NovelToon NovelToon

My Culun CEO

Belajar Hidup Mandiri

Namaku Sheila Adi Putri. Usiaku baru saja memasuki seperempat abad. Terlahir dari keluarga pemilik AJ Grup yang terkenal itu, membuatku tidak pernah kekurangan akan materi. Bahkan mungkin berlebih. Karena Papa dan Kakakku selalu memanjakanku dengan semua fasilitas mewah yang ada.

Namun tiba-tiba, aku memutuskan untuk keluar dari rumah mewah milik Papaku hanya untuk membuktikan jika diriku bukanlah anak manja seperti yang selalu orang-orang katakan padaku. Di usiaku yang mulai matang, mereka selalu menganggapku tidak bisa melakukan hal apa pun tanpa bantuan keluargaku.

Tapi, hidup mandiri juga tak seindah yang kupikir. Aku seorang lulusan sarjana dari kampus elit di luar negeri. Lalu aku melanjutkan studiku mengambil S2 di tanah air. Aku kembali ke tanah air tentu saja karena aku ingin lebih dekat dengan keluargaku.

Aku menghabiskan waktuku untuk kuliah namun kini setelah gelar didapat, mendapatkan pekerjaan pun terasa sulit di ibu kota. Dulu Papa meminta agar aku bekerja di perusahaan milik kakakku saja. Tapi aku menolaknya.

Tentu saja hanya untuk menghindari kata 'anak manja'. Setelah kupikir-pikir, tanpa adanya koneksi, mencari pekerjaan itu sulit.

"Haaah!" Aku mendesah kasar.

Setiap hari yang aku lakukan adalah mencari lowongan pekerjaan yang ada di media cetak maupun online. Sudah tiga bulan aku keluar dari rumah dan kini aku menyewa rumah kontrakan di daerah pinggiran kota. Aku bertekad tidak akan memakai uang papaku dan hanya memakai uang tabunganku saja.

Suara ketukan di pintu membuat lamunanku buyar. Aku segera membuka pintu dan sosok ibu pemilik kontrakan yang berwajah sangar itu sudah berkacak pinggang disana.

"Sudah satu minggu, Sheila! Janjinya mau bayar kontrakan. Kapan?" teriaknya.

Aku sangat tidak beruntung karena mendapatkan ibu pemilik kontrakan yang sangat galak. Dia hanya baik di awal ketika aku baru datang untuk menyewa rumah miliknya.

Rumah kontrakanku memang tidak bisa dikatakan rumah mewah, tapi setidaknya aku tidak mungkin menyewa rumah yang biasa-biasa saja. Rumah kontrakan ini adalah yang paling bagus diantara rumah kontrakan yang lainnya. Fasilitasnya cukup lengkap dan juga garasi mobil.

Ya, meski aku keluar dari rumah, tentunya aku tidak mau rugi. Aku tetap harus membawa mobilku. Aku tidak bisa berpanas-panasan dengan bus atau angkot.

"Heh! Kok malah bengong! Cepat mana uangnya! Gaya saja sok kaya. Tapi nyatanya gak mampu bayar kontrakan!"

Namanya Ibu Ratna. Hobinya berteriak jika ada yang belum membayar kontrakan dan memberitahu orang satu komplek.

"Maaf, Ibu. Beri saya waktu satu minggu lagi! Ya?" Aku mencoba bernegosiasi.

Aku harus melakukan segala cara agar dia mau memberiku kesempatan.

"Kenapa tidak kau jual saja mobilmu? Untuk apa punya mobil bagus tapi bayar kontrakan saja tidak mampu!" cibir Bu Ratna.

"Minggu depan! Minggu depan pasti saya bayar! Janji!" Entah kenapa bibirku ini berucap begitu.

Gila! Dapat uang dari mana aku? Tapi aku sudah tidak bisa mundur lagi! Aku sudah terlanjur berucap.

"Baiklah. Kutunggu janjimu! Jika tidak! Cepat kau angkat kaki dari rumah ini!"

Akhirnya aku bisa lolos dari amukan Bu Ratna. Tapi, jelas ini tidak akan berlangsung lama. Dia pasti akan menagihku lagi.

"Tuhan! Tolong bantu aku!" Aku beringsut di lantai dan memeluk kedua lututku.

"Shei, kau jangan menyerah! Kau harus cari cara agar bisa mendapatkan uang secepatnya."

Aku menyemangati diriku sendiri. Di saat seperti ini, aku mulai merasa jika aku membutuhkan bantuan keluargaku.

Dan disinilah aku sekarang. Di rumah kakakku satu-satunya yang selalu memanjakanku. Meski kami berbeda ibu, tapi dia selalu menyayangiku dan selalu perhatian padaku.

"Tumben kamu ingat dengan kami."

Oh tidak! Kak Rangga bersikap ketus padaku. Dia pasti membenciku karena aku memutuskan untuk keluar dari rumah.

"Mas, jangan bersikap begitu pada Sheila. Silakan diminum dulu tehnya, Shei."

Dia adalah Kak Cecilia. Dia istri Kak Rangga. Dia adalah wanita yang sangat baik. Meski dulu aku sempat menentang hubungan mereka karena Kak Cecil seorang janda, namun dia tidak pernah membenciku. Dia selalu baik padaku.

Aku meringis melihat Kak Rangga yang mendelik kearahku.

"Katakan ada masalah apa? Kenapa kamu tiba-tiba datang kemari?" tanya Kak Rangga.

Aku berpikir sejenak. Aku tahu aku tidak bisa berbohong padanya.

"Umm, begini Kak. Aku ingin meminta tolong," ucapku dengan menunduk.

"Ada apa, Shei? Apa kamu sedang ada masalah?"

Seperti biasa Kak Cecil adalah yang terbaik dari seluruh kakak ipar yang ada di dunia. Dia pasti bersedia membantuku.

"Kak, aku butuh uang untuk membayar sewa rumahku. Aku..."

"Astaga, Sheila! Jadi kamu datang kesini karena ingin meminjam uang?" Kak Rangga terlihat marah.

"Iya, Kak. Ibu pemilik rumah sudah menagihku. Aku tidak punya uang lagi, karena aku belum dapat kerja juga. Kumohon tolong aku, Kak!"

Aku menampilkan wajah memelasku di depan kedua orang ini. Aku yakin Kak Rangga pasti luluh.

"Tidak bisa! Kamu sendiri yang memutuskan untuk keluar dari rumah. Sekarang kamu harus mengurus dirimu sendiri."

Aku merengut. Kak Rangga memang selalu tegas dalam setiap waktu.

"Mas..." Kak Cecil mengusap lengan Kak Rangga.

"Lagian kamu kan pasti masih punya uang tabungan, kenapa tidak kamu pakai saja?"

"Uang tabunganku juga sudah habis, Kak."

"Apa?! Kakak selalu memberimu uang jajan selama bertahun-tahun dan kamu menghabiskannya dalam waktu 3 bulan. Keterlaluan kamu, Shei!"

"Maafkan aku, Kak. Sekarang aku harus bagaimana? Papa dan Mama juga pasti tidak akan membantuku. Hanya kakak saja harapanku satu-satunya."

Aku harus bisa meyakinkan Kak Rangga agar menolongku.

"Kamu harus bekerja, Shei. Tidak mungkin kamu terus-terusan memakai uang tabunganmu," ucap Kak Rangga mulai melunak.

"Belum ada panggilan kerja lagi, Kak." Aku menunduk pasrah.

"Kamu lihat kan, betapa sulitnya mencari pekerjaan di kota besar ini. Dan kamu memilih untuk hidup tanpa bantuan dari Papa maupun Kakak. Sekarang terima sendiri akibatnya!"

"Kakak!" Aku mengerucutkan bibirku. Rasanya aku tidak tahan lagi. Aku menangis.

"Mas, sudahlah! Sheila tidak salah. Dia hanya ingin hidup mandiri. Siapa tahu setelah ini dia akan dapat pekerjaan. Untuk kali ini kita bantu Sheila dulu ya."

Kak Cecil masih berusaha membujuk Kak Rangga.

"Shei, berapa uang yang kamu butuhkan?" Kak Cecil bertanya padaku.

"Umm, lima juta, Kak. Itu untuk bayar kontrakan saja. Untuk biaya hidupku, aku masih bisa berhemat dengan sisa uangku." Aku menghapus air mataku yang sempat menetes.

Kak Cecil tersenyum padaku. "Baiklah, Kakak akan bantu kamu."

"Hah?! Beneran, Kak? Serius?!"

"Iya. Tapi, sebaiknya kamu gunakan uang itu dengan bijak."

"Cecil!"

Aduh, Kak Rangga pasti protes.

"Mas, kita berikan Sheila kesempatan. Lagi pula ini pertama kalinya Sheila meminta tolong setelah dia keluar dari rumah Papa. Ya?"

Kak Rangga nampak menghela napas berat. "Iya, baiklah. Tapi, kita tidak akan membantumu lagi jika besok kamu terkena masalah. Belajarlah dewasa, Shei."

Aku tersenyum lalu memeluk mereka berdua.

"Kalian adalah yang terbaik!"

Kak Cecil nampak masuk kedalam kamarnya dan mengambil selembar cek. Wah, apa aku akan diberi uang banyak oleh Kak Rangga?

Mataku berbinar senang.

"Tulis saja 10 juta, Cil. Biarkan dia bekerja keras sendiri untuk menghidupi dirinya," ucap Kak Rangga ketus.

Senyum yang terlalu mengembang akhirnya surut. Tapi, tidak apa. Ini lebih baik daripada aku harus diusir dari rumah kontrakan.

"Kak, apa aku boleh bekerja di kafe milik Kak Cecil?"

"Tidak boleh!" Dengan tegas Kak Rangga yang menjawab.

"Kak Rangga!"

"Kamu bilang tidak ingin menggunakan koneksi untuk mencari pekerjaan. Jadi, kamu harus mencari pekerjaan sesuai dengan kemampuanmu. Kamu harus berusaha sendiri. Sekarang pulanglah! Gunakan waktu liburmu dengan baik dan bermanfaat!"

"Ini ceknya. Gunakanlah dengan bijak ya! Kakak yakin kamu pasti bisa hidup mandiri." Suara Kak Cecil memang selalu lembut dan menenangkan hati.

"Terima kasih banyak, Kak. Jika aku sudah mendapat pekerjaan, aku akan membayar hutangku pada kalian."

Aku meraih tangan mereka dan mencium punggung tangan mereka bergantian. Aku berpamitan pada mereka dengan hati yang cukup lega. Yah, setidaknya masalah kontrakan telah selesai.

...*...

...*...

...*...

Suara dering ponsel memekakkan telingaku di pagi hari ini. Aku yang masih bergelung diatas tempat tidur terasa malas untuk menjawab telepon.

"Haduh, siapa sih pagi-pagi gini udah telepon!"

Dengan tenaga yang berusaha kukumpulkan, aku meraih ponsel diatas nakas.

"Halo..." jawabku malas.

"..........."

Mendengar jawaban dari telepon di seberang, membuat mataku langsung terbuka lebar.

"Baik, Mbak. Saya akan segera kesana!"

Sejenak aku mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Yeay! Aku dapat panggilan kerja!"

Aku bersorak gembira. Hatiku sangat gembira. Aku segera masuk ke kamar mandi dan bersiap untuk menuju ke perusahaan Avicenna Grup.

#bersambung

*Halo genks, ketemu lagi dengan kisah baru Nathan, adik Boy dari Jantung Hati Sang Dokter Tampan. Dan juga Sheila dari 99 Cinta Untukmu.

Kisah ini tidak serumit kisah2 sebelumnya ya. Hanya ada keuwuan dan kebucinan disini, heheheh

Jangan lupa dukungannya ya!

...Terima Kasih ...

Sekretaris Baru

Sheila tiba di gedung Avicenna Grup dan memarkirkan mobilnya di parkiran. Ia turun lalu menuju lobi untuk bertanya pada resepsionis.

Sheila memandang takjub gedung yang berarsitektur mewah itu. Tidak diragukan lagi jika Avicenna Grup memang perusahaan besar. Dan Sheila bangga jika dia berhasil menjadi bagian dari perusahaan ini.

Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan lobi. Seorang pria muda turun dari mobil dan langsung di serbu oleh para pencari berita.

Sheila yang berada tak jauh dari sana terkejut karena banyaknya orang yang berkerumun. Tubuhnya terhuyung karena bertabrakan dengan orang-orang itu.

"Tuan Nathan, apa benar rumor yang beredar tentang Anda?"

"Tolong berikan statement Anda, Tuan Nathan."

"Tuan Nathan, tolong dijawab! Apakah rumor itu benar?"

Orang-orang itu memberondong si pria muda bernama Nathan dengan pertanyaan beruntun. Namun tak satupun ia menjawab pertanyaan dari para pencari berita.

Nathan menerobos kerumunan dengan meninggalkan sejuta spekulasi yang akhirnya membuat pencari berita membuat kesimpulan sendiri. Para petugas keamanan segera menggiring para wartawan untuk keluar dari gedung Avicenna Grup.

Sheila terduduk lemas di lantai. Tubuhnya terhuyung hingga terjatuh. Seorang penjaga keamanan menghampiri Sheila.

"Nona, kau baik-baik saja?"

Sheila mengangguk. Lalu ia berdiri dengan dibantu security.

"Nona ingin mengikuti wawancara kerja?" tanya security itu.

Sheila kembali mengangguk. Sheila membawa sebuah map yang bisa dipastikan itu adalah berkas lamaran kerja.

"Terima kasih, Pak," ucap Sheila kemudian.

"Sama-sama, Nona."

"Oh ya, Pak. Toilet dimana ya? Saya harus merapikan penampilan saya."

"Di sebelah sana, Nona."

"Baik, Pak. Terima kasih." Sheila sedikit menundukkan kepala kemudian berlalu.

Dalam hati ia menggerutu. "Siapa sih tadi? Kenapa sampai di kejar-kejar wartawan gitu?"

...#...

...#...

...#...

Nathaniel Putra Avicenna, putra ke dua dari dinasti Avicenna yang dikenal merajai dunia bisnis. Setelah ayahnya, Roy Avicenna pensiun sebagai dokter dan CEO, kini Nathan lah yang menggantikan posisinya. Sedangkan kakaknya, Boy, masih menjadi direktur utama rumah sakit Avicenna.

Nathan masuk ke ruangannya yang bertuliskan CEO itu. Ia langsung duduk di kursi kebesarannya dengan mendesah kasar.

"Kenapa bisa ada banyak wartawan di depan, Harvey?" ucap Nathan dengan marah pada Harvey, tangan kanan Nathan.

"Maaf, Tuan. Saya juga tidak tahu jika mereka akan datang sepagi ini." Harvey menundukkan kepala. Nathan memang memiliki mood yang berbeda-beda tiap waktu. Dia sudah terbiasa dengan sikap Nathan yang seperti itu.

Nathan terlihat memijat pelipisnya pelan.

"Lalu sekarang aku harus bagaimana, Harvey?" Hanya Harvey saja yang dipercaya Nathan untuk memberikan solusi.

"Tenang, Tuan. Saya sudah mendapat solusi yang tepat untuk meredam berita tentang Tuan."

"Apa itu?"

"Tuan akan memiliki seorang sekretaris baru."

"Hah?! Apa? Apa dia perempuan?"

Harvey tersenyum kecut. "Tentu saja perempuan, Tuan. Bukankah Tuan ingin rumor tentang Tuan yang dikira penyuka sesama jenis itu mereda? Tuan harus lebih banyak berinteraksi dengan perempuan." Harvey nampak manggut-manggut dengan idenya sendiri.

"Akh! Kau ini!"

"Percaya saja pada saya, Tuan. Saat ini sedang ada wawancara untuk posisi sekretaris. Saya sudah meminta pihak HRD agar mencarikan sekretaris sesuai dengan keinginan Tuan."

Nathan nampak gelisah. "Kau tahu, aku tidak pernah berhubungan dengan wanita selain mama, nenek, Shelo, dan satu wanita bar-bar bernama Ivanna. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap dengan wanita."

Nathan terlihat frustasi.

"Nah justru itu. Dengan adanya sekretaris wanita di sisi Tuan, maka Tuan bisa menggeser rumor tentang Tuan. Ya kecuali kalau memang rumor itu benar."

Nathan mendelik kearah Harvey.

"Jangan sembarangan! Aku masih normal!"

"Kita tinggal menunggu kabar dari pihak HRD. Saya yakin semua akan baik-baik saja, Tuan."

"Ya ya, terserah kau saja. Kuharap idemu ini benar-benar bagus. Sekarang keluarlah!"

"Baik, Tuan."

...#...

...#...

...#...

Sementara itu, Sheila berkumpul dengan para pelamar lain untuk menunggu giliran wawancara.

"Ternyata banyak juga yang melamar posisi ini. Apa aku bakalan diterima ya?" batin Sheila mulai cemas.

"Ah, sudahlah Sheila. Jangan berpikiran negatif. Kamu harus optimis! Kamu pasti bisa!" Sheila menyemangati dirinya sendiri.

"Saudari Sheila Adi Putri." Seorang wanita memanggil nama Sheila.

Sheila segera masuk ke dalam ruangan yang sudah berisi satu orang wanita berusia sekitar 40 tahunan.

"Selamat pagi, Bu," sapa Sheila ramah.

"Selamat pagi, silakan duduk."

Sheila sedikit membungkukkan badan kemudian duduk.

Wanita bernama Widya itu memperhatikan Sheila dari ujung kepala hingga ujung kaki sejak Sheila masuk ke dalam ruangan. Kemudian ia memeriksa berkas yang dibawa oleh Sheila.

"Lulusan luar negeri dan S2? Apa benar dia ingin melamar menjadi posisi sekretaris?" batin Widya.

"Maaf, Nona Sheila. Anda yakin jika Anda ingin bekerja sebagai sekretaris CEO?"

Sheila mengangguk mantap. "Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini, Bu," ungkap Sheila jujur.

"Dilihat dari penampilannya, dia memang cantik dan semua barang yang dipakainya adalah barang mahal. Sepertinya dia sangat cocok untuk jadi sekretaris bos," batin Widya lagi.

"Ibu ini kenapa sih? Kenapa menatapku begitu? Apa ada yang salah denganku?" batin Sheila yang merasa risih dengan tatapan Widya.

"Baiklah, Nona Sheila. Mulai besok Anda sudah bisa bekerja sebagai sekretaris CEO."

"Hah?! Benarkah, Bu? Saya diterima?"

Mata Sheila berbinar bahagia. Ia keluar dari ruang wawancara dengan hati berbunga.

Sheila menari-nari ala-ala girlband korea yang sedang digandrungi. Ia akan menuju lift dan turun ke parkiran. Rasanya ia ingin memberitahu seluruh dunia jika dirinya bisa diterima kerja di perusahaan besar seperti Avicenna Grup.

Dari kejauhan mata Nathan memicing ketika melihat seorang gadis menari-nari tak jelas. Ia menggeleng pelan.

"Siapa dia? Apa dia pegawai disini? Apa mereka sesenang itu bisa bekerja disini?" batin Nathan dengan tersenyum tipis.

"Silakan, Tuan." Harvey mempersilakan Nathan masuk ke dalam lift khusus CEO karena ia akan rapat bersama Ivanna.

Tiba di private room resto Royale Hotel, Nathan masuk kedalam dan sudah ada Ivanna yang duduk disana.

"Kau terlambat, Tuan," ucap Ivanna.

"Hanya lima menit. Terjebak macet. Kau tahu kan kota besar ini semakin padat saja," bela Nathan.

"Baiklah. Kita langsung saja. Ini proposal dari Dirgantara Corp. Kau periksa dulu saja."

Nathan duduk berhadapan dengan Ivanna dan membuka berkas yang di bawa Ivanna.

"Hmm, sudah benar. Kau selalu hebat, Na."

Ivanna tersenyum. Lalu memukulkan sendok ke kepala Nathan.

"Periksa yang benar, Nate. Aku tidak ingin ada revisi."

Nathan memegangi kepalanya yang terasa berdenyut setelah dipukul Ivanna.

"Kau selalu saja bar-bar," sungut Nathan.

Nathan memeriksa kembali dengan seksama.

"Oh ya, dimana asistenmu? Harvey?" tanya Ivanna.

"Aku memintanya menunggu di luar saja. Kau tahu, Na. Rumor tentangku semakin banyak. Mereka bilang aku penyuka sesama jenis. Yang benar saja!" cerita Nathan. Hanya dengan Ivanna ia bisa bercerita dengan bebas. Meski wanita ini dianggap bar-bar oleh Nathan, tapi hanya dia yang bisa memahami perasaan Nathan.

"Iya, aku sudah mendengarnya. Kak Boy akan mengurusnya dengan Bang Aji. Kau jangan khawatir."

"Menurutmu apa dengan memiliki sekretaris aku bisa terbebas dari rumor itu?" tanya Nathan yang kini sudah merembet ke masalah pribadi. Urusan bisnis hanya sebentar saja mereka membahasnya.

"Hmm, boleh juga. Mungkin dengan begitu kau tidak selalu bersama Harvey. Kalian terlalu dekat. Aku juga jadi curiga." Ivanna menaik turunkan alisnya.

"Hei, Na. Aku masih normal! Buktinya aku berteman denganmu. Dan aku juga dekat dengan Shelo."

"No, No. Kau dekat dengan para emak-emak, Nate. Gadis! Seorang gadis! Setidaknya kau harus dekat dengan seorang gadis. Oke?"

"Ya ya, baiklah. Semoga saja ide dari Harvey memang benar-benar membantu."

Nathan menghela napas kemudian mulai memanggil pelayan untuk menyiapkan makan siang mereka berdua.

...#...

...#...

...#...

Di kediaman Avicenna, Roy menggeram kesal melihat headline berita tentang putra bungsunya yang dikabarkan penyuka sesama jenis. Memang selama ini Roy sendiri tidak pernah melihat Nathan berhubungan dengan wanita. Hanya ada Shelo dan Ivanna saja dalam hidupnya.

Dulu, Roy sempat ingin menjodohkan Nathan dengan Ivanna, tapi ternyata gadis itu memilih menikah muda dengan pria lain. Kini setelah lima tahun memimpin Avicenna Grup, Nathan hanya fokus pada bisnis dan tak memikirkan percintaan.

"Apa-apaan ini? Bisa-bisanya mereka membuat berita seperti ini?" kesal Roy.

"Mas, sabar. Jangan marah begitu. Kita tahu jika Nathan tidak mungkin begitu." Lian mengusap lengan Roy.

"Sebaiknya kita harus mencarikan jodoh untuk Nathan, Pa." Boy ikut menimpali.

"Hmm, itu benar juga. Tapi siapa? Apa kau punya ide?"

"Entahlah, Pa. Kita harus mencari gadis yang tepat. Nanti akan kupikirkan. Akan kutanyakan juga pada Aleya. Siapa tahu dia memiliki kandidat untuk jodoh Nathan."

Lian tersenyum. "Tapi, jangan memaksanya, Boy. Kau tahu kan Nathan tidak suka dipaksa."

"Iya, Ma. Kalau begitu aku pamit ya. Aleya dan anak-anak pasti sudah menungguku." Boy yang bertandang sebentar untuk menjenguk orang tuanya kini pamit pulang.

Setelah menikah, Boy memilih untuk memiliki rumah dan keluarga kecilnya sendiri.

"Hati-hati ya, Nak." Lian mengusap bahu putranya. Wajah senja Lian masih terlihat cantik.

"Papa jangan memikirkan soal berita ini. Aku akan mengurusnya." Boy meyakinkan Roy.

"Terima kasih, Nak. Titip salam untuk Aleya dan anak-anakmu ya. Lain kali ajak mereka juga kesini."

"Iya, Pa."

#

#

#bersambung

Mampir juga ke 👇👇👇

First Day, First Meet

Sheila mendatangi kafe milik Cecilia untuk memberitahu kabar bahagia ini. Ia ingin berbagi pada kakak iparnya itu. Selama perjalanan, Sheila berdendang ria. Kini ia bisa membuktikan jika dirinya mampu mendapat pekerjaan tanpa bantuan dari keluarganya.

"Kak Cecil!" seru Sheila ketika turun dari mobilnya.

Sifat kekanak-kanakan Sheila memang sudah mendarah daging, jadilah ia bersorak tanpa peduli pada orang yang melihatnya. Ia langsung memeluk Cecil yang sedang berdiri menyapa para pelanggannya.

"Kak! Aku berhasil! Aku berhasil mendapat pekerjaan!" seru Sheila.

"Serius kamu, Shei? Syukurlah! Kakak ikut senang dengarnya."

"Iya, Kak. Aku juga tidak mengira jika aku akan bekerja di Avicenna Grup."

"Avicenna Grup?"

"Iya, kakak pasti pernah mendengar tentang perusahaan itu."

"Tentu saja. Siapa yang tidak mengenal Avicenna Grup. Bahkan Papa kan berobat ke rumah sakitnya."

"Eh? Iyakah? Rumah sakit tempat Papa berobat itu juga milik Avicenna Grup?" Sheila tercengang tak percaya.

"Iya, kamu beruntung, Shei. Apa kamu sudah memberitahu kakakmu?"

Sheila menggeleng. "Biarkan saja dia tahu sendiri." Sheila terkikik.

"Kamu itu! Kak Rangga sangat menyayangimu, Shei. Jangan marah jika dia sedikit kesal padamu."

"Iya, Kak. Aku tahu."

"Shei!" Sebuah suara membuat Sheila dan Cecil menoleh.

"Naina!" Sheila langsung berhambur memeluk Naina, sahabatnya.

"Aku keterima kerja di Avicenna Grup, Na!" girang Sheila.

"Iya, Shei. Kamu sudah mengatakannya ribuan kali sejak tadi meneleponku," timpal Naina.

Cecil yang melihat kesenangan dua gadis itu pun akhirnya mempersilakan mereka untuk duduk dan memesan menu makanan di kafenya.

...*...

...*...

...*...

Hari ini adalah hari pertama Sheila bekerja. Sheila yang biasanya bangun agak siang, kini tak bisa bersantai lagi. Ia segera bersiap dan memakai setelan kerja terbaiknya. Sudah sejak lama ia membeli banyak pakaian kerja. Namun baru kali ini ia bisa memakainya dengan resmi.

Rambut panjangnya ia biarkan tergerai begitu saja. Setelan kantor berupa kemeja, dan blazer berwarna dusty pink sudah melekat di tubuhnya. Dipadukan dengan rok selutut berwarna senada.

"Huft! Semangat, Sheila! Kamu pasti bisa!"

Setiap hari Sheila selalu menggumamkan kata-kata semangat untuk dirinya sendiri. Menurut pakar kesehatan itu penting untuk bisa membuat kita selalu berpikir positif dengan kehidupan kita.

Sheila mengendarai mobil sport warna merah yang dibelikan oleh Rangga sebagai hadiah ulang tahunnya beberapa bulan lalu. Kakaknya itu memang selalu menuruti apa pun keinginan Sheila.

Tiba di gedung Avicenna Grup, Sheila turun dari mobil dan menuju lift. Sebelum berangkat, Sheila mendapat pesan jika dirinya harus menemui seorang karyawan bernama Harvey, yang adalah asisten dari CEO.

Sheila menuju lantai dimana Harvey berada. Ia celingukan mencari ruangan Harvey.

"Didalam pesan tertulis kalau ruangannya ada disamping ruangan CEO," gumam Sheila.

Setelah mengedarkan pandangan, akhirnya ia melihat papan bertuliskan ruang CEO. Sheila berasumsi jika pasti ruangan di sebelahnya adalah milik Harvey.

Sheila mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Masuk!" Ketika terdengar sahutan dari dalam, barulah Sheila masuk.

"Permisi, Pak. Saya Sheila. Saya sekretaris CEO yang baru. Saya mendapat pesan jika saya diminta menemui bapak terlebih dahulu," jelas Sheila dengan mengulas senyum di bibir tipisnya.

Sejenak Harvey tertegun melihat Sheila yang begitu sempurna di matanya.

"Pak! Pak Harvey!" Sheila memanggil Harvey karena tak mendapat respon dari pria itu.

"Ehem, ah iya. Siapa nama kamu tadi?" tanya Harvey untuk mengusir kegugupannya.

"Sheila, Pak."

"Oh, ya Sheila. Tolong jangan panggil saya bapak. Saya belum jadi bapak-bapak." Harvey mempersilakan Sheila untuk duduk.

"Ah, maaf. Saya hanya bersikap lebih sopan saja," balas Sheila.

"Apa ini pertama kalinya kamu bekerja sebagai sekretaris?"

"Iya, Pak. Tapi, jangan ragukan kemampuan saya. Saya bisa belajar dengan cepat!" Sheila kembali mengulas senyumnya.

"Astaga! Apa begini penampilan sekretaris bos? Dia harusnya menjadi istri CEO, bukan sekretarisnya," batin Harvey.

"Kalau begitu, saya akan jelaskan apa saja tugas kamu sebagai sekretaris Tuan Nathan."

Harvey menjelaskan panjang lebar tentang tugas yang harus dilakukan Sheila. Gadis itu melongo mendengar penjelasan Harvey.

...*...

...*...

...*...

"Ini adalah meja kamu, dan disitu adalah ruangan Tuan Nathan. Kalian sebenarnya satu ruangan, hanya saja dibatasi oleh pintu itu. Kamu bisa melihat bos dari kaca yang transparan itu. Ingat semua yang sudah saya katakan tadi."

Sheila manggut-manggut mendengar penjelasan Harvey.

"Baik, Pak Harvey. Saya mengerti!"

"Eits! Harvey saja!" tegas Harvey.

"Ah iya, Harvey. Terima kasih."

"Lima menit lagi Tuan Nathan datang. Bersiaplah untuk menyambutnya."

Sheila mengangguk paham. Ia mengatur napasnya. Ia menghitung mundur waktu kedatangan bos barunya itu.

Tepat di menit ke lima, terdengar langkah kaki mendekat memasuki ruangan itu. Sheila segera berdiri dan menyapa ramah bosnya itu.

"Selamat pagi, Pak!" Sheila menundukkan kepalanya.

Nathan berjalan melewati Sheila. Ia hanya melirik sekilas saja. Ia masuk diikuti oleh Harvey.

Harvey memberi kode pada Sheila agar mengikutinya masuk ke ruang CEO.

Nathan terlihat duduk di kursi kebesarannya. Sheila memperhatikan bosnya itu.

"Dia cukup tampan. Tapi kenapa irit sekali bicara? Dia bahkan tidak membalas sapaan dariku," batin Sheila.

"Tuan, ini adalah Sheila. Dia sekretaris Tuan yang baru," terang Harvey.

Nathan menoleh sekilas. "Oke! Baiklah, kau boleh pergi, Harvey!"

Harvey memberi hormat kemudian keluar dari ruangan itu. Tinggalah Sheila dan Nathan yang ada di ruangan itu.

Nathan tampak sibuk melihat berkas-berkas yang ada di mejanya. Sementara Sheila, ia bingung harus melakukan apa karena bosnya itu sama sekali tidak memberinya perintah.

"Tolong buatkan saya kopi!" ucap Nathan pada akhirnya.

Sheila mengangguk kemudian berbalik badan.

"Hei, mau kemana?" tanya Nathan dingin.

"Bapak bilang tadi minta kopi. Saya akan bilang pada OB untuk membuatkannya," jawab Sheila.

"Tidak! Kamu bisa membuatnya disini!" Nathan menunjuk satu ruang yang ada disana.

"Oh, iya Pak. Berarti saya yang membuatkan kopi untuk bapak?" tanya Sheila untuk lebih meyakinkan.

"Siapa lagi? Masa saya harus bikin kopi sendiri. Gimana sih?" Suara Nathan terdengar amat mengintimidasi.

"Baik, Pak."

Sheila segera menuju ke ruang kecil yang ternyata mirip sebuah pantry. Sudah ada mesin pembuat kopi dan juga perlengkapan lainnya.

Dalam hati Sheila terus mengumpat. "Apa sekretaris harus melakukan hal ini juga? Kenapa tadi Harvey tidak memberitahuku? Ah sebal!" sungut Sheila dalam hati.

"Duh, berapa takaran kopinya ya?" Sheila bertanya pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba ia teringat jika Rangga dulu sering dibuatkan kopi olehnya. Sheila membuat kopi sesuai takaran yang selalu ia gunakan untuk Rangga.

Setelah selesai, Sheila membawa cangkir kopi itu ke meja Nathan.

"Permisi, Pak. Ini kopinya!" Sheila bicara dengan amat sopan dan lembut.

"Ah iya, terima kasih." Nathan langsung menyeruput kopi buatan Sheila.

Matanya membulat kemudian menatap Sheila. Sejenak Sheila juga menatap Nathan.

"Aduh! Jangan-jangan kopinya tidak enak! Mati aku!" batin Sheila dengan harap-harap cemas.

"Kopi buatanmu lumayan juga! Sekarang kembali ke mejamu dan lakukan tugas yang sudah dijelaskan oleh Harvey!" ucap Nathan datar.

Sheila segera berbalik badan dan keluar dari ruangan itu.

"Apa itu tadi? Apa dia memuji kopi buatanku? Tapi kenapa ekspresinya biasa saja dan nada bicaranya juga datar. Astaga! Sepertinya dia pria yang menyebalkan! Dasar gumpalan es!" gumam Sheila dalam hati.

Sepeninggal Sheila, Nathan menghela napas lega.

"Kenapa pihak HRD memilih sekretaris model begitu sih? Siapa tadi namanya? Ah, sudahlah. Tidak penting juga!" gumam Nathan kemudian melanjutkan pekerjaannya.

Sore harinya, Sheila keluar dari ruangan karena sudah diperbolehkan pulang oleh Nathan. Hari pertamanya bekerja cukup melelahkan karena ia harus membuat seluruh laporan yang harusnya dibuat oleh Harvey.

Beruntung Sheila cukup cerdas dan bisa cepat belajar. Ia tidak terlalu kesulitan saat membuat laporan tadi.

Sheila tiba diparkiran dan langsung menuju mobilnya. Ia masuk ke dalam mobil dan tak lama mobil pun melesat keluar dari parkiran basement.

Nathan yang baru keluar dari lift tak sengaja melihat mobil mewah berwarna merah melewatinya. Ia mengernyitkan dahi.

"Siapa yang memakai mobil berwarna mencolok seperti itu disini? Apa ada karyawan yang memiliki mobil mahal?" gumam Nathan dengan masih menyimpan tanya.

"Ah, sudahlah. Besok saja aku bertanya pada Harvey."

Nathan berjalan menuju mobilnya. Seorang supir membukakan pintu untuknya. Sebenarnya Nathan lebih suka menyetir sendiri. Namun karena kesibukannya, Lian meminta Nathan untuk memakai supir agar lebih aman dalam berkendara.

...*...

...*...

...*...

Tiba di rumah kontrakannya, Sheila segera membersihkan diri. Setelahnya ia memakan makanan yang tadi dibelinya saat perjalanan.

Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk disana.

"Simpan nomor ponselku. Harvey."

Sheila manggut-manggut dan melanjutkan makannya. Tak lama ponselnya berdering lagi.

Pesan masuk lagi dari Harvey.

"Ini nomor Tuan Nathan. Jangan lupa menyimpannya."

Sheila mengerucutkan bibirnya.

"Hmm, kukasih nama siapa ya?"

Sheila berpikir sejenak. Kemudian ia memiliki ide jahil.

"Gumpalan Es!" Sheila terkikik.

"Lagi pula dia tidak akan mengecek ponselku juga kan!"

Karena merasa lelah, Sheila mengistirahatkan tubuhnya di ranjang dan bermain menuju alam mimpi.

#bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!