“Sudahlah, Dek. Mau saja,” sahut Bu Suci di sebelah yang hanya kubalas dengan senyuman. Jika bukan karena dia, mungkin segelas es teh yang ada di meja sudah menyiram muka laki-laki yang nyengir di hadapanku ini.
Rasa dingin mengalir ketika kugenggam gelas itu erat-erat. Untuk menahan amarah yang sudah memuncak ke ubun-ubun, perlahan kusesap sedikit isinya lewat sedotan. Setelah air es yang sejuk itu sukses meluncur ke dalam lambung, kuletakkan gelas di meja. Udara panas yang menyesakkan dada, kuembuskan perlahan lewat mulut.
“Maaf, Mas. Sejujurnya saya tidak punya perasaan sama sampeyan. Jadi tidak usah lagi mengejar saya.” Aku berdiri perlahan sambil tersenyum sopan pada Bu Suci dan teman-teman yang ada di sini.
Mas Rudi tertunduk lemas.
“Maaf, ponsel saya tertinggal di tas. Saya permisi dulu,” ujarku pada audiens yang tampak kecewa.
Kutinggalkan kantin dengan langkah mantap. Biar saja mereka menganggapku kejam.
Memangnya siapa mereka mengatur-atur acara nggak penting seperti ini? Apalagi memaksaku menerima Mas Rudi. Seperti tidak ada cowok lain saja di dunia ini.
Plis deh!
Bukannya sok cantik atau pilih-pilih, tapi mereka sudah melanggar wilayah pribadiku. Benar-benar tidak habis pikir aku, dengan ulah teman-teman. Apalagi Bu Suci juga ikut-ikutan. Memang sih, Mas Rudi sudah berulang kali memberikan sinyal suka padaku.
Hellow, aku ‘kan tidak suka sama dia.
Bukan karena fisiknya yang tidak seberapa ganteng, tapi memang tidak merasa cocok dengannya. Jadi wajar dong kalau kutolak mentah-mentah? Lagi pula berpura-pura bukanlah keahlianku. Kejujuran itu lebih baik daripada harapan palsu bukan?
Intinya, he is not my type! Titik.
Memang sih, aku belum pernah jatuh cinta selama hidup 29 tahun. Kalau naksir-naksir pasti pernahlah. Soalnya selama sekolah dan kuliah dulu, temanku kebanyakan cowok. Mereka sangat menyenangkan dan melindungi, jadi wajar saja jika aku tidak butuh special person.
Bagaimana pun juga, aku juga ingin jatuh cinta. Merasakan debaran yang katanya membuat lumpuh logika. Aku pun ingin menikah, sama seperti orang lain. Dia haruslah orang yang tepat dan mau mengerti diriku. Pernikahan adalah hal yang sakral, cukup sekali seumur hidup dan berbahagia hingga akhir hayat bersama orang yang ditakdirkan untukku.
Who is he? Where is he? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
Kuputar kenop pintu ruangan. Udara dingin AC menyentuh kulit, membawa sensasi yang cukup menenangkan. Kuseret kursi lalu duduk dan bersandar dengan malas. Pikiranku masih sedikit kacau akibat peristiwa tadi.
Oh iya, ponsel!
Aku menunduk untuk membuka lemari bawah meja, mengeluarkan tas selempang hitam yang setia menemani ke kantor. Kuletakkan tas kulit itu di meja dan membuka resletingnya dengan tangan kanan. Tangan kiri mengobok-obok isinya mencari benda kotak yang hampir tidak pernah jauh dariku. Hari ini aku harus berterima kasih padanya karena tertinggal di tas. Memberiku alasan untuk meninggalkan emak-emak rumpi dan Mas Rudi yang merana di kantin.
Aha! Aku berhasil menemukannya. Kugeser layar untuk membuat pola pembuka kunci. Terpampang gambar anime dan jam digital di sudut layar yang menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit. Masih ada 45 menit lagi waktu untuk istirahat.
Selera makanku sudah hilang meski pun perut bergolak. Untungnya cadangan coklat batangan yang ada di dalam tas sisa sebiji. Kugigit ujung benda kotak itu ketika bungkusnya sudah lepas sambil mendekati dispenser untuk mengambil air minum.
Setelah meletakkan gelas di meja, kembali aplikasi MANGATOON kubuka.
Baru saja akan melakukan gigitan ke dua, Mbak Milla tiba-tiba muncul. “Nada, kamu dipanggil Pak Setiaji,” katanya.
“Eh, ada apa ya, Mbak?”
“Nggak tahu, tapi kayaknya penting deh. Buruan ya,” jawabnya sambil duduk setelah menghempaskan tumpukan berkas di meja.
Seperti kemarin, sahabatku itu kembali melewatkan waktu istirahat karena harus menyelesaikan beberapa berkas SPJ. Rupanya dia baru saja dari ruangan Pak Setiaji untuk minta tanda tangan.
“Ya udah. Aku kesana dulu, Mbak,” pamitku sambil meninggalkan ruangan dan melipat bungkusan coklat sebelum menyimpannya di laci.
“He-em, bentar lagi aku juga mau ke kantin,” sahutnya.
Koridor kantor memang lengang di waktu istirahat seperti ini. Kompleks kantorku memang memanfaatkan bangunan tua peninggalan Belanda. Jadi agak-agak creepy kalau harus lembur hingga malam hari.
Suasana yang hampir sunyi membuat detak jantungku terdengar lebih keras dari biasanya. Belum lagi suara hak sepatu pantovel yang beradu dengan lantai, menjadi backsound ribuan pertanyaan yang muncul di benakku. Tidak mungkin Kepala Bagian memanggil staf sepertiku jika tidak ada masalah.
Langkahku melambat dan berhenti tepat di depan pintu ruangan Pak Setiaji. Kuatur napas sebelum mengetuk pintu kaca raybean yang tertutup itu.
“Masuk,” jawab suara dari dalam.
Kudorong pintu itu perlahan, lalu masuk ke ruangan full AC itu.
“Bapak memanggil saya?” sapaku.
Pak Setiaji yang sedang berdiri di dekat lemari berkas menoleh. “Oh, Nada. Silakan duduk.”
Kudekati meja beliau lalu duduk di hadapannya.
Pak Setiaji mengambil sebuah amplop coklat yang telah terbuka kemudian menyodorkannya padaku.
“Selamat ya, permohonan beasiswa tugas belajarmu disetujui,” kata beliau.
Dengan gugup kuterima amplop itu. Aku buru-buru menarik kertas putih yang ujungnya menyembul dari dalam.
"Alhamdulillah.”
Rasanya dadaku hampir meledak karena tak percaya. Kubaca sekali lagi surat itu.
“Terimakasih banyak, Pak,” ucapku tanpa bisa menutupi kebahagiaan. Mungkin jika berada di tempat lain, aku akan meloncat-loncat kegirangan.
“Sebenarnya saya agak keberatan kamu mengambil beasiswa itu. Kamu staf muda yang sangat rajin dan pintar, Bu Suci pasti akan kesulitan jika kamu cuti.”
Pak Setiaji berhenti berbicara sambil menatapku dengan wajah cemberut yang dibuat-buat.
"Tapi, bagaimanapun juga ini adalah kesempatan yang sangat berharga. Jadi, manfaatkan sebaik-baiknya. Semoga nanti kamu bisa memberikan kontribusi lebih setelahnya.”
Kali ini wajah Pak Setiaji tampak sumringah dan tersenyum lebar.
“Baik, Pak. Terimakasih sekali lagi,” jawabku dengan semangat.
Jujur aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku kali ini. Aku benar-benar sangat gembira dan lega.
"Ya sudah, silakan kembali beristirahat."
Aku berdiri menyambut uluran tangan beliau untuk bersalaman.
Terburu-buru berjalan ke luar ruangan untuk meredam euforia yang memenuhi dadaku, ingin berteriak saja rasanya. Kulemparkan kaki dengan riang menyusuri koridor kantor, entah bibirku tersenyum atau tidak.
Aku yakin, hari-hari selanjutnya akan sangat jauh berbeda.
Selamat tinggal deadline laporan, selamat tinggal excel, selamat tinggal kantin, selamat tinggal nyonya-nyonya rumpi yang centil dan selamat tinggal Mas Rudi.
Yiiihaaa!
Kubuka kaca helm ketika lampu lalu lintas berubah merah. Semilir angin yang menerpa wajahku, mampu menepis semua keruwetan persiapan kuliah. Lampu berubah hijau, si matic kembali kubawa melaju di jalanan Kota Malang yang lengang. Aku sengaja memilih tempat tinggal yang agak jauh dari kampus, agar tidak bosan.
Senin ini adalah minggu ke tiga, setelah dua minggu masa orientasi. Jadwal kuliah sudah ada tapi belum ada tatap muka. Sebagai gantinya mahasiswa harus mencari daftar buku dan membuat tugas resume dengan referensi menggunakan Bahasa Inggris letterlux di bidang ekonomi.
Kenapa memilih S-2 ilmu ekonomi? Pilihan jurusan yang ditawarkan oleh program beasiswa tidak banyak. Sehingga aku harus memilih jurusan yang linier dengan pekerjaan dan menunjang karir. Sebagai pemegang rancangan anggaran program kerja yang berkutat dengan laporan, maka jurusan ekonomi adalah pilihan paling masuk akal.
Jujur saja, jurusan S-1 dulu memang tidak relevan dengan pekerjaanku sekarang, tapi itulah hidup. Banyak hal tidak terduga terjadi, salah satunya garis takdir membawaku kuliah di kota Malang.
Setelah memarkir motor, aku menuju bangku taman di seberang jalan. Tempat mahasiswa biasa nongkrong sambil menunggu pergantian jam. Aku menyandarkan punggung dengan malas dan meletakkan tas ransel di sebelah, mumpung bangkunya kosong. Lalu lalang orang keluar masuk gedung terlihat jelas dari sini, walau terhalang tanaman hias.
Kuambil gawai di kompartemen depan tas. Layar menampilkan jam digital yang membentuk angka 08:05. Berarti masih ada waktu sekitar dua puluh lima menit lagi sebelum kuliah dimulai.
Saat ini di kelas pasti kosong melompong. Jadi lebih baik aku bersantai sebentar sambil menunggu teman-teman datang. Ketika masih seru-serunya scrolling IG, tiba-tiba seseorang berdiri di hadapanku.
“Maaf, tasnya bisa diambil? Saya mau duduk.”
Suara bariton itu membuatku seketika mendongak, tertegun menatap wajah yang lumayan ganteng. Rambutnya ikal di sisir rapi. Hidung mancungnya diapit sepasang bola mata yang memiliki warna iris sedikit aneh. Tidak hitam atau coklat seperti orang kebanyakan, tapi biru gelap. Kulitnya sawo matang, khas orang Indonesia. Bajunya yang rapi mengingatkanku pada outfit CEO di drama Korea kesukaan Mbak Milla. Kemeja biru muda lengan panjang yang dilipat sampai siku serasi dipadu dengan celana panthalon biru dongker.
“Mbak, tasnya.”
“Oh, iya. Maaf, silakan.” Entah berapa lama kami bertatapan tanpa suara tadi.
Saat mengambil tas ransel berbahan denim itu, ponselku terjatuh. Cowok tadi segera menunduk mengambil benda berlayar 6 inci di dekat kakinya. Sambil tersenyum sinis dia mengamati layar itu sejenak, lalu duduk santai di sebelah.
Tiba-tiba aku merasa tegang, entah kenapa bisa begitu.
“Kamu mahasiswa baru, ya?” Cambang tipis di pipi dan dagunya ikut bergerak saat bicara.
“I-iya,” jawabku kikuk.
“Oh, pantes, masih suka kartun,” ujarnya sambil menyerahkan ponselku kembali.
“Terima kasih,” jawabku sambil memandangi layar hape.
Aku terbelalak ketika mendapati layar hape memperlihatkan adegan di komik ketika seorang cewek berciuman dengan cowok.
Waduuuhh! Pasti dikiranya aku seorang wibu.
Keheningan memberi jeda untuk mendamaikan hati. Detak jantung yang berdentum, mulai tenang. Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya.
“Kamu kuliah Pasca? Kok nggak pernah kelihatan?” selidikku dengan curiga. Rasa penasaran mampu mengalahkan nervous sehingga membuat mulutku bertanya tanpa kendali. Sebuah kebiasaan yang kadang kusesali.
Tidak ada jawaban. Hanya mata elangnya memandangku tajam. Ujung bibirnya terangkat sebelah tapi tetap terkatup.
Aku salah tingkah.
“Nadaaa!” Suara cempreng memanggil.
Aku masih bergeming menatap sosok cakep di sebelah, yang tengah melirik ke arah datangnya suara. Selanjutnya ia melihat jam tangan yang melingkar di lengan kiri.
"Itu temanmu datang. Aku duluan, ya. Hampir setengah sembilan,” katanya sambil berdiri.
Tanpa sadar aku ikut berdiri. Dia menjulang di hadapanku. Padahal sebagai cewek tinggiku juga lumayan, 162 cm. Dia tersenyum sekilas sebelum pergi. Sementara yang kulakukan hanya terdiam menatap punggungnya yang menjauh.
“Hoooeeeiii! Lu liat sapa, sih? Sampe bengong gitu.”
Pemilik suara cempreng yang khas itu bernama Neva. Cewek mungil yang centil dan tengil dari Jakarta. Kami menjadi teman dekat sejak masa orientasi. Selain itu, ada dua orang lagi yang cukup dekat denganku, Rendra dan Mario. Kami berempat sering kali menjadi satu kelompok kerja dan suka makan bakso berempat. Ya, sama-sama hobi makan bakso yang menjadi pemersatu.
Neva menepuk bahuku lalu duduk menggantikan cowok misterius tadi. Aku tidak menoleh sedikit pun ke arahnya, sibuk memandangi cowok keren yang telah menghilang di belokan.
“Nggak, bukan siapa-siapa,” jawabku asal.
“Ya udah, masuk yuk," ajaknya.
“Gak nunggu Rendra dan Mario?”Aku menghela napas.
“Kayaknya aku barusan lihat mereka sudah masuk duluan tadi,” jawab Neva.
“Oh,” jawabku sambil memasukkan hape ke dalam tas. Kami berjalan bersama menuju gedung Pasca Sarjana di seberang jalan.
*
“Hai, gaess!” sapa Neva pada Rendra yang sibuk menatap layar hape di bangkunya.
Cowok bertubuh gempal itu mendongak memandang kami, lalu tersenyum padaku. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah menaruh perhatian khusus. Sampai-sampai dia berani memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’. Agak aneh memang, tapi aku sudah kebal dengan model cowok begini.
Sebaliknya, Neva mati-matian menarik perhatian Rendra, yang justru kurang mendapat tanggapan. Kasihan juga melihat gadis itu, padahal dia sangat cantik, putih, juga supel. Namun memang kuakui Neva doyan menggosip. Setiap hari ada saja berita baru yaang diberitakannya pada kami dengan heboh.
Di kelas ternyata sudah banyak yang datang. Aku menuju tempat dudukku di deretan ke dua, diapit oleh Neva dan Rendra. Bangku yang sama sejak hari pertama kuliah dan sampai sekarang formasi ini tidak pernah berubah.
Tidak lama kemudian terdengar bel berbunyi.
“Selamat pagi Saudara-Saudara.” Suara yang tidak asing menggema dari depan kelas.
Aku berbalik, seketika membeku melihat sosok yang ada di sana.
“Perkenalkan, nama saya Agam Alfiansyah. Dosen mata kuliah Makroekonomi dan Mikroekonomi Terapan. Karena saudara-saudara sekalian masuk prodi kelas khusus beasiswa, maka jadwal kita akan lebih padat dengan tugas-tugas.”
Pandangannya menyapu seluruh kelas lalu bertemu denganku. Dia terkejut untuk sesaat, lalu tersenyum.
“Bisa kita mulai sekarang?”
Aku beringsut duduk sambil berharap diriku mengecil sebesar cacing.
Pak Dosen kembali ke mejanya. Dia mengambil satu buku tebal dan membukanya.
“Open your textbook on page 5 ….”
Saat di kursi taman tadi, kupikir dia mahasiswa pasca juga. Usianya tidak berbeda jauh dengan teman-temanku. Mungkin sedikit lebih tua dari Mario, sekitar tiga puluh lima tahun.
Kukira dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Makro yang bernama lengkap Tengku Agam Alfiansyah, Ph.D itu, botak atau rambutnya putih awut-awutan seperti Einstein. Ternyata aku salah, dia sangat ganteng dan keren. Ini pertama kalinya kami bertatap muka.
“Oke, sebelum saya akhiri pertemuan kali ini. Silakan Anda buat paper tentang bahasan minggu depan. Cari referensi yang relevan. Buat juga resume dari BAB VII sampai akhir dari buku ini. Kita tidak akan sempat membahasnya sampai tuntas. Jangan lupa berikan pula pembahasan menurut sudut pandang Anda secara keilmuan.”
Aku hanya menunduk, pura-pura sibuk menulisi buku ketika Pak Agam mengatakan itu.
“Sampai ketemu lagi minggu depan, dan selamat siang.”
“Siaaang, Paaaak,” sahut teman-teman.
Akhirnya, kuliah yang rasanya seperti empat abad, berakhir juga. Banyak coretan dan catatan di buku tulis yang entah nanti masih bisa kupelajari lagi atau tidak. Selama empat jam pelajaran tadi, aku tak berani terang-terangan memandangnya. Tatapan Pak Agam sangat mengganggu, membuatku tidak konsentrasi dan salah tingkah.
Setelah terdengar suara pintu menutup, baru aku berani mendongak. Yes, dia sudah pergi!
***
Hari ini adalah tatap muka kedua dengan dosen—yang kabarnya—killer itu. Seabrek resume yang diminta Pak Agam tentang konsep ekonomi mikro menurut ahli seperti Smith, Ricardo, Marshal dan Piqou, juga Mankiw pada awal minggu lalu memang cukup menguras energi. Apalagi kalau mengerjakannya dengan sistem kebut semalam. Maklumlah, sifat suka menunda-nunda memang belum bisa hilang sampai sekarang.
"Gimana tugasmu, udah kelar?” tanya Neva sambil menghempaskan tubuh di sebelah kananku.
Aku mengangguk.
“Gila, semalam aku tidur jam tiga pagi.” Rasa kantuk itu masih ada meskipun mencuri waktu tidur sehabis subuh tadi. Tidak lupa sarapan kilat dua potong roti dan susu kopi sebagai pengganjal perut agar tidak protes sampai jam makan siang nanti.
Tiba-tiba aku kebelet pipis. “Nev, aku ke toilet dulu ya. Tadi berangkat buru-buru soalnya,” pamitku pada Neva.
“Ya udah, kalo gitu gue ke atas duluan,” jawabnya sambil beranjak dari bangku besi yang biasa kami tempati.
“Okeh.”
Setelah menyelesaikan hajat dan sekilas menatap cermin, aku bergegas menuju lift. Ruang kuliah pagi ini ada di lantai lima. Mendekati jam masuk, antrean lift sudah cukup ramai. Angkutan terakhir penuh dan aku tidak terangkut. Menunggu giliran berikutnya, aku memeriksa notifikasi hape. Begitu pintu lift terbuka aku masuk sendirian. Saat akan memencet tombol nomor 5, terdengar seseorang berteriak, “Tunggu, tahan liftnya!”
Seperti suara khas Pak Agam. Nah, benar! Dosen yang cukup disegani itu setengah berlari menuju arahku.
“Terimakasih,” ucapnya formal ketika masuk lift. Seketika aroma pinus dan mint dari tubuh Pak Agam memenuhi indera penciumanku. Bukannya menjadi tenang, malah membuatku sedikit mabuk.
Ia menekan tombol lantai lima, dan otomatis pintu lift menutup kembali. Setelah sentakan perlahan, lift mulai bergerak. Rasanya pelan sekali.
Aku tidak bersuara, sibuk mengamati pantulan kami di pintu logam. Dalam keadaan berdiri, puncak kepalaku hanya setinggi dadanya. Kemeja warna biru tua membalut tubuhnya yang atletis dengan satu kancing teratas dibiarkan terbuka. Jika keadaannya berbeda, tentu aku merasa beruntung hanya berdua dengan cowok kece seperti ini. Sayangnya dia dosen, killer lagi.
Keringat dingin terasa meleleh di dahi. Telapak tanganku lembab, membuat hape yang kupegang di tangan kiri hampir jatuh karena licin. Buru-buru kulepas ransel dan memasukkannya ke dalam tas.
Pak Agam menoleh ke arahku.
Aku tersenyum kikuk.
Ia hendak berkata sesuatu, tapi gerakan lift tiba-tiba berhenti. Lampu tombol lantai 5 menyala dan pintunya terbuka. Layaknya seorang gentelman, ia mempersilakan aku keluar terlebih dahulu.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, buru-buru kulangkahkan kaki menuju kelas yang berada di ujung koridor. Herannya dosen pria itu berhasil menjajariku. Beberapa mahasiswa yang masih di luar kelas, memberikan salam pada beliau.
Merasa turut jadi pusat perhatian, sengaja kulambatkan langkah dan berjalan di belakangnya. Tanpa kusadari ia mendadak berhenti. Tak ayal lagi aku menabrak punggungnya.
Dia seketika berbalik. “Kenapa berjalan di belakangku?”
Aku terdiam dan menunduk di hadapannya. Jarak di antara kami yang begitu dekat membuat jantungku berdetak tak beraturan.
“Ayo, cepat. Sebentar lagi bel. Jika terlambat, nanti kamu saya skors!”
Aku menelan ludah lantas mengangguk. Kembali berjalan tanpa berani mendonggakkan kepala. Dia sengaja memperlambat ritme menjajari langkahku hingga di depan kelas. Dibukanya pintu dan mempersilakan aku masuk lebih dulu.
Tanpa memandang seisi kelas, aku bergegas menuju kursi yang biasa kutempati.
“Pagi semua!” Suara Pak Agam membuat teman-teman segera kembali ke tempat masing-masing.
Kulirik bangku di sebelah yang sudah seminggu kosong. Rendra tidak masuk akibat terserempet mobil beberapa waktu lalu. Aku, Mario, dan Neva sempat menjenguknya di rumah. Kuharap ia segera pulih. Meskipun sering menggodaku dengan candaan yang agak keterlaluan, rasanya sepi kalau dia tidak masuk.
Aku masih sibuk mengeluarkan diktat dan buku catatan ketika suara ketukan di pintu menggema.
“Masuk,” jawab Pak Agam tanpa melihat ke asal suara.
Rendra datang dengan sedikit pincang. Setelah menutup pintu, bel kuliah jam pertama berbunyi. Untung saja ada lift di gedung ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Rendra naik tangga ke lantai lima dengan kondisi seperti itu.
“Akhirnya kamu datang juga, Bro,” ucap Rio begitu Rendra duduk di kursinya.
“Gimana kabarmu, masih sakit?” tanyaku.
"Udah nggak apa-apa, kok Say. Jangan khawatir,” ucapnya dibuat-buat. Wajahnya yang tadinya usil menggodaku seketika terkejut melihat dosen di depan.
“Kenapa, Ndra?” tanyaku sambil berbisik.
“Nggak apa-apa kok, Nada Sayang,” jawabnya seraya tersenyum padaku.
Dasar aneh! Kuabaikan dia dan kembali menata perlengkapan perang eh perlengkapan kuliah di meja.
Jika pertemuan yang lalu Pak Agam masih menjelaskan dengan Bahasa Indonesia dan Inggris bergantian, tapi sekarang full english. Catatan penting di pojokan diktat sudah tidak karuan bentuknya. Meskipun begitu sangat berharga untuk kupelajari kembali nanti.
Sebaiknya aku berlangganan jurnal internasional online habis ini. Lagi-lagi penjelasan mikro ekonomi terapan cukup menguras konsentrasi. Apalagi penampilan dosennya kece seperti itu.
“Eh, sadar Nada!” sergahku pada otak yang mulai ngaco.
Aku masih terbuai pada pemandangan di depan—cowok kece yang sedang menulis keterangan tentang kebijakan fiskal di whiteboard. Tangan kanan lincah bergerak memegang boardmarker, sementara tangan kirinya memegang diktat. Jam tangan sporty yang melingkar di pergelangan tangan kiri, ter-ekspose jelas akibat lengan kemeja dilipat hingga siku.
"Psst, psstt! Nad, Nadaa!" Panggilan Rendra membuyarkan pengamatanku. Menoleh tanpa bersuara, kuberikan tatapan sebal.
Rendra memonyongkan bibir.
“Pssssst!”Jari telunjuk kuletakkan di bibir, menyuruhnya diam.
“Naaaad, Nadaa,” panggilnya lagi. Kali ini aku tidak menoleh.
Tiba-tiba kertas yang sudah diremas-remas berbentuk bola terlempar ke mejaku. Benar-benar usil nih orang. Kubuka bola kertas itu. Ada kalimat I miss You tertulis di sana. Tingkahnya sangat kekanakan.
Aku memberinya tatapan kesal. “Apa-apaan kamu?”
Rendra tidak menjawab dan malah membuat gerakan kiss bye. Spontan saja kulempar mukanya dengan kertas tadi.
"Saudari Serenada, ada yang kurang jelas?"
Terhenyak mendengar suara Pak Agam yang menggelegar, seluruh mata di kelas menatap padaku.
Mengumpulkan keping keberanian, aku melihat ke arah beliau. Manik matanya yang biru kelam memandang balik tanpa berkedip.
“Maaf, Pak," ucapku gugup.“Rendra sialan!”rutukku dalam hati.
"Jika masih ada urusan lain yang belum selesai, silakan ke luar. Saat kuliah berlangsung, saya minta perhatian penuh pada materi. Ini berlaku untuk semuanya." Tidak main-main Pak Agam mengatakan hal itu.
"Tapi, Paaak." Aku berusaha protes.
"Saudari Serenada, silakan tutup pintunya dari luar!" perintahnya tegas dan tak terbantahkan.
Wajahku memanas dan mataku berair, tatkala mengemas diktat kuliah ke dalam tas. Ingin rasanya menghilang saat itu juga. Sambil menahan sesak dalam dada, aku berjalan lunglai menuju pintu kelas. Kubuka pintu dan melangkah ke luar kelas.
Mengembuskan napas berat, perlahan aku menutup pintu. Namun sebelum tertutup sempurna, terdengar kegaduhan dari dalam.
"Saya juga mau keluar!" teriak Rendra.
Tak lama berselang, cowok berwajah oriental itu sudah berdiri di ambang pintu. Ia menatapku dengan penuh penyesalan. "Ayo kita ke kantin bareng, kutraktir kamu," hiburnya lembut.
Usai mengatakan itu, ia menoleh pada Pak Agam yang masih membatu. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Aku pun terpaku menatap beliau. Raut muka dosen yang sudah mengusirku itu terlihat kaget untuk sesaat. Pandangan kami terputus ketika Rendra menutup pintu dengan sempurna.
Rendra setengah menyeretku menuju lift. Kejadian barusan benar-benar seperti mimpi. Kesadaranku kembali setelah kami berdua sampai di depan lift. Dengan jengah kutarik tanganku dari genggamannya, lalu bersedekap.
"Eh maaf," katanya sambil cengengesan.
Pintu lift terbuka, kosong. Tidak ada seorang pun di sana. Selama jam kuliah berlangsung tentu saja tidak ada yang naik turun. Rendra masuk lebih dulu lalu kususul di belakangnya.
“Nada sayang, maafin aku, ya” rayunya ketika pintu lift tertutup.
Aku tidak menyahut. Rasa kesal padanya masih cukup tinggi. Jika saja tidak cidera, mungkin saat ini sudah kutendang kakinya.
“Dosen tua bangka itu memang brengsek," kata Rendra. Terlihat jelas rasa tidak suka Rendra pada Pak Agam.
Aku menoleh, menatapnya tak percaya.
“Semua ini terjadi gara-gara kamu, kan?” tanyaku sinis.
“Jangan gitu dong, Nad. Aku ‘kan cuma bercanda tadi. Nggak nyangka kalo dosen brengsek itu bertindak seperti ini,” elaknya.
Aku mendengus kesal. Sudah tahu salah malah ngeles.
“Maafin aku ya, Say. Pliiisss.”
Aku buru-buru keluar ketika pintu lift terbuka.
“Nad, Nadaaaa. Tungguuuu!”
Kuacuhkan panggilan Rendra, kesal. Langkah kakiku semakin cepat menuju kantin. Hanya itu satu-satunya tempat tujuan yang paling tepat saat ini. Apalagi masih sekitar satu jam lagi waktunya istirahat.
Sampai di gazebo, kuhempaskan ransel di salah satu meja bundar. Aku menyesal melakukan itu, mengingat hape masih ada di dalam. Buru-buru kuambil smartphone kesayanganku itu sambil duduk.
Tidak lama Rendra menyusul. Dia kini duduk di seberang meja.
“Nad, jangan marah gitu dong. Kamu mau makan apa? Aku traktir deh,” bujuknya.
Aku tidak berminat bicara dengannya, pura-pura sibuk membuka hape.
“Kamu makin cantik deh kalo marah gitu. Mau nggak jadi pacarku?”
Mendengar gombalannya barusan, aku memicingkan mata.
“Males banget tau nggak?” sergahku kesal. Hellowww, memangnya kita anak SMA apa?
“Mau pesan apa, Mbak, Mas?” tanya seorang laki-laki menghampiri kami. Dia pasti pelayan kantin yang kurang kerjaan.
"Saya bakso aja mas, ama es teh. Kalau pacar saya nanti dulu, dia masih ngambek,” ujar Rendra.
Aku melotot ke arah Rendra.
“Langsung bayar di kasir ya, Mas.” kata laki-laki itu sambil ngeloyor pergi.
Kali ini Rendra benar-benar membuatku kesal. Buru-buru aku berdiri dan membawa tas ransel hendak pergi.
“Nad, Nada. Aduuuhhhh!” Rintihan Rendra membuatku mengurungkan niat untuk cabut dari situ. Ia meringis memegangi kakinya.
“Kamu nggak apa-apa, Ndra?” tanyaku khawatir sambil duduk kembali.
“Kaki gue nyeri banget. Kayaknya gara-gara setengah lari ngejar kamu tadi,” ujarnya sambil meringis.
Perasaan bersalah menyergapku.
“Minta tolong bayarin dong, sekalian kamu pesan makanan juga,” ujarnya sambil menyerahkan dompetnya padaku.
Mau tidak mau aku terpaksa menuruti kemauannya. “Dasar Rendra, ngerepotin orang saja!” sungutku setelah menyambar dompetnya.
Begitu kembali dari kasir, kulihat wajahnya sudah kembali ceria. Aku jadi ragu, jangan-jangan tadi dia cuma akting.
“Makasih, ya,” katanya sambil menerima kembali dompet yang kusodorkan. “Udah, jangan marah mulu. Nanti wajah cantiknya ilang, loh,” katanya, melihatku masih diam saja.
Mas pelayan datang mengantarkan pesanan kami. Dua porsi bakso, es teh, dan es jeruk kini sudah tersaji di meja.
“Ayo makan dulu, keburu dingin,” kata Rendra.
Jujur saja, aroma bakso membuat air liurku bereaksi. Kuahnya yang mengepul, bola-bola daging yang terlihat menggiurkan, membuat aku tidak tahan. Rendra tahu kelemahanku. Setelah berdoa dalam hati, eksekusi bakso dimulai.
Hemmm, yummy! I feel in heaven now.
“Gak nyangka, ada cewek makannya cepet banget,” ujar Rendra melihat mangkok bakso yang sudah kosong dihadapanku.
“Emang kenapa?” ujarku sambil berdesis menahan rasa pedas. Gara-gara emosi tadi, kutambahkan tiga sendok makan sambal. Segera es jeruk kuminum lewat sedotan. Segar!
“Doyan apa laper, Say?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“Udah dong marahnya, Naaaaad. Aku juga kesel sama dosen itu,” kata Rendra sambil meletakkan sendok. Sepertinya dia tidak begitu antusias makan bakso. “Tahu, nggak? Dia itu, orang yang nyerempet aku!”
“Hah, serius?” tanyaku tidak percaya.
Wajah Rendra terlihat tidak sedang bercanda.
“Awalnya, ada mobil fortuner hitam memotong jalurku. Karena emosi kukejar mobil itu dan menyalipnya tepat saat lampu merah. Kebetulan posisiku di samping mobil itu, jadi kelihatan dong wajah sopirnya. Karena masih kesal, aku tendang bodinya. Sialnya, setelah nendang tadi aku nggak perhatian sama posisi kaki yang menapak ke tanah. Pas lampu hijau, ban belakang mobil sialan itu melindas kakiku. Eh nyampe rumah kok malah bengkak,” ia menghela napas, “pagi ini aku baru tahu kalau sopir berengsek itu adalah dosenku sendiri," tandasnya berapi-api.
Wajahnya menegang dan matanya menyipit penuh kebencian.
Mendengar ceritanya, menurutku itu salah Rendra sendiri. Anehnya, malah dia yang kebakaran jenggot. Dasar cowok, egonya sebesar gunung Krakatau. Tersenggol sedikit saja langsung meledak.
Ah sudahlah, sebaiknya memikirkan nasib sendiri. Gila nggak sih, baru dua minggu kuliah udah diskors dosen?
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!