"Mbak Misha, ini cup cake nya mau ditaruh mana?"
"Hmm yang sebelah sini saja Ran, disebelah situ sudah penuh."
"Oke siap mbak."
"Oya Ran, hari ini nanti aku pulang malam soalnya ada event di kantor tolong titip toko, ya?"
"Siap, jangan kuatir mbak."
Kamisha melihat sebentar ke etalase untuk memastikan apakah kue buatannya sudah tertata dengan rapi.
"Ran, sepertinya brownies coklat lebih baik di taruh sana saja."
"Ya mbak." Rani segera menata ulang sesuai perintah Kamisha.
Rani seorang gadis yang manis berperawakan kecil mungil. Setelah lulus SMA ia melamar pekerjaan menjadi pelayan di toko Kamisha. Sikapnya yang ramah membuat toko kue miliknya sedikit lebih ramai dari biasanya.
"Kue yang tadi aku buat sudah di packing?"
"Sudah dong mbak, hmm buat mas Rama ya?" goda Rani.
"Eh iya, setiap kali aku buat kue varian baru dia yang pertama kali mencoba dan kasih penilaian."
"Wah... wah... siap - siap terima undangan, nih."
"Undangan apa?"
"Undangan pernikahan mbak Misha dan mas Rama dong."
"Ah masih lama Ran, ini saja umurku baru dua puluh satu tahun."
"Nggak apa - apa nikah muda mbak, sekarang kan lagi musim."
"Menikah itu tidak hanya berdasarkan usia ataupun rasa cinta, perlu kemantaban hati dan pemikiran yang matang," jelas Kamisha.
Walaupun sudah menjalin hubungan selama dua tahun entah kenapa hatinya masih ragu dengan Rama. Bisa di bilang hubungannya dengan Rama datar - datar saja. Mereka termasuk pasangan yang jarang bertengkar. Pergi makan, nonton, jalan - jalan ke mall seperti pasangan pada umumnya. Itu sebabnya sampai sekarang ia masih belum memutuskan hubungannya kejenjang yang lebih serius.
"Mbak! mbak, kok melamun," panggil Rani.
"Eh sorry Ran, bawa sini kuenya," perintah Kamisha. "Aku pergi dulu ya."
"Mbak Misha tunggu sebentar."
"Ada apa? aku hampir terlambat."
"Kemarin ada telepon dari bu Ayu, katanya saudaranya mbak Misha."
Mbak Ayu batin Misha. Ada apa dia telepon ke toko.
"Oh oke, makasih ya Ran."
Kamisha keluar dari toko kue kecil miliknya. Toko itu terletak di samping rumahnya. Awalnya ia tidak berpikir untuk mempunyai toko kue. Tapi karena hidup dalam perantauan mau tidak mau ia harus memiliki usaha untuk mengumpulkan pundi - pundi uang.
Toko itu hanya berukuran empat kali empat. Dia membelinya dengan meminjam uang di bank. Hasil dari penjualan kue ia jadikan angsuran hingga kini masih kurang satu tahun lagi akan sah menjadi miliknya.
Semenjak ayahnya memutuskan menikah lagi, ia memilih sekolah dan merantau di Bandung. Kamisha merupakan anak paling bungsu dari tiga bersaudara. Antara ia dan kakaknya memiliki selisih umur yang sangat jauh. Ia justru sebaya dengan anak - anak dari kakaknya.
Kakaknya yang pertama tinggal di Jogja menemani ayah dan ibu tiri mereka, ia dan suaminya sudah lama bercerai dan hanya memiliki satu anak perempuan yang bernama Kyara yang hanya selisih umur empat tahun dengannya. Kakaknya yang kedua tinggal di Medan, ia memiliki dua orang anak laki - laki yang masih sekolah di bangku SMA dan SMP bernama Bisma dan Damar.
"Mbak Misha mau berangkat kerja?"
"Eh Bu Sukma, iya bu. Ini kebetulan ada acara di kantor."
"Mbak Misha punten nih, ya. Pacar mbak Misha siapa atuh nama nya?"
"Rama maksud ibu?"
"Ah ya bener itu mas Rama, apa dia masih ada hubungan saudara sama Rani?"
"Enggak bu, mereka tidak ada hubungan saudara. Darimana ibu bisa menyimpulkan seperti itu?"
"Oh bukan ya, saya pikir masih saudara. Soalnya sering ke sini bantu - bantu Rani kalau mbak Misha pas lagi kerja."
"Rama sering ke toko bu?" Kamisha tampak bingung kenapa ia tidak tahu dan Rani juga tidak cerita apa - apa.
Rani memang karyawan baru di tokonya, baru enam bulan ia bekerja. Ia menggantikan karyawannya yang lama keluar karena menikah.
"Iya mbak, karena saya lihat mereka akrab makanya saya kira mereka kakak adik."
"Oh saya baru tahu kalau Rama sering kesini."
"Itu artinya dia mendukung usaha saya," Kamisha tersenyum menyembunyikan kebingungannya. "Maaf Bu Sukma saya mau lanjut berangkat kerja, permisi."
"Iya mbak, hati - hati di jalan."
Kamisha naik ojol menuju ke kantornya. Ia belum memiliki kendaraan pribadi. Terkadang juga Rama yang mengantarnya. Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit saja ia sudah sampai di tempat kerjanya.
Di sana ia bekerja sebagai tim kreatif sebuah EO. Membuat konsep acara, perincian isi hingga publikasi. Karena banyak ide - idenya yang brilian ia termasuk team leader yang mengendalikan dan mengkoordinasikan seluruh pergerakan tim.
"Sha! sini cepat!" panggil Sofi
"Ada apa sih?"
"Kue yang kita pesan belum datang."
"Kok bisa? setengah jam lagi acara mulai."
"Katanya mobil mereka mengalami kecelakaan kecil di jalan."
Kamisha diam dan tampak berpikir "Hmm suruh OB beli krim kue akan aku buat sebentar."
"Jangan gila kamu! ini sebentar lagi acara di mulai."
"Sudah tenang saja, kuenya sudah ada tinggal di hias saja."
"Baiklah kalau begitu." Sofi yang rekan kerja sekaligus sahabatnya segera menyuruh OB membelikan krim kue sesuai permintaan Kamisha.
Terpaksa Kamisha menggunakan kue yang akan dia berikan untuk Rama. Kebetulan kue yang dia buat sejenis cheesecake jadi bisa dengan mudah ia hias menjadi kue tart.
Tidak membutuhkan waktu lama Kamisha berhasil menyelesaikannya.
"Sudah?" tanya Sofi.
"Nih lihat."
"Wow! keren kamu Misha."
"Jelas donk, kalau nggak bisa berpikir dengan cepat aku nggak masuk satu tim denganmu."
"Sombongnya simpan dulu, sekarang kita bawa kue ini ke ballroom."
"Ayo."
Hari ini adalah ulang tahun EO yang ke lima. Walaupun baru terbentuk, mereka mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Ada beberapa perusahaan yang datang sebagai tamu undangan. Perusahaan itu sudah lama menggunakan jasa mereka setiap kali ada event.
"Sha, habis ini ke karaoke yuk."
"Nggak ah, aku mau pulang cepet aja."
"Heran deh, ini acara ulang tahun EO kita mumpung ada yang traktir."
"Hmm sebenarnya aku mau memastikan sesuatu."
"Jangan - jangan soal Rama."
"Kok kamu tahu?"
"Asal nebak aja."
"Kamu pasti tahu sesuatu tentang Rama." Kamisha memandang tajam penuh selidik ke arah Sofi.
"Sofi kita berteman sudah lama, jika kau tahu sesuatu tolong ceritakan padaku."
"Oke tapi aku harap kamu menyelidikinya sebelum mengambil keputusan," Sofi menarik napas panjang sebelum bercerita.
"Jadi beberapa waktu lalu aku lihat Rama jalan sama Rani karyawanmu. Awalnya sih aku mengira mereka cuma kebetulan ketemu, tapi ini sudah ketiga kalinya aku melihat mereka jalan."
Kamisha diam mendengarkan cerita Sofi. Rani lagi pikirnya.
Tiba - tiba drrtt... drrt... drrrt... suara handphone berdering. "Sof, aku angkat telepon dulu. Terima kasih informasinya."
Sofi mengangguk. Kamisha berjalan keluar ruangan untuk menerima telepon.
"Halo bapak."
"Pulang ke Jogja sekarang! kakakmu terkena masalah."
"Masalah apa pak?"
"Sekarang kakakmu di bawa ke kantor polisi."
"Kenapa? kenapa bisa seperti itu?"
"Dia terlibat penipuan jual beli tanah."
"Ya tuhan."
"Bantu bapakmu ya, nduk?"
"Besok aku akan pulang, pak. Dikantorku masih ada acara."
"Bapak tunggu ya."
Panggilan telepon diakhiri. Sebenarnya Kamisha malas pulang ke rumah, hampir tiga tahun ia tidak pulang dan hanya bertegur sapa lewat telepon. Sebenarnya ia juga rindu dengan suasana di Jogja, rindu bapak dan keluarganya disana. Tapi begitu melihat ibu tirinya ia menjadi malas.
Kamisha masuk kembali ke dalam ruangan bergabung bersama teman - temannya.
"Sof, aku pulang dulu ya."
"Kenapa? kamu sakit."
"Aku mau persiapan pulang ke Jogja, ada acara keluarga."
"Berapa hari?"
"Mungkin dua hari."
"Sudah ijin bu bos?"
"Sudah aku email."
"Ya sudah hati - hati ya."
"Makasih ya Sof, aku pulang dulu.."
Kamisha keluar ruangan, dengan terpaksa ia meninggalkan pesta yang belum selesai itu. Selama perjalanan pikirannya kalud. Walau bagaimanapun Ayu itu adalah kakaknya.
"Stop! stop bang! berhenti disini saja."
"Lah kan belum sampai lokasi neng."
"Nggak apa - apa bang."
"Ya sudah kalau begitu tapi bayar penuh ya neng."
Kamisha menyerahkan beberapa lembar uang kepada ojol. Ada sesuatu yang membuatnya harus berhenti di tengah jalan. Ia melihat mobil Rama terparkir tak jauh dari rumahnya. Kamisha melihat ke dalam lewat jendela mobil ternyata tidak ada orang sama sekali.
Ia melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Setelah tiba di depan rumahnya ia melihat ada yang aneh. Ia melihat tulisan tutup pada toko kuenya, seharusnya jam segini masih harus beroperasi. Kamisha mengurungkan niatnya masuk ke dalam rumah. Ia berjalan menuju toko kecil itu.
Terkunci pikir Kamisha. Ia mengambil kunci cadangan di dalam tasnya dan segera membuka pintu itu pelan - pelan. Perasaannya sudah tidak enak.
"Achh... achh... Mas Rama pelan - pelan."
Itu suara Rani batin Kamisha. Ya tuhan jauhkan pikiran jelekku tentang mereka.
"Kau begitu menggoda Rani, aku tidak bisa pelan - pelan. Aku mencintaimu."
Kamisha memejamkan mata. Jantungnya berdebar, tangannya gemetar dan langkahnya terasa berat. Apa yang mereka lakukan.
Seketika air matanya menetes tanpa terasa ketika melihat dua insan manusia sedang memadu kasih layaknya suami istri. Kamisha menarik napas panjang, dadanya terasa sesak menyakitkan.
Tidak aku tidak boleh menangis. Ayo tegar Misha kamu pasti bisa batin Kamisha memberi semangat pada dirinya sendiri. Ia mengepalkan tangannya dengan erat.
"Jika kalian sudah selesai, kita bicara di rumahku!"
"Misha!" teriak Rama. "Mbak Misha!" teriak Rani hampir bersamaan. Mereka segera menghentikan aktivitas panas dan menutupi tubuh menggunakan baju seadanya.
Kamisha berbalik meninggalkan mereka keluar dari toko.
"Misha sayang! tunggu! aku bisa jelaskan," dengan secepat kilat Rama menyambar tangan Kamisha.
"Lepaskan Rama!" ucap Kamisha dengan nada pelan tapi penuh penekanan. "Benahi dulu dirimu, setelah itu aku tunggu dirumah!" Kamisha mengibaskan tangannya dari cengkeraman Rama dan pergi meninggalkan mereka.
Setelah sampai di rumah Kamisha duduk diam di sofa ruang tamu. Walaupun ruang tamu itu tidak terlalu besar tapi karena ia pandai menata ruangan sehingga terlihat bagus dan rapi. Tak berapa lama dengan tergopoh gopoh Rama masuk ke dalam.
"Misha! dengarkan dulu penjelasanku please... aku dijebak sayang"
"Apa! Mas Rama aku jebak! tidak mbak Misha itu tidak benar. Kita saling mencintai!" jelas Rani dengan suara lantang.
"Diam kamu Rani! dasar wanita licik! kau menjebakku bukan!"
"Mas, tega kau mengatakan itu," sanggah Rani. "Mbak Misha, aku dan mas Rama saling mencintai mbak. Dia bilang kalian akan putus karena hubungan yang membosankan dan tidak ada kecocokan."
Kamisha hanya diam dan mendengarkan mereka bertengkar dengan argumen mereka sendiri - sendiri.
"Jangan dengarkan dia sayang, aku tidak mungkin menyukai wanita penggoda sepertinya."
"Kau yang menggodaku mas Rama! mbak Misha tolong percayalah mbak, aku bukan wanita murahan."
"Sudah selesai berdebatnya?" tanya Kamisha. "Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan di belakangku?"
"Sudah empat bulan mbak."
"Tidak! bohong! aku tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain. Aku di jebak hari ini Misha."
"Hahahahhh... plok... plok... plok..." Kamisha tertawa dan bertepuk tangan melihat drama perselingkuhan mereka. "Kau begitu menggoda Rani. Aku mencintaimu. Itukah yang namanya di jebak? seandainya ikut piala citra aku yakin kau pemenangnya mas."
Rama dan Rani terdiam.
"Duduk kalian berdua!"
"Misha sayang," Rama berusaha mendekat.
"Aku bilang duduk mas!!!" teriak Kamisha. "Aku sudah muak dengan drama yang kalian mainkan, kalian sudah menghancurkan kepercayaanku."
"Mbak Misha sendiri yang tidak bisa menjaga mas Rama kenapa menyalahkan saya."
"Tidak bisa menjaga? di bagian mana yang tidak bisa aku jaga Rani?"
"Mas Rama bosan dengan mbak Misha yang gaya pacarannya terlalu kuno."
"Oh jika aku dinilai tidak bisa menjaga karena tidak bisa memenuhi nafsu seorang pria aku lebih memilih putus. Itu artinya pria itu tidak bisa menjaga kehormatanku dan selamanya akan seperti itu. Dan itu bukan cinta, itu nafsu."
Kamisha memandang Rama. "Aku justru lega mas akhirnya aku tahu semua tentang dirimu. Kau memang bukan laki - laki yang baik untukku."
"Misha, aku mencintaimu sayang. Jangan kau dengarkan apa yang dikatakan olehnya."
"Mas, ternyata keraguanku terhadapmu terjawab sudah. Dan aku rasa mengakhiri hubungan ini adalah jalan terbaik. Aku tidak bisa menerima perselingkuhan dengan alasan apapun. Aku tahu aku bukan wanita yang sempurna dan tepat untukmu."
"Misha please pikirkan baik - baik. Selama dua tahun ini hubungan kita berjalan dengan lancar. Aku minta maaf, oke. Dan beri aku kesempatan, aku janji akan berubah. Aku akan memberimu waktu berpikir sebelum mengambil keputusan."
"Maaf Mas Rama, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku sebenarnya juga sudah memikirkan sejak lama. Aku ingin kamu mendapatkan yang terbaik dan tentu saja itu bukan aku. Prinsip kita sudah tidak sejalan jadi untuk apa di teruskan."
Kamisha mengalihkan pandangannya ke Rani "Dan kamu Rani janganlah merebut sesuatu yang bukan milikmu itu sama artinya dengan mencuri, mulai saat ini kamu tidak usah menjadi pelayan di toko ku."
"Mbak Misha memecat saya?! dasar munafik! sok baik! sok bijaksana!" umpat Rani.
"Terserah kamu mau menilai aku seperti apa, aku tidak peduli yang pasti kau sudah menghancurkan kepercayaanku dan menipu di belakangku." Kamisha mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini uang pesangon untukmu dan saranku, jagalah kehormatanmu. Wanita harus memiliki harga diri jika kamu tidak mau dipandang rendah dan murah."
"Misha, apakah ini keputusan terakhirmu?"
"Ya Mas Rama, ini keputusan terakhirku... sekarang keluar kalian dari rumahku," perintah Kamisha sambil memalingkan muka.
Rani mengambil uang itu dan keluar dari rumah. Rama masih diam memandang tajam ke arah Kamisha. "Keluar!!!" teriak Kamisha. Rama berbalik arah dan membanting pintu dengan keras.
Sepeninggal mereka berdua airmata itu keluar dengan deras tanpa terbendung lagi. Kamisha menangis sesenggukan. Walau bagaimanapun rasa cinta dan sayang itu masih ada untuk Rama. Tapi ia tidak bisa menerima perbuatan mereka.
Tuhan kuatkan hatiku menerima semua cobaan dariMu. Jika memang ini sudah menjadi bagian dari rencanaMu aku akan menjalaninya batin Kamisha. Ia mengusap airmata yang masih tersisa di pipinya. Kemudian segera menuju ke kamar, memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Malam ini ia akan pulang ke Jogja. Dan itu juga membutuhkan mental yang kuat, sebelum bertemu dengan ibu tirinya.
🍁🍁🍁🍁🍁
Malam yang dingin menusuk sampai ke tulang mengiringi kepergian Kamisha ke Jogja. Kesedihan yang begitu mendalam tentang sebuah pengkhianatan ia kubur dalam - dalam. Kenangan - kenangan kebersamaan mereka masih membekas dalam ingatan Kamisha. Tidak dapat dipungkiri dulu Rama selalu memberikan support atas apa yang dia lakukan.
Rama meminta sesuatu yang ia tidak bisa berikan. Memang terkesan kuno tapi hal itu yang selalu ia pertahankan sampai sekarang yaitu kehormatan. Ternyata Rama bukanlah tipikal pria yang bisa menjaga itu semua sampai mereka sah di hadapan tuhan.
Lagu Tentang Rindu dari Virzha menemani perjalanannya menuju Jogja. Sambil membenahi jaket yang ia kenakan, Kamisha berusaha memejamkan mata, tubuh dan pikirannya sangat lelah. Ia masih harus menempuh perjalanan tujuh jam untuk sampai di kampung halamannya.
Pukul lima pagi Kamisha sampai diterminal. Dengan menggunakan ojek ia pulang ke kampung halamannya. Ternyata Jogja beberapa tahun ini sudah mengalami banyak perubahan. Jogja sekarang lebih ramai. Tidak memakan waktu yang lama akhirnya Kamisha sampai di rumah dimana ia dari kecil hingga remaja menjadi naungannya. Sampai hadirnya seorang wanita yang memporak porandakan hidupnya. Entah kenapa luka hati yang ia bawa ke Bandung belum sembuh sampai sekarang. Seharusnya ia sudah bisa menerima kenyataan dan melupakan masa lalu.
"Ini pak uangnya."
"Nggih mbak, maturnuwun (terima kasih)."
Kamisha melangkahkan kakinya dengan berat masuk hingga sampai depan pintu. Belum sampai mengetuk pintu ia di sambut oleh mbok Sri pembantu di rumahnya.
"Ealah ada mbak Kamisha."
"Mbok Sri," gumam Kamisha lirih
"Monggo mbak, ayo masuk dulu."
Mbok Sri membawakan koper milik Kamisha masuk ke dalam rumah. Kondisi rumah masih sama seperti dulu sebelum ia tinggalkan. Yang berubah adalah situasinya. Rumah yang dibangun bapak dan ibunya itu terbuat dari kayu jati. Sangat sederhana tapi terasa hangat di dalamnya. Banyak foto - foto masa kecil mereka yang dulu terpasang, tapi sekarang itu sudah tidak ada.
"Kamisha."
"Bapak," Kamisha menghampiri pak Amir dan mencium tangannya. Pak Amir segera memeluk putri bungsunya itu. "Bapak sehat?" tanya Kamisha.
"Alhamdulillah sehat," pak Amir tersenyum. Matanya tampak berkaca - kaca memandangi wajah Kamisha. "Kamu tambah cantik, nduk. Tambah putih."
"Di Bandung udaranya dingin pak jadi jarang kena panas."
"Ayo masuk ke kamarmu, istirahatlah dulu kamu pasti capek, setelah itu baru kita berbincang - bincang."
pak Amir dan Kamisha masuk ke dalam menuju kamar Kamisha. Pria berusia lebih dari enam puluh tahun itu tampak berusaha kuat. Rambutnya yang sudah memutih, matanya yang cekung dan tubuhnya yang lebih kurus.
"Oh sudah pulang kamu?"
"Bulik," gumam Kamisha
"Yang sopan kamu, aku ini sekarang ibumu!"
Kamisha hanya diam. Ia akan tetap memanggilnya bulik karena bukan ibu kandungnya. Ini yang membuatnya malas pulang.
"Lihat itu! anak - anakmu tidak ada yang sopan sama sekali."
"Sabar Yanti, mungkin Misha masih capek. Bandung Jogja bukan jarak yang dekat."
"Itu bukan karena capek pak, tapi memang aku tidak bisa memanggilnya ibu karena dia bukan ibuku. Aku rasa bulik adalah panggilan yang pantas untuknya," Kamisha emosi mendengar perkataan Yanti ibu tirinya.
Masih hangat dalam ingatannya bagaimana wanita itu telah merebut bapaknya hingga membuat ibunya sakit dan akhirnya meninggal.
"Dasar anak kurang ajar!" teriak Yanti.
Oek... oek... oek... suara tangisan bayi menghentikan pertengkaran mereka.
"Lihat itu, gara - gara kamu anak haram itu bangun. Aku capek mengurusnya.."
Anak haram? siapa yang dimaksud batin Kamisha.
Yanti masuk ke dalam kamar dan keluar lagi sambil menggendong seorang bayi laki - laki.
Anak siapa itu? tidak mungkin itu anak bapak pikir Kamisha.
"Yanti kamu harus sabar, keluarga kita baru kena musibah."
"Musibah itu dari anakmu dan itu bukan urusanku."
"Bayi siapa itu pak? kenapa bulik menyebutnya anak haram?"
"Itu anak Kyara, cucunya mbak yu mu.."
"Kyara punya anak?! kapan menikahnya pak?"
"Dia tidak menikah! dasar anak nakal!" sela Yanti. "Kami sudah mau menampungnya tapi justru ia mencoreng nama baik bapakmu!"
Pak Amir hanya menunduk saja.
"Pak, jawab pertanyaanku. Kapan Kyara menikah? bukankah ia masih sekolah."
"Maafkan bapakmu ini Misha, bapak gagal mendidik anak - anak bapak," airmata Amir mulai jatuh. "Kyara hamil di luar nikah."
"Dengan siapa pak?"
"Aku kurang tahu, katanya keponakan dari pak Wijaya yang tinggal di Jakarta. Kyara jatuh cinta padanya hingga akhirnya hamil, tapi pria itu pergi dan tidak mau tanggung jawab." pak Amir menarik napas panjang, suaranya bergetar ketika menceritakan itu semua dan Kamisha tahu betapa berat beban yang di tanggung oleh bapaknya itu. Apa lagi gunjingan tetangga mengingat mereka tinggal di kampung. Ia merasa iba.
"Mbak Ayu bagaimana pak? dan sekarang Kyara dimana?"
"Mbak yu mu saat itu sempat stres tapi akhirnya menerima semuanya dengan iklas. Gunjingan para tetangga ia anggap angin lalu, tapi setelah melahirkan, Kyara pergi dari rumah meninggalkan bayinya tanpa pesan apa - apa."
"Pergi? pergi kemana pak?"
"Bapak juga tidak tahu, katanya mau mencari pria itu di Jakarta."
"Kenapa mbak Ayu tidak mencarinya?"
"Ayu sudah ingin mencarinya tapi seperti yang kamu lihat ia malah masuk penjara."
Kamisha terdiam mendengar cerita bapaknya. Terdapat penyesalan yang mendalam di hatinya, seandainya dulu ia mengesampingkan egonya untuk tidak pergi meninggalkan rumah tentu tidak seperti ini ceritanya.
"Anak - anakmu itu nggak ada yang bener, menyesal aku menikah denganmu."
"Kalau menyesal kenapa bulik tidak menceraikan bapak?!" Kamisha meninggikan nada bicaranya
"Tanya saja bapakmu? apa dia mau meninggalkanku? mau menceraikanku?"
pak Amir hanya menunduk saja. Kamisha yang melihat merasa kasihan dan tidak ingin memperpanjang masalah ini.
"Mbak Ayu terkena masalah apa pak?"
"Penipuan jual beli tanah. Yang bersangkutan tidak mau berdamai jadi membawa masalah ini ke jalur hukum."
"Aku tidak bisa bayar pengacara buat membelanya jadi hanya bisa pasrah saja."
"Besok aku akan ke kantor polisi. Kapan sidangnya pak?"
"Katanya satu minggu lagi, karena sudah ada saksi, bukti dan Ayu juga tidak ada pembelaan apa - apa."
"Mungkin aku tidak bisa mendampingi mbak Ayu ketika sidang pak, karena pekerjaanku di Bandung yang tidak bisa di tinggalkan. Apalagi sekarang cari kerjaan juga sulit."
"Bapak tahu kehidupanmu di Bandung, kau tidak perlu mengikuti persidangan mbakyu mu. Sebenarnya bapak mau minta tolong, kamu istirahat saja dulu. Kita lanjutkan setelah kamu selesai istirahat."
"Sudah bicara terus terang saja, kan cuma dia saja yang tidak pernah perhatian pada kesusahan kita... boro - boro kirim uang, telepon saja tidak pernah."
"Minta tolong apa pak?" tanya Kamisha tanpa menghiraukan ucapan ibu tirinya itu.
"Bapak... bapak ingin kamu merawat bayinya Kyara."
"Aku pak? merawat bayi? tapi aku belum menikah pak, tidak punya pengalaman merawat bayi sebelumnya dan juga aku kerja pak. Siapa yang akan menjaganya." Kamisha diam sejenak kemudian melanjutkan perkataannya.
"Aku tidak bisa pak, bagaimana dengan mbak Rini di Medan?"
"Rini di Medan hidupnya pas - pasan, suaminya kan cuma buruh."
"Jadi bapak mengorbankan aku, mengorbankan kebebasanku untuk merawat bayi ini. Merawat anak itu tidak gampang pak."
"Lihat itu, aku sudah bisa menebak jawabannya pasti akan seperti itu jawabannya. Dasar anak durhaka!"
"Tolonglah bapakmu ini nduk, sekali ini saja. Bapak sudah tua pasti tidak akan sanggup merawat bayi ini." desak Amir.
"Sudah tidak usah memaksanya, kita titipkan bayi ini di panti asuhan. Anggap saja orang tuanya sudah mati."
Kamisha masih terdiam. Ia melihat bayi laki - laki itu yang saat ini sendirian tanpa orang tua. Nasibnya hampir sama dengannya yaitu sendirian karena ditinggalkan.
"Baiklah aku akan merawatnya, pak. Aku akan membawanya ke Bandung, tapi dengan satu syarat."
"Apa itu nduk?"
"Mbok Sri ikut aku ke Bandung. Kalau aku kerja siapa yang akan menemani bayi ini."
"Eeehh jangan seenaknya, ya. Siapa nanti yang akan merawat bapakmu?"
"Bukankah ada bulik. Bulik itu sekarang istri bapak, seharusnya bulik yang merawat bapak."
"Sudah... sudah jangan berdebat lagi! Misha mau merawat bayinya Kyara saja aku sudah senang," jawab pak Amir. "Baiklah nduk jika itu maumu, bawa saja Sri ke Bandung."
"Baiklah pak, besok aku akan kembali ke Bandung. Nanti siang aku akan menjenguk mbak Ayu di penjara."
"Nih, karena sekarang kamu yang mengurusnya," Yanti menyerahkan bayi itu pada Kamisha.
Begitu dalam gendongan Kamisha bayi itu sangat tenang dan tidak rewel seperti tadi. Mungkin persamaan nasib bahwa sama - sama ditinggalkan sendiri oleh orang yang di cintai. Seperti ada suatu keterikatan antara dia dan bayi itu. Kamisha tersenyum menatap bayi tampan itu.
Kita akan hidup bersama dan saling menguatkan. Aku akan memanggilmu Axel yang artinya kedamaian batin Kamisha. Aku akan menjagamu sepenuh jiwaku Axel anakku.
🍁🍁🍁🍁
"Mau bertemu siapa mbak?"
"Ibu Ayu Nandini."
"Sebentar, silahkan isi nama, alamat, nomor telepon dan hubungan ibu dengan tahanan."
Kamisha segera menulis datanya sesuai permintaan penjaga pos polisi. Setelah selesai ia mengikuti petugas untuk bertemu dengan kakaknya.
"Kamisha, kamu datang."
"Ya mbak. Bagaimana kabarnya?"
"Aku baik - baik saja di sini, kamu tambah cantik Sha."
Kamisha memandang kakaknya yang tampak letih dengan tatapan mata yang sayu membuatnya yakin bahwa banyak sekali beban yang ia rasakan.
"Terima kasih mbak. Kapan sidangnya di mulai?"
"Satu minggu lagi. Oya kamu sudah pulang ke rumah."
"Sudah, dan besuk aku sudah pulang," Kamisha diam. "Mbak, anak Kyara besuk aku bawa juga ke Bandung."
"Jadi bapak sudah menceritakan semuanya padamu?"
"Sudah mbak."
"Maafkan mbak mu ini Sha, selalu merepotkanmu. Aku tidak tahu lagi harus meminta bantuan siapa lagi, daripada cucuku harus ditaruh ke panti asuhan."
"Tidak apa - apa mbak aku juga tidak tega setelah melihat kondisi Axel dari kecil sudah ditinggalkan."
"Siapa Axel?"
Kamisha tersenyum. "Cucu mbak Ayu aku beri nama Axel boleh, kan?"
"Terserah kamu Sha, kamu sudah mau merawatnya saja mbak sudah bersyukur."
"Mbak sudah dengar kabar tentang Kyara?"
"Belum, entahlah bagaimana kabar anakku. Aku sudah gagal menjadi orang tua Sha, oleh sebab itu aku merasa lebih tenang jika cucuku ikut denganmu."
"Mbak, aku pamit dulu. Aku perlu membeli beberapa barang untuk Axel sebelum aku bawa ke Bandung."
"Iya terima kasih banyak Sha."
Kamisha memberi sedikit uang untuk Ayu di penjara nanti. Setelah itu pergi meninggalkan kantor polisi.
Sebelum pulang ke rumah Kamisha mampir ke pusat perbelanjaan. Ia membeli beberapa barang untuk Axel. Baju, selimut, susu, pampers dan keperluan bayi yang lain.
"Misha! Kamisha kan?" panggil seorang pria. "Masih ingat aku?"
"Hmm," Kamisha mencoba mengingat - ingat. "Oh Agung kan, anaknya pak lurah."
"Iya.. iya betul. Sudah lama pulang ke Jogja?"
"Baru tadi pagi sampai, besok aku sudah pulang lagi."
"Loh cuma sebentar?"
"Iya nggak enak ijin terlalu lama. Bisa - bisa aku dipecat nanti," jelas Kamisha sambil tersenyum
"Kamu sudah menikah Sha?"
"Belum, kamu sendiri?"
Agung hanya diam dan memperhatikan Kamisha dengan tatapan aneh. "Aku bulan depan?"
"Oya, wah selamat ya."
"Kamu belum nikah tapi sudah punya anak Sha?"
"Oh iya tidak apa - apa kan di jaman sekarang," jawab Kamisha enteng.
"Beruntung dulu aku tidak jadi menyatakan perasaanku padamu."
"Apa hubungannya dengan aku punya anak?"
"Ada, karena sekarang aku tahu kamu bukan wanita baik - baik. Punya anak tapi tidak punya suami."
"Gung kamu dolannya kurang jauh. Jadi selalu berpikiran sempit kayak begini, orang bisa saja punya anak walau belum menikah. Adopsi mungkin."
"Oh.. iya.. iya.." ucap Agung sambil tersenyum malu, ia menyadari kebodohannya.
"Sekarang aku justru berterima kasih padamu, karena dulu mengurungkan niatmu untuk menyatakan perasaanmu padaku."
"Maksudmu?"
"Yah, aku tidak perlu buang - buang tenaga untuk menolakmu," Kamisha tersenyum memandang Agung yang tampak sedikit emosi. "Aku pergi dulu ya, anakku sudah menunggu."
Kamisha segera menuju kasir untuk melakukan pembayaran dan kembali ke rumah.
Di rumah Yanti sudah menunggu dengan tidak sabar.
"Kemana saja sih kamu? bayimu nangis terus."
"Axel bulik, namanya Axel. Dia menangis terus karena bulik tidak iklas menggendongnya. Bayi itu peka perasaannya." setelah membasuh tangan dan kakinya. Kamisha segera berganti baju dan mengambil Axel dari gendongan Yanti.
Ternyata setelah dalam gendongan Kamisha, Axel tampak tenang. Kamisha menuju ke dapur menemui mbok Sri.
"Mbok, bapak sudah ngendikan (bicara) sama mbok Sri?"
"Sampun (sudah) mbak, soal saya ikut ke Bandung kan?"
"Mbok Sri sudah berkemas?"
"Sampun mbak, pakaian yang saya bawa cuma sedikit."
"Ya sudah, besok pagi kita berangkat subuh ya mbok, biar nanti sampai di Bandung siang hari."
"Nggih (ya) mbak."
"Hmm mbok aku mau tanya."
"Soal nopo (apa) mbak?"
"Soal orang yang menghamili Kyara?"
"Sssttt... jangan keras - keras mbak, nanti kalau bapak dengar saya bisa kena marah."
"Maksudnya gimana sih mbok, saya nggak mengerti?"
Mbok Sri menarik tangan Kamisha untuk bicara di luar. "Jadi gini mbak, bapak itu pernah menemui pria yang menghamili mbak Kyara bahkan meminta pertanggung jawaban, tapi keluarga pak Wijaya kan keluarga paling kaya di sini, mereka malah menghajar bapak."
"Bapak di hajar mbok?"
"Iya mbak, mungkin karena membuat keributan di sana. Bapak ngamuk dan memecahkan barang - barang di rumah pak wijaya. Tapi ternyata pria itu juga sudah tidak ada di sana, katanya kuliah ke luar negeri."
"Heh orang kaya memang terkadang bertindak semena - mena."
"Iya mbak, makanya itu bapak berpesan agar anak - anaknya tidak tahu kalau ia sampai di hajar."
"Ya sudah mbok, terima kasih ceritanya. Sepertinya percuma juga kalau sekarang aku datang ke rumah pak Wijaya. Pria pengecut itu lari dari tanggung jawab. Bersyukur Axel tidak di rawat oleh orang seperti itu."
"Jangan mbak, nanti kalau terjadi apa - apa saya yang kena marah."
"Kalau begitu aku masuk dulu ya mbok. Axel sudah tidur."
"Ya mbak."
Kamisha masuk ke dalam, ia meletakkan Axel di tempat tidur miliknya. Rencananya ia akan membeli box bayi kalau sudah sampai di Bandung.
Kamisha rebahan di sebelah Axel. Sepertinya aku harus bekerja lebih keras lagi untukmu. Awalnya aku takut jika tidak sanggup merawatmu, tapi sekarang aku menerima kehadiranmu. Aku yakin ini sudah seperti takdir yang tertulis di dalam perjalanan hidupku batin Kamisha. Ia tertidur di samping Axel karena besok mereka akan berangkat ke Bandung. Meninggalkan Jogja yang penuh dengan kenangan itu.
🍁🍁🍁🍁
Pagi itu Kamisha bersiap kembali ke Bandung. Semuanya sudah dipersiapkan termasuk keperluan Axel. Kemarin Sofi sudah memberitahunya bahwa bu bos sudah mencarinya terkait event di perusahaan mobil dan beberapa perusahaan lainnya. Mbok Sri yang juga ikut sudah bersiap. Kepulangan Kamisha ke Bandung tanpa pengantar dari keluarganya. Pagi itu Bapaknya juga sama sekali tidak keluar dari kamar. Hati Kamisha seperti tertusuk, sangat nyeri.
Tok... tok... tok... "Pak, Misha pamit pulang ke Bandung."
Sepi tidak ada jawaban dari pak Amir maupun Yanti. "Pak, Misha pulang dulu," ulangnya. "Jaga kesehatan bapak ya," suara Kamisha bergetar.
"Sudah mbak Misha jangan di masukkan hati, bapak pasti sudah mendengar dan memberi restu."
"Ya mbok, ayo kita berangkat." Kamisha menggendong Axel dan mbok Sri membawa barang - barang mereka, masuk ke dalam taxi.
Sebenarnya berat hati Kamisha meninggalkan bapaknya sendiri di Jogja. Ingin rasanya ia membawa bapaknya untuk tinggal bersamanya di Bandung tanpa wanita itu. Masih ada satu kamar kosong di rumahnya. Tapi bapak terlanjur memilih hidup bersama bulik Yanti. Haruskah aku iklas demi kebahagiaan bapak, haruskah aku mengalah batin Kamisha.
Perjalanan yang cukup jauh tidak membuat Axel rewel. Dia bayi yang sangat lucu. Kau ada untuk menemaniku Axel batin Kamisha.
Siang mereka sampai di terminal Bandung. Walaupun siang panasnya terkalahkan oleh hawa sejuk kota Bandung.
"Wah udaranya sejuk mbak, ndak terasa panas."
"Iya mbok, ayo kita cari taxi."
"Baik mbak."
Tidak perlu waktu lama mereka mendapat taxi dan segera pulang ke rumah. Selama perjalanan Kamisha menjelaskan kegiatan apa saja yang harus dilakukan mbok Sri.
"Aku biasa berangkat ke kantor jam sembilan mbok. Sudah masak dan buat kue, jadi nanti mbok Sri jaga Axel saja. Kalau pas Axel tidur mbok Sri bisa bersih - bersih rumah, cuci baju dan setrika."
"Nggih mbak."
"Rumahku itu kecil mbok, jadi jangan khawatir mbok Sri tidak akan capek bersih - bersih."
"Ah kalau masalah itu mbak Misha jangan khawatir, tenaga saya luar biasa roso (kuat)."
Akhirnya meraka sampai juga di rumah Misha. Rumahnya cukup besar dengan halaman yang cukup luas. Semuanya terlihat asri, karena Kamisha mewarisi sifat ibunya yang suka berbenah.
"Nah itu rumah ku mbok, yang toko kecil itu toko kue milikku. Sementara ini tutup karena belum ada penjaganya," Kamisha seketika teringat kejadian waktu itu. Jika nanti ia punya uang, toko kue itu harus di renovasi. "Ayo masuk mbok."
Kamisha dan mbok Sri masuk ke dalam rumah. Kamisha membeli rumah ini dari hasil tabungannya ketika ibunya masih hidup dulu. Uang itu dipergunakan untuk membeli rumah dan biaya sekolah.
"Wah rumahnya mbak Kamisha apik tenan, modern."
"Ah jangan memuji begitu mbok, jika bukan karena uang tabungan dari ibu aku juga nggak bisa beli rumah seperti ini mbok."
"Ayo aku tunjukin kamar mbok Sri."
"Kamar Axel di mana mbak?"
"Axel nanti biar satu kamar sama aku mbok, apalagi beberapa tahun ini aku selalu tidur sendiri."
Kamisha mengantar mbok Sri di kamarnya yang terletak di belakang. Kamar ukuran tiga kali tiga meter cukup untuk di tempati mbok Sri sendirian. Ada satu tempat tidur ukuran kecil, almari pakaian dan sebuah meja kecil.
Sebenarnya di rumah Kamisha total ada tiga kamar. Satu kamar utama yang ditempati Kamisha, satu kamar tamu dan satu lagi kamar pembantu yang terletak di belakang.
Kebetulan kamar Kamisha lebih luas dibandingkan dengan kamar yang lain yaitu enam kali enam meter jadi Axel bisa sekalian tidur dengannya. Ruang keluarga, meja makan dan dapur bersih berada di tengah menjadi satu tanpa sekat.
"Mbok Sri istirahat dulu, nanti sore kita belanja sebentar sekalian makan malam."
"Baik mbak, kalau begitu saya ke kamar dulu."
Kamisha juga masuk ke kamar. Ia merebahkan tubuhnya sebentar. Kehadiran Axel membuatnya sedikit lupa akan Rama. Hidup harus terus berlanjut. Sekarang hidup dan waktunya tercurah untuk Axel.
🍁🍁🍁🍁
"Wah di Bandung pasarnya besar, banyak lampunya ya mbak."
"Ini bukan pasar mbok, ini namanya mall atau pusat perbelanjaan. Semua kebutuhan kita disini ada dari kebutuhan rumah tangga, restoran bahkan sampai hiburan."
"Wah orang kota enak ya mbak."
"Ayo mbok, kita beli kebutuhan Axel dulu habis itu, belanja bulanan dan lanjut makan."
"Baik mbak."
Kamisha memilih beberapa barang buat Axel kemudian lanjut belanja bulanan. Setelah semuanya terbeli mereka lanjut makan malam.
"Mbok Sri mau makan apa?"
"Waduh apa ya mbak? bingung... maklum wong ndeso."
"Ayam mau?"
"Ya boleh lah mbak, gudangan ada?"
"Disini istilahnya urap atau trancam mbok."
"Lah, sama itu saja mbak."
"Oke aku pesan ya, nanti mbok Sri makan dulu habis itu gantian gendong Axel nya."
"Nggih mbak."
Makanan segera datang setelah di pesan. Mbok Sri makan terlebih dahulu.
"Misha! Misha!" panggil seorang wanita.
"Tante Santi?"
"Misha tante mau bicara."
"Soal apa tante?"
"Soal Rama, tante mohon Misha ijinkan tante bicara sebentar saja."
"Baiklah tante, aku titipkan anakku dulu."
Setelah Kamisha menyerahkan Axel pada mbok Sri. Ia dan tante Santi segera duduk di meja sebelahnya.
"Misha, tante mohon maafkan Rama."
"Tante sudah tahu kesalahan Rama apa?"
"Ya aku tahu dari Rama dan aku yakin Rama pasti di guna - guna. Aku tahu seperti apa anakku Misha. Dia tidak akan melakukan perbuatan hina seperti itu"
Kamisha menarik napas panjang. "Kalau menurut pandangan ku tidak seperti itu tante, Rama melakukan dalam keadaan sadar, mau sama mau dan tentu saja menikmatinya. Terbukti dari keterangan Rani bahwa mereka sudah melakukannya selama beberapa bulan di belakang ku, tante."
"Gadis itu pembohong Misha, jangan percaya dengan apa yang dikatakannya."
"Rani gadis yang jujur, selama bekerja dengan ku dia tidak pernah mencuri dan memberikan laporan apa adanya tante. Hanya satu yang ia sembunyikan yaitu hubungannya dengan Rama."
"Misha please, jangan putus dengan Rama. Kami akan melamarmu jika memang itu keinginanmu."
"Tante... bukan itu keinginan ku, aku ingin hidup bahagia dengan seorang pria yang mau menjaga kehormatanku, mencintai, jujur dan melindungiku. Keluargaku pernah hancur karena perselingkuhan oleh sebab itu aku tidak mau mengalami hal yang sama dengan apa yang di alami ibuku."
Santi diam, dia tampak sedikit kecewa dengan apa yang disampaikan oleh Kamisha. "Jadi kau menganggap Rama tidak bisa melakukan apa yang kau inginkan?!"
"Ya tante, coba tante pikir bagaimana jika Rani hamil? begitu Rama dan Rani melakukan hubungan suami istri maka kehormatan Rani sudah jatuh."
"Aku tidak peduli! aku tidak mau mendapat menantu gembel seperti dia. Yang aku pedulikan hanya kamu, aku hanya ingin punya menantu sepertimu Kamisha."
"Tante... Rama harus tanggung jawab karena ia sudah merusak kehormatan Rani, sudah merusak masa depan Rani."
"Itu salahnya sendiri, karena mau di perlakukan seperti itu."
"Dan yang melakukannya anak tante sendiri! tante belum sadar ya!" nada suara Kamisha meninggi karena tante Santi sama sekali tidak merasa bersalah.
"Dasar gadis sombong. Kau terlalu memandang tinggi harga dirimu!" teriak Santi. "Kau anggap dirimu baik, polos dan sok suci?! heh aku rasa kau juga bukan yang terbaik buat Rama!" mulai terlihat sifat asli dari tante Santi
"Jika sudah tidak ada yang ingin di bicarakan lagi, aku permisi karena anakku sudah menungguku."
"Oh... ternyata kau bukan gadis suci!"
"Hei semuanya... perhatikan gadis ini, mana ada wanita yang belum menikah sudah punya bayi kalau bukan karena dia gatal dan penggoda laki orang!" Semua yang ada di restoran memandang rendah ke arah Kamisha.
"Mbok ayo kita pergi."
"Ya mbak."
"Lihat itu dia malu! dasar gatal!"
Kamisha mengepalkan tangannya dengan erat, ia menahan emosi agar tangannya tidak melayang di pipi mamanya Rama. Kamisha mengalihkan pandangannya pada Axel, tidak pantas ia melakukan hal itu di depan anaknya. Tanpa menghiraukan perkataan Santi, ia dan mbok Sri pergi meninggalkan restoran.
"Mbak Misha tadi belum makan."
"Tidak apa - apa mbok, tadi kan sudah belanja bulanan. Nanti masak di rumah kan bisa, ayo naik taxi."
Sepanjang perjalanan Kamisha menahan agar tidak menangis karena masalah ini. Buat apa menangisi pria yang sudah membuat luka di hatinya. Terlalu sia - sia air mata itu keluar untuk seorang pria seperti Rama. Sekarang sudah ketahuan semua, beruntung Kamisha tahu lebih cepat. Segala sesuatu yang berbau busuk jika di sembunyikan pasti akan tercium juga.
🍁🍁🍁🍁
"Sha beneran kamu punya anak?"
"Hmm..."
"Kok kamu tidak pernah cerita? adopsi? anak siapa itu?"
"Dia cucunya kakakku di Jogja."
"What?! I don't believe that, kok kamu terima begitu aja. Hei bagaimana dengan masa depanmu, kebebasanmu?"
"Kakakku masuk penjara dan ibunya Axel pergi entah kemana."
"Dan kau di korbankan?"
"Bukan di korbankan, aku senang bisa merawat Axel. Entahlah antara aku dan bayi itu seperti ada keterikatan hati."
"Kamu sudah gila Sha, mengambil keputusan yang cukup berani. Umurmu baru dua puluh satu tahun dan sudah punya bayi. Bagaimana jika ada pria yang menyukaimu?"
"Yah dia harus menerima Axel, dong."
"Kalau tidak?"
"Itu artinya dia tidak bisa menerima segala sesuatu yang ada pada diriku dan tentu saja aku tidak bisa menerimanya."
"Heh bisa jadi perawan tua kamu nanti."
"Nggak lah Sof, suatu saat pasti akan ada pria yang benar - benar menerimaku apa adanya."
"Ya sudah lah terserah apa keputusanmu. Aku sebagai sahabat tentu akan mendukungnya."
"Oya ini beberapa plan acara pembukaan hotel dan resort 'Hadid Paradise', kamu serahkan ke bu bos."
"Oke, aku bawa masuk dulu ya."
Ini adalah proyek besar pertama yang di dapat oleh EO nya. Oleh sebab itu plan yang dibuat harus benar - benar sempurna. 'Hadid Corporation' suatu perusahaan yang bekerja di bidang perhotelan dan pusat perbelanjaan di beberapa kota besar di Indonesia. Jadi bu Tiwi yang merupakan bos di EO nya sangat berhati - hati.
Tak lama kemudian Sofi keluar dari ruang bu Tiwi. "Gimana?"
"Siipp," ucap Sofi sambil mengacungkan jempol.
"Yes berhasil," teriak Kamisha senang. "Ayo kita mulai persiapkan."
Acara event pembukaan hotel dan resort 'Hadid Paradise' akan dilaksanakan satu minggu lagi. Karena tempat penyelenggaraan adalah di hotel itu sendiri jadi tidak perlu repot mencari tempat.
Tinggal mengurus dekorasi, susunan acara, katering dan souvenir. Rencananya besok akan diadakan rapat bersama untuk presentasi plan yang sudah di susun oleh EO.
"Sha maaf ya kamu harus lembur."
"Nggak apa - apa Sof, kan bisa ku bawa pulang."
"Ya sudah bawa pulang saja besok aku ambil sekalian jemput kamu oke."
"Siip... aku pulang dulu ya."
Beberapa hari ini Kamisha memang sibuk.. sehingga banyak kerjaan yang dia bawa ke rumah. Sebenarnya bisa saja dia lembur di kantor tapi tidak tega dengan Axel, walaupun Axel tidak pernah rewel. Kehadirannya banyak membawa keberuntungan untuk Kamisha terutama di kariernya.
Kamisha memakirkan motor barunya. Karena banyak bonus yang di dapat ia bisa kredit motor jika di hitung - hitung lebih irit di ongkos.
Tiba - tiba..
"Misha tunggu!" seseorang mencekal tangannya.
"Mas Rama? apa yang mas Rama lakukan di rumahku?"
"Kemarin mama ku cerita sudah bertemu denganmu dan kau menolaknya."
"Tidak, aku tidak menolaknya. Kami bicara baik - baik kok."
"Bohong! mamaku pulang dengan mata sembab."
"Aku tidak bohong mas, terserah kamu mau percaya atau tidak," Kamisha mengibaskan tangannya dari cekalan Rama. Tetapi tangan itu sulit lepas, cengkeraman Rama terlalu kuat. "Mas lepas! kau menyakitiku!"
"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau mau kembali padaku."
"Mas Rama, hubungan kita sudah berakhir, kau tahu aku benci perselingkuhan!"
"Aku tidak peduli, kau harus kembali padaku dan kita menikah."
"Tidak! aku tidak mau! tolak Kamisha. "Kau sudah gila ya!"
"Ya... aku gila! aku gila karenamu Sha!" Rama berusaha mencium dan memeluk Misha. Dengan sekuat tenaga Kamisha menahannya. Terjadilah tolak menolak dan plaakk!!! Rama menampar pipi Kamisha.
"Kau menamparku mas!"
"Yah... karena kau keras kepala!"
Kamisha mengusap pipinya yang terasa kebas karena tamparan yang cukup keras. "Keluar dari rumahku! keluar!" teriak Kamisha. "Atau perlu aku panggil warga sekitar?" ancamnya.
Teriakan Kamisha membuat mbok Sri dan bu Sukma tetangga sebelahnya keluar dari rumah.
"Ada apa mbak?" tanya mbok Sri mendekat. "Ya Allah kenapa pipinya mbak Misha merah?" mbok Sri memegang pipi Kamisha.
"Oke___ oke aku akan pergi, tapi ingat aku tidak akan berhenti," Rama berbalik dan pergi meninggalkan Kamisha.
"Mbak Misha tidak apa - apa?"
"Saya tidak apa - apa, maaf bu Sukma istirahatnya jadi terganggu karena saya."
"Tidak apa - apa mbak namanya juga tetangga, harus saling tolong menolong."
"Terima kasih bu atas perhatiannya. Saya masuk ke dalam dulu."
"Ya mbak Misha."
Kamisha bersama Mbok Sri masuk ke dalam rumah. Setelah membersihkan diri Kamisha melihat sebentar Axel yang sudah tertidur pulas, untung ia tidak bangun karena suara berisik di luar.
"Mbak Misha, ini minyak tawon buat lebamnya."
"Iya makasih ya bik," Kamisha menerima minyak tawon dan meletakkannya di meja. "Mbok Sri istirahat saja dulu, aku masih harus lembur."
"Baik mbak, selamat istirahat."
Kamisha tersenyum. Setelah kepergian mbok Sri, mata nya mulai berkaca - kaca jika mengingat perlakuan Rama yang ternyata temperamental. Lagi - lagi ia bersyukur sudah dijauhkan dari Rama yang ternyata memiliki kepribadian seperti itu. Tukang selingkuh bahkan tak segan melakukan kekerasan.
Kamisha mulai membuat sketsa plan untuk kliennya. Jika bekerja Kamisha termasuk sebagai karyawan yang tekun dan rajin.
Ia berharap plan yang dia buat di sukai oleh klien nya. Ini juga merupakan awal kariernya naik. Ia akan membenahi rumahnya dan membuka toko kue lagi.
🍁🍁🍁🍁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!