NovelToon NovelToon

MEMILIH DIAM

Bab. 1. Pernikahan

"Isabella Januar, saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita."

"Alfred H, saya mengambil engkau menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita."

Setelah itu kedua mempelai menyematkan cincin ke jari manis masing-masing.

"Kalian sah menjadi pasangan suami istri. Silahkan mempelai pria mencium mempelai wanita,"

°°°°°°

Hari pernikahan merupakan hari kita mulai menyerahkan diri sepenuhnya pada orang yang kita pilih. Di hari itu, kita tidak lagi sendirian, mulai jadi satu paket dengan pasangan kita. Kita akan berharap akan selamanya dengan pasangan kita.

Pernikahan bagaikan rantai cincin emas, diawali dengan secercah sinar terang dan diakhiri oleh keabadian. Apa yang lebih besar bagi dua jiwa manusia, daripada merasakan bahwa mereka bersatu seumur hidup, untuk saling menguatkan dalam semua pekerjaan, untuk saling bersandar dalam semua kesedihan, untuk saling melayani dalam kenangan sunyi yang tak terkatakan disaat perpisahan terakhir.

Tetapi di atas tidak berlaku bagi pernikahan yang telah kujalani. Di saksi oleh Pendeta dan kedua orang tua serta keluarga besar, aku mengucapkan janji suci pernikahan sehingga dinyatakan sah.

Dalam sekilas ujung mataku menangkap senyuman yang diiringi air mata dari kedua orang tuaku setelah aku selesai mengucapkan janji suci pernikahan.

Aku tau mereka bukanlah bersedih melainkan kebahagiaan menyaksikan putri tercinta mereka melepas masa lajang yang kini berdiri di altar pernikahan bersama calon suami yang kupilih sendiri, yang pastinya banyak menyimpan sesuatu.

Di Mansion

"Sayang kamu sangat cantik," kagum Mama kepadaku sembari meneliti penampilanku dari ujung kaki sampai kepala. Perlakuan Mama seperti sang Polisi yang sedang interogasi begal. Aku tersenyum menanggapi apa yang dikatakan Mama.

Papa perlahan menarik tanganku untuk duduk di atas ranjang, aku menurut. "Putri Papa sangat cantik mengenakan gaun putih ini," Papaku juga memuji atas kecantikan yang kumiliki.

Aku hanya bisa melebarkan senyuman bagaimana semestinya yang dirasakan seorang pengantin pada umumnya. Andai saja mereka tau isi hatiku saat ini, mungkin pernikahan ini tidak akan mereka biarkan. Ini adalah pilihanku dan aku sudah menyakinkan kedua orang tua dan kedua Adik tampan ku memilih pria yang saat ini berdiri berhadapan denganku.

"Hmm jadi selama ini putri kalian ini tidak cantik?" aku sedikit bersikap cemberut.

Hahaha

Papa sama Mama terkekeh. Tawa kedua orang tuaku membuat hatiku sedikit menghangat sesaat. Tiba-tiba ketukan pintu menghentikan tawa Papa sama Mama ternyata itu adalah Adik bungsuku Mischa.

"Pa, Ma waktunya kita berangkat," kata Mischa memberitahukan karena pemberkatan di gereja tinggal 30 menit lagi. "Wah Kakak cantik sekali, hmm seandainya aku bukan Adik Kakak akan aku pacari," canda Mischa kepadaku, ya dia juga mengagumi kecantikan yang kumiliki.

"Hmm tapi seandainya begitu Kakak juga tidak mau tuh, masih anak ingusan sudah mikirin pacaran," sahutku kepada Mischa sembari mencubit wajah tampannya.

"Kakakmu mana?" tanya Mama yang pastinya menanyai keberadaan Adik nomor tiga yang bernama Moses, sang penerus Januar Group.

"Kakak sudah menunggu di mobil," sahut Mischa.

Kami pun segera keluar dari Mansion megah milik kedua orang tuaku. Dari kejauhan kami melihat sosok pria tampan, gagah dan sedikit dingin menyandarkan tubuhnya di mobil yang sudah di hiasi pita, yang akan membawa kami menuju Gereja.

Adikku Moses hanya memandang tanpa berkata sepatah apapun kepadaku, ya Adikku ini sangat irit berbicara. Beda jauh ketika kami masih kecil dulu karena kami adalah saudara kembar.

Tanpa aku sangka Moses mengusap bahuku dengan lembut disertai senyuman tetapi seperti senyuman keraguan, begitulah yang dapat aku baca dari raut wajah dinginnya.

Kami memasuki mobil yang dikendarai oleh Moses. Mobil melaju dengan standar, ya Gereja tempat pemberkatan tidaklah jauh dari Mansion. Mobil itupun berhenti tepat di depan gedung Gereja. Aku keluar dari dalam mobil di bantu oleh Mama.

Aku bisa melihat di gedung Gereja sudah di penuhi oleh keluarga, sahabat dan para jemaat. Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirimu. Sungguh rasa gugup ini menghantui kepercayaan diriku.

Papa memberikan lengannya untuk aku rangkul. Ya Papa yang mendampingiku menuju altar pernikahan untuk diserahkan kepada calon mempelai laki-laki yang terlebih dahulu berdiri di depan sana.

"Sayang refleks," bisik Papa kepadaku. Aku yakin Papa dapat merasakan kegugupanku.

Sesaat aku melirik Papa. Senyuman bahagia itu membuat rasa gugupku sedikit memudar tetapi tidak sepenuhnya hilang. Bagaimanapun prosesi ini begitu sakral dan akan menjadi sekali seumur hidup, itulah janjiku dimasa dulu.

Aku membalas senyuman tak kalah bahagianya, itu semua aku lakukan demi kebahagiaan pria yang sedang mendampingiku dengan penuh kasih sayang.

Kami melangkah sesuai dengan aturan. Menyunggingkan senyuman itulah gambaran menunjukan kepada semua orang bahwa kami sangat berbahagia. Aku dapat menangkap pujian-pujian dari para jemaat, mereka mengatakan aku sangat cantik, dan tidak kalah Papa juga mendapat pujian dari mereka. Walaupun sudah berumur tetapi ketampanan Papa tidaklah memudar.

Saatnya Papa menyerahkanku kepada calon mempelai laki-laki, hanya di respon dengan senyuman. Aku tidak berani menatap calon suamiku. Semoga sikapku ini tidak mencurigakan.

Pada saat prosesi pengucapan janji suci pernikahan, mau tidak mau aku menatap wajah calon suamiku. Aku akui pesona tampan suamiku, ketampanannya beda tipis dengan Adikku Moses. Sehingga tatapan kami bertemu dalam diam, dan jantung ini tak henti-hentinya berdetak.

Setelah Pendeta mengatakan sah serta mempelai laki-laki harus menciumi mempelai wanita, di situ jantungku ingin copot. Bagaimana mungkin itu terjadi. Rasa gugupku tak bisa aku tahan kan sehingga membuat kedua kakiku bergemetaran, hampir saja ingin tumpang jika saja aku tidak berada di keadaan seperti saat ini. Suamiku melangkah semakin mendekati, aku menelan ludah tidak percaya. Tanpa berkata-kata ia mendaratkan civman di bwbirku dengan buas, hal itu membuatku ingin berteriak tetapi tak bisa karena terjerat dalam bungkaman.

"Apa harus di civm di bwbir?" desisku dalam hati, ingin sekali menampar mulut itu. Dia mengambil civman pertamaku yang selama ini telah aku jaga sebaik mungkin tetapi dalam sekejap semua itu terjadi begitu saja dan disaksikan ratusan orang, termasuk kedua orang tuaku. Apa dia lupa dengan perjanjian itu? sungguh aku ingin sekali menghilang dari tempat sakral ini tetapi semua itu tidaklah mungkin.

Tepuk tangan menghentikan serigala itu sehingga wajahku mungkin sudah seperti kepiting rebus, aku hanya bisa menunduk dengan jantung tak hentinya berdegup kencang.

°°°°°°

Papa sama Mama memeluk kami berdua dan dibekali nasehat-nasehat yang membuat dada ini seperti di lempar bongkahan batu.

"Hari ini, akhirnya datang juga. Saat dimana kami harus melihatnya terbalut dalam pakaian cantik, yaitu gaun pengantinnya. Gadis kecil kami telah tumbuh dewasa. Dan sesudah mengucapkan janji suci pernikahan ini, kamulah kini menjadi penjaganya. Mengantikan kami. Mari ikatkan tanganmu kepadanya. Tolong jangan beratkan hatinya, karena sebenarnya pun hatinya telah berat untuk meninggalkan kami dan hanya mengabdi kepadamu. Jangan sakiti hatinya karena hal itu berarti pula akan menyakiti kami. Dia kami besarkan dengan segenap jiwa raga, untuk menjadi penumpang harapan kami dimasa depan, untuk mengangkat kehormatan dan derajat kami. Pengabdiannya pada suami akan menjadi pahala bagi kami. Namun kini kami harus menitipkannya kepadamu. Kami tidaklah keberatan karena berarti terjaga lah kehormatan putri kami. Jika kamu tak berkenan atas kekurangannya, ingatkan lah dia dengan cara yang baik, mohon jangan sakiti dia, sekali lagi jangan sakiti dia."

Nasehat yang diberikan Papa kepada suamiku, sungguh terenyuh saatku mendengar hal itu, tetapi aku tidak tau apa tanggapan dari suami dinginku. Aku hanya mendapat anggukan pelan darinya. Tanpa terasa bulir bening ini bergulir membasahi wajahku, sungguh hatiku tak tahan mendengar suara bariton halus itu. Yang lebih membuat hati ini berdenyut, sakit ketika aku melihat bulir bening dipelupuk mata Papa.

"Bahagia. Itulah yang saat ini Mama rasakan. Mama tidak bisa berkata banyak karena kebahagiaan ini mengalahkan segalanya. Sayang selamat menempuh hidup baru untuk kalian berdua. Putriku tunduklah dan layanilah suamimu sebagaimana mestinya karena itu adalah kewajiban seorang istri. Dan menantuku jaga dan lindungilah istrimu, jika dia memiliki kesalahan tegurlah dia dengan memberi pengertian." Ungkap Mama kepada kami dengan diiringi senyuman dan tangisan. Sungguh aku semakin dibuat tidak mampu untuk menghirup udara segar, begitu menyesakan.

"Iya Ma. Aku akan menjaga istriku seperti yang Mama dan Papa katakan karena aku sangat mencintainya,"

Mataku membulat mendengar pernyataan dari suamiku. Sungguh pria ini berani berkata omong kosong di tempat sakral. Apa dia mempermainkan tempat sakral ini dengan kata-kata bohongnya? aku meringis mendengar kebohongannya itu. Dia seketika meliriku, dengan sekilas mungkin aku membuang muka.

Papa sama Mama tersenyum lega mendengar mulut manisnya itu. Bahkan Mama mengusap wajah suamiku dengan penuh kasih sayang. Bahkan aku sendiri tidak pernah melakukan itu kepadanya karena itu tidaklah mungkin terjadi.

Bersambung.....

Jangan lupa tinggalkan like, vote, favorit dan komen agar author lebih semangat🙏

Bab. 2. Isabella

Namaku adalah Isabella Januar yang biasa di panggil Abel, berusia 25 tahun. Aku baru menyelesaikan S2 jurusan kedokteran. Aku adalah putri kedua dari pasangan Filio Januar dan Asilla Januar. Siapapun pasti mengenali dua sosok itu. Aku memiliki saudara kembar tiga, dua perempuan dan satu laki-laki. Kami empat bersaudara, dua perempuan dan dua laki-laki. Wajahku dengan Kakak kembarku sangat mirip, bahkan kadang sulit membedakan kami berdua. Postur tubuh, rambut, warna kulit dan lain sebagainya sama.

Aku sangat dekat dengan Papa dibanding dengan Mama. Dan ketiga saudaraku mengatakan aku adalah anak kesayangan Papa, ya mereka hanya bercanda karena pada kenyataan Papa menyayangi kami tanpa ada perbandingan. Aku dikenal sedikit manja dari Kakakku.

Hari ini aku akan kembali ke tanah air, dimana aku dilahirkan. Seminggu yang lalu aku baru menyelesaikan sekolah kedokteran di Paris-Perancis dan akan melanjutkan magang selama satu tahun, dan residensi dua tahun untuk mengambil dokter spesialis anak. Aku ingin mengambil spesialis anak sehingga menimba ilmu kembali. Tidak sulit untukku bekerja di rumah sakit karena keluarga Januar memiliki rumah sakit.

Kini aku sudah berada di pesawat jet pribadi milik keluarga, ya selama ini aku tidak pernah menggunakan pesawat umum, beda halnya dengan Kakak kembarku, dia lebih suka menggunakan pesawat umum. Kami beda Universitas dan beda negara pula. Kakakku menempuh pendidikan jurusan Hukum di negara Italia sedangkan Adikku di negara Amerika yang pastinya mengambil jurusan bisnis dan manajemen, bahkan 1 tahun yang lalu sudah mengantikan Papa sebagai CEO di perusahaan JANUAR GROUP.

°°°°°°

Di bandara Soekarno-Hatta kini aku berdiri menunggu jemputan. Sana sini ekor mataku melirik mencari sesuatu.

"Hmm taxi Nona," tiba-tiba suara yang tidak asing terdengar di belakangku sehingga mengajak keinginanku menoleh.

"Dek! Dasar anak nakal," cecarku kepada Mischa. Ya dia yang telah menjemputku. "Kakak merindukanmu anak manis," aku pun langsung memeluk Mischa melepas kerinduan, sudah 2 tahun aku tidak pulang karena ada satu alasan.

"Kak aku tidak ingin dikatai anak manis, aku sudah dewasa tau," penolakan Mischa tidak mau dipanggil dengan sebutan itu lagi.

"Hmm sudah dewasa ya? wah bentar lagi Papa sama Mama punya menantu dong, secara anak bungsunya sudah dewasa," candaku kepadanya yang langsung membuat mulutnya mengerucut.

"Maunya gitu Kak, dari pada si X diambil orang duluan," jawab Mischa.

Aku tidak menanggapi karena tubuhku sangat kelelahan dan langsung menarik tangannya segera masuk kedalam mobil.

"Dek apa kamu sudah di izinkan Papa untuk menyetir?" tanyaku sebelum Mischa melajukan kendaraannya yang kutau itu milik Moses.

"Aku sudah memiliki surat izin berkendaraan Kak tetapi sayangnya Papa tidak mau membeli mobil buatku, itu semua karena sang CEO yang melarang. Katanya aku harus beli dengan hasil keringatku sendiri," jelas Mischa sedikit jengkel dengan peraturan yang dibuat Moses.

"Kakak setuju," aku langsung mengajukan jempol tinggi-tinggi hal itu membuat Mischa berdesis tidak suka.

"Kalian bersekongkol," Mischa semakin mengerucutkan bibirnya dan tanpa aba-aba melakukan kendaraan itu sehingga membuatku menggelengkan kepala.

"Apa yang dikatakan Moses itu benar agar kamu kedepannya memiliki masa depan yang cerah," aku memberi pengertian kepada Mischa dan dapat anggukan darinya.

Dalam beberapa menit mobil memasuki perkarangan Mansion. Ya tidak ada yang berubah dari 2 tahun yang lalu. Aku sudah tidak sabar ingin turun dan langsung menghambur kedalam pelukan Papa sama Mama yang aku yakini sedang menunggu kedatanganku. Ya pada saat aku menyelesaikan sekolah kedokteran mereka tidak bisa hadir karena kesehatan Mama bermasalah. Hanya Moses yang menyempatkan diri untuk hadir di acara wisudaku.

Aku membuka pintu mobil dengan tidak tergesa-gesa sehingga Mischa berteriak agar aku menunggu dirinya tetapi tidak aku gubris.

Para pelayan menyapaku dengan hormat dan aku menjawab mereka dengan sopan. Aku berlari memasuki ruang keluarga karena kata pelayan Papa sama Mama sedang berada di sana. Dari kejauhan aku terpaku dengan kedua sosok yang sangat aku sayangi dan rindukan, mereka kelihatan sedang membahas sesuatu yang tidak dapat aku dengar.

"Papa, Mama," panggilku sembari melangkah mendekati. Melihat kedatanganku tentu saja mereka langsung berdiri dengan senyuman terukir indah di wajah yang mulai menua.

"Sayang," Mama langsung memeluk diriku, menumpahkan rasa rindu selama ini. "Mama sangat merindukanmu," lirih nya seperti terisak.

"Aku juga merindukan Mama, hmm Mama sudah baikan?" tanyaku sedikit khawatir dengan kondisi kesehatan Mama.

"Mama sudah sehat sayang, jangan panik begitu," jawab Mama dengan tersenyum, ia menciumi seluruh wajahku ini.

"Syukurlah karena aku tidak ingin melihat Mama sakit-sakitan," kataku dengan perasaan sedikit lega.

Ya kondisi kesehatan Mama menurun setelah kejadian 2 tahun yang lalu, sampai sekarang Mama belum menerima kenyataan itu. Sehingga setiap hari berharap sesuatu yang tak mungkin.

Hmm

Deheman Papa sehingga membuatku meliriknya.

"Papa," panggil manjaku dan langsung menghambur kedalam pelukkanya.

"Putri cantik Papa," Papa membalas pelukanku.

Kami mengobrol sebentar, sekedar berbincang-bincang mengenai kelanjutan pendidikanku. Tidak lama aku berpamitan ingin ke kamar, aku sedikit lelah.

"Pa, Ma aku ingin membersihkan diri dulu," kataku sembari menyudahi perbincangan kami.

"Iya sayang, setelah itu kamu segera makan. Mama sudah masakin makanan kesukaanmu," sahut Mama dan mengatakan jika ia sudah memasak makanan kesukaanku. Inilah yang selalu terjadi setiap kami pulang dari luar negeri, Mama akan memanjakan kami dengan menu andalannya sesuai kesukaan kami masing-masing.

"Mama memang is the best," manjaku sembari mengecup pipi Mama dan langsung berlalu bergegas menuju kamar.

Sesaat aku terpaku berdiam menatap pintu kamar di sebelah kamarku, yaitu kamar Gabriella Kakak kembarku. Seketika hati ini perih mengingatkan sesosok itu, tanpa sadar air mata ini keluar tanpa di minta. Aku tersadar dan langsung menyeka air mata ini, aku tidak ingin menambah kesedihan Mama.

"Aku merindukanmu Kak," batinku meringis.

Klek

Pintu kamar aku buka, lalu tidak lupa menutupnya kembali. Kamar itu tidak ada yang berubah, bersih, rapi, harum itulah yang kudapatkan. Sepertinya para pelayan terlebih dahulu membersihkan kamar ini.

"Ya ampun sepertinya koperku masih di mobil. Dasar Adik tidak sayang sama Kakaknya," rutukku bergumam.

Tok tok

Pintu tiba-tiba diketuk.

"Masuk,"

Klek

"Ini kopermu Tuan putri. Pelayanmu sudah melayani dengan tulus," sindir Mischa sembari menyeret koperku.

Aku terkekeh lucu mendengar sindirannya. Aku sudah salah menebak, pada kenyataan Mischa membawa koper itu.

"Terima kasih Adikku tersayang," ucapku sembari menyambar koper itu.

"Sama-sama," sahutnya tak semangat sembari melangkah mendekati ranjang dan langsung membaringkan tubuhnya sembari merenggangkan semua otot-otot.

"Dek Kakak mau mandi,"

"Kalau mandi ya mandi,"

Aku berdecak karena Mischa tak bergerak dari kasur empukku.

"Sebentar saja Kak, sepertinya aku mengantuk. Mau lanjutkan acara tidurku yang sempat terganggu karena menjemput Kakak," akuinya.

"Kamu punya kamar bukan? pergi sana," usirku.

Aku kembali berdecak dengan menghentakkan kaki mendapati Mischa sudah memejamkan mata, sepertinya ia sudah terbawa ke alam mimpi. Akupun membuka koper dan mengambil baju ganti dan segera memasuki kamar mandi. Tidak mungkin mau menunggu Mischa terbangun.

Bersambung.....

Jangan lupa tinggalkan like, vote, favorit dan komennya agar author semangat🙏

Bab. 3. Ke Italia

Gemercik air hujan saling sahut-bersahutan. Menari-nari riang gembira di atas daun. Menghiasi setiap lembar daun-daun agar terlihat sejuk. Sesejuk hatiku kala melihatmu senyum di pagi hari. Di pagi yang dingin dan disertai hujan ini. Aku teringat tentang kenangan kita.

Pagi ini menggambarkan isi hatiku. Aku sedang bermalas-malasan, ditambah lagi udara dingin. Aku melirik jam berukuran kecil di atas nakas, rupanya baru pukul 6 pagi. Isabella kembali bergulung dengan selimut tebal, mulai memejamkan kembali mata ini.

Tok tok

"Sayang apa kamu sudah bangun?" ternyata Mama mengetuk kamar sembari memanggilku. Mungkin karena tidak ada jawaban Mama masuk begitu saja, kebetulan pintu kamar tidak terkunci.

Klek

Pintu terbuka. Mama menggelengkan kepala melihat Isabella masih bergulung dengan selimut. Mama mendekat sembari mengusap kepalaku.

"Sayang ayo bangun," Mama membangunkanku. Tetapi tidak membuahkan hasil. "Sayang nanti kamu ketinggalan pesawat loh," imbuh Mama kembali.

Seketika aku tersentak bangun, aku baru ingat bahwa pagi ini aku akan berangkat ke Italia.

"Mama ini sudah jam berapa?" tanyaku kepada Mama. Rasa kantuk tadi menghilang begitu saja.

"Tenang sayang," Mama mengusap bahuku agar aku tenang.

Aku tersenyum lalu memeluk Mama dengan rasa sayang, jarang-jarang momen seperti ini karena dipisahkan oleh jarak. Mama kelihatan lebih segar pagi ini, aku dapat merasakan senyuman yang hilang 2 tahun lalu kini mulai kembali.

"Baiklah segera bersihkan dirimu, Mama akan menyiapkan sarapan," ucap Mama sembari turun dari tempat tidur.

Aku mengangguk. Mama kembali tersenyum, lalu berlalu keluar dari kamar.

"Kasian Mama," gumamku dengan memandang punggung Mama yang mulai menghilang. Aku pun beranjak masuk ke kamar mandi. Tidak ada waktu untuk bersantai lagi, dari pada nanti ketinggalan pesawat. Ya untuk kali ini aku akan membiasakan diri untuk menaiki pesawat non jet pribadi.

Di meja makan

Kami menikmati sarapan yang di buatin Mama. Untuk urusan dapur Mama lah memegang kendali.

"Jam berapa Kakak berangkat?" tanya Moses kepadaku disela mengelap mulutnya, menandakan ia sudah selesai.

"Jam 10," sahutku sembari mengunyah.

"Apa Kakak yakin?"

Aku mengernyit mendengar pertanyaan Moses.

"Apa Kakak yakin ingin naik pesawat?" tanyanya kembali.

Aku menghela nafas panjang.

"Tentu Adikku sayang. Mulai sekarang Kakak akan membiasakan diri," jawabku dengan semangat.

Hmm

"Kak boleh ikut?" tanya Mischa.

Aku melirik Mischa sesaat.

"Tidak boleh. Bukankah besok kamu akan tes," ucapku menolak cepat.

"Bercanda Kak," sahutnya.

"Giat berolah raga," ingatku kepada Mischa karena besok dia akan ikut tes pendidikan TNI. Cita-cita Mischa mengikuti jejak mendiang Paman Cloud. Jarang-jarang keturunan generasi Januar menjadi seorang militer.

"Percayalah aku pasti Terima dengan murni tanpa ada embel-embel," sahut Mischa sangat percaya diri, dan aku juga yakin dia akan lulus. Secara Mischa memiliki postur tubuh seperti syarat masuk TNI.

"Amin," sahut kami mengaminkan ucapan Mischa.

Di ruang keluarga aku berbincang-bincang dengan Papa sama Mama. Moses sudah berangkat ke kantor 5 menit yang lalu, sedangkan Mischa mempersiapkan diri dengan latihan-latihan entah apa itu aku juga tidak paham.

"Sayang apa kamu yakin pergi ke sana sendirian?" tanya Papa dengan raut wajah sedikit khawatir.

"Iya Papa," jawabku sembari tersenyum.

"Untuk apa kamu ke sana sayang? Mama tidak ingin sesuatu kembali terjadi, Mama tidak ingin kehilangan lagi," lirih Mama dengan raut wajah sendu, bahkan matanya berkaca-kaca.

Aku menghela nafas yang begitu menyesakan. Aku ambil tangan Mama lalu mengusap punggung tangan itu. "Mama sayang jangan cemas, putrimu ini baik-baik saja," aku berusaha membuat Mama merasa tenang.

"Sebagai orang tua Mama pasti khawatir sayang," ucap Mama sembari meremas jari-jemariku.

"Aku tau Ma," sahutku singkat.

"Sepertinya putri Papa begitu semangat hmm apa ada sesuatu di sana? contohnya bertemu dengan seseorang," goda Papa dengan alis turun naik.

"Papa," protesku karena itu tidaklah benar.

"Apa kamu memiliki kekasih sayang?" tanya Mama, mungkin mereka penasaran karena selama ini aku belum pernah mengenalkan kekasihku, bagaimana mau dikenalkan karena statusku adalah jomblo akut.

"Tidak ada waktu untuk memikirkan itu Ma," jawabku seadanya dan itulah kenyataan.

"Masa kamu cantik begini tidak ada satupun pria melirik," ucap Mama sembari merapikan lembaran koran yang sedikit berantakan setelah Papa membacanya.

"Melirik tentu saja tak terhitung Mama," sahutku.

Hmm

Bukan tidak ada pria yang tertarik kepadaku tetapi untuk memikirkan kearah itu belum terpikirkan, bahkan aku populer di kampus. Hanya ada satu pria yang sedikit menarik perhatianku dulu yaitu seniorku. Tetapi setelah ia lulus tidak pernah bertemu lagi.

Aku ingin ke Italia karena sekedar berkunjung dan ingin mencari sesuatu tanpa aku utarakan kepada keluargaku. Aku ingin mencari informasi yang tentunya sangat sulit, bahkan keluarga besar kami tidak mendapatkan itu.

Kami menyudahi obrolan dan aku beranjak ke kamar, sedangkan Papa sama Mama menyibukkan diri di taman belakang, sepertinya menyirami tanaman. Begitulah kegiatan pagi kedua orang tuaku. Selama Moses mengantikan Papa, Papa tidak pernah ke kantor, jadi hari-harinya hanya menemani Mama. Aku bangga melihat kedua orang tua kami yang hidup rukun, harmonis dan satu lagi romantis.

°°°°°°

Tiba di bandara aku langsung check-in. Tidak ada yang mengenali statusku karena aku menggunakan masker serta kaca mata, kecuali check-in counter atau staff bandara.

Aku sabar mengantri. Seumur hidup baru kali ini merasakan hal yang baru karena seperti yang sudah kukatakan selama ini menggunakan pesawat jet pribadi. Kebetulan hari ini penumpang cukup ramai sehingga butuh waktu 30 menit aku berdiri. Tentu saja hal ini membuatku sedikit mengeluh tetapi ini sudah tekadku.

Di ruang tunggu aku menyibukkan diri sebentar mengecek ponsel. Aku tersenyum melihat notifikasi pesan dari Papa sama Mama. Aku pun segera membalas satu-persatu.

"Selamat pagi. Dengan menyesal kami menginformasikan bahwa hujan badai di Jakarta telah menunda beberapa penerbangan. Maskapai Z penerbangan xxx tujuan Italia dijadwalkan berangkat pukul 10:15 sekarang dijadwalkan berangkat pukul 12:00. Mohon periksa papan keberangkatan untuk info lebih lanjut dan pembaharuan tentang masing-masing penerbangan. Mohon kunjungi meja layanan pelanggan jika anda ingin membatalkan penerbangan anda. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Terima kasih."

Aku menghela nafas panjang mendengar pengumuman itu. Hal inilah yang sangat aku hindari. Berjam-jam menunggu di ruang tunggu dengan keramaian. Aku kembali fokus dengan ponselku dan tidak lupa mengabarkan penundaan jadwal keberangkatan untuk waktu 2 jam.

"Awal yang menyebalkan. Kenapa sih turun hujan tiba-tiba," rutukku mengomel dengan diri sendiri. Bayangkan saja aku harus menunggu 2 jam lamanya. "Sabar Abel, sabar." Aku berusaha setenang mungkin.

Aku juga mendengar kekecewaan dari beberapa calon penumpang, apa lagi ada sebagian dari mereka membawa anak-anak. Berarti bukan hanya aku saja yang merasa kesal.

Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan like, vote, favorit dan komennya agar author lebih semangat🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!