Sepatu heels berwarna merah maron itu bergema dengan begitu nyaringnya sepanjang koridor menuju ke sebuah lift yang berjarak tak jauh dari ruanganku.
Menekan tombol menuju lantai 16 di Perusahaan tersebut, yang dimana di lantai 16 tersebut terdapat ruangan dari pemimpin perusahaan Mahesa Group.
Tapi sebelum itu kalian jangan heran dulu kalau perusahaan milik keluarga Mahesa bisa mencapai lantai 16. Perusahaan Mahesa Group bukanlah sembarang perusahaan, perusahaan tersebut merupakan salah satu perusahaan terbesar dan ternama, bahkan perusahaan milik keluarga Mahesa itu adalah salah satu perusahaan ternama di dunia.
Dan bukan hanya perusahaan itu saja yang dimiliki oleh keluarga Mahesa. Keluarga Mahesa masih memiliki banyak anak perusahaan lainnya dan juga bisnis lain di berbagai negara seperti hotel, restoran, resort bahkan mall/pusat perbelanjaan.
Sangat kaya bukan keluarga Mahesa. Dan mungkin banyak dari orang-orang di luar sana yang menyayangkan ketika aku memilih untuk bercerai dari Adrian, penerus perusahaan dan bisnis-bisnis milik keluarga Mahesa.
Tetapi itulah keputusanku, karena aku sudah terlanjur sakit hati dengan penghianatan yang dilakukan oleh Adrian. Orang yang sempat aku cintai dan percaya dulu.
Ohiya aku lupa untuk memperkenalkan diriku sendiri. Perkenalkan namaku Freya Ranita Ganney, orang-orang di perusahaan dan teman-temanku sering memanggilku dengan sebutan Freya. Tetapi Papa Mamaku dan keluarga Mahesa termasuk Adrian sering memanggilku dengan sebutan Rea.
Aku bukanlah berasal dari keluarga yang kaya raya. Tetapi juga bukan berasal dari keluarga sederhana. Aku sebenarnya berasal dari keluarga yang lumayan berkecukupan, tetapi tidak sekaya keluarga Mahesa. Papaku memiliki sebuah perusahaan properti yang tidak terlalu besar dan Mamaku adalah seorang Ibu rumah tangga biasa yang memiliki usaha catering makanan rumahan.
Aku dulunya adalah sekertaris pribadi Adrian di Perusahaan ini sampai kami menikah. Tetapi setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Adrian selama kurang lebih 3 tahun dan bercerai 2 bulan yang lalu. Aku lebih memilih untuk berpindah ke divisi lain di perusahaan itu.
Karena aku merasa tidak nyaman dan akan sangat akward jika setelah bercerai aku masih tetap menjadi sekertaris pribadi Adrian. Kalian juga pasti akan merasakan hal yang sama denganku, jika itu terjadi pada kalian.
Setelah bercerai, aku meminta ke Adrian untuk memindahkan aku ke divisi lain dan Adrian langsung menyetujuinya dan memindahkan aku ke divisi di bagian keuangan sebagai manajer keuangan yang kebetulan waktu itu kosong. Aku pikir Adrian juga merasakan hal yang sama denganku dan memilih untuk memindahkan aku ke divisi lain. Dan juga salah satu alasan Adrian memindahkan aku juga mungkin ingin menjaga perasaan pacarnya alias selingkuhannya dulu.
Okey, itulah adalah sedikit ceritaku tentang aku dan keluarga Mahesa.
Jadi sekarang kita kembali ke topik utama, dimana hari ini aku memutuskan untuk resign dari perusahaan ini. Perusahaan yang sudah mempekerjakanku dan memberikan aku banyak pengalaman selama lebih dari 7 tahun.
Bukan tanpa alasan aku memilih untuk resign dari perusahaan ini. Aku memilih untuk resign karena menurutku ini adalah yang terbaik bagi aku dan Adrian, mantan suamiku.
Apalagi pacar atau selingkuhan Adrian selalu datang berkunjung ke perusahaan ini dan kami selalu bertemu di lobi perusahaan.
Dan bukannya aku belum move on, tetapi entah mengapa setiap kali aku berpapasan dengan wanita pelakor itu aku selalu merasa ingin marah saat itu juga dan aku selalu merasa muak melihat wanita itu apalagi kalau sudah berdekatan dengan Adrian.
Jadi, daripada aku selalu seperti itu lebih baik aku memilih untuk resign dan pergi menjauh dari bayang-bayangan Adrian dan keluarganya.
Walaupun begitu, Daddy dan Mommy mertuaku sudah melarang aku untuk melakukannya. Tetapi aku tetap kekeuh untuk resign dan pergi dari kehidupan Adrian.
Daddy dan Mommy mertuaku memang sangat menyayangiku layaknya anak mereka sendiri. Mereka tidak ingin aku berhenti bekerja di perusahaan milik keluarga mereka dengan alasan agar mereka tetap bisa melihatku dan menjagaku. Bukan sebagai seorang menantu tetapi sebagai Putri mereka sendiri, tetapi aku menolaknya.
Aku hanya ingin menjauh dari bayang-bayangan masa lalu dan membuka lembaran baru di kehidupanku.
"Selamat siang Bu, Freya," sapa seorang wanita cantik yang barusan keluar dari ruangan dengan pintu besar yang terlihat begitu kokoh dan mewah.
Wanita itu adalah Dinda. Sekertaris baru Adrian yang menggantikan aku.
Aku tersenyum manis. "Selamat siang juga Din, ohiya Pak Adrian nya ada?" tanyaku pada Dinda.
Dinda mengangguk sambil tersenyum manis. "Iya Bu. Pak Adrian ada di dalam, saya baru saja mengantarkan file yang diminta Pak Adrian tadi," jelasnya.
"Oh gitu. Yaudah saya mau bertemu dengan Pak Adrian sebentar, bisa kan."
"Bisa Bu silahkan, kebetulan setelah ini jadwal Pak Adrian kosong. Hmmm perlu saya antar kan?"
Aku menggeleng. "Tidak usah Din, ada sedikit urusan pribadi yang harus saya selesaikan dengan Pak Adrian."
Dinda yang memang sudah mengetahui kalau aku adalah mantan istri dari direktur utama perusahaan ini pun hanya tersenyum memaklumi.
"Hmm, kalau begitu saya permisi ya bu."
"Iya, terimakasih ya Din."
"Sama-sama Bu."
Dinda kemudian melengos pergi dari hadapanku menuju ruangannya yang bertepatan di samping ruangan Adrian.
Aku kemudian menatap pintu besar di hadapanku itu. Menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya.
"Ayo Rea. Kamu pasti bisa ngomong sama Adrian dan menyerahkan surat resign ini langsung, setelah itu kamu akan bebas," aku bermonolog sendiri dihadapan pintu itu.
Padahal seharusnya jika ingin resign surat resign nya di antarkan pada bagian HRD, tetapi khusus aku Adrian meminta agar aku menghadap nya langsung dan memberikan surat resign itu kepadanya sendiri. Sehingga membuat aku harus mengumpulkan banyak niat untuk bisa berhadapan langsung dengannya.
Aku memejamkan mata sebentar, kemudian dengan mantap menekan tombol mewah yang ada di samping pintu itu.
Tak lama ku dengar ada suara yang mempersilahkan aku untuk masuk.
Aku melangkahkan kaki menuju ruang tersebut dan langsung menelan saliva setelah berhasil masuk dan kini berdiri di hadapan Adrian.
Mata elang pria itu tak lepas menatapku dengan tatapan tajam dan dinginnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mungkin dia membenciku, entahlah aku hanya berfikir seperti itu.
"Duduk!" perintahnya.
Dan tanpa basa-basi aku langsung duduk di kursi di hadapannya. Oh Gosh! entah kenapa aku merasa ruangan ini menjadi sangat panas hawanya.
"Untuk apa jauh-jauh datang ke ruanganku di siang hari seperti ini?" tanya Adrian membuka pembicaraan karena dari tadi aku sibuk dengan fikiranku sendiri, sampai lupa tujuan awalku.
"Mau menggodaku?" tanya Adrian lagi sambil memperhatikan pakaian yang aku gunakan.
****! Sialan! Begitu apesnya aku sampai hari ini bisa menggunakan pakai seksi seperti ini. Tapi menurutku ini tidaklah terlalu seksi juga sebenarnya, tapi aku yakin bagi Adrian ini pasti sangatlah seksi. Dengan rok mini coklat dan kemeja lengan panjang putih yang sangat pas di tubuhku, tetapi tidak terlalu ketat juga menurutku.
"Apa kau bisu?" lagi-lagi Adrian bertanya padaku dengan tatapan sinis.
"Tentu saja tidak Pak Adrian. Aku datang ke sini pasti dengan tujuan yang baik, bukan untuk menggodamu."
Dengan sedikit gementar, aku menyerahkan amplop putih yang kubawa tadi ke atas meja kerjanya.
"Kamu mau berhenti bekerja di sini?" tanya Adrian, kali ini tatapannya menjadi semakin tajam dari sebelumnya.
"Iya Pak."
"Kenapa?"
"Ah!?"
"Apa alasan kamu sehingga memilih resign dari perusahaan ini?"
Aku kembali menghela nafas. Huh, sudah bisa dipastikan pertanyaan ini pasti akan keluar dari mulutnya. Karena tidak mudah untuk bisa terlepas dari bayang-bayangan seorang Adrian. Dia tidak akan melepaskan aku begitu saja, padahal kami sudah bercerai.
Dia bahkan terkadang memintaku untuk tidur di rumahnya bahkan setelah kami bercerai, dan aku selalu menolak setiap permintaan konyolnya itu.
"Karena saya ingin menjalani kehidupan yang baru dan ingin mencari pengalaman baru. Saya rasa sudah cukup saya mengabdi selama tujuh tahun untuk perusahaan ini," jelasku.
"Dan saya harus menyetujui alasanmu itu?" tanya Adrian kepadaku.
Aku mendengus. " Ya tentu saja Pak Adrian harus menerima keputusan saya. Karena ini sudah menjadi keputusan final saya."
"Okey, alasanmu diterima."
Aku tersenyum senang, ternayata semudah itu. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja. Huh, akhirnya bisa terbebas dari Adrian.
"Tapi dengan syarat."
Aku melongo mantap Adrian dengan perasaan tak enak. Sepertinya aku akan terjebak oleh syarat yang akan Adrian berikan. Ini tidak bisa dibiarkan, Adrian sangatlah licik.
"Syarat? Kenapa harus pakai syarat sih Pak. Saya kan hanya mau mengundurkan diri, kenapa harus pakai syarat-syarat segala," omelku.
"Jika tidak mau juga tidak apa-apa. Saya tidak akan menerima surat pengunduran ini." Ucap Adrian sambil menunjuk surat pengunduran diriku.
"Ta-tapi saya ...,"
"Tidak ada tapi-tapian. Jika kamu menyetujui syarat yang diberikan. Maka saya akan menerima surat pengunduran diri kamu," potong Adrian tegas.
"Lho tidak bisa seperti itu dong Pak. Oh ayolah, kenapa Pak Adrian selalu menghalangi saya untuk pergi menjauh dari kehidupan Bapak? Bukannya ini bagus, jika saya resign dari perusahaan ini. Pak Adrian bisa lebih leluasa bertemu dengan Vania. Tanpa harus memikirkan perasaan saya."
Vania adalah pacar Adrian sekaligus selingkuhan Adrian dulu.
"Rea!!" bentak Adrian begitu mendengar aku menyebutkan nama Vania.
"Kenapa? Pak Adrian mau marah sama saya, karena nyebut nama wanita ****** itu? HAH?"
"Sudah saya bilang dia bukan wanita ******. Namanya Vania dan dia bukan wanita ******." Adrian menatapku tajam dengan penuh amarah di mata elangnya itu.
Aku berdecih mendengar ucapan Adrian, jujur aku begitu sakit hati melihat Adrian sebegitunya membela wanita ****** itu.
"Sebenarnya mau Pak Adrian itu apa sih? Kenapa Pak Adrian selalu bersikap seperti ini, seolah-olah memberikan saya harapan kalau sebenarnya Pak Adrian tidak ingin melepaskan saya."
"Saya juga ingin merasa bebas tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan itu Pak. Jadi saya mohon untuk melepaskan saya dan biarkan saya pergi." Perlahan air mata yang sudah ku tahan dari tadi melongos keluar begitu saja, dengan perasaan campur aduk.
Bisa kulihat tatapan Adrian berubah menjadi sendu, pria itu mengusap kasar wajahnya kemudian kembali menatapku.
Dia berjalan menuju pintu dan menguncinya, kemudian berjalan mendekatiku. Oh ayolah apa yang ingin dia lakukan.
"Kamu tanya apa mau aku?" Ia semakin mendekatiku.
Aku menelan saliva ku.
"Jawabannya adalah kamu."
"Ya, aku mau kamu Rea."
"Assalamualaikum wahai para pencari cuan," ucap Asri si Mak lambe nyerocos yang suka sekali bergosip dan selalu heboh. Asri merupakan salah satu bawahan Freya di bagian keuangan.
"Waalaikumsalam, bisa nggak sih mbak kalau datang itu jangan yang terlalu heboh-heboh gitu, aku yang lagi ngitung laporan keuangan jadi nggak fokus nih," omel Safira yang masih tetap fokus dengan layar monitornya.
"Ya maaf Fir. Namanya juga Mak Lambe, ya pasti dimana-mana harus selalu heboh dong." Asri sambil menyesap kopi yang dibawanya.
"Ohiya, mbak Freya mana? Kok tumben nggak kelihatan, biasanya habis istirahat makan siang gini dia udah ngacir duluan buat nyelesain kerjaan. Di kantin juga tadi nggak ada." Asri celingak-celinguk mencari keberadaan Freya, atasannya itu.
Memang dari jam makan siang hingga saat ini, Asri tidak melihat keberadaan Freya di kantin maupun di ruangannya yang kebetulan hanya terhalang oleh kaca-kaca bening yang memisahkan antara ruangan manajer dan pegawai biasa.
"Lagi di ruangan Pak direktur," jawab Adit yang baru saja datang.
Asri menyerit, pertanda ia kepo. "Direktur? Pak Adrian?"
Adit menyentil kening Asri. "Ya iyalah. Emang kalau bukan Pak Adrian, siapa lagi yang jadi direktur di perusahaan ini."
Asri meringis. "Oh iya yah. Tapi ngapain mbak Freya ke ruangan Pak Adrian? Tumben banget."
"Kamu nggak tau berita terupdatenya ya? Mbak Freya kan mau resign dan surat resignnya disuruh sama HRD untuk diantar langsung ke Pak direktur," jelas Safira.
"What!! Yang bener aja kamu Fir. Mbak Freya beneran jadi resign dari perusahaan ini?" Asri langsung menghampiri meja kerja Safira.
"Yup. Padahal nih ya, aku sama karyawan lain udah cegah mbak Freya untuk nggak resign. Tapi ya mau gimana lagi, itu udah keputusan mbak Freya, dan kita sebagai rekan kerja yang baik harus bisa menghormati keputusan mbak Freya," jelas Safira lesu.
Adit dan Asri pun hanya mengangguk menyetujui ucapan Safira dengan lesu.
"Aku nggak rela sih mbak Freya harus resign dari kantor ini, jadi nggak ada teman ngerumpi lagi. Tapi ya mau gimana lagi," ucap Asri.
Padahal Freya itu adalah tipe orang yang sangat humoris dan baik hati terhadap semua karyawan-karyawan di perusahaan tersebut.
Bahkan jauh sebelum ia menikah dengan Adrian sampai bercerai pun, keramahan wanita itu membuat para karyawan sangat menyayangkan jika Freya harus resign dari perusahaan. Dan itu artinya mereka akan kehilangan orang sebaik Freya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ya, aku mau kamu Rea." Adrian semakin gencar mendekatiku, dan aku pun sontak langsung memundurkan langkahku. Hingga punggungku menyentuh tembok di ruangan itu.
"Pak Adrian, saya minta dengan hormat agar bapak menjauhi saya." Jujur aku sudah sangat gugup, apalagi jarak antara wajahku dan wajah Adrian begitu sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafas Adrian, begitu pun juga Adrian.
Adrian tersenyum sinis. "Saya bukan Bapak kamu Rea!" Sekali lagi Adrian menatapku tajam.
"Tapi anda atasan saya. Jadi saya harus bersikap sopan." Aku mencoba untuk menghindari tatapan Adrian. Siapa pun tolong selamatkan aku!
"Saya suami kamu. Dan panggil saya 'mas Adrian' bukan 'bapak Adrian'." Tegas Adrian, kemudian melangkah menjauh dariku. Aku menghela nafas lega, akhirnya apa yang sempat aku khawatirkan tadi tidak terjadi.
Tapi sedetik kemudian aku tertawa miris mengingat ucapan Adrian barusan.
"Biar saya koreksi, bapak Adrian yang terhormat. Anda adalah mantan suami saya, ingat 'mantan suami' anda harus mengaris bawahi itu."
Bisa-bisanya dia mengatakan kalau dia adalah suamiku, padahal jelas-jelas kami sudah bercerai. Apa-apaan ini.
"Terserah kamu." Adrian kembali ke tempat duduknya, kemudian tanpa bersalahnya ia dengan santai kembali melanjutkan pekerjaannya .
Aku sangat geram melihat tingkah Adrian. Bagaimana bisa dia mengunciku di ruangan ini dan dengan santainya ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Bahkan ini sudah lebih dari 20 menit aku berada di ruangannya, kalau tahu begini lebih baik aku memilih untuk mengirimkan surat pengunduran diri ke alamat rumahnya saja. Daripada harus menemuinya langsung di ruangan ini. Ini namanya pemborosan waktu.
"Pak, saya mohon terima surat pengunduran diri saya. Dan biarkan saya untuk pergi dari sini."
"Mas Adrian!" koreksinya.
Huh! Baiklah mari kita ikuti saja kemauan direktur keras kepala ini.
"Iya iya Mas Adrian. Tolong mas terima surat pengunduran ini dan biarkan saya untuk pergi dari sini."
"Masih dengan syarat yang sama," serunya lagi.
Syarat lagi! Huh! Sebaiknya aku menuruti saja permintaan Adrian, toh ini adalah syarat terakhir dan setelah itu aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Anggap saja untuk menyenangkan hati mantan suami, karena setelah ini aku akan pergi jauh dari kehidupan Adrian.
"Tapi jangan yang aneh-aneh. Karena kita bukan lagi suami istri."
"Tidak aneh-aneh Rea." Adrian mengalihkan tatapannya menatapku.
"Baiklah, katakan apa syaratnya."
"Malam ini menginaplah di rumah, cuma sekali ini saja dan mungkin akan jadi yang terakhir. Setelah itu saya akan ngebebasin kamu."
"T-tapi kan kita udah bercerai, saya nggak enak sama omongan orang-orang nantinya kalau saya nginap di rumah mas Adrian."
"Surat pengunduran diri kamu tidak akan saya terima, jika kamu ragu," ancam Adrian.
Bagaimana ini?
Aku berusaha untuk mempertimbangkan ucapan Adrian. Hmm, baiklah kalau begitu. Lagipula setelah ini dia tidak boleh menganggu ketenangan hidupku lagi.
"Baiklah, tapi jangan aneh-aneh. Cuma sekedar nginap aja kan. Tapi Mas Adrian harus janji, setelah ini jangan pernah ganggu ketenangan hidup saya lagi."
"Okey, deal."
"Deal!"
Adrian pun menyetujuinya dan kami berdua pun sepakat. Baiklah sepertinya malam ini aku harus meninggalkan apartemenku untuk semalam dan setelah itu aku akan bebas dan pergi jauh untuk menjalani kehidupanku sendiri.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Mbak Freya! Kok mbak nggak ngasih tau Asri, kalau sebenarnya mbak Freya mau resign dari perusahaan," omel Asri begitu melihat kedatangan Freya.
"Ini baru aja mbak mau ngasih tau sekaligus mau pamit juga sih, hehehe!"
"Ih, mbak Freya mah gitu. Padahal kan kita udah jadi best friend, semua orang kantor tau tentang ini. Cuma Asri aja yang kaya orang bodoh, nggak tau."
Aku mengulas senyuman. "Ya maaf Sri. Tapi kan sekarang yang penting kamu udah tau."
"Iya sih. Tapi nggak asik ah kalau nggak ada mbak Freya. Aku nggak punya temen gosip lagi."
"Sama Adit aja, dia juga lumayan lho bisa di ajak gosip. Hehehe," candaku.
"Adit tuh nggak asik mbak, sama sekali nggak asik. Suka salah sambung terus dia mah kalau diajak gosip."
"Enak aja," ucap Adit.
"Ohiya, gimana mbak. Surat pengunduran diri mbak di terima sama Pak Adrian?" kali ini Safira yang berucap.
Aku terdiam sebentar, sedangkan mereka memasang wajah penasaran.
"Ya tentu aja diterima dong. Masa enggak."
Mereka bertiga pun menghela nafas secara bersamaan dengan raut wajah murung.
"Lho, kenapa? Kalian nggak senang ya, mbak tau kalian nggak rela kalau mbak resign. Tapi kan ini demi kebaikan dan kebahagiaan mbak kedepannya, lama kelamaan di sini bikin mbak makan hati. Apalagi kalau ngeliat pelakor itu terus."
"Iya mbak. Kita doain semoga ini yang terbaik ya buat mbak Freya," ucap Asri.
"Semoga mbak bisa menemukan kebahagiaan mbak," tambah Safira.
"Dan semoga mbak cepat move on dari Pak Adrian. Amin Ya Allah," ucap Adit.
Aku menyikut lengan Adit. "Eh mbak udah move on ya. Please deh ah."
"Iyain deh," seru mereka bertiga bersamaan.
Kemudian kami tertawa bersama. Dan berpelukan.
"Eits ... tunggu dulu, ini cuma buat ciwi-ciwi ya. So, Adit kamu nggak boleh ikutan. Bukan Muhrim nya," cegat Safira membuat Adit mencebikkan bibirnya.
"Nasib jadi cowok satu-satunya." Adit mengelus dada. "Yaudah deh aku peluk komputer ini aja."
Sontak aku, Safira dan Asri pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah konyol Adit yang kini tengah memeluk komputer di hadapannya.
Di tengah kemacetan jalanan ibukota di sore ini, ditambah dengan teror beruntun dari direktur keras kepala itu membuatku tak henti-hentinya mengumpat. Ya, siapa lagi kalau bukan Adrian.
Tadi sore sehabis jam pulang kantor, dia memaksaku untuk segera ke rumahnya terlebih dahulu. Sedangkan dia harus mengurus beberapa pekerjaan kantor yang menumpuk.
Awalnya aku sempat menolak dan memilih untuk pergi ke apartemen mengambil beberapa pakaian ganti, tetapi dengan sikap keras kepalanya. Adrian mengancam dan menyuruhku untuk langsung pergi ke rumahnya, rumah yang dulu sempat menjadi istanaku dan Adrian.
Ah sudahlah, kalau menceritakan lagi tentang kenanganku bersama Adrian dulu di rumah itu pasti akan sangat menyakitkan dan akan sangat panjang.
Baiklah kita kembali ke topik!
Dan tidak hanya ancaman yang pria itu berikan, tetapi juga teror beruntun yang terus masuk melalui pesan dan telepon.
Ya, pria itu terus mengawasiku melalui beberapa pesan, telepon dan beberapa orang suruhannya yang mengikutiku dari belakang sedari tadi.
Ini memang terlalu berlebihan bukan! Tetapi aku juga tahu bahwa pria itu melakukan ini semua karena hanya ingin memastikan saja, bahwa aku benar-benar pergi ke rumahnya. Bukan ke apartemenku ataupun tempat lain untuk melarikan diri darinya.
Tak berselang lama, mobil yang aku kendarai pun memasuki halaman rumah mewah Adrian. Dan aku pun langsung memarkirkan mobil kesayanganku ini di area tempat parkir khusus mobil-mobil mewah miliki Adrian.
"Huh! Akhirnya sampai juga. Hmm ... masih sama dan nggak ada perbedaan." Aku memperhatikan tatanan tanaman bunga-bunga milikku dulu di taman kecil samping rumah.
"Non Freya!! Yaampun, akhirnya Non Freya datang juga. Akhirnya non Freya kembali!" pekik seorang wanita paruh baya yang sudah bekerja lama dengan Adrian dari sebelum kami menikah hingga saat ini.
Namanya adalah mbok Atun. Wanita paruh baya itu adalah kepala pelayan yang menjaga dan mengurusi rumah mewah Adrian ini. Mbok Atun adalah salah satu pelayan di rumah ini yang sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri dan teman ceritaku dulu sewaktu masih menjadi istri Adrian.
"Mbok Atun! Aku kangen banget sama mbok," pekikku juga begitu melihat mbok Atun. Kami pun saling berpelukan dan saling menanyakan kabar masing-masing.
Apa lagi setelah aku dan Adrian bercerai, semenjak itu aku tidak pernah datang ke rumah ini lagi. Dan sudah 2 bulan semenjak kami bercerai, baru kali ini aku menginjakkan kakiku kembali lagi di rumah ini. Bahkan beberapa barangku sebagian masih ada di rumah ini.
Setelah bercengkrama beberapa saat dengan mbok Atun. Aku pun segera pamit untuk pergi ke kamar utama.
Untuk sekedar mengecek beberapa barang-barangku yang masih tertinggal di rumah ini. Karena menurut pengakuan mbok Atun, barang-barangku memang masih tersusun rapi di kamar utama dan mbok Atun lah yang sering di suruh Adrian untuk merapikannya setiap minggu.
Lagipula aku heran, kenapa tidak dibuang saja sih. Mana ada jaman sekarang pria yang masih menyimpan barang-barang mantan istrinya. Aku pun juga sudah pasrah jika Adrian mau membuang barang-barangku atau mungkin mau menyumbangkannya.
Aku membuka satu persatu lemari pakaian dan benar saja masih begitu banyak baju-bajuku yang masih di simpan Adrian. Begitu pula dengan beberapa tas dan sepatu koleksi-koleksiku.
Aku menggeleng tak percaya. "Mungkin dia nggak punya waktu kali ya buat nyumbangin baju-baju ini."
"Setidaknya kalau nggak mau nyumbangin, kenapa nggak dia suruh orang aja buat kirimin semua baju ini ke apartemen."
"Yah, namanya juga orang sibuk. Mungkin nggak punya waktu juga kali buat nyuruh orang kirimin barang-barang ini." Aku menatap satu persatu tas dan sepatu-sepatuku di ruangan wardrobe milik Adrian.
"Siapa yang nggak punya waktu?"
Suara berat yang sangat khas milik Adrian itu, membuatku kaget. Huh! Untung saja aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
Aku berbalik menatapnya, dari raut wajahnya menunjukkan sesuatu yang sangat sulit untuk ditebak. Ohiya aku lupa, selain keras kepala, dingin, dan penghianat ternyata Adrian itu juga salah satu tipe manusia yang sangat sulit untuk ditebak.
Bahkan selama berpacaran dulu sampai menikah pun aku masih sulit untuk menebak setiap ekspresi yang pria itu tunjukkan.
"Eh enggak kok, bukan apa-apa. Mas udah dari tadi di sini?" jawabku.
Dan bukannya menjawab ucapanku, Adrian justru malah berbalik dan meninggalkan aku di ruangan wardrobe. Aku pun mengikutinya.
"Hm yaudah kalau gitu aku ke kamar tamu dulu, mau mandi soalnya badanku udah lengket banget." Baiklah marilah kita berbicara dengan sopan, tapi juga tidak boleh terlalu formal karena ini bukan kantor. Dan aku yakin, Adrian pasti tidak akan menyukai jika aku terlalu berbicara formal padanya di luar kantor.
"Kamar tamu?"
"Iya, kamar tamu."
"Di kunci."
"Hah?!" Oh please deh ah! Adrian kenapa kalau ngomong selalu saja tidak pernah lengkap. Sariawan kali ya, kan bikin emosi.
"Kamar tamu di kunci," jelasnya lagi.
"Yaudah, tinggal buka aja apa susahnya. Kan ada kuncinya, nanti aku minta ke mbok Atun deh." Aku yang hendak melangkah mendadak dicekal Adrian.
Aku menyerit. Maksudnya apa coba pakai cekal-cekal segala, udah kaya di sinetron aja.
Adrian berdehem, kemudian menatapku dalam dan kembali berucap. "Tidur bareng aku. Untuk terakhir kalinya."
"WHATTT!!!!" pekikku begitu mendengar ucapan Adrian dan menghentak tanganku yang dipegang Adrian.
Dia salah minum obat atau gimana? Gila aja, masa aku di suruh untuk tidur bereng dia. Hello,
kita ini kan bukan suami istri. Ngapain harus tidur bareng coba? Yang ada akan menimbulkan dosa.
"Kamu gila ya! Di perjanjian kita, aku cuma nginep di rumah ini bukan temenin kamu tidur Adrian," kesalku. Aku sangat kesal menatap wajahnya.
"Mas Adrian!" koreksinya.
"Ah terserah lah. Pokoknya aku nggak mau, titik. Enak aja." Aku menatap Adrian sinis.
Sedangkan Adrian masih menatapku dengan tatapan dan ekspresi yang sekali lagi tidak bisa ku tebak.
"Yaudah kalau nggak mau. Adit, Asri dan Safira. Aku bisa melakukan apa saja yang bakalan membuat kamu menyesal menolak permintaanku Freya Ranita Ganney." Adrian tersenyum jahat. Membuat bulu kudukku meremang.
"Dan surat pengunduran kamu juga tidak akan saya setujui," lanjut Adrian lagi.
Oh tidak! Jangan bilang Adrian ...
"Jangan bilang kamu ...," Aku membelalakkan mata manatap Adrian.
"Yup, aku akan memecat mereka tanpa uang pesangon. Dan beberapa perusahaan mungkin akan menolak mereka jika ingin melamar pekerjaan lagi. Aku tau, kamu sangat menyayangi mereka dan menganggap mereka sebagai keluarga sendiri," jelas Adrian santai.
Baiklah sepertinya aku berhasil masuk ke perangkap Adrian dengan embel-embel hanya menginap, padahal lebih.
Dan bagaimana bisa dia menggunakan rekan-rekan kerjaku yang sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, sebagai ancaman.
Dia sangat mengetahui kelemahanku sedangkan aku sendiri bahkan tidak tahu sedikitpun kelemahan seorang Adrian.
Aku bahkan juga tidak akan tega membiarkan Asri, Adit dan Safira di pecat begitu saja hanya karena permasalahan ku dan Adrian.
Oh ayolah, ini tidak adil bagi mereka. Apalagi mereka bertiga merupakan tulang punggung di keluarga mereka masing-masing dan jika mereka di pecat, bagaimana dengan perekonomian mereka kedepannya.
Apa yang harus aku lakukan? Menuruti Adrian atau malah sebaliknya?
Tapi jika aku menolaknya, bagaimana dengan nasib Asri, Adit dan Safira? Kenapa aku malah membawa mereka ke permasalahan ini sih?
Dan setelah beberapa saat dan melalui beberapa pemikiran yang panjang, akhirnya aku memutuskan untuk menuruti kemauan Adrian.
Setelah aku selesai mandi dan mengenakan pakaian, aku segera menuju ke kasur king size di kamar itu untuk segera merebahkan tubuhku. Ah, begitu lelahnya hari ini.
Kalian jangan tanyakan dimana keberadaan Adrian saat ini, pria itu sekarang justru malah sibuk berkutat dengan leptopnya di salah satu sofa yang tersedia di kamar itu. Sepertinya di otak Adrian selalu tertulis, 'tiada hari tanpa bekerja, dimana pun dan kapanpun'. Dan ini sudah cukup larut malam.
Ohiya, dan satu lagi. Jangan kalian berfikir kalau Adrian memintaku untuk tidur bersamanya agar kami bisa melakukan hal yang kalian fikirkan. Tidak sama sekali, Adrian sepenuhnya hanya memintaku untuk menemaninya tidur. Hanya itu saja dan tidak lebih dari itu. Dan hanya untuk malam ini saja.
Makanya aku menyetujui lagi ide gilanya ini.
"Kenapa belum tidur?" Entah darimana, tetapi tiba-tiba saja Adrian sudah berdiri di sampingku.
"Ini mau tidur kok." Jawabku kemudian memejamkan mata.
"Hmm." Aku hanya mendengar Adrian berdehem, dan tidak mendengar sama sekali Adrian melangkah meninggalkanku. Ah, mungkin dia masih berdiri di sampingku. Baiklah mari kita tidur atau berpura-pura tidur saja.
4 detik kemudian, masih hening.
30 detik kemudian, masih sama. Hening, tak ada pergerakan.
Hingga kemudian ...
'cup'
deg!
Setelah beberapa saat aku merasa tak ada pergerakan dari Adrian. Tiba-tiba pria itu melakukan hal yang tak terduga. Hal yang masih membuat tubuhku panas dingin menerima perlakuan Adrian ini.
Aku hanya bisa mematung dan melototkan mataku yang semula terpejam. Apa yang baru saja Adrian lakukan? Apa ini? Adrian mencium keningku dengan lembut? Oh apa-apa ini huh?! Coba kalian jelaskan, apa ini!?
"Have a nice dream sweetie." Adrian tersenyum. Senyuman manis yang jarang aku lihat di kantor 2 bulan belakangan ini. Senyuman dan panggilan sayang dari Adrian yang selalu Adrian berikan padaku, sebelum kami bercerai.
Tidak ... tidak! Ini tidak bisa dibiarkan, ada apa dengan Adrian? Kenapa?
Baiklah anggap saja Adrian tadi habis kerasukan. Dan mari kita lupakan kejadian membangongkan barusan. LUPAKAN OKEY!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!