Seorang gadis berdiri menatap rumah tua di hadapannya. Rumah yang masih berdiri dengan kokoh meski usianya telah renta. Gadis itu memanyunkan bibir seolah menyesali keputusan yang telah ia buat. Beberapa bulan sebelumnya, dia telah menyetujui bahwa rumah di hadapannya ini diwariskan kepadanya. Semua legalitas kepemilikan pun telah diurus untuk diubah menjadi atas namanya.
Rumah tua milik almarhum kakak dari nenek buyutnya. Perihal alasan, kenapa bisa gadis ini yang mendapatkan warisan, dia sendiri pun kurang paham. Tanpa pikir panjang, lekas ia terima. Bagaimana pun, rumah dengan luas tanah empat puluh meter kali empat puluh meter, bukankah sangat luas? Siapa pula yang begitu bodoh untuk menolaknya? Rasanya, tidak akan ada yang menolak bukan? Nyatanya, seluruh paman dan bibinya menolak, tinggallah dia seorang yang tanpa mendebat lekas menerima.
"Bodohnya, kenapa tidak aku lihat dulu sebelum kuterima?" gumam gadis tersebut.
"Hemm... jika rumah ini dipugar, menelan biaya berapa ya?"
"Astaga Tasya! duit dari mana juga untuk merenovasi? bisa punya rumah dan tanah seluas ini aja sudah anugerah yang luar biasa sekali," gerutu gadis itu pada dirinya sendiri.
Tasya kembali mengamati sekelilingnya. Sebenarnya, lingkungan sudah terbentuk di sana. Banyak sekali tetangga di sisi kiri dan kanan. Hanya saja, karena pekarangan yang luas membuat rumah itu seolah berdiri sendirian. Belum lagi ilalang yang meninggi, perlu usaha keras untuk membersihkannya hingga menjadi rumah yang layak huni. Akhirnya, ia putuskan untuk bertanya ke tetangga, apakah ada orang yang bersedia untuk diminta membersihkan rumah serta merapikan pekarangan yang tentu saja akan diberikan upah.
"Oh, mbak ini pemilik rumah belanda itu ya?"
"Hemm.. warga nyebutnya rumah belanda ya buk?"
"Iya mbak, soalnya sudah tua sekali dan desainnya mirip seperti rumah Belanda."
"Oh gitu.." jawab Tasya seraya mengulas senyum.
"Kalau soal membersihkan rumah dan merapikan pekarangan sih mudah. Banyak yang bisa dimintai tolong. Mau cari berapa orang mbak?"
"Berapa ya bu, dua orang cukup gak ya?"
"Bisa cukup dan bisa juga enggak."
"Kok gitu?"
"Tinggal mbak Tasya ingin cepat selesai atau enggak."
"Emm.. gak buru-buru banget sih buk. Kalau dua orang, seminggu bisa kelar gak ya?"
"Kayaknya lebih dari seminggu."
"Dua mingguan kali ya?"
"Bisa jadi mbak, mungkin gak sampai dua minggu tapi pasti lebih dari seminggu. Pohon-pohon besar juga banyak. Sekalian bilang saja nanti, dahan pohon mana saja yang ingin dirapikan. Mau dibikin taman sekalian juga bisa atau kalau suka berkebun, bisa juga. Sesuai permintaan mbak Tasya pokoknya."
"Ya sudah buk, tolong carikan dua orang saja kalau begitu!"
"Hemm.. itu tuh, pak Yudi dan pak Agus itu gimana? rumahnya di depan situ."
"Terserah bu Chotim saja, saya ngikut."
"Iya mbak. Ohya, mbak Tasya ini kerja atau bagaimana?"
"Pengangguran buk hehe. Sebenarnya, saya punya usaha jualan online. Jualan di internet gitu, aksesoris, impor dari China."
"Wah, kok jauh sekali?"
"Iya buk, murah di sana. Bisa dapat harga yang bagus banget kalau dijual di Indonesia."
"Wah enak ya?"
"Disyukuri saja buk! ini rumah juga hasil dapat warisan kok. Kalau saya, belum bisa beli rumah sendiri."
"Kok baru sekarang mau ditempati? Sudah lama sekali kosong loh rumah itu."
"Saya juga kurang tahu sih buk. Pas saya dikasih tahu kalau mau dikasih warisan ini ya langsung saya terima. Gimana bisa nolak coba?"
Jawaban Tasya mengundang gelak tawa bu Chotim.
"Iya mbak ya, kalau saya yang dapat pun juga bakal langsung saya terima."
Mereka berdua pun kembali tertawa.
...🌸🌸🌸...
Tasya mengendarai motornya untuk kembali ke rumah tantenya. Semenjak ibunya meninggal, tantenyalah yang merawat dirinya beserta adik laki-lakinya yang bernama Rasya. Sementara rumah orang tuanya dulu telah lama dijual untuk melunasi hutang-hutang yang ayah dan ibunya tinggalkan. Maklum saja, ayah Tasya menderita penyakit diabetes serta ginjalnya juga rusak yang mana mengharuskan beliau untuk cuci darah sebanyak dua kali seminggu. Harta benda berharga sudah dijual ibunya untuk biaya berobat hingga meminjam uang baik ke bank maupun ke perorangan. Meski begitu, takdir tetap berkehendak lain. Ayah Tasya meninggal dan dua tahun kemudian, ibunya menyusul. Saat itu, Tasya tengah duduk di kelas tiga SMA sementara adiknya Rasya tengah duduk di kelas satu SMA. Cukup dewasa untuk memahami kepelikan hidup yang mereka alami.
"Kak, kapan kita bisa pindah ke rumah baru?" tanya Rasya yang menyambut kedatangan kakaknya dengan tanya.
"Sabar ya! mungkin.. dua minggu lagi baru bisa ditempatin karena masih perlu dibersihkan dulu, dirapikan dulu dan mungkin.. perlu sedikit direnovasi juga."
"Hemm.. udah gak sabar aku."
"Tapi... bentuk rumahnya itu.. kayak rumah pada zaman Belanda loh."
"Gak masalah kak, namanya juga rumah tua. Yang penting bersih, rapi dan tidak bocor hehe. Aku juga sengaja nyari kerjaan di daerah sana biar gak terlalu jauh nantinya."
"Udah dapat apa belum?"
"Udah dong, kan udah sejak dua bulan yang lalu aku nyarinya. Interview dan psikotes pun sudah. Sudah dikabari kalau diterima juga tadi pagi."
"Alhamdulillah, diterima di bagian apa?"
"Staf IT kak."
"Akhirnya dapat pekerjaan sesuai dengan bidang yang kamu sukai."
"Iya kak."
...🌸🌸🌸...
Seminggu, dua minggu berlalu. Kini, saatnya Tasya dan Rasya untuk pindah ke rumah mereka. Rumah warisan yang telah diberikan untuk mereka.
"Sering-sering main ke sini ya!" pinta bibinya.
"Iya te, tentu saja kami akan sering berkunjung kemari," jawab Tasya.
"Jangan tinggalkan solat dan membaca al-Quran ya!"
"Iya."
"Hati-hati di jalan!"
"Iya te, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah berkendara satu setengah jam, akhirnya mereka pun sampai di lokasi tujuan. Rasya cukup tercengang melihat betapa luasnya tanah yang diwariskan kepada mereka. Rumah zaman kolonial Belanda berdiri kokoh di hadapannya dengan cat yang semula putih digantikan dengan warna tosca terang.
"Heh kenapa, kok bengong sih?"
"Luas banget kak! rumahnya juga besar, sangat besar untuk kita tinggali berdua."
"Betul sekali, karena itulah, kakak berencana untuk mempekerjakan satu orang asisten rumah tangga yang mau tinggal di rumah bersama kita. Biar gak sepi banget kalau pas kamu tinggal kerja."
"Aku sih setuju aja kak."
"Bayarnya patungan ya?"
"Beres."
Tasya dan Rasya saling melempar senyum lalu melangkahkan kaki memasuki rumah yang menyimpan banyak cerita pahit di dalamnya. Sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan tengah mengintai, menunggu untuk menampakkan diri di hadapan mereka. Sesuatu yang tak kasat mata seolah langsung menyambut keduanya. Kala pintu baru dibuka, terasa ada angin kencang berembus, menabrak tubuh mereka. Jika dipikir, cukup aneh sih, ada angin lumayan kencang yang berasal dari dalam rumah. Kakak beradik itu saling memandang sesaat tanpa mengucapkan apa-apa.
...🍂 BERSAMBUNG... 🍂...
"A..yo masuk!" ajak Tasya dengan sedikit terbata.
"Iya ayo! Ohya kak, rencana mau cari ke mana asisten rumah tangganya?" tanya Rasya coba menormalkan kembali suasana yang tegang untuk beberapa saat tadi.
"Kak Tasya kenal satu orang tetangga di sini, namanya bu Chotim, kita bisa tanya ke beliau soal asisten rumah tangga nanti!"
"Emm.. iya, aku nempatin kamar yang mana ya?"
"Yang mana saja boleh. Ada lima kamar di sini."
"Kak Tasya mau kamar yang mana?"
"Mana ya... yang.. ini aja deh."
"Yaudah, aku kamar yang itu biar deket sama kakak."
"Iya boleh."
Mereka berdua lanjut berjalan untuk melihat keseluruhan ruangan. Selain memiliki lima kamar, di sana juga terdapat satu kamar mandi, ruang keluarga, ruang tamu yang luas serta dapur yang lumayan luas juga.
"Kak, kamar ini.. yang paling dekat dengan dapur ini.. dipakai untuk ruang solat saja ya?"
"Boleh Sya, kakak juga sempat memikirkan hal yang sama."
"Kalau di kamar sebelahnya, bisa dijadikan sebagai kamar asisten rumah tangga nantinya, gimana menurut kakak?"
"Setuju aja sih kakak, ide bagus."
Mereka berdua pun saling berbalas senyuman.
...🌸🌸🌸...
Di tengah agenda menata barang-barang. Tasya berpamitan kepada adiknya kalau ia akan pergi ke rumah bu chotim sebentar guna menanyakan perihal asisten rumah tangga untuk mereka.
"Iya kak."
Setelah Tasya pergi, Rasya kembali melanjutkan kesibukannya menata barang-barang.
...Sreg.. sreg.. sreg......
Terdengar suara kaki yang diseret. Terdengar seperti tengah berjalan di depan kamar Tasya. Rasya mengira bahwa itu kakaknya namun saat ia panggil, tak ada sahutan. Karena penasaran, akhirnya, Rasya berjalan keluar dari kamarnya seraya mencari sumber suara. Saat itu, ia melihat sesosok laki-laki dengan kaki penuh lumpur berjalan ke arah dapur. Merasa tak mengenali sosok tersebut, Rasya lantas bergegas mengejarnya.
"Tunggu! tunggu! berhenti!" pinta Rasya dan sosok itu pun berhenti juga.
"Maaf! bapak siapa?"
Sosok itu hanya diam, enggan menjawab. Bahkan, menoleh pun tidak, membuat Rasya harus mengulangi pertanyaannya.
"Pak.. bapak siapa? ada perlu apa?"
Sekali lagi sosok tersebut hanya diam. Pada akhirnya, Rasya kembali bertanya untuk yang ke tiga kalinya.
"Ada perlu apa bapak ke rumah saya? apa ba..."
Belum selesai Rasya berbicara, sosok tersebut berbalik dengan berjalan sangat cepat menuju ke arahnya. Hanya dalam hitungan menit, wajah mereka telah berhadapan tepat.
"Ini Rumahku," ucap sosok laki-laki tersebut.
Rasya terkejut, tubuhnya terhuyung jatuh. Di saat dia, masih dalam masa terkejut, sosok itu berjalan menembus tubuhnya lalu menghilang dari pandangannya. Sepersekian detik kemudian, Rasya tersadar dan lekas berlari ke teras rumah karena merasa ketakutan.
"Sosok apa itu tadi? kenapa dia bilang kalau ini rumahnya?" gumam Rasya sembari coba menormalkan deru napas.
Rasya berulang kali melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, berulang kali pula ia urungkan. Rasya masih terbayang akan sosok laki-laki yang sempat mengejutkannya tadi. Selang setengah jam kemudian, Tasya kembali.
"Sudah selesai nata barang-barangnya?" tanya Tasya.
"Belum, capek."
"Hah?"
"Sengaja nungguin kakak biar ada bala bantuan," jawab Rasya sembari cengar-cengir.
"Emm...."
"Yuk!" ajak Rasya sembari mendorong pelan kakaknya.
Mereka berdua kembali berkutat dengan aktifitas menata barang-barang sambil bersenda gurau bersama. Menyelesaikan pekerjaan sembari menghalau rasa lelah yang menghampiri secara perlahan.
...Sreg... sreg.. sreg......
Terdengar kembali suara orang berjalan. Rasya lekas menghentikan aktifitasnya seraya menelan ludahnya. Kian lama, suara itu kian terdengar jelas hingga memancing rasa penasaran Tasya.
"Apa ya itu? suara siapa?" tanya Tasya.
Rasya membulat, dia bingung hendak menjawab apa. Pikirnya, jika dia bercerita, hanya akan membuat kakaknya ketakutan. Sedangkan mulai besok, kakaknya akan berada di rumah sendirian sebelum mereka mendapatkan seorang asisten rumah tangga.
"Siapa sih?" tanya Tasya lagi seraya berdiri hendak memeriksa ke arah sumber suara.
Rasya lekas menahan kakaknya dan membuat alasan bahwa suara itu pastilah berasal dari luar rumah.
"Itu suara dahan yang saling bergesekan," ucap Rasya.
"Dahan?" tanya Tasya meragukan.
"Iya, pokoknya pohon yang tertiup angin lah."
"Tapi, suaranya jelas seperti langkah kaki yang diseret."
"Bukan kak. Ayo kak buruan diberesin, keburu malam!"
"Memangnya kenapa kalau malam?"
"Emm... lapar, keburu kelaparan nanti."
Tasya tersenyum.
"Kamu sudah lapar?"
"Belum sih tapi.. hampir."
Tasya terkekeh.
"Gini deh, kamu lanjutin dulu nata barangnya, kak Tasya mau masak makanan buat kita berdua!"
"Boleh, ide bagus tuh. Eh, di dapur ya?"
"Iya lah, masak kan memang di dapur."
"Duh, sosok tadi kan juga berjalan ke dapur," keluh Rasya di dalam hati.
"Yaudah ya, kakak masak sebentar!"
"I-ya ka-k."
...🌸🌸🌸...
Di dapur, Tasya mengeluarkan dua buah telur, sosis dan mie instan. Dia berencana merebus mie instan sebab, memang hanya ada itu di rumah. Tasya belum sempat berbelanja sayuran. Tangannya tengah sibuk meracik bahan-bahan saat suara kaki yang diseret kembali terdengar.
...Sreg.. srek.. sregk......
"Ini.. suara apa sih?"
Tasya lantas menajamkan pendengarannya seraya mencari, dari manakah datangnya suara tersebut? Sayangnya, suara itu menghilang. Tasya memanyunkan bibirnya dan kemudian lanjut memotong beberapa cabe rawit sebagai pelengkap masakan.
...Sregg.....
Tasya lekas menoleh karena sumber suara berasal dari balik badannya tepat namun ternyata, tak ada siapa pun di belakangnya.
"Pasti Rasya nih yang resek," gumamnya seraya memasukkan mie ke dalam air yang telah mendidih.
Tasya melanjutkan kegiatan memasaknya hingga selesai lalu membawa dua mangkok mie ke meja makan. Saat itulah, Tasya seolah melihat seklebat orang yang berjalan di area dapur yang mana ia pikir, itu adalah Rasya.
"Dek, kamu mau ngapain? makan dulu yuk!" ajak Tasya seraya melangkah kembali ke dapur.
"Kok.. Rasya ke mana?"
Tasya tak melihat siapa pun di dapur kecuali jejak kaki penuh lumpur yang mengarah ke luar rumah melalui pintu dapur. Tasya mengikuti langkah tersebut namun, tetap tak melihat Rasya atau siapa pun di pekarangan rumah.
"Kak, wangi banget mienya. Kok gak bilang sih kalau sudah matang?"
...Deg......
"Itu Rasya, kalau Rasya di sana.. jejak ini.."
...Deg......
"Loh.. jejak lumpurnya kok hilang?"
"Kakak!"
"Iya dek iya, bentar!"
Rasya telah duduk manis di meja makan saat Tasya tiba. Tasya lekas memeriksa kaki adiknya yang terlihat bersih. Sama sekali tidak ada tanda-tanda habis menginjak lumpur. Sedikit pun tidak ada noda lumpur di kakinya.
"Terus siapa? apa yang terjadi barusan? apa aku berhalusinasi?" benak Tasya.
"Kak.."
"Heemm.. ayo makan!"
"Punyaku yang mana?"
"Terserah kamu, mienya sama saja kok."
"Oke."
Rasya menyeruput satu sendok kuah mie buatan kakaknya dan lekas memberikan pujian. Hal ini memunculkan seulas senyum dari bibir Tasya yang lekas turut duduk lalu menikmati mie instan bersama adiknya.
...🍂 BERSAMBUNG... 🍂...
Malam menjelang, Tasya dan Rasya menonton televisi di ruang tengah sembari memainkan ponsel mereka. Perbincangan hangat mendominasi, sementara televisi sekedar dinyalakan untuk membunuh kesunyian. Entah kenapa, berada di kota terasa seperti di desa. Mungkin karena pekarangan yang luas, membuat rumah mereka terasa sunyi sendiri. Suara sepeda motor yang lewat, beberapa kali terdengar namun tetap tak bisa menghalau suasana sunyi.
Tasya memandang ke sekeliling ruangan lalu memuji di dalam hati. Rumah yang kini ia tempati terlihat begitu kuno tapi pada zamannya, jelas rumah inilah yang tercantik. Sepersekian detik kemudian, Tasya mulai merinding, memikirkan betapa tuanya rumah ini. Rasanya, Tasya ingin segera merenovasinya. Apalah daya, dana belum mencukupi.
"Kak, apa kakak masih ingin merenovasi rumah ini?"
"Kenapa kamu tanya begitu, apa kamu keberatan kalau direnovasi?"
"Hemm.. rumah ini unik sih, klasik gitu tapi, aku setuju juga kalau mau di renovasi biar ganti suasana."
"Memangnya, kamu merasa gimana dengan suasana di rumah ini?" tanya Tasya.
"Namanya juga rumah tua pasti imagenya gimana gitu ya... meski semua baik-baik saja, aku tetap merasa, akan lebih baik kalau direnovasi dengan desain kekinian."
"Untuk menghilangkan nuansa horror maksud kamu?"
"Hah? iya hehe."
"Iya-iya, kakak paham kok. Yaudah, kita berdua nabung dulu ya! Kalau sudah cukup, kita renovasi!"
"Iya kak."
...🌸🌸🌸...
Dalam tidurnya, Tasya bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki yang kisaran usianya, tak jauh berbeda dengannya. Laki-laki itu hanya duduk diam di kursi teras. Tasya yg saat itu keluar dari rumah lekas bertanya.
"Maaf! mas ini siapa ya?"
Laki-laki itu tidak menjawab.
"Apa kamu temannya Rasya?"
Pertanyaan kedua pun masih belum mendapat jawaban. Tasya diam beberapa saat sembari berusaha mendekat, ingin melihat wajahnya. Saat itulah, laki-laki itu menoleh membuat Tasya terkejut lalu terbangun dari mimpinya. Tasya mengerjapkan mata beberapa kali sembari mengatur deru napas.
"Mimpi yang aneh," benaknya dalam hati sebelum kemudian kembali tidur hingga esok pagi.
...🌸🌸🌸...
Keesokan harinya, Rasya berpamitan hendak bekerja. Tasya mengatakan bahwa pagi ini, ia akan kembali menemui bu Chotim untuk membicarakan tentang asisten rumah tangga. Rasya berpesan untuk mencari asisten rumah tangga yang jago masak, Tasya tertawa.
"Iya, kakak tahu."
"Yaudah kalau gitu. Rasya berangkat ya kak! assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tasya mengambil tas kecil di kamar lalu pergi ke rumah bu Chotim. Bu Chotim menawarkan beberapa nama, Tasya menjawab bahwa siapa saja boleh asalkan jago masak. Akhirnya, dipilihlah mbok Irah yang akan dijadikan asisten rumah tangga di rumah Tasya dan Rasya.
"Mbok Iran bersedia tinggal di rumah saya kan?" tanya Tasya.
"Iya mbak bersedia," jawab mbok Irah.
"Keluarga mbok Irah bagaimana? apa suami mengizinkan?"
"Anak-anak saya sudah berkeluarga semua. Saya dan suami tinggal bersama salah satu anak kami. Soal kerja ini, suami sudah mengizinkan."
"Maaf ya mbok! saya mau tanya."
"Iya silahkan!"
"Kalau semua anak mbok Irah sudah mandiri, kenapa mbok Irah masih bersusah payah untuk bekerja di usia senja begini?"
"Karena sudah terbiasa bekerja mbak. Menggantungkan hidup kepada anak juga kurang nyaman. Kasihan kalau membebani mereka. Anak-anak saya kan juga punya keluarga. Selagi bisa mencari uang sendiri, lebih baik saya bekerja. Kalau mbak Tasya membutuhkan tukang kebun, suami saya bisa."
"Hemm.. begitu, soal tukang kebun sih memang kayaknya butuh tapi saya perlu berdiskusi lagi dengan adik saya."
"Iya mbak."
"Baiklah kalau begitu, besok mbok Irah bisa mulai tinggal di rumah saya dan langsung bekerja. Untuk hari ini, berpamitan dulu saja dengan keluarga sekaligus menyiapkan barang apa saja yang ingin mbok Irah bawa. Santai saja, tidak perlu terburu-buru!"
"Iya mbak."
Setelah selesai, mbok Irah pamit pulang. Begitu pun dengan Tasya namun sebelum itu, Tasya memberikan sejumlah uang dalam bungkusan amplop sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang telah bu Chotim berikan. Bu Chotim menerimanya dengan senang seraya mengatakan bahwa besok, dia akan mengantar bu Irah ke rumah Tasya. Tasya mengangguk lalu mengucapkan salam.
Tasya berjalan santai menuju rumahnya dan hal ghaib pun kembali terjadi. Ketika Tasya sampai di tepi jalan depan rumahnya, ia melihat, ada laki-laki yang sedang duduk di kursi teras rumah. Wajah laki-laki itu terasa familier baginya. Tasya lekas mempercepat langkah namun, saat dia sudah sampai di depan teras, sosok itu tiba-tiba menghilang. Hilang begitu saja seolah hanya halusinasi, Tasya tercenung.
"Itu tadi.. beneran ada orang gak sih?" gumamnya ragu.
Tasya melangkah masuk sembari berpikir. Dia menjadi ragu atas apa yang ia lihat barusan.
"Orang tadi.. apa aku.. Eh, dia.. orang tadi sangat mirip dengan laki-laki yang kulihat di mimpiku semalam."
Meski yakin, sudut hatinya berusaha mengelak.
"Enggak-enggak, pasti halusinasiku saja."
Tasya menggelengkan kepalanya coba menghalau dugaan-dugaan yang membuatnya ketakutan.
"Bukan Tasya, bukan," ucapnya pelan seraya berjalan masuk ke dalam kamar.
...🌸🌸🌸...
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Rasya yang baru saja pulang kerja lekas menghampiri kakaknya yang tengah menyeduh teh di dapur.
...Deg.....
Tasya membulat seketika saat melihat sesosok laki-laki yang berjalan mengikuti di belakang Rasya. Tasya menarik adiknya dengan tiba-tiba membuat Rasya kebingungan.
"Ada apa kak?"
Tasya masih membulat, belum memberikan jawaban.
"Kak Tasya baik-baik saja kan?"
"Hah?"
"Kakak kenapa?"
"Cuma salah lihat, gak ada apa-apa."
"Yakin?"
"Iya yakin."
"Oh, gimana soal asisten rumah tangga kita?"
"Sudah dapat, mbok Irah namanya. Besok, dia ke sini, mulai tinggal dan bekerja sekalian. Ohya, kita.. perlu tukang kebun gak sih?"
"Pekarangan kita emang luas tapi.. kayaknya belum butuh deh kak."
"Gitu ya?"
"Ada apa?"
"Mboh Irah menawarkan suaminya untuk jadi tukang kebun di sini kalau kita butuh."
"Emm, gimana ya..?"
"Gini deh, gak usah dulu tukang kebunnya! besok, biar kak Tasya yang ngomong sama mbok Irah."
"Iya."
"Buruan mandi gih terus makan!"
"Iya kak."
Saat Rasya berbalik dan mulai berjalan menuju kamarnya, Tasya kembali melihat sosok laki-laki yang mengikutinya. Dengan cepat, Tasya menarik sosok tersebut namun, tangan Tasya malah menembus tubuh sosok itu, membuat Tasya spontan berteriak.
"Kak!"
"Ada yang ngikutin kamu Sya."
"Hah? mana? siapa?" tanya Rasya seraya menoleh ke belakang.
"Tadi ada, laki-laki."
...Deg...
"Apa yang dilihat kak Tasya sama seperti yang kulihat kemarin?" tanya Rasya di dalam hati.
"Seperti apa orangnya kak?" tanya Rasya pelan.
"Dia.. dia.."
Tasya mulai ketakutan.
"Ada apa kak?"
"Wajahnya sama seperti sosok yang muncul di mimpiku dan sosok yang tadi duduk di teras depan."
"Maksud kakak..."
"Sepertinya, dia penunggu rumah ini Sya."
"Kakak tenang ya!"
"Rumah ini.."
"Dengerin Rasya ya! Kalau pun benar dia penunggu rumah ini, biarkan saja! Rumah ini memang sudah sangat tua, wajar jika ditinggali bangsa mereka. Sekarang, ada kehidupan di sini. Kakak tenang saja! lambat laun, suasana rumah akan semakin membaik dan makin nyaman untuk ditinggali. Gangguan ghaib pun akan pergi."
Tasya hanya diam.
"Udah ya! yuk ke depan! kakak tenang saja! mulai besok, ada mbok Irah yang akan menemani kita."
"Iya."
...🍂 BERSAMBUNG .... 🍂...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!