Pukul 06.52.
"Bang cepetlah bawa motornya, bentar lagi gerbangnya ditutup!" teriak Dara di balik punggung kakaknya.
"Oke, awas lo jangan takut."
"Gak akan!"
Kakaknya. Andra. Mengamini permintaan adiknya. Tanpa pikir panjang ia langsung menarik pedal gasnya hingga merubah kecepatan menjadi 100 km/jam.
Dan di sepanjang jalan, Dara tak sekalipun melepaskan pegangannya pada jaket kakaknya. Dara takut? Tentu saja. 100km/jam loh, berasa menantang maut gak tuh. Kalo tidak urgent, Dara mungkin sudah membunuh kakaknya. Canda bunuh.
Namun di tengah jalan, hal yang benar-benar ditakuti malah terjadi.
"Kenapa ni motor," ujar Dara bingung.
"Bentar gue pinggirin dulu."
Andra segera menepi, mengecek dan menelisik mencari tahu apa yang terjadi pada motor ninjanya itu. Dan seketika bola mata Andra berhenti di satu titik.
"Hm... tuh liat. Ban motor gue bocor. Gara-gara lo nih tadi disuruh ngebut." Andra menyalahkan adiknya.
"Kok nyalahin gue sih? Ban motor lo aja yah murah," ucap Dara tak mau disalahkan.
"Dan seharusnya gue yang marah yah! gara-gara lo gue jadi nambah telat, kan!" lanjutnya.
"Yang telat bangun siapa, nyalahin siapa."
"Ya kalo lo bawa motornya bener, pasti gak double sialnya!"
"Serah lo dah, bocil gak mau kalah," gumam Andra lirih nyaris tak terdengar.
Dara mulai gelisah, beberapa kali menghentak-hentakkan kakinya ke aspal. Tak lama lagi gerbangnya akan ditutup.Ia mau tak mau harus mencari cara untuk bisa ke sekolah. Dara mencoba menunggu angkot, namun tak kunjung datang. Ia mengacak rambutnya kesal.
"Bang gimana nih? Angkot pun gak ada yang lewat satupun," ujar Dara frustasi.
"Angkot pun gak sudi diduduki sama pantat lo," ledek kakaknya sambil cekikikan.
"Bang serius lah!"
"Ngapain serius, emang lagi ujian."
"BANG!"
"Bodo amat."
"Lo gak guna banget sih jadi kakak!"
"Lo sendiri jadi adek, berguna gak buat gue?"
Dara terdiam, karena omongan Kakaknya tidak salah. Dia juga merasa tidak berguna juga sebagai adik.
"Udah lah, bolos sekali aja gak bikin bego juga kan," ujar Andra bermaksud menenangkan Adiknya itu.
"Jangan bikin gue sesat."
Ya begitulah kehidupan kakak beradik ini. Memang Dara terkesan tidak sopan kepada kakaknya. Mungkin jarak usia mereka yang tidak jauh. Hanya 3 tahun. Jadi mereka ini menganggap hubungan mereka seperti dua orang sahabat. Anggapan ini juga berdampak pada mereka yang selalu 'akur' tanpa ada pertengkaran yang berarti.
Kembali ke Dara, ia sudah seperti cacing kurang makan. Dara sudah benar-benar frustasi. Ditambah kehadiran kakaknya malah menambah pikirannya bukan malah membantu. Dia tidak bisa berpikir jernih. Dia harus sampai ke sekolah apapun yang terjadi. Dan seketika ide gila terbesit di otaknya.
Dara berjalan ke tengah jalan dan menghadang salah satu pengendara motor.
"Punya adek gini amat dah, bodo amat lah mati juga," gumam Andra tanpa sedikitpun ada rasa khawatir. Karena ia sudah sering melihat tingkah absurd adiknya.
"WOY LO MAU MATI YAH!" teriak pengendara motor itu. Cukup keras, padahal ia memakai helm full face.
Bukannya menjawab, Dara malah berlari menghampiri orang itu.
"Lo sekolah di SMA Nusa Bangsa?"
Dara bertanya seperti itu karena dari kejauhan ia melihat orang itu memakai celana abu-abu khas anak SMA.
"Iya emang kenapa!"
Tanpa aba-aba Dara mengangkat sedikit roknya dan tanpa permisi menaiki jok penumpang orang itu.
"Woy. Apa-apaan nih. Kok maen naik-naik aja!" Orang itu mulai naik pitam.
"Gue juga sekolah disitu. Ayo jalan, bentar lagi gerbangnya ditutup!"
"EH LO TUH BEN-"
tint tint tint
Belum sempat orang itu selesai bicara, pengendara lain di belakangnya beramai-ramai membunyikan klakson, karena mereka berdua sudah membuat kemacetan. Jadi orang itu pun dengan terpaksa menjalankan motornya.
"Sumpah dah itu bukan adik gue," ujar Andra sambil melihat punggung adiknya yang perlahan menghilang.
...****************...
Mereka berdua hampir sampai. Dari kejauhan Dara melihat Pak Satpam didampingi Pak Sugito. guru BK. Siap untuk menutup gerbang.
Dan yang terjadi adalah, orang itu malah melambatkan laju motornya dan berhenti di depan warung yang tak jauh dari sekolah.
"Lo gila ya! Itu gerbang mau ditutup lo kok malah berenti!" Dara kesal sekaligus bingung dengan pola pikir orang di depannya ini.
"Lo aja sana," jawab orang itu santai
Dara mulai curiga.
"Oh gue tau. Lo pasti mau bolos yah... Ketauan lo sama gue."
"Bolos apa nggak bukan urusan lo yah!"
"Gue tau nih orang modelan begini. Bilang ke ibunya mau sekolah, eh nyatanya malah sampe gerbangnya doang. Malah lo lebih parah, depan gerbang pun enggak. Durhaka lo. Gak boleh bohongin orang tua loh. Dosa loh."
"Kok lo malah nyeramahin gue sih! Udah dikasih tumpangan malah banyak bacot lo!"
"UDAH SANA TURUN!
Orang itu tak bisa menahan emosinya lagi karena melihat cewek di belakangnya ini masih nangkring di motornya.
Dara tak bergeming. Dia seperti tidak merasa habis diteriaki dan malah melipat kedua tangannya di depan dada. Ia seperti sedang merencanakan sesuatu.
"EH LO BUD-"
"PAK SUGITO! ADA YANG MAU BOLOS NIH!" teriak Dara sekuat tenaga.
"SIAPA YANG MAU BOLOS!" ujar Pak Sugito dengan kemarahannya.
Orang itu. Tentu sangat sangat kesal, kembali lagi dibuat sial oleh cewek di belakangnya. Dia mengepalkan tangannya, dan memukul geram stang motornya. Dia tak bisa kabur karena sudah tertangkap basah sebasah-basahnya. Dengan terpaksa ia kembali menjalankan motornya dan memasuki ke area sekolah.
So begitulah. Dara dengan segala ke absurdannya. Sekecil apapun sesuatu yang muncul di otaknya, ia akan melakukannya. Selagi hal itu dianggap benar oleh Dara.
...****************...
Suasana canggung menghiasi parkiran sekolah. Kedua sejoli ini sama-sama terdiam. Tak ada yang memulai pembicaraan. Dan Dara pun yang tadinya banyak bicara tiba-tiba menjadi pendiam. Bukan tanpa alasan. Ia tahu orang yang bersamanya ini marah besar padanya. Dan Dara pun tak mungkin kabur begitu saja. Bagaimana pun, ia harus pergi secara baik-baik. Jadi ia sibuk mencari kata yang tepat agar tidak memantik amarah orang ini lagi.
"Lo cinta banget ya sama jok motor gue?" tanya orang itu dingin.
Dara tersadar, ia masih nangkring di jok motornya. Dia segera turun dan berniat mengatakan sesuatu.
"Hm... " Dara mendehem mencoba mencegah kecanggungan. "Bagaimanapun gue harus berterimakasih sama lo, dan-" Dara berpikir sejenak untuk mencari kata yang tepat.
"Dan jangan berharap gue minta maaf sama lo, karena apa yang gue lakuin ini adalah tindakan yang benar. Mencegah orang bolos bukannya perbuatan baik?"
Duar.
Bukannya mencari aman. Dara malah mencari kematian. Jelas dari gelagatnya, orang itu kembali terpantik amarahnya yang tadi sempat reda.
"Lo dari tadi sadar gak sih. Lo dari tadi berhadapan dengan siapa? Hah!" tanya orang itu sedikit keras.
"Emang siapa? Manusia kan?" Dengan santuy nya Dara malah balik bertanya.
Dengan kesal orang itu melepaskan helm full face nya yang sedari tadi ia pakai.
Dan muncullah wajah tampan dengan tatapan dingin dengan alis tebal, hidung mancung, rahang keras. Sebagai manusia, ia bisa dikategorikan nyaris sempurna.
"Udah tau siapa gue?" tanyanya dingin. Lalu dia turun dari motornya, berjalan mendekati Dara dan menipiskan jarak di antara mereka berdua. Dia pun menatap lekat tepat di manik mata hitam milik Dara.
Anehnya tak ada reaksi berlebihan dari raut wajah cantik Dara. Tak ada rasa takut secuil pun. Ia malah berani menatap balik orang itu sembari mengingat-ingat siapa orang yang sedang ia hadapi sekarang.
Emang siapa sih dia? tanya Dara dalam hati.
Lalu tiba-tiba momen seminggu yang lalu terbesit di otaknya.
"Oh lo kelas 12 yang upacara kemarin dipanggil ke depan yah gara-gara tawuran itu?"
"Iya gue inget. Kalo gak salah nama lo itu siapa yah. Bay, bayu. Eh bukan."
Dara menengadah ke atas mengingat-ingat nama orang di hadapannya ini.
"Oh Abhay. Iya kan?"
Abhay. Nama orang itu. Dia kini tersenyum kecut mendengar pernyataan cewek di hadapannya ini. Baru pertama kali dia berhadapan dengan orang, apalagi spesies wanita, yang berani berbicara santai dengannya. Sungguh ini adalah keajaiban dunia.
"Trus lo gak takut?" tanya nya lagi masih dengan suara dinginnya.
"Kenapa takut, lo manusia kan bukan iblis."
"Oh ya. Lo kan Kakak kelas gue. Seharusnya gue bilang lo Kakak."
Dan lagi. Abhay dibuat terkejut oleh sikap Dara. Ia pun tertawa kecil mencoba memahami situasi yang sedang terjadi.
"Eh malah ketawa. Udah yah gue pergi. Kan gue tadi udah bilang makasih."
Dara hendak melangkah kan kakinya untuk pergi, namun tiba-tiba sebuah lengan kekar memegang pergelangan tangan Dara.
"Ada apa lagi nih?" tanya Dara santai.
Abhay melihat ke bagian atas kanan seragam Dara, dan melihat sebuah name tag.
"Adara Leona," ucap Abhay mencoba mengingat nama itu.
"Kelas?"
"11 IPA 1," jawab Dara tak ragu.
"Okeh. Tungguin gue," ucap Abhay dengan suara mengintimidasi bermaksud mengancam Dara.
Namun bagaimana respon Dara?
.
.
.
.
.
"Okeh. Gue tunggu."
...****************...
Terimakasih sudah datang di story pertama aku. Tolong berikan saran dan dukungan untuk story ini yah :)
Enjoy the story and i hope you like it.
Brug.
"Ya ampun Dara! Lo mau buat gue jantungan ya!" kesal Ruby. Teman sebangku Dara.
Dara sengaja melemparkan tas nya ke atas meja untuk membangunkan temannya yang sedang tidur.
"Sorry sorry," timpal Dara tanpa rasa berdosa.
"Nyebelin banget sih ah." Ruby masih kesal sedikit memanyunkan bibirnya.
"Lagian ngapain sih pagi-pagi udah tidur? Belum puas tidurnya semalem," ucap Dara sambil menyandarkan punggungnya pada bangku.
"Udah puas sih. Cuma gue lagi berusaha melanjutkan mimpi gue semalam."
"Emang mimpi apa sih sampe pengen dilanjutin?"
Mendengar Dara bertanya seperti itu, bibir yang semula manyun seketika berubah menjadi seutas senyuman.
"Seriusan lo mau tau?" tanya Ruby antusias.
Dara menoleh dan mendapati temannya yang tiba-tiba tersenyum. Temannya ini sudah seperti sycho yang mood nya tiba-tiba berubah dalam waktu sekejap. Dara curiga, hal yang tidak ingin ia dengar akan terjadi.
"GUE SEMALAM MIMPI DILAMAR SONG JONG- hmpt."
Dara dengan sigap membekap mulut Ruby. Ia tidak ingin mendengar apa yang sudah ia duga. Bukannya tidak mau. Hanya saja Dara merasa jenuh mendengar hal yang sama berulang kali.
"No no no no. Gue udah tau lo mau ngomong apa. Stop jangan di lanjutin, okeh."
"Hmpt."
"Lagian lo gak bosen apa mimpi si Song Jong Ki mulu. Gue yang denger aja bosennya ya tuhan."
"Hmpt."
"Gue juga yakin sih. Kalo si Song Jong Ki tau, dia juga bakal marah dan gak sudi masuk di mimpi lo terus."
"Lepsn."
"Gue akan lepasin. Tapi janji lo jangan terusin omongan lo!"
Ruby mengangguk seperti anak anjing. Dara pun segera melepaskan bekapannya karena tak tega juga.
Ruby langsung terengah-engah mencoba mengatur nafasnya. Karena baru saja Dara bukan hanya membekap mulutnya tapi juga hidungnya.
"Sumpah tangan lo bau banget sih! Habis sarapan sampah ya lo," ujar Ruby masih dengan nafas yang terengah-engah.
"Sembarangan lo, mau gue bekep lagi!" Dara bersiap mengangkat tangannya namun Ruby langsung membekap mulutnya sendiri sebelum tangan temannya melayang.
Tak ada pembicaraan lagi setelahnya. Selang beberapa detik, Dara memecah keheningan.
"Bu Desi belum dateng?"
Bu Desi adalah guru matematika sekaligus wali kelas mereka.
"Katanya ada urusan bentar. Lo gak tau?"
"Gimana mau tau, orang gue baru dateng bego. Lo gak sadar gue kesiangan?"
Ruby melihat jam di pergelangan tangannya, dan waktu menunjukan jam 07.10.
"Oh iyah. Gue tidur sih tadi, jadi gak sadar."
"Kok bisa kesiangan? Jangan bilang bangun kesiangan lagi," tebak Ruby. Ia sudah tahu kebiasaan temannya itu karena ia sudah cukup lama berteman dengan Dara.
Dara hanya mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.
"Tuh kan sudah ku dugong. Habis liar kemana lo semalam?" tanya Ruby yang malah mendapat hadiah jitakan dari Dara.
"Aw. Orang nanya kok malah dijitak!" ujar Ruby kesal sambil mengelus-elus kepalanya.
"Lo mah bukan nanya, tapi nuduh," kata Dara yang sama kesalnya. "Lagian yah, bukan seratus persen salah gue."
"Trus salah siapa?"
"Tuh si kutu kampret! Bawa motornya gak bener. Ban motornya bocor di tengah jalan," kesal Dara setelah mengingat kembali kejadian tadi pagi.
"Maksudnya Kak Andra?"
"Iya siapa lagi," jawab Dara ketus.
"Lo jangan gitu lah. Gitu-gitu juga kakak lo mau nganterin lo."
Dara mengernyitkan kedua alisnya. Reaksi macam apa ini. Itu lah kira-kira yang ada dipikiran Dara.
"Kok lo malah ngebelain abang gue sih! Lo sebenernya temen siapa?" ujar Dara kembali dibuat kesal.
"Iya gue temen lo. Tapi gue sukanya sama kakak lo," ujar Ruby sembari memasang muka sok imutnya.
"Najis banget dah," timpal Dara.
Sekilas info. Ruby memang menyukai kakaknya Dara sejak pertama kali mereka bertemu. Menurutnya, Andra gantengnya sebelas dua belas dengan Song Jong Ki. Yap betul, Ruby memang sangat-sangat mengidolakan Song Jong Ki sampe mati. Maybe. Jadi tidak heran juga jika Ruby menyukai lelaki yang lebih tua, termasuk Andra.
"Bentar. Lo katanya bangun kesiangan trus ban motor kak Andra bocor. Tapi kok lo bisa berhasil masuk? Gak mungkin naik angkot kan? Tau sendiri angkot jalannya kaya penganten sunat," tanya Ruby setelah tersadar ada hal aneh dari cerita Dara.
"Gue nebeng sama orang di jalan. Kebetulan dia juga sekolah di sini."
"Siapa?" tanya Ruby penasaran.
"Itu Kak Bayu."
"Kak Bayu? Siapa?" Ruby bertanya lagi karena dia baru mendengar nama itu
"Itu loh yang kemaren dipanggil ke depan pas upacara. Lo juga tahu kok. Orang lo juga ikut heboh."
Ruby mengingat-ingat kembali. Namun tetap nama itu terdengar asing di telinganya.
"Eh Bayu. Tuh kan salah lagi gue. Maksudnya Abhay."
"WHAT. ABHAY!"
Ruby sontak membelalakkan kedua matanya dan menyebut nama itu sangat keras sampai membuat perhatian seluruh penghuni kelas tertuju padanya.
"Lo apa-apain sih pake teriak segala. Tuh liat orang-orang pada ngeliatin kita," ujar Dara kesal karena kini mereka menjadi pusat perhatian.
"Lo seriusan gak salah nyebut nama? Kak Abhay?" tanya Ruby kini dengan suara yang lebih kecil.
"Iya dia. Lo gak percaya banget sih sama gue."
"Ya lo yang bener aja. Kak Abhay loh yang lo maksud," ujar Ruby berharap Dara sadar dengan siapa orang yang sedang ia bicarakan itu.
"Lo tuh sama aja yah sama orang tadi. Berharap gue takut sama dia. Emang apa yang harus ditakuti?"
Ruby sudah tak habis pikir lagi. Dia kembali terbelalak mendengar pernyataan Dara yang terkesan enteng sekali. Abhay. Kepala tawuran di SMA Nusa Bangsa, di mulut Dara nama itu terdengar tidak ada seram-seramnya sama sekali.
Ruby membuang nafas kasar seraya berkata, "untuk meyakinkan gue, jam istirahat nanti lo harus ceritain semuanya sedetail mungkin."
...****************...
Kini Abhay sudah berada di warung. Kok bisa? Ya tentu saja ia kabur lewat tembok rahasia. Ia tidak mungkin diam begitu saja menerima nasib terjebak di dalam sekolah. Apalagi ada hal penting yang harus ia lakukan.
"Kemana aja lo Bhay, udah mau setengah delapan baru dateng. Janjinya dateng jam tujuh," ujar Gilang. Teman karib Abhay.
"Habis ngepet dulu kali dia semalem, jadi kesiangan," timpal Vano diiringi dengan suara cekikikan.
Gilang dan Vano adalah temen akrab Abhay. Mereka berada di kelas yang sama dengan Abhay yaitu XII IPS 2. Tempat duduknya pun bersebelahan. Jadi bisa bilang mereka ini berteman di sekolah maupun di luar sekolah.
"Sorry. Tadi ada masalah kecil," jawab Abhay
"Wuih masalah apa tuh?" tanya Gilang penasaran.
"Gak penting," jawabnya singkat.
Lalu Abhay teringat motornya ditinggal di sekolah. Mana mungkin kan dia kabur sambil membawa motor lalu lompat ke atas tembok.
"Lang, gue ikut motor lo yah."
"Masa boss gak punya motor sih," ujar Gilang. Entah itu sebuah pujian atau sebaliknya.
"Boss boss pala lo peyang. Mana ada boss disini," ucap Abhay. Entah apa alasannya ia tak suka bila ada orang yang menganggapnya seperti itu. Nyatanya orang pertama yang merencanakan ini semua adalah dirinya sendiri.
"Emang ke mana motor lo?" kini Vano yang bertanya.
"Di sekolah."
"Ngapa ada di sekolah? Kangen sekolah lo?" goda Gilang lagi diiringi dengan tawa kecil.
"Udah lah jangan banyak nanya. Itu gak penting. Mending kita langsung siap-siap aja. Sebelum para bajingan itu kabur," lanjut Abhay.
Setelah Abhay berkata seperti itu, orang- orang yang ada di sana seraya bergegas bersiap-siap. Iya, memang kini bukan hanya mereka bertiga yang ada di warung itu, tapi ada beberapa orang lainnya. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak dari kelas 12 IPS, namun ada juga satu dua orang dari kelas 12 IPA juga. Tak ayal, mereka pun ingin ikut serta dalam pertempuran jilid II.
...****************...
"OMO, SERIUSAN LO!" Suara Ruby menggema di seluruh penjuru kantin.
Kini Ruby dan Dara sudah berada di kantin. Dara mengabulkan permintaan Ruby untuk menceritakan semua kejadian bersama Abhay tadi pagi. Dan di sepanjang ia bercerita, Ruby tak henti-hentinya membulatkan mata dengan mulut yang terus menganga. Karena menurut Ruby, apa yang diceritakan Dara tak satupun yang bisa masuk diakal.
"Bisa biasa aja gak sih? Lo tuh seneng banget jadi pusat perhatian yah!" ujar Dara geram.
"Ya gimana gue mau biasa kalo cerita lo aja gak biasa." Ruby membenarkan posisi duduknya, lalu menunggu lanjutan cerita Dara yang sudah seperti drakor-drakor yang biasa ia tonton.
"Terus gimana lagi?"
"Iya terus dia tanya kelas. Terus gue kasih tau lah," jawab Dara.
"Wah parah sih. Dia pasti mau kasih perhitungan sama lo. Ih," ujar Ruby menggidik ngeri. "Trus dia ngomong apa lagi?"
"Dia bilang 'tungguin gue'."
"Lo jawab apa?"
"Gue jawab okeh."
"BEGO BANGET SIH LO RA! KENAPA GAK MINTA MAAP AJA SIH!"
Untuk kesekian kalinya Ruby kembali mengeraskan suaranya, hingga membuat orang-orang pun kembali menoleh kearahnya.
"Nyesel gue cerita. Lo teriak-teriak mulu. Dah lah," ujar Dara pasrah.
"Ya suruh siapa lo bilang gitu. Itu namanya lo menggali kuburan sendiri!" ucap Ruby geram.
Selang beberapa menit, Ruby terdiam. Ia beberapa kali menggelengkan kepala, tak paham dengan sikap Dara yang sudah diluar nalar. Alias nekat.
"Lo gak lagi ngarang cerita kan?" tanya Ruby lagi, berharap omongan Dara ini hanya rekayasa belaka.
"Lo kira gue lagi bikin novel?!" jawab Dara sedikit kesal.
Melihat reaksi Dara, Ruby tahu Dara sedang tidak berbohong padanya.
Gini amat punya temen, ujar batin Ruby.
Keesokan harinya.
"Bapak kan sudah bilang ke kalian. Jangan tawuran!" Suara Pak Sugito menggema di ruang BK.
Ternyata kejadian kemarin berbuntut hingga hari ini. Pak Sugito mengetahuinya karena salah satu orang tua korban melapor kepadanya secara langsung. Tak butuh waktu lama, Pak Sugito langsung memanggil anak-anak yang ikut serta dalam aksi itu. Tanpa terkecuali.
"Kalian harusnya sudah dewasa. Kalian sudah kelas 12, dimana kelas 12 itu bukan saatnya main-main lagi, tapi sudah fokus belajar untuk kelulusan!"
Semua anak-anak yang ada di sana terdiam. Tertunduk. Hanya bisa memasang telinga untuk mendengarkan nasihat Pak Sugito. Tak ada yang berani berbicara. Melihat raut wajahnya saja sudah sangat ngeri. Karena Pak Sugito benar-benar meluapkan amarahnya.
"Asal kalian tahu saja. Tadi orang tua korban sampe ke sini, laporan langsung ke Bapak bahwa anaknya dibawa ke rumah sakit!"
"Kalian yang melakukan, tapi Bapak yang merasa malu!" lanjut Pak Sugito.
Mendengar omongan itu, Abhay tersenyum kecut seraya berkata,"kenapa Pak? Apa karena orang tua si bajingan itu adalah anggota dewan?"
"Apa?" Pak Sugito terperangah, tidak mengerti maksud perkataan Abhay.
Abhay yang sedari tadi tertunduk kini berani menengadahkan kepalanya. Menatap wajah Pak Sugito dengan dengan lekat.
"Lalu bagaimana dengan murid Bapak? Dimas juga di rumah sakit Pak, dia koma gara-gara bajingan itu! Apa Bapak tidak peduli?"
"DIAM KAMU ABHAY!"
Pak Sugito berbicara sangat lantang hingga membuat semua orang yang ada di sana melonjak kaget. Tapi tidak dengan Abhay, ia masih berani menatap wajah Pak Sugito dengan raut wajah yang memerah.
Pak Sugito berjalan mendekati Abhay. "Bapak tau teman kamu itu sedang koma. Tapi apa dengan melakukan hal yang sama akan menyelesaikan masalah?Hah!"
"Tapi setidaknya nyawa harus dibayar dengan nyawa."
"ABHAY!"
Melihat Abhay yang kembali melawan, wajah Pak Sugito kini sudah sangat merah seperti udang rebus. Beliau beberapa kali mengelus dadanya mencoba mengontrol emosinya agar tidak kembali membludak. Karena hal itu hanya akan berdampak buruk bagi kesehatannya diusianya yang akan menginjak kepala lima.
Dirasa emosinya sudah mereda, Pak Sugito kembali berbicara. "Ini untuk peringatan terakhir. Jika kalian mengulanginya lagi. Bapak tidak bisa mentolerir tindakan kalian lagi. Kalian akan langsung Bapak keluarkan dari sekolah ini. Paham?"
"Paham," jawab anak-anak serentak dengan suara lirih.
"Sudah, kalian semua bubar."
...****************...
Bel istirahat berbunyi.
Dara dan Ruby sudah berada di kantin untuk makan siang. Suasana di kantin cukup ramai, namun masih ada beberapa kursi yang masih kosong. Dara dan Ruby pun kini sudah memilih kursi pilihannya. Setelah duduk, Ruby memanggil ibu kantin untuk memesan.
"Bu pengen baso satu sama es jeruk 1 yah. Tapi es nya yang banyak. Okeh bu."
"Baik Neng. Lalu Neng satu lagi mau pesen apa?" tanya Ibu kantin itu pada Dara.
"Samain aja, Bu."
"Baik Neng. Mohon tunggu sebentar yah," ujar Ibu kantin itu lalu pergi untuk menyiapkan pesanan mereka.
Di saat mereka berdua sedang menunggu pesanan mereka, Ruby tiba-tiba membulatkan matanya. Dari kejauhan ia melihat trio gangster yang sepertinya hendak ke tempat dimana mereka berada.
"Ra Ra Ra. Gawat Ra! Lo dalam bahaya Ra!" ujar Ruby pada Dara dengan raut wajah yang mulai panik.
Dara tak langsung merespon. Ia masih sibuk dengan gadget nya.
"Ra lo dengerin gue gak sih!" ucap Ruby sedikit keras karena temannya ini tak kunjung sadar.
"Ada apa sih By?"
"Itu Kak Abhay sama temennya kayanya mau ke sini deh," ucap Ruby dengan raut wajah yang sudah ketakutan.
"Ya biarin sih. Mereka juga mau makan kali," ujar Dara santai.
Ruby kembali dibuat kaget dengan respon Dara. Ia tak peduli keselamatan nya sedang terancam.
"Mampus dia beneran kesini."
Ruby menunduk, berusaha menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Namun lain halnya dengan Dara. Ia masih sibuk dengan gadget nya, tanpa mempedulikan situasi sekitar. Sampai Abhay dan temannya berjalan melewati meja mereka.
"Syukur lah. Dia gak sadar," ucap Ruby mengembuskan nafas lega.
"Ra kita pergi aja yuk. Gue juga pasti gak nafsu makan," lanjut Ruby masih ketakutan.
"Lo kenapa sih? Perasaan gue yang punya masalah. Kenapa lo yang takut," ucap Dara enteng.
"Iya tapi kan lo sekarang sama gue. Otomatis gue juga bakal kena."
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Yang membuat Dara semakin yakin untuk tetap di sana.
"Silahkan kalo lo mau pergi. Nanti baso lo buat gue."
Ruby memang ketakutan, namun Ruby pun tak tega jika meninggalkan sahabatnya sendirian. Walaupun ia tidak bisa berbuat apa-apa, tapi setidaknya dengan menemani sahabatnya itu membuktikan bahwa dia benar-benar sahabat sejati yang tidak akan meninggalkan sahabatnya sendirian.
...****************...
Di lain tempat.
"Dari pada dianggurin, mending makanannya buat gue," pinta Gilang setelah melihat Abhay yang terus terdiam tanpa ada niatan untuk melahap makanannya.
Tak ada respon dari Abhay. Ia masih sibuk dengan penglihatannya.
Sadar akan hal itu, Gilang penasaran apa yang membuat Abhay terus diam. Ia melihat Abhay yang sedang melihat ke satu titik. Gilang pun mengikuti arah pandang Abhay, tak lama ia pun tersenyum jahil.
"Udah jangan diliatin terus. Sikat aja. Cantik kok dia," ucap Gilang menggoda Abhay.
Yups. Abhay sedang menatap Dara yang sedang makan bakso dengan lahap. Ia sedang meyakinkan diri bahwa wajah itulah wajah orang yang sudah membuatnya sial kemarin.
"Udah ayo sik-" Gilang tak menyelesaikan ucapannya karena Abhay sudah berdiri dan beranjak pergi yang sepertinya akan menemui cewek itu.
"Itu baru temen gue, to the point. Gak kaya orang di sebelah gue. Terlalu bertele-tele. Makanya jomblo terus," ledek Gilang sambil melirik kearah Vano.
"Ngatain orang. Lo sendiri emang gak jomblo."
Deg.
Gilang membisu. Ia baru sadar bahwa dirinya pun jomblo juga.
...****************...
"Ehm." Abhay berdehem. Ia kini sudah duduk berhadapan dengan Dara.
Ruby yang tadinya sedang melahap baksonya langsung tersedak karena tiba-tiba Abhay sudah duduk di sampingnya.
"Adara Leona, kelas 11 IPA 1. Benerkan?" tanya Abhay memastikan. "Wah padahal gue mau nyamperin lo ke kelas. Tapi kita udah ketemuan di sini. Alam memang berpihak sama gue," lanjut Abhay.
"Mau ngapain? Ngasih uang jajan?" tanya Dara santai dengan mulut yang masih menggiling pentolan bakso.
Mendengar Dara yang malah menanggapinya dengan candaan, Ruby langsung melotot ke arah Dara. Ia terkejut bukan main, karena ia tidak menduga Dara masih sempat-sempatnya bercanda padahal posisi dia sedang terjepit.
Namun berbeda dengan Abhay. Ia tidak terkejut lagi dengan respon Dara, setelah melihat sikap Dara kemarin.
Kemudian Abhay tersenyum sinis.
"Gue suka nih cewek kaya gini. Biasanya, cewek yang liat gue kalo gak senyum-senyum sok imut ya dia tegang kaya cewek telat datang bulan. Contohnya. Orang yang ada di sebelah gue."
Ruby yang merasa tersindir, ia pun tersedak ludahnya sendiri saking terkejutnya. Ia menggerutu di dalam hati.
Kata gue juga apa Dara. Gue juga kena, batin Ruby kesal.
"Tapi kok lo nggak yah?" Abhay bertanya pada Dara. Namun tak lama, ia teringat akan satu hal. "Oh ya gue baru ingat. Kemaren lo bilang kalo gue itu bukan iblis. Jadi buat apa ditakuti. Iya kan?"
"Yaps."
Dan lagi. Dara masih menyikapinya dengan santai.
"Berarti bisa gue bilang kalo lo orang yang pemberani dong?" tanya Abhay lagi.
"Apa perlu gue jawab?" Dara berbalik bertanya.
"Gak perlu. Dengan liat respon lo aja gue udah tau," ucap Abhay masih dengan seringai sinis.
Tak lama, Dara menghabiskan semangkuk baksonya 'tanpa beban'.Ia menyeka mulutnya dari sisa makanan. Lalu ia pun membuka suara."Sekarang, gue boleh balik nanya?"
Abhay mengangkat alisnya untuk mengiyakan.
"Bisa to the point aja?" tanya Dara. Karena tanpa diberi tahu, Dara sudah mengerti maksud kedatangan Abhay.
"Ternyata lo peka juga," ucap Abhay.
"Okeh. Intinya gue mau nagih utang lo aja sih."
"Kejadian kemarin? Kakak mau minta apa dari gue?" tanya Dara. Ia tak mau berbasa-basi karena ia tahu Abhay tidak akan tinggal diam dan pasti akan melakukan sesuatu padanya.
"Hm... apa yah?"
Abhay berhenti sejenak. Dia berpikir keras, kira-kira hal apa yang bisa membuat wanita itu ketakutan.
Lalu apa yang terjadi.
"Gimana kalo lo jadi pacar gue aja?"
Jeger.
Bagai petir di siang bolong. Ruby, Gilang, Vano dan semua orang yang mendengarnya langsung terperangah. Ya semuanya. Orang-orang yang ada di kantin memang sedari tadi sudah memperhatikan pergerakan Abhay sejak Abhay berjalan mendekati salah satu wanita. Karena menurut mereka, hal itu adalah pemandangan yang sangat menarik untuk dilihat.
"What pacar?" Kali ini Dara menunjukan respon yang berbeda. Karena ia tidak menduga Abhay akan meminta hal semacam itu.
Apa yang sebenernya orang ini rencanakan, ujar batin Dara.
"Kenapa? Lo gak mau karna lo takut? Bukannya lo pemberani?" tantang Abhay. Ia pun tersenyum penuh kemenangan setelah melihat ekspresi Dara yang sangat terkejut.
Dara terdiam. Ia masih berpikir keras agar bisa menghadapi situasi itu.
"Gapapa kalo lo gak mau. Itu artinya lo gak seberani yang gue kira," ucap Abhay kembali merasa menang. Ia sangat senang melihat Dara yang sepertinya sudah mati kutu.
Abhay pun berdiri, hendak pergi meninggalkan Dara. Namun sebelum itu, ia tidak lupa untuk mengucapkan kalimat pamungkas.
"Gue cuma mau ngingetin aja ke lo. Hutang dibayar hutang. Karena lo belum bayar utang lo, gue akan terus nagih ke lo sampe lo bayar utang."
Abhay hendak melangkahkan kaki. Namun.
"Oke gue mau."
Langkah Abhay terhenti mendengar ucapan Dara.
"Apa?" tanya Abhay memastikan.
"Iya, gue mau jadi pacar lo," ucap Dara mempertegas.
Dan lagi. Semua orang dibuat terkejut untuk kedua kalinya. Mereka tidak menduga Dara akan menerimanya dengan begitu mudah. Dan Ruby. Jangan ditanya. Ia sudah seperti patung manekin dengan mulut yang menganga lebar.
Sudah gue duga. Cewek ini punya seribu cara untuk bisa buat gue terkejut, ucap batin Abhay.
"OKE GUYS KALIAN SUDAH DENGAR. WANITA DI HADAPAN GUE NERIMA GUE. JADI KALIAN SEMUA JADI SAKSI BAHWA GUE DAN DIA, HARI INI RESMI BERPACARAN!"
Abhay tiba-tiba membuat pengumuman dadakan yang disambut oleh tepuk tangan dari semua orang. Beberapa orang bersorak, namun ada beberapa orang juga yang merasa patah hati.
"HORE. ITU BARU TEMEN GUE!" teriak Gilang cukup keras yang diiringi oleh tepuk tangan yang sangat riuh.
Abhay menatap Dara dengan begitu lekat. Seakan ia ingin segera menerkamnya. Ia pun tersenyum senang, karena ia tidak sabar hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Tentu ia sangat menantikan itu.
Start the game, batin Abhay dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!