NovelToon NovelToon

PENDEKAR NAGA API

CH 1. Kesedihan yang Mendalam

Sore itu, langit menampakkan warna jingga seperti seharusnya dia berwarna. Langit yang cerah dan matahari yang bersinar tanpa tertutup awan menambah indahnya kala itu. Namun tidak demikian dengan kondisi orang ini. Pun tidak demikian dengan hati nya. Pemuda yang sebenarnya berparas tampan, berperawakan tinggi dan memiliki tulang yang besar pada struktur tubuhnya.

Wajahnya yang mengguratkan kesedihan mendalam menutupi semua perawakan Tampannya. Hasea adalah nama pemuda itu. Pemuda yang berjalan lunglai sepulang dari pusara neneknya. Satu-satunya keluarganya yang tersisa. Satu-satunya orang yang berharga baginya, orang yang telah membesarkannya sepeninggal ayah ibunya bersama saudara-saudaranya yang telah mendahuluinya menuju perjalanan ke alam baka.

Hari ini memang adalah hari dimana Nenek dari Hasea meninggalkannya untuk selama-lamanya. Bersama dengan beberapa warga desa Hariara, Hasea menguburkan neneknya yang memang sudah menua di akhir hayatnya. Penyakit usia memang yang menjadi bahtera baginya menuju alam baka.

Sebenarnya Hasea sudah sangat mengiklaskan kepergian neneknya, hanya saja saat terlintas hari-hari kedepan yang akan dia hadapi dengan kesendirian membuat hatinya kembali dirundung kesedihan.

Tak terasa, Hasea akhirnya tiba di depan Rumah yang sudah dia tempati selama 15 tahun terakhir ini. Ya, sedari kecil Hasea memang dibesarkan di Rumah yang seharusnya lebih layak dikatakan Gubuk daripada Rumah ini. Dinding tepas yang rapih dan atap rumbiya yang masih tersusun bagus membuat rumah itu menjadi layak ditempati. Ditambah lagi beberapa bunga yang indah di halaman rumah sedikit menyamarkan kecilnya bangunan itu.

Hasea membuka puntu rumahnya. Tampak kesunyian menyambutnya, nyaris tak ada suara di sana selain suara jangkrik yang samar terdengar dari halaman rumah. Hasea menatap tempat duduk didapan Tungku, tempat dimana biasanya neneknya duduk sembari sesekali membetulkan letak kayu bakar dalam perapian saat memasak.

Tanpa ia sadari, air mata menetes dari kedua sisi bola matanya. Air mata yang menggambarkan kesedihan yang mendalam. Tangis pilu sebenar-benarnya dari seorang pemuda sebatang kara. Tangis yang tak bersuara. Tangis yang mengiringnya menuju alam mimpi. Pemuda itu

menutup mata dan menutup harinya dengan tidur berselimutkan kesedihan berharap besok pagi semua akan baik-baik saja.

Pagi hari seperti hari-hari sebelumnya Hasea terbangun dari tidurnya. Tidak ada yang berbeda kecuali fakta bahwa kini dia sebatang kara. Dia membuka bungkusan makanan di meja yang dia terima dari seorang wanita di desanya yang diberikan kepadanya saat wanita tersebut menghampirinya sehari sebelumnya saat menyampaikan bela sungkawa kepadanya . Setelah membasuh wajahnya dan mencuci tangan serta kakinya dengan air hasil tampungan air hujan pasa kendi besar di halaman rumahnya, hasea kemudian menuju meja yang terbuat dari bambu itu untuk mengisi perutnya.

Hari ini Hasea memang membutuhkan tenaga ekstra untuk memulai perjalanan baru dalam hidupnya. Ya, dia bermaksud meninggalkan desa Hariara bersama dengan semua kenangan di dalamnya. Desa yang sudah dia tinggali selama 15 tahun ini memang tidak lagi menyisakan apa-apa baginya.

Satu-satunya hal yang mampu membuatnya bertahan di desa ini adalah keberadaan neneknya dulu. Namun kini itu telah tiada, tak ada lagi pasal yang membuatnya harus bertahan di desa ini.

Desa ini memang tidaklah ramah kepadanya. Entah apa sebabnya, sedari kecil saat sudah mengenal dunia memang dirinya selalu saja diperlakukan hina di Desa Hariara. Orang-orang sebanyanya selalu merundungnya dengan hal apa saja. Orang dewasa sama saja selalu memandangnya rendah dengan tatapan sinis. Tidak jarang orang menyebutnya pembawa sial dan petaka.

Sehari-hari Hasea selalu saja mendapat perlakuan merendahkan dari masyarakat Desa. Kalau ada orang yang layak disematkan tanda jasa kepahlawanan bagi dirinya dan neneknya dulu di desa itu, orang itu adalah Pak Malawu kepala desa Hariara. Orang inilah yang mengupah nenek Hasea dan dirinya sehari-hari sebagai imbalan bekerja di ladangnya.

CH 2. Menepati Perjanjian

Walau tidak seberapa, tetapi hasil dari upah bekerja di ladang Pak Malawu dipakai oleh Hasea dan Neneknya untuk penyambung hidup. Mentari, wanita cantik yang memberikan bungkusan makanan pada Hasea kemarin adalah putri semata wayang Pak Malawu. Wanita yang memiliki umur dua tahun lebih muda dari Hasea itu jelas memberikan perhatian lebih kepada Hasea. Namun Hasea tidak pernah berani menafsirkan perhatian itu selain dari pada rasa kasihan Mentari kepadanya. Ya, Hasea mengagap Mentari hanyalah iba kepada kondisinya.

Hasea membuka pintu rumah. Bersiap untuk melangkah, semua telah dia persiapkan. Pakaian secukupnya, bekal makanan seadanya dan beberapa keping perak sisa dari upah yang dia kumpulkan hasil bekerja harian di ladang Pak Malawu.

Saat Hasea membuka pintu telah didapatinya Mantari berdiri di sana. Seolah memang sengaja menunggunya. Hati Hasea bergetar, ingin sekali rasanya dia menggenggam tangan Mantari dan menumpahkan segala kesedihannya. Ingin sekali rasanya dia memeluk Mentari untuk pertama dan terakhir kalinya. Namun tentu saja hal itu tidak dilakukannya karena dia sadar posisinya kini.

Hasea kembali teringat kejadian-kejadian yang dia alami selama hidup di desa ini. Tak sekalipun Hasea melangkahkan kaki meninggalkan desa Hariara, semua itu dia lakukan demi menjaga neneknya.

Sejak kejadian beberapa tahun yang lalu, Hasea dan neneknya selalu mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari warga desa. Mereka dianggap pembawa petaka. Oleh karena itulah mereka diusir warga dan akhirnya mereka mendirikan rumah kecil di pinggiran Desa Hariara. Pak Malawu selaku kepala desa tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sadar bahwa kemarahan warga juga berdasar, yang dapat dia lakukan hanya meminjamkan setapak lahan di pinggiran desa untuk dibangunkan rumah bagi Hasea dan neneknya. Sehari-hari Pak Malawu akan mempekerjakan Hasea dan neneknya di ladangnya dengan Upah yang dianggap pantas. Dengan jalah hidup seperti itulah Hasea dan Nenek nya bertahan hidup.

Saat warga Desa hendak mengusir Hasea dan neneknya agar keluar dari desa Hariara pada waktu dahulu kala, Pak Malawu membendung kemarahan warga dan menjamini bahwa Hasea beserta nenek nya tidak akan bersinggungan langsung atau berbaur dengan warga. Itulah kenapa areal di pinggiran desa yang diberikan oleh Pak Malawu untuk mendirikan rumah bagi Hasea dan Neneknya. Dengan umur yang sudah tidak muda lagi, ditambah Hasea yang masih berumur 4 tahun ketika pengusiran itu terjadi, membuat Pak Malawu iba. Tidak mungkin menurutnya Nenek dan cucu itu untuk berkelana.

" Saat nanti tiba waktunya nenek itu meninggal dunia, maka cucunya harus meninggalkan desa ini". Itulah syarat yang diajukan oleh warga sehingga pengusiran kepada nenek dan cucu itu urung di lakukan. Namun kini Nenek Hasea telah meninggal dan perjanjian itupun harus dilaksanakan.

Hari ini Hasea akan memulai hudup baru. Hasea akan menapaki Jalan kehidupan yang mungkin akan sangat asing baginya. Terkurung selama 15 tahu di desa kecil, kontan keahlian yang dia kuasai adalah bertani. Tak ada beban baginya untuk meninggalkan desa ini. kalau dulu dia bertahan di desa Hariara, kini tidak lagi. Tidak ada hal tersisa baginya di desa ini. Kalau dipikir-pikir, hanya Pak Malawu dan putrinya yang memperlakukan Hasea dan neneknya sebagai manusia.

Hasea begitu membeci desa Hariara, entah kenapa sampai dengan sekarang dia belum mengerti kenapa pertanggung jawaban atas kejadian kelam yang terjadi di desa ini beberapa tahun yang lampau dilkmpahkan kepada dirinya dan neneknya.

CH 3. Sejarah Kelam I

Hasea mematung di tempat dia berdiri. Raga nya memang berdiri disana tapi jelas pikirannya sedang menerawang ke masa yang telah lampau. Tatapan kosongnya menandakan dia sedang memikirkan sesuatu, ingatannya seperti kembali mengulas kejadian-kejadian masa lampau. Kisah bagaimana semua ini bermula, kisah tentang masa pahit yang pada akhirnya dibebankan kepadanya dan neneknya.

***

Desa Hariara, desa kecil dan terpencil yang dulunya adalah salah satu tempat yang menjadi surga bagi mereka yang menggantungkan hidup dari hasil bertani. Masyarakat disana hidup rukun, aman dan tentram. Setiap orang juga berkecukupan dari hasil tani nya walau tidak bisa dikatakan berlebihan juga.

Desa itu tidak memerlukan penjagaan dari prajurit kerajaan ataupun pendekar bayaran karena walau desa itu merupakan wilayah bagian dari kerajaan Partungko Naginjang, letaknya yang jauh dan terpencil membuat desa Hariara luput dari perhatian kerajaan ataupun para perampok. Di desa tersebut juga tidak terdapat seorangpun yang menguasai beladiri atau sekedar ingin mempelajarinya.

Namun babak baru menuju kesengsaraan desa dimulai saat Pasukan kerajaan yang dipimpin oleh salah satu panglima menyisir desa untuk mencari sepasang buronan kerajaan.

Berhari-hari para prajurit kerajaan memporak-porandakan desa tersebut guna menyelesaikan misinya. Berbagai cara mereka lakukan mulai dari menyiksa, membakar perumahan bahkan sampai membunuh warga tak berdosa.

Buronan yang dimaksud adalah sepasang suami istri bersama satu orang anaknya. Listi dan Marlu nama pasangan suami istri itu. Berdasarkan pengumuman yang ditempel di berbagai sudut desa oleh prajurit kerajaan, Listi sendiri adalah pelayan di kerajaan Partungko Naginjang yang menjalin hubungan terlarang dengan seorang pria bernama Marlu yang merupakan pendekar dari aliran hitam.

Kerajaan sangat melarang siapapun dalam lingkaran kerajaan untuk berhubungan dengan aliran hitam. Listi bukan hanya berhubungan dengan aliran hitam dia malah menikah dengan salah satu pendekar mereka dan dari hasil cinta mereka adalah seorang anak laki-laki.

Setelah hubungan mereka terbongkar, Listi melarikan diri bersama dengan Suaminya. Pihak kerajaan telah melakukan perburuan kepada keluarga itu untuk waktu yang lama. Empat tahun lebih waktu yang dibutuhkan oleh prajurit kerajaan yang dipimpin langsung oleh panglima Kerajaan menandakan yang dicari bukanlah buronan biasa. Dan disinilah sekarang para prajurit kerajaan itu berada, setelah melakukan pencarian ke berbagai tempat dalam kurun waktu tahunan, desa Hariara adalah titik pencarian mereka selanjutnya.

Kepala desa adalah orang pertama yang menjadi korban arogansi para prajurit tersebut, entah memang begitu titah dari kerajaan atau memang karena sikap asli mereka seperti itu, para prajurit memperlakukan warga sangat kasar dan brutal. Tidak segan mereka menebaskan pedangnya kepada warga yang dianggap tidak membantu mereka dalam pencarian.

Tetapi Pak Malawu selaku kepala desa tidak bisa apa-apa karena selain tidak berdaya, Pak Malawu juga tidak merasa memiliki warga yang bernama Listi maupun Marlu. Dia juga tidak pernah mengetahui apakah ada warganya yang pernah bekerja di istana kerajaan.

Gambar yang ditunjukkan oleh prajurit pun tidak membantu sama sekali. Sebenarnya

Para prajurit kerajaan juga sudah menyerah dengan pencarian mereka karena mereka paham betul buronan yang dicari juga tentu sudah mengganti identitas dan penampakan perawakannya guna menghindari pihak kerajaan. Mungkin itu pula lah yang membuat para prajurut semakin arogan di tengah-tengah keputus asaan mereka. Bertahun mereka melakukan pencarian sia-sia. Bertahun pula mereka tidak bisa bertemu keluarga. Hampir semua tempat yang mereka datangi mereka porakporandakan namun hasilnya berujung sama. Sia-sia.

Siang itu, matahari bercokol ditempatnya seolah menegaskan bahwa hari itu akan ada pembantaian besar-besaran. Panglima menurunkan perintahnya kepada prajurit kepala. "Kumpulkan semua Laki-laki dan perempuan berperawakan 25 sampai 30 tahun" serunya kepada prajurit kepala itu. " Baik panglima" jawab prajurit kepala itu dengan sedikit terbata akibat tertekan aura yang besar dari sang Panglima.

Semua warga yang berumur 25 sampai 30 tahun telah dikumpulkan secara paksa oleh prajurit di sebuah halaman kosong. Kisaran 50 orang total dari jumlah semuanya. Tidak ada warga yang dapat melawan. Mereka sadar gerakan yang tiba-tiba dapat menghilangkan nyawa mereka seketika. Semua orang berusia kisaran 25 sampai 30 tahun dikumpulkan sedangkan warga lain yang tersisa termasuk orang tua dan anak-anak dipaksa menyaksikan dari kejauhan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!