NovelToon NovelToon

JANJI JIWO

Jiwo - Jawi

Tahun 1994, Jogja

Witri bergegas naik ke dalam bus ASPADA yang berciri khas berwarna biru yang berhenti di depannya.

Masih banyak bangku kosong di dalam bis.

Inilah untungnya bila kita mendapat bis sebelum jam enam pagi. Pasti mendapat bis yang cenderung masih sepi.

Tapi kalau sudah lebih dari jam setengah tujuh, bisa dipastikan akan penuh sesak oleh pelajar yang memilih bangun siang dan sampai di sekolah berlomba dengan bunyi bel tanda masuk.

Dan hatinya bersorak senang saat dilihatnya bangku favoritnya belum berpenghuni.

Bangku di samping pintu belakang adalah bangku favorit pertamanya.

Bangku favorit kedua adalah bangku di depan pintu belakang.

Mau tahu alasannya kenapa?

Alasan pertama jelas karena dekat dengan pintu keluar. Sekalipun bis penuh sesak, nggak perlu berjuang terlalu keras untuk bisa segera keluar dari bis yang kadang kernetnya nggak sabaran nunggu penumpangnya turun dengan agak santai apalagi sampai kedua kakinya sempurna menginjak tanah.

Alasan yang kedua adalah, bila dia masuk dan duduk di barisan belakang, dia nggak terlalu jadi 'pemandangan' gratis bagi penumpang yang lain.

Yang bisa melihatnya tentu hanya sesama penghuni baris belakang.

Beda kalau kita naik dan turun dari pintu depan bis. Kita akan bisa dilihat oleh semua penghuni bis saat kita berdiri. Apalagi kalau bis pas nggak penuh sesak. Sudah pasti jadi pemandangan gratis tuh.

Mata Witri mengerjap senang saat dia sudah duduk manis dikursinya dan tiba- tiba melihat Jiwo masuk lewat pintu depan dan langsung duduk di kursi yang berada tepat di belakang sopir.

Melihat sekelebatan saja sudah senangnya kayak gini, batin Witri sambil tetap menatap ke arah kursi dimana Jiwo duduk tenang dan bahkan hanya terlihat ujung rambutnya di ujung atas sandaran kursi dan ujung sepatunya yang nongol sedikit ke samping.

Jiwo, atau nama lengkapnya adalah Jiwo Lelono adalah teman SD nya dulu. Mereka adalah sepasang juara kelas. Tentu saja Jiwo yang juara satu dan Witri juara keduanya.

Dari kelas lima SD dulu Witri baru mulai memperhatikan Jiwo karena dipacokke ( dijodohin) oleh teman- temannya.

Mereka suka diteriaki dengan sebutan Jawi- Jiwo, Jawitri dan Jiwo.

Saking kesalnya dulu Witri sempat nangis dan protes pada mamaknya ( ibunya) kenapa dia dinamai Jawitri, bukan Sawitri atau Safitri, atau Saputri sekalian.

Flashback on

**************

"Kamu mau dipanggil Sawi kalau kamu dinamai Sawitri?" tanya mamak waktu itu. Witri tentu saja menggeleng.

Kan itu nama sayuran. Masak dia dipanggil Sawi?

"Kalau Jawitri, penggalan panggilannya manis semua. Jawi atau Witri. Manis kan?" tanya mamak sambil tersenyum.

"Witri sih manis, Mak. Tapi kalau dipanggil Jawi aku kesel!" sungut Witri.

"Kenapa? Kan bagus. Jawi, Jawa. Kamu kan gadis Jawa." kata Mamak menjelaskan.

"Nggak bagus wong dipacokke Karo Jiwo. ( orang dijodohin sama Jiwo). Jawi Jiwo...Jiwo Jawi...gitu, Mak. Kesel aku!" adu Witri pada mamaknya yang sedang menggoreng tempe untuk lauk makan siangnya.

Mamaknya tertawa geli dan membuat Witri tambah kesal.

"Ya nggak papa. Kan Jiwo anak baik, anak pinter juga kan? Nggak usah malu. Lagian kan bagus kok parapane ( panggilannya/ nickname nya). Jiwo Jawi. Bagus." kata mamak semakin membuat Witri kesal waktu itu.

Namun nyatanya kesal tinggallah kesal. Teman- temannya seolah- olah tak perduli dengan kekesalan yang selalu dia tunjukkan. Omelan dan protesnya mental tak berguna bagi telinga teman- temannya.

Apalagi tak ada 'bantuan perlawanan' sedikitpun dari Jiwo buatnya.

Jiwo santai- santai saja bila diledekin teman- teman mereka dengan panggilan iconic mereka itu.

Dia bahkan hanya memilih menundukkan wajahnya setiap kali Witri menatapnya galak.

Witri memang terkenal galak dan tomboy. Sedang Jiwo berpembawaan tenang dan nyaris tanpa suara setiap harinya.

Tapi kian hari akhirnya Witri mulai bisa terbiasa dan mulai bisa menerima kalau namanya selalu di sambung dengan nama Jiwo tapi bukan berarti hubungan pertemanannya dengan Jiwo jadi akrab.

Tidak sama sekali.

Mereka tetap dua kutub yang berlawanan.

Mereka tidak pernah berinteraksi sama sekali.

Hanya berani saling mencuri pandang saja saat di kelas.

Witri tentu saja ogah kalau harus menyapa duluan.

Memangnya dia gadis apaan harus nyapa cowok duluan? Sorry dorry morry lah yaw....

Dan kejadian di satu siang saat jam istirahat di depan kamar mandi adalah satu- satunya moment yang membuat hubungan mereka -dimata Witri tentu saja- menjadi berubah istimewa.

Tanpa angin tanpa hujan, Jiwo menghadang langkahnya yang baru keluar dari dalam kamar kecil dan langsung mengulurkan dua biji permen karet Yosan berbungkus warna merah dan biru padanya.

"Selamat ulang tahun." katanya tanpa intro sambil mengulurkan permen karet itu.

Witri yang kaget otomatis saja menerima uluran permen kesukaannya itu.

"Kok tahu kalau aku ulang tahun?" tanya Witri dengan tatapan curiga.

Jiwo menunduk malu.

"Tahu lah...kan aku suka sama kamu." jawab Jiwo sambil menatapnya malu- malu lalu menunduk.

Witri melongo.

Suka? Si body Pensil mungil ini bilang suka barusan?

"Mau nggak kamu jadi pacarku?" tanya Jiwo to the point.

"Hah?" tanya Witri kaget.

"Buruan jawab. Keburu ketahuan temen- temen. Nanti kamu malu." desak Jiwo dengan kepala celingak- celinguk, meyakinkan kalau kondisi tetap mandali saat urusan menembaknya belum clear.

"Iya!" jawab Witri tanpa mampu untuk berpikir dulu sedikitpun.

"Iya jadi pacarku?" tanya Jiwo dengan wajah senang.

"Iya! Udah buruan pergi sana!" usir Witri dengan wajah galak.

"Iya...Makasih ya, Jawi." kata Jiwo riang sebelum berlari meninggalkan Witri sendirian yang terpaku menatap dua permen karet hadiah ulang tahun dari Jiwo, pacar pertamanya.

Namun entah kenapa, sekalipun sudah jadian, hari- hari selanjutnya interaksi diantara Jawi- Jiwo tak ada perubahan yang signifikan.

Jiwo tetap pendiam pada siapapun. Dan Witri tetap si galak pada siapapun, kecuali pada Jiwo.

Dari dulu memang hanya dengan Jiwo saja Witri jarang sekali galak karena anak itu nggak pernah menganggu Witri, bahkan berkesan sangat menjaga jarak dan sangat hati- hati bersikap pada siapapun.

Karena itu pula kemarahan Witri tak pernah tersulut oleh Jiwo.

Bedanya hanya sekarang mereka sering saling curi pandang dan diam- diam saling melempar senyum saat jam pelajaran.

Flashback off

**************

Mata Witri tak berpaling sedikitpun dari tempat Jiwo duduk.

Kenapa sih dia nggak nengok barang sebentar biar aku bisa liat wajahnya?! dengus batin Witri kesal.

Sampai akhirnya Witri harus turun saat bis berhenti di seberang sekolahnya.

"Dua sama yang duduk di belakang sopir itu ya,Mas." kata Witri sambil menunjuk ke arah Jiwo sembari mengulurkan selembar uang seratus rupiah pada kernet sebelum turun.

"Pacare mesti...(pasti pacarnya...)." ledek Mas kernet bis yang cuma dibalas senyum kecil saja oleh Witri.

"Tadi sudah dibayarin cewekmu." kata Mas kernet saat Jiwo mengulurkan ongkos padanya.

"Siapa?" tanya Jiwo kaget.

"Cewek rambut sepinggang, tinggi, hitam manis, turun di SMEA Maguwo tadi." jelas Mas kernet itu sambil tersenyum.

Jiwo ikut tersenyum karena hatinya tiba- tiba menghangat.

Bisa dipastikan itu adalah Jawitri. Cewek yang bertahun- tahun ini disukainya.

Jawi...Kenapa nggak manggil aku kalau tahu kita satu bis?

"Pinter lehmu golek cewek, Le. ( Pinter kamu nyari ceweknya, Le)." puji Mas kernet sambil tersenyum.

"Manis ya,Mas?" tanya Jiwo sambil tersipu.

"Iya. Manis. Tapi kayaknya galak." kata Mas kernet sambil tertawa.

"Iya. Dia galak." kata Jiwo ikut tertawa.

Ingatan Jiwo melayang ke jaman SD dulu saat dilihatnya Jawi mengamuk memukuli Johan dengan gagang sapu karena Johan bercanda dengan menowel pipinya.

Flashback on

**************

Johan yang memang usil itu habis dipukuli Jawi sampai menangis diam- diam.

Tak ada yang bisa menghentikan amukan Jawi saat itu karena siapapun yang menghalanginya akan kena sabetan gagang sapu juga.

Hingga akhirnya Jiwo berdiri di samping Johan yang sudah meringis- ringis kesakitan.

"Sudah ya. Johan sudah kapok." hanya itu yang Jiwo ucapkan dan Witri langsung melempar sapu yang sedari tadi dipegangnya ke arah Johan.

"Sekali lagi kamu begitu, aku pukulin lebih keras lagi kamu. Mbok kira aku apa, dijawil- jawil sak karepmu?! ( Kamu kira aku apa, di towel- towel seenakmu?!)". ancam Witri dengan wajah penuh emosi.

Walau wajahnya masih bersungut- sungut dan marah, tapi Witri sudah meninggalkan Johan bersama Jiwo.

"Ya ampuuuun...Itu cewek kerasukan apa ya? Ngamuknya beneran lho, Wo. Untung kamu kesini, kalau nggak kesini bisa mati aku sama dia." kata Johan sambil menghapus airmatanya.

"Besok lagi jangan diulangi. Aku juga akan memukulmu kalau kamu ganggu dia lagi." kata Jiwo dengan wajah datar namun dengan tatapan yang mengancam.

"Weeeeh, kamu kenapa belain dia begitu? Kamu suka sama dia?" tanya Johan meledek.

Lagipula selama ini Jiwo bukan anak usil seperti dirinya. user

Jiwo berpembawaan kalem walau ramah.

"Iya. Dia pacarku." jawab Jiwo datar yang membuat Johan melongo kemudian terbahak- bahak.

Namun suara datar Jiwo jelas berbanding terbalik dengan hatinya yang deg- degan setengah mati.

Kenapa aku ngaku sih kalau dia pacarku...?

"Jawi- Jiwo beneran pacaran..." kata Johan di sela tawa dan meringisnya.

Flashback off

**************

Jiwo melangkahkan kakinya dengan cepat ke arah sekolahnya begitu turun dari bis.

Dari Jalan Gejayan dia masih harus berjalan kaki ke arah timur lumayan jauh untuk mencapai sekolahnya.

Sekolah yang dia impi- impikan sejak dari SD dulu.

Alhamdulillah akhirnya dia bisa diterima di STM ini.

"Kalau jalan sendiri tolong bibir dikondisikan, jangan senyum- senyum sendiri." suara Lukman yang tiba- tiba ada di sampingnya mengagetkan Jiwo.

Sahabatnya itu memang paling suka membuatnya kaget dengan muncul tiba- tiba.

"Kenapa kamu bahagia banget gitu? Dapat surat cinta lagi?" tanya Lukman penasaran.

Ya, Jiwo memang sering mendapat surat cinta dari cewek- cewek yang sering naik bis bareng dengannya.

Surat cinta itu biasanya dia dapat dari cewek- cewek dari dua buah SMEA yang sekolahnya dilewati oleh bis yang ditumpangi Jiwo setiap paginya.

Salah satu SMEA itu adalah sekolahnya Witri.

"Tadi aku satu bis sama Witri." kata Jiwo dengan wajah bahagia.

"Waaaah, trus kalian ngobrol?" tanya Lukman ikut bahagia.

"Dia bayarin bisku." kata Jiwo lagi.

Kalian ngobrol nggak?" tanya Lukman antusias.

"Enggak...."

"Yaaaahhh....Payah! Pasti kamu takut." sahut Lukman cepat.

"Aku nggak tahu kalau dia bareng aku. Aku tahunya setelah dia turun, aku mau bayar bis, katanya udah dibayarin." cerita Jiwo.

"Heiiissss, payah! Cintamu payah!" kata Lukman kesal sambil menendang pan tat Jiwo kesal sendiri.

Jiwo hanya meringis malu.

...❤️❤️❤️ b e r s a m b u n g ❤️❤️❤️...

Untuk para milenials mungkin agak bingung dengan istilah SMEA dan STM ya...😀😀😀

SMEA \= Sekolah Menengah Ekonomi Atas.

STM \= Sekolah Teknik Menengah.

SMEA dan STM setara SMA/SMU sekarang. namun dengan keahlian khusus.

SMEA untuk bidang ekonomi/ bisnis.

STM untuk bidang teknik/mesin.

SMKK untuk bidang boga dan pariwisata.

SMSR untuk bidang seni.

SMIK untuk bidang industri kerajinan.

Sekarang sekolah- sekolah kejuruan tersebut namanya dilebur jadi satu dengan sebutan SMK ( Sekolah Menengah Kejuruan).

sumber : google

Bernostalgia dengan bis ASPADA 😀

Jiwo

Jiwo menatap cewek- cewek berseragam krem yang baru memasuki bis yang dia tumpangi.

Dia hafal betul, setiap hari Sabtu sekolah Witri berseragam krem.

Bis sedang berhenti di tempat anak- anak SMEA itu biasa menunggu.

Dia sangat berharap menemukan satu wajah yang sangat dia harapkan diantara serombongan gadis- gadis itu. Witri.

Jiwo sengaja duduk di bangku paling belakang agar bisa melihat semua siswi yang naik ke dalam bus.

Namun sampai bis kembali melaju, Jiwo tak menemukan yang dia cari.

Selalu begitu setiap hari.

Setiap bis yaang ditumpanginya berhenti di dekat sekolah Witri, hatinya selalu berdebar sekencang ini. Selalu penuh harap akan melihat wajah gadis hitam manis penghuni hatinya sejak masa kanak- kanak dulu.

Matanya tak pernah luput menatap satu demi satu wajah siswi- siswi yang asik bercengkerama di pinggir jalan untuk menunggu bis jurusan rumah mereka.

Jiwo selalu berharap ada wajah Witri di antara mereka. Namun dia tak pernah melihat wajah cinta pertamanya itu.

Kembali dia menelan kekecewaan, entah untuk yang keberapa ratus kali.

Namun kembali dia segera tersenyum kembali.

Mungkin besok dia bisa melihat Witri.

"Semoga." desisnya sangat lirih penuh harap.

Jiwo turun disaat bis berhenti di traffic light. Tinggal menyeberang ke kanan, dia sudah memasuki gang menuju rumahnya.

Setelah menyeberang jalan, sekilas di edarkannya pandangan ke arah jalan raya yang akan segera dipunggunginya.

Dan matanya terpaku pada dua gadis yang baru turun dari bis PUSKOPKAR yang berhenti di tempat bisnya tadi berhenti.

Witri!

Hatinya sangat keras dan lantang meneriakkan nama itu. Tapi nyatanya lidahnya kelu dan kakinya terasa terpaku jauh ke dalam bumi.

Harusnya dia mampu berlari menyeberangi jalan di depannya agar bisa menyapa dan menatap wajah pujaan hatinya itu lebih dekat barang sedetik.

Agar dia bisa mendengar suara cempreng dengan nada galak dari gadis itu.

Namun nyatanya dia tak juga mampu bergerak. Hanya debaran jantungnya saja yang kini begitu riuh rendah dan menghentak- hentak dadanya serupa tengah menikmati perayaaan besar.

Dia tetap hanya bisa terpaku menatap gadis hitam manis berambut sepinggang itu dari seberang jalan.

Tanpa sadar dia ikut tersenyum lebar saat dilihatnya Witri nampak tertawa bersama seorang gadis berkacamata yang memakai seragam sekolah sama dengan yang dipakai Witri.

Aku rindu kamu, Wit. Selalu rindu. Kamu bagaimana? desah batin Jiwo sambil menatap langkah Witri yang sebentar lagi akan hilang dari pandangannya karena dia akan berbelok.

"Wo, cepetan pulang. Ibumu kerepotan tadi. Adikmu yang dua panas tiba- tiba." suara Bude Narti dari depan teras rumahnya mengagetkan Jiwo.

Matanya sekejap mengerjap untuk mencari sisa bayangan Witri, namun sudah tak ada. Sosok gadis itu telah lenyap dari pandangannya.

"Inggih Bude.(Iya, Bude.)" kata Jiwo kemudian bergegas berjalan menuju rumahnya.

Kepalanya langsung terisi penuh oleh bayangan wajah letih ibunya dan rengekan dua adiknya yang sedang kurang sehat.

Kasihan sekali ibu.

Dan benar saja, belum juga Jiwo mencapai pintu rumahnya, dari teras rumah sudah di dengarnya suara rengekan dua adiknya yang berebut minta digendong oleh Ibunya.

Jiwo bergegas masuk ke rumah karena pintu depan tak ditutup.

Dilihatnya Ibunya tengah menggendong adik bungsunya di depan dan kakak si bungsu di belakang.

Jiwo meringis sedih melihat pemandangan itu.

"Sama Mas yuk Dan." kata Jiwo sambil mengulurkan tangannya pada Wildan, si kakak bungsu yang wajahnya nampak agak memerah karena panas tubuhnya.

"Ganti baju dulu sana. Makan dulu." cegah ibunya sambil menatap Jiwo yang masih berseragam lengkap dan menenteng tas sekolahnya.

"Iya. Aku bisa ganti baju sama makan sambil gendong Wildan." jawab Jiwo sudah mengambil alih Wildan dari punggung Ibunya.

Jiwo melihat Ibunya menarik nafas lega. Wajah letih malaikat tak bersayapnya itu tak bisa tertutupi sepenuhnya oleh seulas senyum di wajahnya.

"Kamu sudah minum obat?" tanya Jiwo sambil melepas kemeja seragam sekolahnya dengan sedikit susah karena Wildan ada di pangkuannya.

"Sudah di kasih bodrexin." jawab anak umur sembilan tahun itu.

Walaupun umurnya sembilan tahun, namun tubuh Wildan tergolong kecil. Dia sangat kurus.

Jiwo menyentuh dahi Wildan. Masih agak hangat.

"Adik rewel terus nggak tadi?" tanya Jiwo sambil beranjak ke meja makan dengan Wildan nemplok di punggungnya. Satu tangan Jiwo ada di bawah pan tat Wildan agar bocah itu tidak melorot dari gendongannya.

"Nangis terus. Bikin kepalaku tambah pusing." jawab Wildan dengan wajah terlihat kesal dibalik punggung kakaknya itu.

Jiwo membuka tudung saji usang di atas meja di sudut dapur dengan sebelah tangannya yang tadi sudah meraih piring di rak piring kayu buatan bapaknya yang ada di dekat pintu dapur.

Masih menu yang sama seperti pagi tadi, dan akan tetap sama untuk makan malam nanti.

Selalu seperti itu sejak dia tahu yang namanya kegiatan makan. Menu akan tetap sama dari sarapan sampai makan malam.

Jiwo menyentong nasi, sayur oseng- oseng gantung ( pepaya muda) -yang kemarin dia petik di kebun samping rumah dan sebelum subuh tadi dicacah oleh ibunya-, dan mencomot seiris tempe goreng sebagai jatah untuk lauknya.

Keadaan ekonomi yang sulit di keluarga Jiwo membuat 'jatah' makan pun secara otomatis terbentuk dengan sendirinya karena keadaan.

Jiwo memiliki delapan saudara kandung. Ya, ibunya melahirkan sembilan anak dengan bapaknya seorang yang mencari nafkah sebagai buruh bangunan.

Ibunya jelas tak bisa membantu mencari nafkah karena tiap detiknya habis untuk mengurusi anak- anak dan urusan domestik rumah tangga.

Waktu senggangnya yang hanya beberapa saat bukannya digunakan untuk istirahat, tapi dia gunakan untuk mengolah sedikit tanah kosong yang ada di samping rumah mereka untuk ditanami berbagai macam sayuran.

Walaupun tak banyak, tapi setidaknya sayuran di kebun kosong milik seorang kerabat yang tinggal di Sumatra itu sangat membantu kelangsungan hidup keluarga Jiwo.

Sayuran dari kebun itulah yang setiap hari dimasak oleh ibu Jiwo untuk makan mereka sekeluarga; Jiwo dan lima saudaranya serta kedua orangtuanya.

Kakak sulung Jiwo meninggal saat kelas lima SD karena demam berdarah. Dan kakak keduanya, Mbak Rini,sudah bekerja jauh di Kalimantan selepas lulus dari SMEA.

Kakak ketiganya, Mas Tri bekerja di sebuah pabrik tekstil di Solo. Sedang kakak keempatnya,Mas Ranu, bekerja di kota ini juga namun memilih kos di dekat tempat kerjanya dengan alasan tak ingin susah payah selalu bangun pagi hanya untuk mengejar angkutan umum.

Tanpa sadar Jiwo menghela nafas prihatin saat mengingat Mas Ranu. Saudaranya yang satu itu memang paling istimewa kelakuannya diantara semua saudaranya yang lain.

Dari kecil Ranu bisa dibilang yang paling nggak mau susah dan nggak mau tahu dengan keadaan keluarganya.

Senyum Jiwo langsung mengembang tanpa sadar saat mengingat kakak perempuannya. Mbak Rini.

Mbak Rini dulu sekolah ditempat yang sama dengan yang kini ditempati Witri.

Ah Witri lagi...Witri lagi....

"Mas,aku minta.." suara Wildan yang kini duduk di sebelahnya membuyarkan lamunan Jiwo yang sedang akan kembali melambung.

"Minta makan ini?" tanya Jiwo sambil menyodorkan piringnya.

"Boleh?" tanya Wildan takut- takut. Anak itu tahu kalau makanan itu jatah makan siang kakaknya.

"Boleh kalau kamu masih lapar." jawab Jiwo sambil tersenyum lembut.

Wildan tersenyum senang melihatnya.Lalu dengan sigap mulai melakukan aksi makan jatah maksi kakaknya yang sebenarnya belum kenyang itu.

"Kamu tadi sudah makan belum?" tanya Jiwo sambil menatap Wildan yang tengah menggigit tempe goreng dengan gigi taringnya karena gigi depannya habis.

"Udah, tapi lapar lagi." jawab Wildan di sela kunyahannya.

"Itu berarti kamu mau cepat sembuh. Nanti pasti habis makan ini terus sembuh. Besok biar bisa sekolah lagi." kata Jiwo sambil kembali tersenyum.

"Iya. Kalau nggak sekolah nggak bisa jajan." kata Wildan dengan dahi sedikit berkerut.

Jiwo tersenyum kecut mendengarnya.

Ya. Di keluarganya, uang jajan hanya diberikan untuk bekal sekolah saja. Kalau libur sekolah otomatis libur jajan.

"Kamu makan lagi, Dan?" suara Ibu dari arah pintu menyita atensi kedua anaknya.

"Makan punyanya Mas kok." jawab Wildan dengan tatapan rasa bersalah.

Ibu menatap Jiwo yang memilih pura- pura sibuk dengan tali sandal jepitnya yang barusan lepas.

"Terus kamu nggak ngambil makan lagi, Wo?" tanya Ibu sambil tetap menahan pandangannya tetap ke wajah Jiwo.

Dia tahu, anaknya itu sengaja menghindari tatapannya.

"Udah kenyang kok aku, Bu." jawab Jiwo sambil beranjak mengambil air minum di dari kendi yang ada di sudut meja untuk mengisi kekosongan ruang di lambungnya yang harusnya diisi oleh nasi yang tadi diminta adiknya.

Judulnya makan siang kali ini adalah kenyangkan dengan air. 🙊

"Tadi aku dikabari kalau dapat wesel, Bu. Dari Mas Tri. Tapi tadi baru diuruskan orang sekolahan,jadi baru besok nerima uangnya." kata Jiwo setelah meletakkan gelas air minumnya.

*Alhamdulillah...Berapa Masmu ngirimnya?" tanya Ibunya dengan wajah yang memancarkan kelegaan.

"Pas kalau buat bayar tunggakan SPP ku." jawab Jiwo sambil menatap Wildan yang sudah selesai dengan acara makan siang part duanya dan kini membawa piring kotor ke tempat cucian dipinggir sumur.

Ibu mengangguk mengerti.

Sejak naik kelas tiga lima bulan lalu, Jiwo belum pernah membayar SPP karena mengalah uang yang ada di pakai untuk membayar uang sekolah dua adik perempuannyanya yang ada di bangku SMP.

Mau tidak mau dia harus mau mengerti keadaan ekonomi keluarganya.

Dan minggu lalu adalah ketiga kalinya dia dipanggil guru BP sehubungan SPPnya yang belum juga dibayar.

Dia diperingatkan agar segera melunasi SPPnya yang menunggak sebelum ujian semester ganjil di mulai.

"Besok langsung kamu bayarkan saja buat melunasi SPP kamu, Wo." kata Ibu yang masih menggendong Pamungkas di buaiannya.

"Tapi uang SPP nya Lily kan juga belum beres, Bu..." kata Jiwo menggantung dengan hati resah.

Dia resah karena tahu SPP Lily juga nunggak dua bulan.

Kalau uang kiriman dari Mas Tri hanya pas untuk melunasi tunggakan SPPnya saja, lalu bagaimana dengan SPPnya Lily?

"Nanti Ibu cari yang buat bayar SPPnya. Lily." jawab Ibu dengan suara dan wajah yang tenang walau Jiwo bisa melihat tatapan Ibunya langsung meredup sendu.

Pasti berhutang lagi.

Baru saja minggu lalu hutang ibunya yang dipakai untuk masuk ke SMP Esti -adiknya Lily,kakaknya Wildan- lunas, Ibu harus kembali berhutang demi SPP Lily.

"Mbak Rini nggak bisa kirim uang bulan ini..." gumam Jiwo seperti pada dirinya sendiri.

Beberapa hari lalu Mbak Rini mengirim surat padanya kalau tidak bisa mengirim uang bulan ini karena dia masuk rumah sakit. Dan Jiwo sudah menceritakan itu pada Ibunya agar Ibunya bulan ini tidak berharap mendapat kiriman dari kakaknya itu.

"Nggak papa. Kakakmu saja sedang kesusahan. Sakit, sendirian di tanah orang. Kasihan." kata Ibu sambil tersenyum sedih.

Jauh di dalam hatinya bukan hanya sedih yang dia rasa, tapi rasa pilu dan nelangsa membayangkan anak perempuannya yang penurut dan sangat mengerti keadaan keluarganya itu harus menanggung sakit sendiri di tanah rantau dan tak ada satupun tangan keluarganya yang bisa membantunya sekedar untuk melayaninya mengambil makan.

Padahal kala sehatnya, semua dia lakukan untuk keluarga ini.

"Kita doakan Mbak Rini nggak sakit lagi setelah sakit yang kemarin." kata Jiwo sambil tersenyum mencoba menentramkan hati Ibunya yang dia tahu sedang menanggung pilu.

...❤️❤️❤️ b e r s a m b u n g ❤️❤️❤️...

Ada yang masih inget atau tahu mean of wesel? 😄😄😄 Kalau panjenengan tahu, berarti anda sudah masuk kategori dewasa akut 🙊😂😂😂

Cinta Witri

Tahun 1996

***********

"Wit, di tunggu Bagus di belakang mushola. Penting katanya." kata Lita, teman sebangku dan sahabatnya dari kelas satu dulu, begitu dia masuk ke dalam kelas.

Witri yang baru saja memasukkan tasnya ke dalam laci mejanya bergegas berdiri setelah mengangguk kepada sang pembawa pesan.

"Kalian lagi berantem?" tanya Lita setengah berbisik karena sudah banyak teman yang ada di kelas padahal jam pelajaran dimulai masih duapuluh lima menit lagi.

Witri hanya mengangkat bahunya bingung.

Berantem yang marahan karena suatu hal sih enggak. Tapi antara Witri dan Bagus memang agak nggak enak suasananya dua minggu terakhir ini. Serasa beku saking dinginnya.

Padahal biasanya mereka bisa ngobrol ngalor ngidul berganti- ganti tema tanpa terasa di sela- sela waktu sekolah mereka.

Entah bagaimana awalnya, tiba- tiba saja Witri merasa Bagus -pacarnya sejak kelas dua lalu- jadi berubah sikapnya. Tidak segokil biasanya.

Cowok itu jadi lebih pendiam dan seperti menjaga jarak padanya.

Bahkan sudah seminggu ini Bagus tak pernah lagi menunggunya di gerbang sekolah saat pagi. Seperti kebiasaannya sejak waktu PDKT dulu pada Witri.

Tak juga menemaninya menunggu bis saat pulang sekolah seperti biasanya.

Bagus berubah. Witri sangat merasakan itu.

Tapi Witri juga enggan untuk memulai bertanya tentang perubahan sikap Bagus itu karena dia merasa tidak melakukan hal yang bisa membuat Bagus harus bersikap dingin padanya.

Karena kesal dengan sikap Bagus, Witri malah ikut- ikutan cuek.

Bahkan dia sengaja menghindari lewat lorong

sekolah yang kemungkinan ada Bagus disitu.

Menghindari sudut- sudut sekolah dimana mereka biasanya sering bertemu.

Dia malas bertemu dan bertatapan dengan manik mata coklat teduh cowok itu.

Manik mata yang membuatnya merasakan jatuh cinta dimasa remajanya ini.

Manik mata yang terasa begitu memeluk hingga membuat hatinya merasa hangat.

Witri melihat Bagus duduk di pinggir lapangan basket, sambil sesekali mata cowok itu melihat adik kelas mereka yang sedang pelajaran olahraga lompat jauh di jam pelajaran ke nol (sebelum jam pertama pelajaran).

"Ada apa?" tanya Witri to the point sambil beranjak duduk di samping Bagus yang nampak kaget dengan kehadiran Witri yang seperti hantu.

Cowok itu bahkan menolehkan kepalanya dengan cepat saking kagetnya.

"Kayak penampakan aja kamu. Tiba- tiba nongol di samping." kata Bagus sambil sedikit menggeser duduknya semakin menjauh dari Witri.

Ada apa ini? Dia jaga jarak mendadak gini?

Witri bergegas berdiri dengan menghentakkan kakinya kesal lalu mundur dua langkah dari posisinya awal.

"Kok malah berdiri? Menjauh pula." tanya Bagus keheranan menatap Witri yang sudah menampakkan wajah menahan kesalnya.

"Lha kan aku ngikutin kamu jaga jarak barusan? Takut keliatan siapa sih sampai langsung geser jauh banget gitu duduknya ? Barusan awal kita duduk udah berjarak sopan lho, udah bisa buat duduk dua orang gendut." protes Witri tetap dengan posisi berdiri sambil lengannya bertumpu di tembok.

Bagus nampak mendengus kesal.

Sebenarnya kesal dengan tindakannya sendiri yang otomatis langsung bergeser tadi, tapi dengusan itu ditanggapi berbeda oleh Witri.

Witri berpikir Bagus kesal karena dia menuduh cowok itu punya cewek lain di belakangnya hingga harus bersikap kaku untuk menjaga perasaan cewek lain.

Keduanya akhirnya malah terperangkap dalam kebisuan penuh kekesalan.

Mata keduanya hanya bergantian saling tatap dan saling membuang pandangannya.

"Katanya mau ngomong penting. Mau ngomong apa?" tanya Witri lagi setelah cukup lama mereka membisu dan hanya menyibukkan matanya melihat adik kelas mereka yang sedang berlari,melayang sebentar, lalu menjatuhkan kakinya di atas area berpasir. Melakukan olahraga loncat jauh.

"Kita ini sebenarnya kenapa?" tanya Bagus akhirnya dengan suara prihatin sambil menatap Witri dengan tatapan sendu.

"Aku sih nggak kenapa- napa. Nggak tahu kalau kamu." jawab Witri sambil melirik Bagus agak kesal.

Dia yang tiba- tiba cuek dan bikin suasana nggak enak, malah nanya kami kenapa...

"Aku juga nggak kenapa- napa. Nggak ada gimana- gimana juga. Tapi kenapa kita jadi kayak gini suasananya ya? Nggak asik lagi." keluh Bagus sambil menatap penuh tanya pada Witri. Witri tak menyahut.

Dia lebih memilih membenarkan ucapan Bagus dalam hati saja.

"Apa sebenarnya kita sedang dalam rasa bosan?" tanya Bagus seperti gumaman.

Witri menoleh menatap Bagus yang duduk di sebelahnya dengan tenang.

Bosan?

Bolehkah memiliki rasa bosan dalam mencintai? Bolehkah bosan saat mendiami sebuah hubungan?

"Kamu ngerasain bosan nggak sama aku?" tanya Bagus sambil menolehkan kepalanya dan membuat mata keduanya bertatapan.

Dan melihat sorot mata Bagus kali ini, Witri merasa asing dengan tatapan itu.

Tidak ditemukannya sorot mata teduh menenangkan dan mengasihi seperti biasanya.

Sorot mata yang ditemuinya kali ini adalah sorot mata asing dan baru.

Sorot mata yang datar dan seperti sedang bersusah payah untuk bersinar lembut seperti biasanya.

Kenapa ini? Dia kenapa?

Witri menggeleng pelan. Sebuah gelengan kepala untuk menjawab pertanyaan Bagus dan untuk menyatakan ketidakpercayaannya pada perasaannya yang tiba- tiba merasa retak.

Entah mengapa dia merasa telah kehilangan Bagusnya.

"Atau kamu mulai merasa nggak nyaman sama hubungan kita? Sama aku?" tanya Bagus lagi dengan suara pelan.

Kali ini dia menunduk, kemudian menatap lurus ke depan tanpa melirik Witri sedikitpun.

Wajahnya datar tanpa senyum sedikitpun.

"Aku tahu kamu suka menghindari ku akhir- akhir ini. Kenapa?" tanya Bagus sambil menoleh menatap Witri yang terpaku.

Ternyata dia tahu aku males ketemu dia ...

"Nggak mau ngerusak pemandanganmu aja. Aku tahu kamu sedang berusaha menjaga jarak padaku. Kenapa harus begitu?" tanya Witri balik bertanya.

Witri semakin merasa sedih saat dilihatnya mata Bagus nampak berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

Berarti benar...kamu memang sedang menjaga jarak denganku.

"Kalau aku ada salah, bilang. Kalau kamu bosan atau nggak nyaman, ngomong. Aku bisa mendengarkan. Aku bisa menjelaskan. Bahkan kalau diperlukan, aku juga bisa mengerti." kata Witri tenang namun terasa menikam.

"Kenapa kamu malah ikut- ikutan jaga jarak dan cuek sama aku? Bukannya tanya kenapa aku bersikap begitu sam kamu." tanya Bagus pelan.

"Aku ngerasa nggak ngelakuin sesuatu yang bikin kamu marah atau bad mood. Makanya aku mikir kamunya aja yang emang sedang ingin menjaga jarak padaku. Ya udah, aku bantu kamu dengan aku jarak pula." jawab Witri pelan.

"Ckkkk...!" Bagus berdecak kesal, membuat hati Witri sedikit nyeri.

Bagus nggak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.

"Kamu emang nggak sensitif jadi cewek." gumam Bagus setengah mengeluh.

"Itu kan kamu udah tahu dari dulu." sergah Witri cepat.

"Ya kan aku pikir kamu bisa berubah sedikit demi sedikit agar lebih sensitif sama perasaan orang lain. " sahut Bagus cepat dengan suara ditekan serendah mungkin.

"Perasaan apa maksudnya nih? Perasaan siapa?" tanya Witri cepat.

Kok pembahasannya sampai perasaan?

Bagus kembali mendengus pelan.

"Perasaanku!" kata Bagus agak keras sambil menunjuk dadanya sendiri, membuat Witri berjengit kaget.

Witri menatap wajah Bagus yang nampak menahan kesal. Dadanya tiba- tiba bergemuruh keras. Darahnya tiba- tiba terasa mendidih.

"Kamu nggak mau tahu perasaanku, Wit. Selama ini aku sabar. Aku nunggu." kata Bagus dengan suara yang kembali melembut.

Dia sedikit menyesal saat menyadari Witri kaget dengan nada tingginya tadi.

"Aku nyakitin perasaan kamu? Kapan?" tanya Witri dengan wajah bingung.

"Kamu nggak pernah nyakitin perasaanku. Tapi kamu nggak sensitif dan itu bikin perasaanku lama- lama kesal sama kamu." kata Bagus pelan tanpa mau mengangkat pandangannya dari ujung sepatunya sendiri.

"Aku nggak sensitif dalam hal apa? Aku kurang pengertian? Aku kurang memberimu kebebasan? Aku kurang..."

"Kamu nggak pernah mau ngasih keinginanku." potong Bagus cepat.

Witri langsung terdiam menatap Bagus tak mengerti. Matanya mengerjap mencoba mengingat hal apa yang mungkin terlewat dari perhatiannya saat bercakap bersama Bagus.

Keinginan? Memangnya Bagus pernah ngomong pengen apa gitu? Kayaknya nggak pernah ngomong apa- apa sama dia.

Witri semakin bingung saat dilihatnya Bagus kembali berdecak kesal.

"Aku...kamu...memangnya pernah ngomong sama aku pengen apa?" tanya Witri dengan nada takut- takut setelah setengah mati dia berusaha mengingat tapi tetap tak bisa mengingat apa keinginan Bagus padanya.

Jantung Witri berdegup kencang saat dengan tiba- tiba Bagus berdiri kemudian menghadapkan wajahnya padanya dengan menundukkan kepalanya.

Mata mereka bertemu kembali dengan tatapan yang terasa asing satu sama lain.

Witri mendapati tatapan kesal dari mata Bagus dan Bagus mendapati tatapan bingung dan menyesal dari mata Witri.

"Aku pernah minta cium pipi sama kamu. Dan sampai sekarang itu nggak pernah aku dapatkan. Kita sudah setahun pacaran,Wit. Erika dan Bondan saja yang baru sebulan pacaran sudah ciuman bibir." kata Bagus sambil mengeram.

Witri terpaku. Tubuhnya tiba- tiba merasa panas karena darahnya mendidih.

"Aku tunggu jawaban kamu istirahat nanti di perpus." kata Bagus setelah mereka dengar bel tanda masuk berbunyi.

Bagus berlalu tanpa menoleh lagi. Meninggalkan Witri yang menekan rasa kesalnya diam- diam.

...❤️❤️❤️ b e r s a m b u n g ❤️ ❤️❤️...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!