diberikan mak Ute setiap ada yang menanyakan tentang Seruni kepadanya.

Dan malam ini, mak Ute melihat Seruni termenung sambil menatap sebuah jam tangan yang tergenggam di tangannya lalu tak sengaja ia melihat Seruni menekan dadanya, seolah sesaknya sampai ke hati mak Ute sendiri. Mak Ute paham, ada rahasia besar dalam hidup Seruni yang sekarang rapi tersimpan dalam memorinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!