Mengenalmu dan memberimu kesempatan
adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.
Mungkinkah waktu dapat terulang kembali???
...****...
^^^ Januari 2019^^^
Dengan langkah gundah dan wajah muram, aku melangkah ke salah satu gedung, yang berada di salah satu wilayah tempat kakiku kini berpijak. Jantungku mulai kembali berdetak kencang. Keringat dingin pun mulai bercucuran di beberapa bagian tubuhku. Langkah kakiku makin lemas ketika aku mulai menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai 2 gedung tersebut.
Ini kedua kalinya aku memasuki gedung itu, meski aku sudah bekerja di tempat itu selama hampir 11 tahun lamanya. Namun, aku tak berminat sekali pun juga untuk melangkah ke ruangan itu. Ruangan tempat di mana para petinggi di sekolah, para pemilik yayasan, berada.
Apalagi kedatanganku kali ini untuk bertemu dengan sosok yang paling berkuasa dan paling ditakuti di tempat kami, Bambang Hartawan, pembina yayasan sekaligus pemilik saham terbesar tempatku mengajar. Sosok yang dikenal otoriter dalam kepemimpinannya.
Mungkin ini juga kedua kalinya aku berurusan dengannya, setelah sebelumnya aku pernah dipanggil kepala sekolah karena sebuah kesalahpahaman yang membawa nama besarnya dan dianggap menyepelekan kemampuannya. Namun, kali ini pemanggilan ku tak ada kaitannya dengan masalah tersebut.
Aku dipanggil karena masalah pribadiku. Masalah yang selama ini aku tutupi dengan rapat, bahkan di depan teman-teman terdekatku karena ini aib bagiku.
Ketika sebuah pintu bercat coklat terpampang jelas di mataku. Pikiranku melayang, kembali pada ingatan beberapa bulan lalu saat aku dipanggil pertama kalinya ke tempat itu karena laporan dari Rayhan, suamiku atau lebih tepat jika aku katakan mantan suamiku. Laki-laki pengecut, licik, dan tak punya malu yang melaporkan masalah rumah tangga kami ke pihak yayasan.
Kecemasan semakin melucuti ku, aku benar-benar tak berani mengetuk pintu itu, apalagi untuk membuka dan masuk ke dalamnya. Namun, aku juga tak bisa menghindar lagi dari situasi ini. Aku menghela nafas panjang, saat aku mencoba memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu. Pintu yang berada tepat di depan anak tangga saat pertama kali memasuki lantai dua gedung tersebut.
Tok tok tok
"Masuk," sahut seseorang yang berada di dalam ruangan itu.
"Eh, Ibu Rena, silakan masuk Bu," ucap Pak Ali saat membuka pintu ruangan untukku.
Pak Ali merupakan Kepala Sekolah SD yang berada di bawah naungan yayasan yang sama dengan SMP tempatku mengajar. Pak Ali juga merupakan pimpinan langsung dari Rayhan, mantan suamiku. Dia adalah kepala sekolah SD. Kulitnya hitam dengan rambut cepak, membuatnya tampak terlihat sangar.
"Silakan duduk, Bu," sahut Pak Bambang, laki-laki dengan jenggot yang lebat dan panjang, serta perawakan yang tinggi besar, membuat siapa pun lawan bicaranya bisa menciut nyalinya jika berhadapan langsung dengannya.
Iya, dialah sosok Bambang Hartawan. Laki-laki yang memiliki kedudukan penting di tempat ini, sebagai pembina yayasan sekaligus pemilik saham terbesar di yayasan ini, membuat bawahannya tak berani sedikit pun membantah perkataannya. Meskipun terkadang banyak pemikirannya yang menyimpang di atas logika perasaan.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak," pamit Pak Ali.
"Tunggu, kamu di sini saja karena masalah ini juga kan masih berkaitan dengan laporan dari anak buah mu!" perintah Pak Bambang. Pak Ali pun mengikuti keinginan atasannya itu. Ia pun kembali duduk di samping Pak Bambang.
"Bagaimana Bu Rena? Pak Rama sudah menyampaikan semuanya kepada Bu Rena?" tanya Pak Bambang tanpa basa-basi.
"Sudah, Pak. Jujur saya terkejut dengan berita yang Pak Rama sampaikan kepada saya dan saya pikir bahwa saya harus mengklarifikasi ini kepada Bapak," jawabku dengan nada sedikit tinggi karena menahan emosi dan sesak di dada.
"Klarifikasi apa lagi?" tanya Pak Bambang seolah tak suka dengan nada bicaraku.
"Pak, apa benar Pak Rayhan sudah mendaftarkan perceraian kami ke pengadilan?" tanyaku dengan nada yang kembali rendah.
"Benar dan Pak Rayhan bilang besok akta cerainya sudah bisa diambil," jawab Pak Bambang yang membuatku sangat terkejut.
"Apa?! Tapi saya tidak tahu menahu tentang hal itu, Pak. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa sebuah perceraian terjadi tanpa ada satu pun pemberitahuan kepada saya?" tanyaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sedangkan, Pak Bambang dan Pak Ali sepertinya juga terkejut, mereka hanya bisa saling menatap satu dengan lainnya.
"Maaf, Bu Rena. Kami tidak tahu tentang hal ini, kami pikir Ibu sudah mengetahui ini sebelumnya," jawab Pak Bambang.
"Pak Rayhan memang pernah menyodorkan surat talak kepada saya, tapi surat itu saya robek karena saya anggap surat itu tidak sah. Di dalam surat itu sudah ada tanda tangan Ketua RT dan RW sebagai saksi. Sementara mereka tidak pernah dihadapkan di depan saya. Bukan kah itu saja sudah tidak benar?"
"Selain itu, Pak Rayhan juga ingin mengambil hak asuh atas kedua anak dari saya dan membuat saya semakin emosi sehingga dengan pikiran pendek saya pun merobek surat itu karena saya tidak ingin kehilangan anak-anak saya. Lagi pula yang menginginkan perceraian ini Rayhan dan itu karena adanya wanita lain Pak," keluhku.
"Kemudian setelah itu saya berpikir dia tidak akan bisa mendaftarkan perceraian kami ke pengadilan sehingga mau tidak mau dia harus mengalah dan menyerahkan kedua anak-anak saya kepada saya. Tapi sekarang, saya mendapat kabar bahwa tanpa persetujuan saya dia telah mengajukan perceraian nya," ucapku dengan menahan segala sesak di dada.
"Meski tanpa surat persetujuan dari pihak istri, seorang suami tetap bisa mengajukan gugatan perceraian terhadap istrinya, Bu. Karena syarat yang terpenting adalah dia memiliki buku nikah sebagai bukti bahwa dia telah menikah, " Ucap Pak Bambang tenang.
"Iya, saya pernah mendengar dan membaca itu Pak, tapi setidaknya seharusnya saya tetap mendapat surat panggilan dari pengadilan kan, Pak? Saya harus tetap diikut sertakan dalam prosesnya kan Pak?"
"Lalu kenapa selama persidangan berlangsung saya sama sekali tidak pernah mendapatkan surat itu dan kenapa Pak Rayhan tidak pernah memberi tahu saya apa pun tentang hal ini. Padahal, hampir setiap hari kami bertemu di lembaga ini karena kami bekerja di bawah atap yang sama, "
"Dan tentunya selama Rayhan menjalani proses persidangan dia pasti minta izin kepada Bapak untuk menghadiri sidang di pengadilan itu kan?" tanyaku memandang Pak Bambang dan Pak Ali secara bergantian.
"Iya, Pak Rayhan selalu meminta izin kepada saya," jawab Pak Ali.
"Lalu kenapa sebelumnya tidak ada satu pun dari kalian yang memberi tahu saya tentang hal tersebut?! Padahal saya juga sudah mengontak Ketua RT dan RW setempat untuk memberitahu saya, kalau-kalau ada surat untuk saya dan segera menghubungi saya. Khawatir Pak Rayhan memang melakukan itu dengan sengaja tanpa sepengetahuan saya,"
"Saya juga sudah pernah membahas masalah itu kepada Pak Rama sebelumnya, tapi Pak Rama sama sekali tidak pernah menyinggung adanya sidang perceraian ini. Kenapa? Kenapa? Kenapa tidak ada satu pun dari pihak sekolah yang memberi tahu saya, " protes ku kecewa.
"Maaf, Bu Rena. Sekali lagi kami sampaikan bahwa kami sama sekali tidak tahu kalau Ibu sama sekali tidak mengetahui masalah ini. Kami pikir Ibu sudah menerima surat panggilan dari pengadilan, hanya Ibu mungkin menolak untuk hadir," ucap Pak Ali.
“Sungguh, Pak. Saya sama sekali tidak pernah menerima surat panggilan itu, Bapak bisa bertanya kepada teman-teman saya. Bahkan, saya sempat berniat untuk mengajukan kasus ini sendiri ke pengadilan jika Pak Rayhan terus menggantung status saya,” jawabku.
“Mungkin Pak Rayhan sengaja tidak memberi tahu Ibu agar sidang perceraian lebih cepat selesai karena mungkin dia khawatir Ibu kembali tidak setuju dan membuat perceraian berjalan semakin lambat,” ucap Pak Bambang yang seolah-olah membela Rayhan.
"Tapi bukannya Bapak bilang sendiri bahwa Bapak memanggil saya kemari, memaksa saya untuk menceritakan semua hal yang menjadi aib bagi saya dan sebenarnya tidak ingin saya ceritakan hanya karena Bapak ingin rumah tangga saya dan Rayhan rujuk kembali kan? Lalu sekarang kalian berdua mendukung Pak Rayhan agar perceraian tidak berjalan lambat. Sebenarnya apa yang kalian inginkan?" protes ku.
"Tapi Pak Rayhan sudah tidak ingin rujuk kembali, " sahut Pak Ali.
"Kalau Bapak sudah tahu itu lalu apa gunanya sebelum sidang ini Bapak berdua memanggil saya dan menjadikan syarat rujuk sebagai syarat untuk bisa mempertahankan salah satu dari kami berdua masih bisa bertahan di tempat ini? Kalau pada akhirnya Bapak meminta Pak Rayhan untuk mengurus perceraian kami dengan tanpa kehadiran saya. Padahal, Bapak tahu, kalau saya tidak dihadirkan dalam persidangan itu bagaimana bisa terjadi rujuk? Entah apa yang terjadi dan dikatakan Pak Rayhan selama sidang di pengadilan. Entah itu kebenaran atau fitnah belaka saya pun tak tahu,"
"Perkara talak tiga yang sempat Bapak tanyakan kepada saya pun saya masih belum bisa mendapat jawabannya dengan pasti. Mengingat talak 2 nya saja yang tahu hanya Pak Rayhan. Saya yang ditalak pun malah tidak mengetahuinya. Dan menurut saya ini sudah sangat jelas, Pak. Pak Rayhan telah bertindak curang kepada saya,” keluhku geram.
"Maaf, kami sama sekali tidak mengetahui hal ini, Bu Rena. Apa yang dikatakan Pak Rayhan dan mengenai masalah talak tiga ini, Ibu bisa tanyakan sendiri pada Pak Rayhan? Atau jika Ibu tidak puas dan ingin mengetahui semuanya, Ibu bisa datang langsung ke pengadilan dan meminta salinan isi sidang perceraian Ibu ke pengadilan. Sekarang, ada baiknya kita langsung saja kembali ke persoalan awal alasan kenapa Ibu dipanggil lagi kemari, " sahut Pak Bambang.
"Seperti yang pernah saya sampaikan bahwa yang kami inginkan adalah Ibu dengan Pak Rayhan bisa rujuk kembali, dan jika kalian berdua berhasil rujuk, maka kalian berdua masih boleh bertahan di sini. Namun jika tidak dan perceraian tetap terjadi, maka Ibu kami minta untuk mengundurkan diri dari yayasan ini," ucap Pak Bambang.
Aku menarik nafasku dalam.
"Baik, Pak, saya bersedia mundur, tapi saya minta tolong bantu saya untuk mendapatkan anak-anak saya kembali dan minta Pak Rayhan untuk memberikan nafkah yang layak untuk anak-anaknya. Karena tentu Bapak tahu bahwa adanya pengadilan sepihak telah memberikan kerugian yang sangat besar kepada saya. Dan itu seharusnya di bawah pengawasan dan tanggung jawab Bapak yang telah menyarankan adanya persidangan itu,"
"Selain itu, akibat perceraian ini saya pun tidak bisa mempertahankan pekerjaan saya di sini. Kemungkinan besar hak-hak yang seharusnya saya dapatkan sebagai seorang istri pun tidak akan diberikan oleh Rayhan termasuk hak asuh anak-anaknya juga. Bukan kah itu sangat tidak adil bagi saya dan anak-anak, Pak?" ucapku penuh harap agar mereka mau membantu dan Rayhan tidak bertindak semena-semena.
Jika selama ini jika ada yang berhutang kepada mereka, mereka bisa langsung potong gaji karena dianggap itu kewajiban. Maka seharusnya, permintaanku ini tidak ada salahnya kan, mengingat menafkahi anak-anaknya adalah kewajiban seorang ayah.
"Maaf, Bu, untuk masalah ini kami tidak ingin ikut campur. Ini masalah pribadi Ibu dan Pak Rayhan. Sebaiknya, Ibu bicarakan baik-baik dengan Pak Rayhan sendiri," ucap Pak Bambang.
Apa? lucu sekali, dia mengatakan itu masalah pribadi saya? Apa dia lupa alasan saat meminta saya untuk berhenti dari tempat ini pun karena berhubungan dengan masalah pribadi saya bukan karena masalah profesionalisme kerja? Apalagi selama ini saya ini saya belum pernah terkena SP. Bahkan, sertifikat penghargaan sebagai guru terbaik selama tiga tahun berturut-turut saya dapatkan. Tapi mereka tidak pernah mempertimbangkan hal itu hanya karena masalah pribadi. Hanya karena saya perempuan. Hanya karena laporan seorang Rayhan dan wali murid pengacau rumah tangga orang. Lalu, sekarang ketika saya meminta keadilan kepadanya. Dia menolak dengan mudah, dengan alasan tidak mau ikut campur masalah pribadi saya. Dasar manusia bermuka dua! (umpatku dalam hati)
Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran kalian? Kalau Rayhan dan keluarganya memang bisa diajak bicara baik-baik, tidak mungkin kan saya sampai tidak mengetahui adanya sidang sama sekali. Harapan untuk mendapatkan pihak ketiga yang lebih kompeten dalam memberi nasihat kepada Rayhan pun jelas sudah tidak ada lagi. Perlindungan hukum untuk saya dan anak-anak pun jelas tidak bisa lagi saya dapatkan.
Kenapa? Kenapa waktu itu saya begitu bodoh, begitu naif, harusnya waktu itu saya tidak percaya kata-kata dua orang di depan saya ini. Orang-orang yang hanya melakukan mall praktik, tidak kompeten tapi masih saja sok, harusnya waktu itu saya langsung ke pengadilan saja, tak perlu lagi menghormati mereka yang tak pantas dihormati (Pikirku).
Rasa kecewa, sedih, marah merasuk dalam jiwa. Ternyata aku terlalu menyimpan banyak harapan. Aku pun meninggalkan tempat itu dengan penuh rasa kesedihan dan kecewa.
Kecewa karena bertahun-tahun mengabdikan diri pada tempat yang salah. Kecewa karena ternyata mereka yang paham tentang ilmu agama, ternyata bisa memiliki pemikiran yang sangat dangkal hingga memberikan begitu banyak kerugian bagi pihak wanita.
Apalagi yang aku dengar dari Pak Rama, alasan mereka lebih mempertahankan Rayhan di sana adalah karena Rayhan laki-laki yang memiliki peran memberi nafkah. Lalu, tanpa adanya jaminan apakah mereka yakin Rayhan akan menafkahi kami dengan layak. Sedangkan, ketika masih berstatus suami pun dia menafkahi kami dengan semaunya.
Lalu wanita ini? Yang telah mereka ambil pekerjaan nya. Yang sama sekali tak mendapatkan apa-apa dari 10 tahun pernikahannya karena pengadilan yang dilakukan secara sepihak tanpa tahu apa pun yang terjadi. Hanya bisa kembali kepada laki-laki tua yang sekarang sudah tidak punya pekerjaan dan hanya mengharapkan warung kecil untuk menafkahi istrinya.
Laki-laki tua yang dengan kepercayaannya telah menjabat tangan laki-laki itu di hadapan semua orang. Menyerahkan putri tercintanya untuk disayangi, dilindungi, dan dikasihi. Dan sekarang puteri itu dikembalikan begitu saja. Layaknya sepah yang dibuang setelah hilang manisnya.
Tapi aku Rena, walaupun aku seorang wanita. Aku berjanji aku masih bisa terus berdiri. Aku tidak akan memberi beban berat pada laki-laki tua yang seharusnya memang sudah beristirahat ini. Aku yakin Tuhan ada bersamaku.
****
Bersambung
Jangan lupa berikan like, vote, dan komen terbaikmu untuk karya pertama author terima kasih 🤗🤗
Apakah ini takdir seorang wanita? Ketika dia tidak lagi dicintai, ia pantas dibuang layaknya sampah.
****
Setelah aku sampaikan semua yang telah terjadi padaku di sekolah, wajah ayah tampak menegang.
"Jadi kamu yang keluar dari tempat kerjamu?" tanya Ayah.
"Iya, Yah." Jawabku.
"Harusnya kamu bisa minta waktu kepada mereka untuk tetap mempertahankan kamu di sana. Setidaknya sampai kamu mendapatkan pekerjaan yang baru," sahut Ayah.
"Tidak, Rena tidak mau, Yah. Rena sudah terlanjur kecewa pada lembaga itu, bagaimana bisa mereka membiarkan ketidak-adilan ini terjadi? Jelas-jelas Kak Ray yang salah, ia bertindak semaunya. Dia sudah selingkuh tapi perbuatannya dianggap sesuatu yang wajar. Menurut mereka kalau laki-laki memiliki wanita yang lebih dari satu apalagi di masa puber keduanya itu adalah hal yang wajar, "
"Belum lagi tuduhan mereka atas Rena yang menganggap perbuatan Rena itu salah. Rena terlalu lancang karena telah berani membuka ponsel suami Rena. Padahal semua itu Rena lakukan tanpa sengaja. Rena saja tak mengizinkan anak-anak menyentuh ponsel ayahnya. Lalu untuk apa Rena bermain dengan ponselnya Kak Ray?"
"Saat itu Rena membuka pesan karena Rena merasa khawatir ada pesan penting yang masuk untuk Kak Ray. Mengingat nama siswanya tertera di ponsel itu. Apalagi pesan itu berbunyi berkali-kali. Di tengah malam pula. Selain itu, sebelumnya Kak Ray sendiri cerita kalau ada siswanya yang masuk rumah sakit. Jadi, Rena takut apa yang pernah dialami murid Rena yang meninggal secara tiba-tiba juga terjadi pada muridnya Kak Ray. Itulah sebabnya Rena memberanikan diri membuka ponsel itu. Namun siapa yang menyangka isi pesannya di luar dugaan Rena," ucapku menahan segala sesak di dada saat mengingat kejadian hari itu.
"Semuanya bagi mereka adalah salah Rena. Rena juga dianggap sebagai istri yang tidak taat, padahal mereka tidak tahu sama sekali berapa banyak kesedihan yang sudah Rena tahan untuk menjaga ketaatan Rena pada suami Rena," menghela nafas berat.
"Bahkan ayah tahu sendiri waktu Mama sakit, Rena sampai tidak menjenguk Mama selama sebulan karena Kak Ray tidak memperbolehkan Rena keluar tanpa seizinnya. Rena ikuti. Lalu ketika Rega harus menjalani dua kali operasi dan lagi-lagi Rena tidak diizinkan oleh Kak Ray, Rena ikuti,"
" Dan entah sudah berapa banyak lagi yang mungkin Mama dan Ayah sendiri juga tahu permintaan Kak Ray yang bertentangan dengan nurani Rena yang harus Rena ikuti. Bahkan, Rega dan Reni sampai menganggap kalau Rena hanya mementingkan keluarga kecil Rena dengan Kak Ray dan tidak peduli dengan keluarga ini, hiks, hiks, "
"Kalian juga tahu betapa otoriternya Kak Ray dalam kepemimpinannya. Tapi apakah Rena membangkang? Rena hanya mengeluh dengan harapan agar Kak Ray berubah, tapi dia sama sekali tak pernah sama sekali mau berubah, "
"Lalu apakah Rena yang meminta talak kepadanya? Tidak, Ma, bahkan Rena pernah sampai bersumpah demi anak-anak bagaimana pun Kak Ray menyakiti Rena, Rena tidak akan pernah meminta cerai kepadanya. Akan tetapi kenyataan sekarang, semua tuduhan ditunjukkan kepada Rena. Rena dianggap sebagai istri pembangkang sehingga membuat Kak Ray berpaling kepada wanita lain. Wanita yang sebenarnya saat itu telah bersuami. Sungguh menjijikan. Dia mengagung-agungkan istri yang telah mengkhianati suaminya sendiri. Sementara istri yang menemani dia di saat susah dan sulit sama sekali tidak dianggap,"
"Apakah mereka tidak punya nurani Ma? Istri mana yang mengharapkan suaminya memberi talak apalagi sampai talak tiga? Istri mana yang rela dicerai lalu dipisahkan dengan kedua buah hatinya?" ucapku penuh sesak dengan air mata mulaiengalir di pipiku.
"Ma, Rena sudah tidak tahan menerima tuduhan mereka. Itu sebabnya Rena putuskan untuk keluar saja dari tempat itu. Mereka tidak layak mendapatkan pengabdian Rena, tidak layak, hiks hiks," ucapku melihat ke arah Mama yang sedari tadi ikut menangis bersamaku.
Mama yang memahami perasaanku, tak kuasa menahan air matanya.
"Benar, Yah. Tindakan Rena sudah benar. Keluar dari tempat itu lebih baik daripada masih bertahan dengan menahan sesak, " ucap Mama memberi dukungan kepada keputusanku dan ayah hanya bisa menghela nafas panjang.
"Lalu, apa rencana kamu setelah keluar dari sana Rena. Apa kamu masih ingin mengambil
hak asuh anak-anakmu dari Rayhan?" tanya Ayah.
"Rena akan tetap melakukan itu, Yah. Rena bisa kehilangan semua harta atau pun pekerjaan Rena, tapi Rena enggak mau kehilangan mereka." Jawabku.
"Tapi sekarang kamu tidak sedang bekerja! Lalu bagaimana kamu bisa menafkahi dan memberi uang jajan pada mereka," ucap Ayah yang seolah ingin menyadarkan agar aku menyerah dalam memperjuangkan nasib anak-anakku.
"Rena masih memiliki sedikit tabungan, Yah. Selain itu, Rena juga akan berusaha keras mencari pekerjaan baru untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bila perlu Rena akan berhenti jadi guru dan menjadi buruh kontrak saja untuk bisa membiayai mereka, yang penting Rena bis bersama mereka," ucapku penuh penekanan, berusaha meyakinkan Mama dan Ayah agar mau membantuku mendapatkan anak-anakku.
"Maaf, Rena, tapi kali ini Mamah setuju dengan ayahmu. Ikhlaskan mereka dan biarkan mereka bersama ayahnya saja," sahut Mama.
"Mah, please, hiks hiks hiks! Tolong ngertiin Rena, Ma! Mama juga seorang ibu kan? Apa Mama rela
kehilangan anak-anak Mama? Kehilangan Rena?"
"Apa Mama tahu? Sejak perceraian itu Rena merasa seperti manusia yang tidak punya arti apa-apa. Orang yang Rena percaya untuk menjaga Rena, malah memperlakukan Rena tak ubahnya seperti sampah yang tidak ada harganya, dibuang begitu saja, tanpa apa pun yang tersisa,"
"Ma, Rena rela kehilangan apa yang sebenarnya menjadi hak Rena sebagai istri seperti rumah, harta benda, tapi tidak untuk anak-anak," ucapku menekan kata terakhir.
"Tapi Rena.. Pikirkan sekali lagi," pinta Mama.
"Ma, Rena ini sudah memikirkannya. Rena seorang guru yang separuh hidupnya dipakai untuk mendidik anak-anak dan akan sangat ironis ketika Rena mampu mendidik anak orang lain, sedang buah hati Rena sendiri tak mampu Rena didik.
"Tapi kalau Mama sama ayah berkeras untuk tidak mau membantu Rena mengambil anak-anak, maka Rena mungkin akan pergi dari sini. Rena ingin menenangkan diri. Rena juga enggak mau merepotkan Mama sama ayah terus. Rena akan pergi jauh dari sini sampai Rena bisa melupakan semuanya," ucapku berjalan masuk ke dalam kamar menutup pintu rapat-rapat dengan derai air mata yang membanjiri wajahku.
Di atas ranjang itu aku hanya bisa menangisi nasibku.
“Ya Allah, kenapa ujian yang harus aku jalani begitu berat? Apakah aku masih bisa hidup tanpa kedua buah hatiku?" (batinku)
****
Dua hari kemudian
Berbagai pikiran dan perasaan menyatu dalam benakku. Rasa marah, kecewa, sedih, dan tidak percaya bahwa dirinya mampu dikhianati oleh orang yang selama ini menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa laki-laki yang bahkan nyawa saja rela aku pertaruhkan agar bisa melahirkan keturunan darinya bisa melakukan perbuatan begitu hina seperti itu. Apakah laki-laki ini tak punya nurani?
Belum cukupkah talak yang telah menginjak harga diriku sebagai wanita. Talak yang menghancurkan mimpiku dan kedua buah hatiku. Mimpi akan kerinduan keluarga yang harmonis. Mengapa? Mengapa lagi-lagi laki-laki yang dipanggil ayah oleh anak-anakku mengkhianatiku. Padahal aku telah berlapang dada untuk memaafkan pengkhianatan nya dengan wanita laknat itu.
Memaafkan semua kesalahan di masa lalu dan bersedia menganggap dirinya sebagai teman, meskipun hati ini telah disakiti olehnya berkali-kali. Tapi kabar apa yang selanjutnya aku dapatkan, hanyalah KECURANGAN.
Saat ini aku dan Bang Reno kini sedang berada di halaman depan pengadilan agama Cibinong. Setelah kami memarkirkan motor yang kami kendarai, kami melangkah masuk ke gedung itu. Keadaan pengadilan saat itu cukup ramai, membuat aku harus mengantri untuk mendapatkan tujuanku.
"Silakan Bu, ada perlu apa?" tanya seorang petugas pengadilan kepadaku saat aku sudah sampai di depan lobi informasi.
"Emm, maaf, pak, saya mau menanyakan perkara sidang perceraian atas nama Muhammad Rayhan," tanyaku.
"Boleh tau nomor pengajuannya, Bu?" tanya petugas itu.
"Maaf, saya tidak tahu karena waktu itu yang mengajukan gugatan perceraian bukan saya, Pak" jawabku.
"Boleh pinjam KTP atau buku nikah Ibu," tanya petugas itu lagi.
"Iya, Pak boleh. Ini KTP dan buku nikah saya," ucapku sambil memberikan kedua barang itu kepada petugas tadi.
"Sebentar ya, Bu," sahut petugas itu sambil mengetik komputer untuk mencari data yang aku butuhkan.
"Sidangnya sudah selesai Ibu dan akta cerainya pun sudah keluar dan sudah bisa Ibu ambil," sahut petugas tadi
"Apa??!! Secepat itu? Kok, bisa Pak? Kenapa sebelumnya saya sama sekali tidak pernah mendapatkan surat panggilan sidang dari pengadilan? Bukankah proses perceraian baru bisa terjadi setelah adanya sidang?" tanyaku terkejut.
"Sidang? Ada, kok Bu, kami selalu mengirimkan surat panggilan pengadilan sebelum sidang dilaksanakan baik itu kepada pihak tergugat maupun penggugat," jelas petugas tadi.
"Tapi saya tidak pernah mendapatkan surat panggilan tersebut sama sekali Pak, dan mantan suami saya pun tidak pernah memberi tahukan itu kepada saya. Padahal, kami bekerja di tempat yang sama dan hampir bertemu setiap hari," keluhku sedikit emosi.
"Memang Ibu tinggal di mana selama ini? Kenapa Ibu sampai tidak mendapatkan surat panggilan tersebut?" tanya petugas tadi.
"Di rumah orang tua saya, Pak. Itu karena mantan suami saya tidak mengizinkan saya untuk tinggal di rumah saya, setelah ia mengantarkan saya ke rumah orang tua dan mengucapkan talak 3 nya kepada saya," ucapku sedih.
"Apa sebelumnya Ibu sama sekali tidak punya firasat tentang hal ini? Biasanya wanita itu sangat kuat firasatnya?" tanya petugas tadi.
"Ada, sih Pak, itu sebabnya saya berkali-kali menghubungi Ketua RT dan Ketua RW setempat agar saya diberi tahu jika ada surat panggilan pengadilan untuk saya. Namun selama ini, setiap kali saya tanyakan, jawaban mereka itu tidak pernah ada, "
"Saya juga pernah meminta izin mantan suami agar saya bisa tinggal di rumah kami untuk sementara waktu sampai dia mengurus perceraian kami secara resmi. Sedangkan, dia untuk sementara tinggal di rumah orang tuanya saja dulu. Tapi ya, dia malah menghina saya dan saya dianggap wanita yang tak tahu malu karena sudah ditalak tapi masih ingin tinggal di sana. Padahal, saya hanya ingin berjaga agar situasi seperti ini tidak terjadi. Karena saya tahu KTP saya masih di sana," ucapku.
"Berarti memang suami Ibu itu jahat. Dia merencanakan ini semua dan dia sepertinya memang sengaja berniat menyembunyikan hal ini dari Ibu," ucap petugas tadi menekan kata 'jahat'.
Kata yang membuatku sadar seperti apa rupa mantan suamiku selama ini. JAHAT itulah kata yang tepat untuk Rayhan.
Aku memang bodoh. Mengapa aku tidak melakukan gugatan lebih dahulu? Mengapa ia masih mengharapkan jalan damai atas pembagian harta gono gini dan hak pengasuhan anak.
Aku memang terlalu naif. Harusnya setelah aku melihat perselingkuhan suamiku itu, merasakan firasat bahwa Rayhan akan berbuat kecurangan seperti itu. Aku seharusnya mengikuti firasatku. Aku seharusnya bertindak lebih dulu. Tapi, mengapa aku masih berpikir bahwa Rayhan pria baik.
Aku seharusnya sadar bahwa Rayhan tidak mungkin mau berlama-lama menduda. Sementara ada wanita yang menyodorkan diri untuk menjadi pasangannya.
Padahal aku dengan berani telah merobek kertas perceraian yang disodorkan Rayhan kepadanya. Hanya demi tujuan agar Rayhan tidak bertindak semaunya dan merampas semua hakku dan anak-anakku secara paksa, tapi sekarang mengapa dia bisa salah jalan?
Mengapa aku bisa salah mengambil langkah? Apa gunanya lagi bukti-bukti perselingkuhan Rayhan yang ia simpan rapat-rapat agar Rayhan tak bisa bertindak semaunya? Sidang sudah selesai, itu akhirnya ia sudah kalah sebelum berperang. Rayhan memang laki-laki licik, sangat licik. Bahkan, sekarang ia harus kehilangan pekerjaan yang begitu dicintainya gara-gara ini.
Aku mengusap air mataku. Aku akan membongkar kebusukan Rayhan di depan Bambang Hartawan.
"Pak, boleh saya tahu tanggal berapa saja sidang perceraian kami dilaksanakan," tanyaku.
"Sebentar ya, Bu," ucap petugas itu kembali menatap layar komputernya.
"Sidang pertama tanggal 18 Februari, sidang kedua tanggal 15 Maret, dan terakhir putusan perkara tanggal 24 Juni kemarin," sahut petugas tadi.
"Baik, Pak, terima kasih infonya. Oh ya, Pak, tapi kok bisa sidang tetap dilaksanakan padahal istrinya tidak pernah ada selama persidangan?" tanyaku masih penasaran.
"Bisa, Bu, itu disebut putusan verstek, putusan sidang tanpa dihadiri pihak termohon. Dalam hal ini Ibu sebagai pihak termohon dianggap tidak diketahui keberadaannya dan termohon dianggap lalai karena tidak mengindahkan panggilan pengadilan, " jawab petugas tadi.
Apa? Sungguh konyol. Tidak dihadirkan karena dianggap tidak diketahui keberadaannya, padahal jelas-jelas kami hampir bertemu setiap hari (Pikir Rena).
"Tapi teman saya pernah bilang, katanya biasanya surat panggilan pengadilan itu dikirim langsung oleh kurir yang memang ditugaskan oleh pengadilan ini dan harus dipastikan bahwa surat itu diterima oleh yang berhak menerimanya," sahut Rena.
"Iya, biasanya memang seperti itu, Bu " sahut petugas tadi.
"Berarti ada indikasi tanda tangan saya dipalsukan, Pak?" tanyaku.
"Bisa jadi, dan kalau memang Ibu ingin lebih jelas, Ibu bisa saja mengusut masalah ini dengan datang ke kantor polisi, dan melaporkan perkara pidana ini untuk menyelidiki apakah benar ada pemalsuan tanda tangan atau tidak," jawab petugas itu.
Aku terdiam mendengar penjelasan dari petugas tadi. Lalu aku menatap sekilas ke arah Reno, abangku, aku ingin bertanya padanya apakah pendapatnya tentang masalah ini? Apakah aku harus melanjutkan kasus ini sampai ke tangan polisi atau tidak?
"Terima kasih atas penjelasannya, Pak, dan bisakah saya meminta salinan persidangan dari kasus perceraian saya?" tanyaku.
"Bisa, Bu, silakan Ibu ke loket sana dan isi formulir serta beberapa persyaratan yang diminta," sahut petugas itu menunjuk ke arah loket yang ada di ujung sebelah kanannya.
Aku dan Bang Reno mengikuti arah yang ditunjuk petugas tadi. Aku berjalan menuju loket tersebut dan mengantri kembali seperti tadi. Setelah cukup lama mengantri, aku pun mendapatkan apa yang diinginkannya, akta cerai dan salinan persidangan perceraiannya.
"Rena, apakah kamu serius akan melaporkan mantan itu suamimu ke kantor polisi?" tanya Reno, mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi ingin ia tanyakan pada adiknya itu.
Sebelum menjawab aku menghela nafas panjang.
"Entahlah, Rena masih bingung dengan itu, Bang. Di satu sisi Rena tidak terima dengan perlakuan Rayhan, namun di sisi lain sejahat apa pun dia, dia tetaplah ayah anak-anak Rena. Rena tidak mungkin tega melihat ayah dari anak-anak Rena harus tersangkut masalah dengan kepolisian gara-gara tuntutan Rena tersebut. Bagi Rena sekarang adalah memikirkan cara bagaimana mendapatkan anak-anak Rena kembali" ucapku.
***
Bersambung
Jangan lupa like, vote, dan komen terbaiknya ya...
Manusia hanya bisa berharap Tuhan yang menentukan...
***
Tiga bulan kemudian
Rena tampak termenung di balik jendela rumahnya. Ia menikmati kegelapan yang kini mulai menyelimuti bumi sembari menatap dua buah hati kecilnya yang sekarang sedang tertidur pulas. Menanti hujan yang turun dari langit bersama dengan belaian angin yang berasal kipas elektrik yang menyala di samping ranjangnya.
Haikal, putra bungsu Rena, kini usianya telah menginjak 6 tahun. Ramadhan kali ini adalah Ramadhan pertama bagi dirinya tanpa ayah setelah tiga bulan Rena resmi menyandang status janda. Ramadhan kali ini juga untuk pertama kalinya bagi Haikal melaksanakan ibadah puasa secara penuh, dari Subuh sampai petang.
Alhamdulillah, di puasa pertamanya Haikal dapat melaksanakan ibadah ini dengan baik. Bahkan, hingga menginjak 25 Ramadhan, Haikal kecil hanya bocor satu kali. Hal itu tentu menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi seorang ibu seperti Rena. Namun, kebahagiaan tersebut, harus ternoda oleh rasa sedih dan kecewa.
Betapa tidak, di saat anak-anak lain seusia Haikal mendapatkan perlakuan yang teramat istimewa sebagai hadiah menjalankan puasa pertamanya dengan baik, ibu yang menjalankan peran sebagai orang tua tunggal ini hanya memiliki kemampuan yang teramat terbatas. Bahkan, hingga saat ini baju baru buat Haikal dan Kakaknya, Hana, sebagai mana yang dipamerkan teman-temannya belum bisa ia belikan.
Kedua buah hati Rena itu memang tak meminta. Mereka seakan mengerti kondisi ibunya yang hingga saat ini belum memiliki pekerjaan baru. Namun, tetap saja hal ini justru memicu rasa sedih, sakit, marah, kesal, dan kecewa di hati Rena Betapa tidak, mereka saat ini masih memiliki orang yang bertanggung jawab atas diri mereka. Akan tetapi, hingga detik ini, jangankan ingat membelikan baju untuk mereka, mengingat mereka makan sahur dan buka puasa dengan apa pun tidak.
Entah terbuat dari apa hati ayah mereka, ternyata laki-laki itu memegang teguh kesepakatan yang telah dibuatnya bersama Rena. Rena terpaksa membuat kesepakatan itu, saat dirinya berkeras ingin mengambil kedua buah hatinya.
Kesepakatan bahwa Rena tidak akan menuntut apa-apa kecuali biaya renovasi rumah yang biayanya dari tabungan pribadi Rena sebesar 50 juta. Itupun tidak tahu kapan akan mulai dibayarkan. Atau mungkin juga karena faktor lain, bisa jadi pernikahan keduanya telah benar-benar mampu mencuci otaknya, membuatnya lupa akan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.
Kadang Rena berpikir bahwa keinginannya yang bersih keras waktu itu untuk mengasuh kedua buah hatinya adalah sebuah kesalahan. Karena itu berarti ia telah membuat kedua buah hati yang dicintainya itu berada pada kondisi sengsara seperti dirinya.
Apakah dia memang ibu yang egois? Keras kepala? Mungkin, kalau mereka tinggal bersama ayahnya di rumah besar yang ia bangun bersama mantan suaminya itu mereka tidak akan sengsara seperti ini. Mereka bisa menghabiskan malam mereka dengan menikmati film kesayangan mereka dan memilih sajian buka puasa sebagaimana hari hari sebelum perceraian itu terjadi.
Kesedihan dan kekecewaan itu kini hanya mampu Rena ungkapkan dalam sebuah tulisan. Menulis merupakan kegemarannya sedari dulu. Ia menumpahkan kesedihan dan kekecewaan yang dirasakannya itu dalam bentuk tulisan di salah satu akun media sosialnya sebagai bentuk luapan emosi untuk mantan suaminya itu.
Laki-laki yang sejak kesepakatan itu terjadi sudah tidak bisa dihubungi lagi. Laki-laki yang bahkan ketika dia masih berstatus sebagai suami pun kerap memblokir nomor ponselnya. Laki-laki yang hanya lebih peduli pada teman-teman perempuan, wali murid, reputasi, dan sanak familinya saja. Laki-laki yang sebelumnya pernah menduduki posisi tertinggi di hatinya bahkan melampaui posisi kedua orang tuanya. Laki-laki yang ia serahkan seluruh jiwa raga bahkan masa depannya.
Selama ini ia memendam semua rasa sakitnya, berharap suatu hari nanti perangai laki-laki itu bisa berubah. Namun, harapan tinggal harapan. Harapan yang tak pernah tercapai. Jangankan untuk berubah menjadi suami yang lebih baik. Bahkan, menjadi teman yang baik pun sepertinya sudah tidak mungkin lagi. Laki-laki itu malah kini sudah seperti musuh baginya, yang ingin ia hindari, jauhi, dan tak ingin lagi ia temui sampai kapan pun.
Tak lama seusai ia mengetik pesan itu tanpa disangka beberapa respon muncul dari sahabat dan murid-muridnya terdahulu. Respon tersebut memberi energi positif pada Rena untuk bangkit dari keterpurukan. Namun, seolah tersadar akan tindakannya yang telah mengekspose masalah pribadinya, ia pun segera memutuskan untuk menghapus tulisan tersebut dari akun sosmednya.
****
Selesai membersihkan sisa-sisa makanan bekas sahur, seseorang mengetuk pintu rumah Rena.
Tok tok tok..
Rena segera membuka pintu depan rumahnya itu.
"Eh, Mba Nita, masuk Mba," sahut Rena pada wanita berparas ayu yang tadi mengetuk pintu rumahnya.
Wanita itu tak lain adalah Nita. Nita adalah istri dari Bang Reno, Kakaknya Rena. Meski, ia kakak ipar Rena, namun usianya hampir seumuran dengan Rena. Ia juga adik ipar dari Lala, teman kuliah Rena karena Lala menikah dengan Diki, kakak sulung Nita.
"Ada apa Mba? Tumben pagi-pagi udah ke sini?" tanya Rena.
"Mba cuma mau kasih ini. Ini titipan uang dari Bang Reno untuk Haikal dan Hana," ucap Nita sambil menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan pada Rena.
"Uang apa Mba?" tanya Rena saat Nita menyodorkan uang itu kepadanya.
"Ini uang THR mereka, sekaligus hadiah yang dijanjikan Bang Reno pada mereka kalau mereka mampu menyelesaikan puasanya dengan baik. Tadinya uang itu akan diberikan Bang Reno saat lebaran nanti, tapi Bang Reno berubah pikiran. Ia ingin memberikan uang itu sekarang untuk membeli baju lebaran buat Hana dan Haikal," sahut Nita.
Astaga, apa Bang Reno dan Mba Nita membaca postinganku, ya? Ya ampun, aku sungguh malu, padahal aku sama sekali tak ada maksud seperti itu. Aku hanya ingin menghilangkan beban di hatiku, yang dipenuhi rasa sedih dan kecewa. Tak ada sedikit pun keinginanku untuk dikasihani oleh orang lain. (Pikir Rena)
"Gak usah Mba, nanti aja," ucap Rena berusaha mengembalikan uang itu pada Nita.
"Sudah, ambil aja, enggak perlu malu atau pun sungkan. Haikal dan Hana pasti senang," sahut Nita menolak uang yang ingin dikembalikan oleh Rena.
Tak lama Hana dan Haikal datang menghampiri Rena dan Nita yang kini tengah berada di ruang tamu.
"Tante Nita, Tante ada apa pagi-pagi udah ke sini?" tanya Hana, putri sulung Rena.
"Tante mau ngasih titipan uang THR kalian dari Om Reno. Katanya supaya kalian bisa beli baju lebaran dengan uang ini," sahut Nita.
"Baju lebaran," sahut Hana memandang adiknya.
"Yeaay, kita bisa beli baju lebaran!" sorak Haikal dan Hana hampir bersamaan.
"Makasih, Tante," Ucap Hana senang.
Terlihat sekali keduanya tampak begitu bahagia mendengar kabar tersebut. Kebahagiaan mereka menular pada Rena dan Nita yang menyaksikan tingkah kedua anak yang masih polos itu.
****
Rena dan kedua buah hatinya, Hana dan Haikal tampak bersiap untuk membeli baju baru yang begitu diinginkan oleh keduanya. Namun, sebelum berangkat Rena mendapat notifikasi pesan whatsapp dari nomor yang tak ia kenali.
Assalamualaikum..Bu Rena, apa kabar? (Nomor tak dikenal)
Wa 'alaikum salam.. Alhamdulillah sehat. Tapi, maaf ini nomor siapa ya? (Rena)
Ini nomor Riska, Bu. Ibu masih ingatkan murid ibu angkatan pertama yang kece badai dan cetar membahana ini? Simpan ya, Bu, (Nomor tak dikenal)
"Riska?" Rena mulai mengingat nama Riska. Riska adalah murid angkatan pertama Rena dulu saat dirinya mengajar di SMP Pelita Jiwa. Ia pun menyimpan nomor Riska.
Oh, Riska. Sekarang Ibu ingat. Riska Syahrini kan? Baik, sekarang Ibu sudah simpan nomor kamu. (Rena)
Terima kasih Ibu Rena cantik..., telah menyimpan nomor Riska yang cetar membahana ini. (Riska)
Bu, apa boleh Riska dan teman-teman main ke rumah Ibu? Kami udah kangen banget sama Ibu (Riska)
Tentu saja boleh, pintu rumah Ibu selalu terbuka untuk kalian. (Rena)
Terima kasih, Ibu. Sekarang, Ibu tinggal di mana? (Riska)
Sekarang ibu tinggal di rumah almarhumah Nenek Ibu. (Rena)
Di daerah mana itu Bu? (Riska)
Kamu masih ingat tempat Ibu dan Pak Rayhan menikah dulu? Rumah Ibu sekarang dekat dengan rumah orang tua ibu, tempat waktu ibu melaksanakan acara resepsi pernikahan Ibu dulu (Rena)
Aduh, maaf Riska udah lupa, Bu. Maklum pernikahan Ibu kan udah 11 tahun yang lalu. Ibu kirim alamat Ibu aja, ya (Riska)
Iya, nanti Ibu kirim alamat Ibu. Memang rencananya kapan kalian mau main ke sini? (Rena)
Insyaallah, nanti sore, kalau tidak ada halangan, Bu. Ibu enggak ke mana-mana kan? (Riska)
Sebenarnya Ibu mau pergi sama anak-anal Ibu, tapi insyaallah kalau sore sepertinya Ibu sudah sampai di rumah. Uhuk.. uhuk.. (Rena)
Bu, Ibu Rena lagi batuk? (Riska)
Enggak, Ibu lagi nyanyi (Rena)
Ah, Ibu bisa aja. Bu, kalau boleh tau anak Ibu yang paling kecil umurnya berapa tahun ya? (Riska)
Umurnya sekarang sudah 6 tahun. Kenapa? (Rena)
Kebetulan aku lagi belanja dan ingin beliin baju buat anak Ibu (Riska)
Kamu baca postingan Ibu ya? (Rena)
Rena langsung menerka alasan Riska menanyakan umur putranya. Ia kembali memikirkan postingan yang sempat ia kirimkan beberapa hari lalu yang sebenarnya ia tujukan pada Rayhan dan keluarga mantan suaminya. Meskipun postingan itu telah dihapus. Namun, postingan itu sudah terlanjur mendapat banyak respon dari teman dan murid-
muridnya.
Rena sungguh merasa tak enak hati. Sebenarnya ia tak ingin, kalau murid-muridnya mengetahui sisi kelam dalam hidupnya. Ini semua kesalahannya. Harusnya ia mampu menahan diri untuk tidak menumpahkan semua rasa sedih, kecewa, dan marahnya kepada ayah dari anak-anaknya itu ke akun medsos. Namun, apa hendak dikata semua itu sudah terlanjur terjadi.
Iya (Riska)
Kalau begitu terima kasih atas niat baiknya. Kamu tidak perlu sampai melakukan itu dan Alhamdulillah Ibu sudah ada uang untuk membelikan mereka baju. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot membelikan mereka lagi ya, (Reni)
Oh, Alhamdulillah. Tapi, maaf Bu, Riska cuma ingin kasih hadiah aja buat anak-anak Ibu yang udah melaksanakan puasa mereka dengan baik. Gak apa-apa kan? Ibu jangan tersinggung ya (Riska)
Rena menghela nafas panjang, sebelum akhirnya ia mengetik pesannya kembali.
Ya sudah, tidak apa-apa. Terima kasih atas niat baik nya. Tapi, jangan dipaksakan ya. (Rena)
Enggak kok, Bu. Kalau begitu udah dulu y, Bu. Riska mau lanjutin pekerjaan Riska dulu. Nanti kalau sudah mau sampai rumah Ibu, Riska hubungi kembali. Assalamualaikum.. (Riska)
Wa'alaikum salam warahmatullah (Rena)
Setelah keduanya mengakhiri percakapan mereka, mereka pun dan kembali pada aktifitas mereka masing-masing.
****
Sore setelah Rena kembali dari pasar untuk membelikan baju untuk kedua anaknya. Ia kembali mendapat pesan dari Riska yang menyampaikan bahwa ia dan teman-temanya sore ini jadi berkunjung ke rumah Rena.
Rena pun mempersiapkan segalanya. Mulai dari mempersiapkan jamuan kecil-kecilan yang bisa dihidangkannya, membersihkan rumah dan lain sebagainya.
Setelah semua selesai, Rena bersiap untuk mandi dan menunaikan ibadah shalat Ashar. Namun, sebelum langkah kakinya menggapai kamar mandi sebuah pesan whatsapp masuk melalui ponselnya.
Assalamualaikum.. Bu hari ini Riska dan teman-teman jadi berkunjung ke rumah Ibu, ya.. kami berangkat dari sini bada Ashar. (Riska)
Wa'alaikum salam.. Iya, Ibu tunggu dan Ibu sudah kirimkan alamat Ibu.
(Rena)
****
Sebagaimana yang telah dijanjikan Riska dan keempat teman-temannya yang lain datang berkunjung ke rumah Rena. Mereka membawa banyak barang untuk Rena, sang guru tercinta.
"Assalamualaikum.., " sahut mereka bersamaan saat sampai di halaman rumah Rena
"Wa'alaikum salam.. Mari masuk," jawab Rena
Riska dan teman-temannya itu pun masuk ke rumah Rena tanpa lupa mencium punggung tangan Rena. Mereka pun memberikan barang bawaan mereka yang berupa kebutuhan pokok sehari-hari kepada Rena, termasuk obat batuk yang sengaja dibeli Riska untuk Rena. Hal itu sungguh membuat Rena merasa terharu.
Riska dan keempat temannya memasuki rumah Rena yang sangat sederhana itu. Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Senyum mengembang terpancar dari wajah mereka.
"Akhirnya kita ketemu lagi, sudah lama ya kita tidak jumpa," ucap Rena begitu ia duduk bergabung bersama mereka.
"Iya, habis Ibu sih enggak pernah ikut acara reuni," jawab seorang gadis berkerudung merah yang bernama Laela.
"Iya, mau gimana lagi Ibu enggak pernah dapat izin dari Pak Rayhan," sahut Rena sedih mengingat otoritas mantan suaminya yang memang tak pernah memberikannya izin untuk mengikuti acara-acara semacam itu.
"Hemm, Pak Rayhan benar-benar enggak asyik, ya, Bu? Mending dulu Ibu sama Pak Dewa aja," sahut Bae, gadis berkerudung biru yang duduk dekat Laela.
"Hus, cukup lagi puasa! Jangan dengerin Bae, Bu!" potong Laela.
"Kamu Laela, kan? Dan ini Bae, Riska, Mili, dan Sarah?" tanya Rena menyebut nama tiap gadis yang ada di depannya.
"Iya, Bu, benar banget. Ibu Rena paling top deh selalu ingat sama nama kita," sahut Riska.
"Oh iya, gimana kabar kalian? Di antara kalian apa sudah ada yang menikah?" tanya Rena.
" Udah, Bu. Tuh, Mili sekarang lagi hamil muda Bu," jawab Sarah menunjuk perempuan di sebelahnya yang hanya bisa tersenyum malu-malu.
" Iya, Bu, masa ngidamnya aneh banget, katanya pengen ketemu Ibu," sahut Laela.
"Eh, Laela jangan gitu dong, jangan suka buka kartu," sahut Mili.
"Gak apa-apa Mil, justru Ibu seneng dengernya," sahut Rena tersenyum simpul.
"Iya, Bu Rena kan cantik, siapa tahu anak lo nantinya cantik juga kayak Bu Rena, daripada ngidam si Riris yang cetar enggak membahana apalagi," sahut Bae l melirik Riska
"Bae .., apa maksud lo ? Lagi bae-bae aja, kan?" ejek Riska.
"Kampret, lo, Ris," umpat Bae sambil melotot, tak terima nama panggilan kesayangannya dipermainkan.
"Tuh, Bu. Bae ngomong kasar, jewer Bu, jewer!" sahut Laela tersenyum mengenang masa-masa sekolah yang sering mendapat jeweran dari Rena kalau kedengeran bicara kasar.
"Alah, lo Lae, mo jadi provokator? Apa perlu gue ingetin lagi siapa yang dulu sempat bikin heboh satu kelas gara-gara typho-nya yang kelewat batas. Nulis kata 'jemput' huruf 'p' nya malah diganti 'b' udah gitu diperiksa sama anak cowok lagi. Kebayangkan kalimat yang seharusnya 'Dina dijemput temannya gara-gara salah nulis akhirnya jadi Dina di..," ucap Bae dengan melafalkan kata terakhir samar-samar yang membuat semua yang ada di situ tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian itu.
"Alah, lo lupa ya atau amnesia? Lo juga kan sama nyontek kerjaan gue kayak gitu," timpal Laela.
"Iya, saking ngantuknya gue sampe ikut-ikutan error. Udah gitu, yang meriksa tugas gue, gebetan lagi," sahut Bae yang membuat yang lain kembali tertawa.
"Mama," Haikal dan Hana pun menyapa ibu mereka yang sedang asyik berbincang dengan murid- muridnya.
“Eh, sayang,” ucap Rena saat melihat kedua buah hatinya menghampirinya.
"Ini anak-anak Ibu?" tanya Riska
"Iya," jawab Rena.
"Ini Haikal ya, Bu, yang paling kecil?" tanya Mili menunjuk putra bungsu Rena.
"Iya," jawab Rena
"O ya, sini! Kak Mili punya hadiah buat Haikal. Buat Kakak Hana juga ada," sahut Mili menghampiri kedua anak itu. Kemudian, ia mengeluarkan dua buah kado yang ada dalam tasnya dan memberikan kado itu kepada Haikal dan Hana.
"Makasih, Kak. Boleh dibuka?" tanya Hana.
"Boleh, buka aja," jawab Mili sambil tersenyum senang.
Haikal dan Hana pun membuka kado itu secara bersamaan. Betapa senangnya mereka saat membuka kado yang isinya ternyata baju lebaran yang ingin sekali mereka beli tapi karena harganya terlalu mahal, mereka tak jadi membeli itu.
"Yeaay, makasih Kakak," teriak Haikal dan Hana bersamaan.
Pemandangan itu benar-benar membuat Rena terharu. Tanpa sadar air mata menetes di kedua sudut matanya. Ternyata, setelah begitu lama, murid-muridnya yang kini telah memiliki dunianya masing-masing, masih begitu memperhatikan dirinya. Padahal, bagi Rena sendiri mereka masih mengingat dirinya saja itu sudah cukup membuat ia bahagia.
***
Bersambung
Terima kasih yang telah memberikan dukungan berupa like, komen, dan vote nya serta menjadikan karya ini sebagai favorit.. 🤗🤗🤗
💐💐💐
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!