Awas adik ..." reflek tangan ini meraih gadis kecil yang melintas di depanku. Rupanya ia tak menyadari bahwa ada dahan besar yang akan jatuh.
Dan benar. Brrrukk ....
Dahan itu jatuh tak jauh dari kami berdiri.
Spontan tangannya yang mungil memelukku.
"Anya ... ayah kan capek kalau kamu lari terus."kata seorang lelaki yang datang dengan berlari sampai terlihat kelelahan.
"Adik namanya Anya?"
"Ya ...."
"Adik kalau mau lari jangan di sini. Ada bapak-bapak sedang menebang pohon. Kalau tertimpa ... bagaimana?"
Dia terdiam dan menatapku lama. Kulihat ada butiran-butiran bening menetes dari sudut mata indahnya. Wajah manis kini mulai tertutup kabut kesedihan.
Dengan langkah gontai, pergi meninggalkan diriku terpaku tak mengerti. Kuikuti saja kemana langkah itu akan pergi.
"Anya ... maafkan ammah ... Ammah tak sengaja." Aku berjongkok dihadapannya.
"Anya ... tak baik seperti ini." Suara lembut seorang lelaki yang berada di belakang kami.
"Maafkan kami, Ammah."
Dia meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Namun tak sangka, putri kecil itu akan berontak. Dan berlari pergi sambil berteriak.
"Aku nggak mau maafkan, kalau bunda nggak mau beliin es krim."
"Anya, bunda sudah ..."
Mengapa kata-katanya itu terhenti. Dan kulihat raut wajah lelaki itu berubah suram, seakan menahan kesedihan.
"Bunda belum meninggal. Itu bunda." sambil mengarahkan telunjuknya kepada diriku. Deg ... mengapa dia menunjuk ke arahku.
"Ah, maaf Ammah."
"Tak mengapa." jawabku spontan.
Dia terus membujuk putri kecil itu. Atas keinginan yang belum jelas. Hingga terlihat kerepotan. Ku berjalan mendekati dan mencoba ikut menenangkan.
"Tapi kalau sudah dibelikan es krim, menurut sama ayah ya ... Anya manis."
Kucubit hidungnya yang mancung. Senyumnya merekah dan memelukku dengan manja.
"Aku mau es yang itu."
Putri kecil nan manis ini melepaskan pelukannya. Dan berlari ke arah penjual es krim yang sejak tadi berkeliling.
"Anya, jangan lari!" panggil lelaki yang tak ramping. Walau tubuhnya tak seluruhnya penuh dengan daging.
Rasanya aku ingin tertawa menyaksikan mereka berdua. Dengan langkah lebar kuhampiri, dan ikut mengantri mendapatkan es krim.
Entah mengapa pesonanya menyita perhatianku. Tatapan, senyuman serta gayanya, mengingatkanku pada masa kanak-kanak dulu.
Biarlah kunikmati pagi ini dengan riang. Toh, tujuanku kemari demikian. Udara yang segar di ruang terbuka hijau tak layak untuk diabaikan. Ditambah celoteh si kecil yang baru ku kenal. Jangan sampai terlewatkan.
"Bolehkah ammah kupanggil bunda?"
Dia berceloteh sambil makan es krim, hingga tak sadar butiran es menyentuh hidungnya. Lalu kuusap dengan tissu yang kubawa dengan manja. Membuat kita tertawa gembira.
"Lha ... dari tadi panggil apa?"
Dia hanya tertawa seakan ingin mengajakku bermain-main dengan kata-kata itu. Aku menuruti kemauannya yang kadang tak kumengerti.
Sejak awal memanggilku dengan sebutan 'bunda' saja, membuat diriku ingin tertawa. Ada saja si putri kecil ini.
Tapi biarlah, mungkin bisa jadi obat atas kesedihan yang tersimpan rapat dalam alam bawah sadarnya. Terlihat jelas di bola matanya yang sayu. Hingga wajahnya penuh mendung, tinggal menunggu kapan hendak jatuh.
"He ... he ... he ...." jawabnya tertawa.
"Ayah, boleh aku bermain dengan Bunda?"
Sejenak lelaki itu terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun kemudian melempar senyuman.
"Anya, Ammah kan juga ada keperluan. Kasihan kan!"
Tampak sungkan dia memandangku. Namun putri kecil ini tak menghiraukan. Dia balik menatapku. Dengan pandangan mengiba penuh harap. Aku dibuat tak berdaya untuk meluluskan permintaannya.
"Insya Allah tidak ... ya ...?" jawabku gugup.
Baru sadar, kami belum saling kenal. Sepintas kupandangnya. Tapi terus terang tak berani lama-lama. Supaya tidak ketahuan, kualihkan pandangan pada rumput yang terhampar.
Melihat diriku salah tingkah dan gugup. Tampak senyumannya tersungging menawan. Dia mengangkat kedua bahu seakan berkata , terserah.
"Anya, jangan lari ..." aku berteriak memanggil putri kecil itu. Tapi sayang dia telah menjauh. Dan tak mungkin aku dapat mengejarnya.
Aku ikuti kemana ia pergi dengan berlahan. Sambil menikmati pemandangan pagi yang indah. Kicau burung, hembusan angin dan udara yang segar.
Aku tahu dia menuju air mancur, yang ada di tengah taman. Ingin melihat ikan-ikan yang sedang berenang. Sebelum sampai padanya, kubelikan makanan ikan. Dari penjual di sekitar tempat itu.
Tampak keceriaan di wajahnya ketika keberikan itu padanya. Tak henti-henti dia tersenyum, sambil melempar makanan ikan dari pinggir kolam.
Selesai memberi makan ikan dengan gesit dia berlari.
"Ammah, cari aku!" teriaknya. Lalu bersembunyi di rerumputan yang tinggi.
Aku mengejarnya dengan berjalan santai sambil menikmati pemandangan pagi yang cerah. Secerah tatapan putri kecil yang baru kukenal.
Tetapi tanpa sengaja pandanganku tertuju pada sosok makluk di sana, ayah Anya. Sangat tenang, duduk santai di atas rumput. Sesekali minum air mineral yang dibawa. Serta melakukan olah raga ringan. Terlihat santai.
Dia senang sewaktu Anya memilih diriku untuk menemani bermain. Mungkin kalau dia, bisa habis napas. Dan akhirnya is death. Pikiranku jadi melantur kemana-mana. Aku kok jadi sebel melihatnya.
Dia yang punya anak tapi aku yang repot.
"Ammah di sini ... Ammah mau pergi." kataku memancing.
"Bunda, jangan pergi dong."
Segera putri kecil Anya keluar dari persembunyian. Tanpa aku harus mencari. Langsung memelukku dengan manja.
"Bunda, aku masih ingin main."
"Boleh, tapi jangan di rumput itu. Nanti ada ulat, Anya bisa gatal-gatal."
"Selorotan ya?"
"Boleh."
Kami lomba lari, menuju permainan yang diinginkan. Begitu sampai , tak usah disuruh 2 kali, dia langsung naik ke tempat yang tinggi untuk meluncur.
"Hati-hati, Anya."
Hanya lambaian tangan sebagai jawaban yang kudapat. Aku tertawa melihat keriangannya.
Bermain dengan anak kecil memang menyenangakan. Hingga lupa waktu.
Jarum jam menunjukkan pukul 09.00. Aku ada janji hari ini. Kutengok ke tengah lapangan rumput, di tempat terakhir aku melihat. Tak terlihat batang hidungnya. Kemana dia?
"Mencari saya?" Suara lembut dari bangunan di sampingku, membuatku terkejut.
"Maaf, aku mau pergi dulu, ada perlu."
"Kok pergi!" terlihat alis terangkat.
"Aku virus yang harus dihandari kah?"
Lha kok wajah .... Makin bikin aku senewen.
"Aku ada janji." jawabku singkat dan berlalu pergi.
"Anya, Ammah pergi dulu ya ..."
"Bermain sama ayah dulu."
Aku melangkah pergi dengan tergesa-gesa.
"Sebentar bunda."
Putri kecil nan manis itu terlihat turun dengan terburu-buru, lalu berlari menghampiriku. Ditunjukkannya kedua pipi yang tembem. Siap dikecup. Baiklah aku mengalah. Walau harus telat. Kucium pipinya dengan manja. Tak ada salahnya mengikuti kemauannya.
"Maaf ... gaya bebas."
Lho kok, mau foto nggak bilang-bilang. Kulambaikan tangan supaya mengakhiri aksi yang tak kuingini. Tapi sepertinya dia tak ambil pusing dengan isyaratku. Menyebalkan ! ...
"Maaf Dinda. Sebentar jangan pergi dulu."
Dia melambaikan tangan, sebagai isyarat memanggil diriku. Kuhentikan langkah dan memperhatikannya.
"Ini hpmu kah?" tanyanya pelan.
Baru aku sadar hp sudah tak berada di tangan ... eh saku.
"Terima kasih sudah mengembalikannya."
"Seharusnya aku yang berterima kasih. Sudah menemani Anya pagi ini. Dan membuatnya ceria."
"Maaf ... namamu Dinda kah?"
"Darimana kamu tahu?"
"Maaf aku tadi memperhatikan beberapa orang yang memanggilmu Dinda."
"Dan tak sengaja lihat profilmu. Untuk memastikan hp ini milik siapa."
Aku diam dan menatapnya dengan tanda tanya. Mau marah gimana. Mau nggak marah gimana. Yang penting hpku kembali.
Sebenarnya aku malu, dia sudah melihat-lihat profilku. Ah sudahlah ....
"Sekali lagi, terima kasih telah kembalikan hpku." jawabku agak ketus.
"Maaf." jawabnya dengan senyum yang ditahan.
"Jadi bunda namanya Dinda ya ..." celoteh putri Anya. Yang mampu mengusir kedongkolan di hati ini, tak tahu apa sebabnya.
"Ammah bisa pergi sekarang?" sambil kutatap wajahnya yang mulai merajuk.
"Kapan-kapan kita bisa ketemu lagi," kataku menghiburnya.
"Benar, janji." kutautkan jari kelingkingku dengan kelingkingnya, tanda sepakat.
"Minggu depan ammah main sini lagi ya ..." tanyanya penuh harap.
"Insya Allah."
"Bolehkah engkau kirimkan foro-foto Anya kepadaku?"
"Baiklah ... ke nomer?"
Lalu dia ambil kertas dan pena dari dalam kantong celananya. Menuliskanya dengan cepat. Dan diberikannya padaku. Aku baru tahu bahwa dalam kantung celana pria tidak melulu dompet.
"Tunggu saja." jawabku terburu-buru meninggalkan mereka berdua.
Ku tak mau lagi langkah ini terhenti. Walau tak tega, tapi bagaimana lagi. Kusudah punya janji. Wajah ceria kini terlihat murung kembali. Dengan tertunduk dia menghampiri ayahnya, untuk bermanja dan mencari sandaran.
"Maafkan ammah Anya. Ammah bukan bundamu." Bisikku dalam hati.
Wajah manis dengan lesung di pipi, sinar mata, senyum ceria telah menguasai pikiran dan perasaanku. Ada rasa iba yang menyelinap dalam relung hatiku. Ah mengapa jadi memikirkannya ....
Kukendarai motor ini dengan berlahan. Berhenti di perempatan karena lampu merah. Bayang wajahnya kembali melintas. Menari-nari mengusik ketenangan pikiran.
'Bunda' kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telinga. Seakan-akan menunjukkan kerinduan mendalam pada sosok yang dinantikan. Entah mengapa pikiran ini seakan melayang-layang terhanyut dalam bayangnya.
Tanpa kusadari, lampu diperempatan telah berubah warna. Kendaraan dibelakangku membunyikan klakson semua. Sangat berisik. Membuatku kembali fokus. Kujalankan motor ini dengan sedikit kencang. Melintas di jalan yang tak pernah sepi.
Hingga tak terasa aku telah sampai di depan toko roti. Berlahan aku masuk menjumpai Hani dan Silvi yang sedang mengolah adonan. Sedang mbak Mira dan Rani telah selesai membersihkan dan menata roti yang telah masak pada rak yang tersedia.
"Dinda ... tadi ada bu Leli ke sini mau pesan kue pengantin. Dan mau diambil besok pagi jam 7."
"Oke." jawabku singkat karena aku terburu-buru.
"Hani ... Sinta ... doakan aku ya ...!"
"Untuk?"
"Moga-moga bisa membuka toko baru lagi."
"Aamiin ...." Jawab mereka serempak.
"Oh ya ... aku titip toko ya ..."
"Aku mau pergi."
"Oke ... semoga berhasil."
Tergesa-gesa, aku berjalan menuju rumah di seberang jalan. Rumah mungil, penuh cerita. membuatku tentram berada di dalamnya. Tempatku berlindung dan tempatku pulang. Hanya kami berdua yang tinggal, karena kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakan mobil, saat menuju ke Surabaya, hendak mengikuti prosesi wisuda kakak.
Hampir 5 tahun berlalu. Saat peristiwa itu terjadi, aku masih kelas 2 SMKK. Kenangan yang sulit kulupa. Gembira kakak wisuda, sekaligus sedih ayah ibu tiada.
Sesaat kami merasa terpuruk. Hingga akhirnya sadar dan kembali bangkit. Kakak melamar sebuah pekerjaan. Alhamdulillah diterima bekerja, di sebuah perusahaan yang cukup besar. Tak lama kemudian diangkat sebagai menejer pemasaran.
Atas modal dari kakak, aku membuka toko kecil mengisi waktu luang setelah lulus SMKK. Dan juga untuk menyalurkan bakatku yang terpendam . Gini-gini jurusan tata bogalah. Wkwkwk....
Hitung-hitung mengamalkan ilmu dari bapak/ibu guru.
Alhamdulillah, toko roti ini bisa berkembang pesat. Hingga bisa menambah pemasukkan rumah dan juga tambahan biaya kuliah. Bagaimanapun aku masih ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Kesibukan di toko dan kuliah banyak menyita waktu. Hingga akhirnya, aku mengajak kedua sahabatku, Silvi dan Hani untuk berkontribusi dalam membesarkan toko kue ini.
Alhamdulillah pelanggan tak pernah sepi. Bahkan di hari minggu atau hari libur lainnya, bertambah ramai. Untuk yang menjaga toko kita perkerjakan orang lain. Karena Hani dan Silvi juga sama-sama masih kuliah.
"Assalamu'laikum warohmatullahi wabarokatuh." Tanpa menunggu jawaban aku segera masuk ke dalam.
"Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh." suara kakak dari dalam yang berpakaian santai tapi rapi.
"Dinda ... segera. Sudah hampir terlambat nich."
"Baik kakakku yang sabar. Saking sabarnya sampai sekarang masih juga joblo ..." godaku sambil berlari. Untuk menghindar dari kemarahannya, kalau lagi buat kesalahan.
Setelah membersihkan diri, segera memakai baju warna hijau botol dan kerudung bermotif sewarna yang sudah kusiapkan sejak tadi malam.
"Wah ... adik kakak ternyata cantik juga." membuat diriku tersipu.
"Dah, ayo!" Lanjutnya sambil berjalan keluar. Kuikuti langkahnya dengan segera.
Berlahan kakak mengeluarkan mobil xenia dari garasi. Kendaraan yang biasa dipakai berangkat ke kantor. Hanya kendaraan ini yang kami punya.
"Kok ... teman kakak itu tiba-tiba mengajak kerja sama."
"Darimana dia tahu kalau aku bisa masak?"
"Bukankah tiap hari kamu bikinin bekal kakak."
"Lalu?"
"Seminggu yang lalu dia coba dan suka."
"Oh ...."
Tak berapa lama, kami tiba disebuah kafe yang cukup artistik. Dominasi warna coklat dengan beberapa lembar sibetan kayu yang dihaluskan. Ditambah dengan taman kecil berhiaskan air terjun buatan yang mengalir berlahan, jatuh pada sungai-sungai kecil mengitari joglo sebagai tempat bersantai sambil menikmati hidangan.
Sekilas aku melihat gadis kecil yang bermain di taman kecil itu. Sambil memercikkan air ke arah tanaman perdu. Suaranya yang riang sepertinya kukenal. Dan familier di telinga ini. Oh iya ... inikan suara yang kudengar waktu di taman tadi pagi. Kutengok dengan seksama untuk memastikan dugaanku.
"Din, ayo ." panggil kakak sambil menepuk pundakku. Kaget aku dibuatnya.
"Ya kak ...." Jawabku mengikuti langkahnya yang cepat. Namun tak disangka, menuju sumber suara yang membuat diri ini penasaran.
"Bunda ...," sambil berlari menuju padaku. Serta memelukku dengan manja.
Kurentangkan tangan dan kupeluk dengan mesra serta kucium kedua pipinya. Dan iapun membalasnya dengan gembira seakan lama tidak berjumpa. Padahal baru sesaat lalu aku meninggalkannya.
"Anya kok di sini. Mana ayah?" tanyaku.
Dia hanya mengerlingkan matanya sambil menunjuk sebuah joglo ditengah sungai buatan. Semakin alami dengan adanya ikan koi yang cukup besar, berenang mengitari joglo.
"Bunda?" bisik kakakku membuat dahinya berkerut. Dan membuatku sedikit salah tingkah. Takut dia berfikir macam-macam pada adik tercintanya ini. Untungnya dari arah joglo ada seseorang yang melambaikan tangan memanggil.
"Alfath, sini!"
"Din, ayo ke sana!"
"Ke sana kak?"aku tertegun sejenak saat kakak melangkah ke arah yang ditunjuk Anya. Bukankah itu ayah Anya. Untuk apa di sini.
"Kakak. Kenapa kita ke sana."
"Itu boss kakak. Yang nawari kerja sama."
"Jadi itu bos kakak?"
"Sudah ayo ke sana. Kasihan dia menunggu."
"Kamu sich pakai terlambat juga." Aku hanya bisa melirik dan tersenyum, menanggapi sentilan kakak.
"Anya mau lanjut main atau ikut ammah?"
Dia hanya tersenyum menampakkan gigi putihnya yang bersih. Sambil memainkan rambutnya yang ikal terurai lepas. Dengan hiasan bando di kepala. Semakin tampak lucu. Lalu berlari kecil meninggalkan kami dengan riang. Melanjutkan bermain .
Entah mengapa aku jadi ragu melangkah. Tak kusangka orang yang mengajak kerja sama adalah bos kakak. Dan orang yang membuatku dongkol bin sebel di taman.
"Lho, Dinda itu adikmu ya ..." sapanya sambil mempersilahkan kami berdua duduk.
"Bapak sudah kenal?" tanya kakak penasaran. Namun hanya dijawab dengan senyuman.
"Belum, belum sepenuhnya." jawabnya ringan.
"Perkenalkan saya Zaidan." sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Senang berkenalan dengan Bapak." sahutku dengan mengatupkan kedua telapak tangan di dada tanpa menyentuhnya.
Sejenak terlihat kikuk. Tapi kemudian sikapnya kembali tenang. Terlihat berfikir lama.
"Saya harus panggil apa ya ..."
"Mbak ... ibu ... tante ... ammah ... atau bunda?" Maksudnya sopan, tapi wajah seriusnya malah terlihat lucu.
"Terserah bapak saja." jawabku tenang.
"Tapi saya lebih senang dipanggil ibu." jawabku tak kalah serius. Biar imbang gitu lho ....
Kalau nggak ada kakak mungkin aku sudah ngakak. Serius ... serius jangan pikir macam-macam. Dinda bukan saatnya bercanda.
Apa seperti ini ya ... kalau mau bicara bisnis . Kaku!...
Terus terang aku tak begitu tertarik dengan pembicaraan kakak dan pak Zaidan.
Oh jadi namamu Zaidan tho ... hemmm ....
Yang penting sekarang dengar dan simak. Dan aku sudah tahu posisiku sebagai chefnya, dalam restoran ini. Ternyata bukan toko melainkan restoran. Tak apalah ....
Toh, pak Zaidan sudah percaya padaku untuk mengelola dapur restoran itu. Pasti akan kuat menu-menu yang enak dan mengundang selera. Dan berkembang lebih besar. Itu sich harapan terpendam aku. Semoga tercapai ya ... aamiin.
"Dealnya kita kerja sama. Saya yang sediakan tempat dan modalnya. Bu dinda dan mas Alfath yang mengelolanya."
"Deal pak. Jangan khawatir semoga saja restoran ini bisa berkembang." Jawab kakaku sambil menyambut uluran tangan pak Zaidan. Tanda kerja sama.
"Bagaimana ibu Dinda , sanggup?!"
"Insya Allah saya akan berusaha."
Pembicaraan ini terasa membosankan. Tetapi dinikmati saja. Bukankah rancangan yang baik dan cermat, merupakan langkah awal yang selayaknya, agar usaha dapat memperoleh hasil yang menggembirakan.
Tapi rasanya bosan juga. Keinginanku adalah segera eksekusi. Tanpa berlama-lama dalam pembicaraan. Aku sudah tak sabar, untuk mencoba dapur restoran itu. Dan menghidangkan menu-menu yang jadi andalanku.
Untunglah tak lama kemudian, pegawai cafe menghampiri kami, sambil membawa hidangan kecil yang kami pesan, beserta minuman segar.
Dia menatanya di meja kami. Sesekali kami minum dan makan makanan kecil yang tersedia, sambil mengobrol, melanjutkan pembicaraan hingga selesai.
Kulihat pak Zaidan sangat lelah. Dan ingin beristirahat. Mungkin tidurnya belum cukup malam tadi. Tampak kedua bola matanya terpejap-pejap. Rasa kantuknya menyerang. Sejenak kami diam dalam kesunyian. Agar tidak menggangu tidurnya. Biarlah dia beristirahat dulu.
"Ah maaf, aku mengantuk sekali." kata pak Zaidan, ketika sadar dari kantuknya.
"Habis begadang, pak Zaidan?" kata kakak dengan hati-hati.
"Tadi malam, Anya sering terbangun. Sepertinya dia mengalami mimpi buruk lagi."
Kami berdua terdiam. Mencoba mencerna yang dia katakan. Meski kami masih bertanya-tanya arah ceritanya.
"Bayangan peristiwa itu sangat lekat pada ingatan Putriku. Entah sampai kapan dia mampu menghapus dari pikirannya. Semoga Anya bisa segera melupakannya."
"Peristiwa apa, Pak?" membuatku bertanya.
"Peristiwa yang merengut nyawa bundanya."
"Apa yang menimpa lbunda dan Anya?"
Ah, mengapa kata-kata itu meluncur dari bibirku. Tanpa bisa dicegah. Membuat pak Zaidan terlihat semakin sedih. Lalu dia menarik nafas panjang. Mengeluarkannya pelan-pelan.
"4 bulan yang lalu, saat ada pekerjaan di Kalimantan, rumah kami didatangi perampok. Tapi sepertinya mereka datang bukan untuk merampok. Karena semua barang masih dalam keadaan utuh. Mobil, motor, perhiasan, leptop semua tak ada yang disentuhnya. Apalagi dibawa pergi. Entah apa yang mereka inginkan."
"Seandainya saat itu aku segera pulang, mungkin itu takkan terjadi." lanjutnya sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Terlihat jelas bahwa dia sangat menyesal dengan apa yang menimpa keluarganya.
"Mengapa saat bundanya menelpon, aku abaikan. Aku tak tahu kalau jiwanya terancam."
Lalu dia berhenti sejenak. Mengambil nafas dan menghembuskannya dengan berat.
"Sebenarnya saat aku tidak mengangkat telponnya. Aku ingin memberikannya sebuah kejutan. "
Mata pak Zaidan mulai berkaca-kaca. Lalu diam sejenak. Tak lama kemudian mengalihkan pandangan dan menghentikan cerita yang ingin dia sampaikan. Terlihat beliau larut dalam kenangan duka masa lalu beserta istrinya. Membuatnya tertunduk sedih.
Aku bisa merasakan duka yang mendalam, tersimpan di hatinya, sejak pertama berjumpa. Mungkin dengan mengungkapkan pada kami saat ini, akan membuatnya merasa ringan.
"Ah sudahlah, aku kok jadi cengeng di depan kalian. Maaf jadi merusak suasana."
"Tak mengapa pak Zaidan. Saya merasa tersanjung bisa mendengarkan kisah bapak yang sesungguhnya. Bila itu membuat bapak lebih tenang."
Tak dapat kupungkiri, diriku terbawa juga ke dalam ceritakannya. Hingga tanpa terasa, air mata ini tak bisa dicegah untuk menetes. Segera kuusap dengan tissu yang selalu kubawa. Kok aku jadi ikutan cengeng ya ....
Kami semua membisu beberapa saat. Sampai si kecil Anya datang, dengan membawa keceriannya, sehingga suasana menjadi cair kembali. Dengan langkah santai, dia duduk di antara kami. Minum dengan tenang dari gelas yang masih penuh isinya.
"Aku kembali, Bunda. "Dia berkata sambil berdiri, hendak berpindah tempat ke arahku. Lalu rebahan dalam pangkuanku. Dan bermanja, sambil memainkan rambutnya yang ikal. Membuat kak Alfath semakin bertanya-tanya. Tentang kedekatanku dengan mereka berdua.
"Sebentar-sebentar, apa aku tak salah dengar ya ... Anya memanggilmu bunda?!" Kak Alfath memandang ke arahku dengan tatapan penuh selidik.
"Dinda, kamu ini ada hubungan apa dengan pak Zaidan?"
Ups ... kak Alfath kok bisa ngomong seperti itu sich. Di depan pak Zaidan lagi. Bagaimanapun, aku tak bisa menyembunyikan rasa maluku. Aku hanya bisa memalingkan muka dari tatapannya.
Melihat itu, pak Zaidan hanya tersenyum, menghentikan minumnya. Serta meletakkan cangkir ke atas meja.
"Kami belum punya hubungan apa-apa Alfath. Hanya hubungan kerja ini tadi. Kenalnya juga baru saja." jawab pak Zaidan dengan santai.
Rasanya sudah kayak udang rebus saja wajah ini, menahan malu atas sikap Kak Alfath terhadapku kali ini.
" Dinda, kamu itu adik perempuan kakak satu-satunya. kalau terjadi apa-apa sama kamu, kakak juga yang susah."
"Iya, Kak." jawabku singkat, hampir-hampir tak bisa menahan keluarnya air mata. Ternyata di balik sikapnya yang keras tadi, ada kasih sayang di dalamnya.
"Sudahlah Alfath. Percayalah sama adikmu. Insya Allah baik-baik saja. Lagian dia sudah besar. Sudah saatnya untuk bisa memutuskan sesuatu untuk kehidupannya." pak Zaidan mencoba membelaku. Yang membuat kak Alfath diam membisu.
"Anya, mulai sekarang jangan panggil ammah dengan sebutan bunda ya .... Nanti om Alfath marah. Dan ayah jadi sedih. Mengertikan Anya." kucoba menghibur diri dengan bercakap-cakap dengan si mungil Anya. Sedari tadi memperhatikan kami, yang sedikit panas. Tapi dia hanya tersenyum saja sambil menikmati makanan yang ada. Ini yang membuatku gemas dan segera mencubit hidungnya.
"Lalu Anya harus panggil apa?" tanyanya polos.
"Ammah Dinda. Bisakan sayang?" Sambil kukecup pipinya yang tembem persis bakpao itu.
"Baik ammah Dinda yang cantik. Anya sayang sama ammah. Dan semoga Ammah nanti jadi bunda Anya sesungguhnya." Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Sedangkan pak Zaidan hampir-hampir tidak bisa mengusai diri untuk tertawa. Lain lagi sama kakak yang dikit-dikit marah itu. Ah sudahlah...
Anggap saja nasib sial.
"Wah ... tak adil dong. Tadi ibu. Giliran Anya jadi ammah." kata pak Zaidan yang membuatku sebel.
"Aku panggil Dinda saja ah ...."
Enggghhhh ... hatiku dibikin gemes olehnya. Benar-benar menyebalkan.
"Terserah bapak." aku mengalah.
Ada-ada saja orang satu ini. Batinku ....
"Oh ya .... Apa kamu kuliah?" kata pak Zaidan. Membuatku bersorak. Alhamdulillah, akhirnya kembali ke leptop.
"Ya pak, masih semester empat."
"Saya tidak ingin nanti kuliahmu terganggu. Jadi kalau ada apa-apa laporkan ke saya. Kalau pingin angkat pegawai angkatlah. Mungkin untuk spesifiknya kamu yang lebih tahu ." kata Zaidan dengan pasti.
Aku mengagumi pemikirannya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Kurasa ini keputusan yang baik. Agar usaha ini bisa terwujud dan berjalan dengan baik.
"Dan Alfath sementara ini tolong bantu Dinda. Tapi tugasmu di kantor jangan sampai terbelangkai."
"Siap pak." Jawab kami hampir bersamaan. Membuat pak Zaidan tertawa.
"Ternyata kalian bisa kompak juga." kata pak Zaidan, yang melihat kami selalu bersamaan, ketika menjawab pertanyaan darinya.
Ini sich bukan sekedar jadi chef. Tapi hampir-hampir kayak wakil direktur urusan rumah makan. Gumanku dalam hati.
Aku bersyukur, akhirnya bisa membuka restoran sendiri, meskipun modalnya masih milik orang lain. Yang bisa mengelolanya sesuai dengan bakat yang kupunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!